Tulisan ini menanggapi rekan milist DH Bro. Wals Silalahi, berjudul "Kenapa Negara Kita Miskin" - To Reflect & To Act. Bro Wals menyoroti bahwa suatu negara bisa maju ternyata bukan karena soal kepemilikan sumberdaya alam melimpah, melainkan karena faktor sikap/perilaku masyarakatnya yang 'developed'.
Pembentukan sikap/perilaku masyarakat menjadi 'developed', maju, sangat perlu dilakukan sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Pendekatan kultural dan pendidikan. Tujuannya agar semakin banyak masyarakat sehari2nya makin mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan sbb:
1.Etika ,sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari.
2.Kejujuran dan integritas
3.Bertanggung jawab.
4.Hormat pada aturan& hukum masyarakat.
5.Hormat pada hak orang atau warga lain.
6.Cinta kepada pekerjaan.
7.Berusaha keras untuk menabung dan investasi
8.mau bekerja keras
9.Tepat waktu.
Untuk hal ini saya sangat setuju dengan Bro Wals. Bukankah negeri ini punya comparative advantage berupa sumberdaya energi, komoditi, mineral (mining)yang melimpah, seperti yang sering diutarakan JK di mana-mana. Namun masalahnya itu menjadi kurang/tidak ada gunanya jika upaya pembentukan sikap/perilaku masyarakat terkait peran pribadi, keluarga serta peran negara masih 'melempem'. Tidak punya arah yang tepat dan benar.
Prinsip2 dasar kehidupan itu dalam bahasa perenungan saya pribadi adalah peran Injil yang 'mengubahkan' spiritualitas dan peran Kultural yang mengubahkan kebudayaan, yakni menyangkut basis moral ethos budaya disiplin seni estetik roh keadilan sosial dan profesional yang excellent. Namun itu semua butuh waktu. Peran orangtua, pembina, pelatih, pendidik, gembala, penilik, penatua, para senior..pemimpin termasuk pemimpin komunitas sangat ditunggu sekarang. Namun disamping melatih, menulis, persuasi, menghimbau, mencegah, mengobati sebagai langkah pembinaan internal keluarga, komunitas, umat... kita juga mesti concern dan prihatin dengan perkembangan media/channel2 TV dan multi media sekarang. Tiap hari anak remaja pemuda generasi per generasi disuguhi program yang "dibolehkan" negara, pebisnis, mediawan dan "sutradara" yang membuat pemirsa "tabula rasa" menjadi pemirsa "tabu boleh dirasa", semakin jauh dari prinsip2 kehidupan. Anti makna Injil damai sejahtera yang mengubahkan, dan anti peran kebudayaan yang mesti mengubahkan ke arah kemajuan, kesejahteraan, kasih dan keadilan.
Cerita2 story anak2 biography remaja pemuda senior pemimpin2 dari berbagai lintas lapangan kehidupan (tidak hanya yang dari latar belakang nyanyi menyanyi saja..) yang memiliki prinsip2 kehidupan harus semakin banyak ditulis, diangkat dan dipertontonkan ke muka publik secara massive lewat media/TV khususnya, tabloid2, koran harian pagi dan sore, kalau perlu di headline2 utama, bukan saja dipojok feature paling belakang dan paling dalam dari halaman koran dan buku2.
Sekaitan fungsi dan tugas kita sekarang, mari kita tunjukkan contoh role model standard operating procedure dan mengecek serta mengingatkannya secara berulang2 kepada lingkungan kita bagaimana prinsip2 kehidupan itu harus dijalani. Apa manfaat keuntungannya dan apa kerugiannya jika tidak diterapkan. Berulang-ulang, tidak apa2 sampai yang mendengar mungkin jadi bosan, kesal. Itulah esensi mendidik atau pendidikan. Pendidikan bukan di lagi terjadi di kelas, tapi kebun2 di halaman2 rumah beranda rumah di kamar.. di jalan dst. Mimbar pendidikan dan pengajaran bukan saja di pulpit gereja atau konsistori gereja waktu PA atau pendalaman firman, tapi pindah ke meja2 kantor.. di lapangan pembibitan palawija, di tanah perikanan, di jalan lalu lintas, di acara gaul, arisan, rekreasi dan ulang tahun. Lapangan hidup sehari2 di luar hari minggu.
Sudah perlu ada bukan saja KAMG tapi Komunitas Air Mata Sutradara Sinetron (KAMSS), Komunitas Air Mata Media (KAMM).., di mana selaku garam dan terang di masing2 komunitas2 kita punya kesempatan untuk menggarami dan menerangi semua jenis2 pembikin program tayangan TV selama 24 jam. Juga pojok2 koran harian majalah tabloid mewarnai dengan prinsip2 dan nilai2 transformatif Kabar Baik penuh sejahtera serta prinisp2 kehidupan itu. Baik tayangan TV koran showbiz entertainment bernilai kristiani, maupun tayangan TV koran media showbiz entertainment infotainment umum.
Salam penetrasi ke media2,
Hans Midas Simanjuntak (HMS):)
Monday, July 30, 2007
Sunday, July 29, 2007
Thinker Kristen Saya Yakin Sedang Bertumbuh Kembang Sekarang.
Thinker Kristen menurut keyakinan saya kini sedang ditumbuh-kembangkan sekarang, terutama sejak 10 tahun terakhir atau tepatnya 5 tahun terakhir. Kita terutama di tanah air, mungkin tak perlu harus 'terus-menerus' selalu berada dalam padang gurun atau 'jaman terowongan kegelapan' menanti 'sejumput pijar terang di ujung terowongan'.
KIta harus yakin dalam pergumulan demi pergumulan spiritualitas kita, bahwa akhir tapal batas 'padang gurun' akan tidak lama lagi dijumpai. Generasi2 muda telah lahir, tumbuh dan kembang! Bak pelari marathon 10k atau 20k sekarang kita dan 'anak cucu', 'sahabat' 'murid' dan 'anak2 bangsa' bukan lagi berjalan pelan tapi perlahan tapi pasti mulai berlari.
Kekristenan realitas yang masih fragmented, hemat saya bisa disiasati ke depan mulai saat ini dengan suatu solusi memulai dari diri kita, baik selaku pemimpin, pemikir atau umat untuk berpikiran untuk permasalahan yang dihadapi di dunia dan society, dengan cara pandang geosentrik, yang utuh (integrated, holistik), ketimbang hanya 'single sectoral sentrik' , 'berbasiskan hanya 'satu cabang disiplin ilmu sentrik' atau bahkan 'berbasiskan hanya etno sentrik. Ini tidak gampang, karena pemikiran modernism telah sangat merasuki banyak orang lewat cara pandang spesialisasi atau super spesialisasi penguasaan di satu bidang keahlian atau satu bidang minat saja. Alasannya karena industrialisasi, fabrikasi, pentingnya memiliki differensiasi ciri khas di tengah lingkungan yang hyper-kompetisi.
Kata kunci modernisme adalah daya saing, keunikan. Jika ini tetap dianut, sulit sekali tercapai lingkungan yang kooperatif, kolaboratif semesta, bekerjasama bersama2 bekerja dan bekerjasama (pemaknaan ulang dari 'gotong royong').
Pemikiran Kristen (Christian mind) era sekarang dan ke depan, seharusnya sudah perlu berubah, dari paradigma menilai keadaan sebagai kompetisi atau hyper-kompetisi kepada paradigma baru 'koopetisi' (koperatif bekerjasama bersama2 bekerja namun sekaligus tetap membangun suasana kompetisi dalam artian 'berlomba' dalam perlombaan yang baik, bagus dan benar).
Dalam global event transformation 66 negara yang terakhir yang saya ikuti April 2006 lalu, Christian Transform World (www.transformworld.com), dan khasanah Christian studies (worldview) telah sepakat untuk menelurkan konsep, teori Kristen atau istilah yang disebut " "Christian governance" dan atau "Marketplace" yang mengintegrasikan secara utuh 'lengket' bidang2 (spheres) theologia/gereja, pendidikan, ekonomi dan politik/pemerintahan, termasuk mencakup hukum2 publik di dalamnya. Keempat atau kelima bidang2 (spheres) ini tidak bisa jalan sendiri2, tapi 'merapat' dalam kerapatan yang kohesif. Kerapatan ini bisa bersifat 'melting pot' (membaur, tapi tidak berarti kacau balau anarkhis'), bisa bersifat 'gado-gado'; yang jelas tidak tersekat-sekat mati oleh pilar2 fanatisme bidang, keahlian, sektor yang tidak perlu.
Jika kita mulai menggunakan serta mengangkat membudayakan terminologi "Marketplace" dan "Christian governance" mulai dari sekarang di antara umat, pemikir dan pemimpin, maka fragmentasi dalam Kekristenan akan teratasi, dan untuk 10-20 tahun ke depan fragmentasi akan hilang. Gerakan2 refleks, dinamik, kelenturan dan totalitas dalam pergerakan pelayanan dari semua umat Tuhan di berbagai lapangan praktis dan praksis kehidupan akan nampak luar biasa.
Salam pelayanan dan pencerahan bersama
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
KIta harus yakin dalam pergumulan demi pergumulan spiritualitas kita, bahwa akhir tapal batas 'padang gurun' akan tidak lama lagi dijumpai. Generasi2 muda telah lahir, tumbuh dan kembang! Bak pelari marathon 10k atau 20k sekarang kita dan 'anak cucu', 'sahabat' 'murid' dan 'anak2 bangsa' bukan lagi berjalan pelan tapi perlahan tapi pasti mulai berlari.
Kekristenan realitas yang masih fragmented, hemat saya bisa disiasati ke depan mulai saat ini dengan suatu solusi memulai dari diri kita, baik selaku pemimpin, pemikir atau umat untuk berpikiran untuk permasalahan yang dihadapi di dunia dan society, dengan cara pandang geosentrik, yang utuh (integrated, holistik), ketimbang hanya 'single sectoral sentrik' , 'berbasiskan hanya 'satu cabang disiplin ilmu sentrik' atau bahkan 'berbasiskan hanya etno sentrik. Ini tidak gampang, karena pemikiran modernism telah sangat merasuki banyak orang lewat cara pandang spesialisasi atau super spesialisasi penguasaan di satu bidang keahlian atau satu bidang minat saja. Alasannya karena industrialisasi, fabrikasi, pentingnya memiliki differensiasi ciri khas di tengah lingkungan yang hyper-kompetisi.
Kata kunci modernisme adalah daya saing, keunikan. Jika ini tetap dianut, sulit sekali tercapai lingkungan yang kooperatif, kolaboratif semesta, bekerjasama bersama2 bekerja dan bekerjasama (pemaknaan ulang dari 'gotong royong').
Pemikiran Kristen (Christian mind) era sekarang dan ke depan, seharusnya sudah perlu berubah, dari paradigma menilai keadaan sebagai kompetisi atau hyper-kompetisi kepada paradigma baru 'koopetisi' (koperatif bekerjasama bersama2 bekerja namun sekaligus tetap membangun suasana kompetisi dalam artian 'berlomba' dalam perlombaan yang baik, bagus dan benar).
Dalam global event transformation 66 negara yang terakhir yang saya ikuti April 2006 lalu, Christian Transform World (www.transformworld.com), dan khasanah Christian studies (worldview) telah sepakat untuk menelurkan konsep, teori Kristen atau istilah yang disebut " "Christian governance" dan atau "Marketplace" yang mengintegrasikan secara utuh 'lengket' bidang2 (spheres) theologia/gereja, pendidikan, ekonomi dan politik/pemerintahan, termasuk mencakup hukum2 publik di dalamnya. Keempat atau kelima bidang2 (spheres) ini tidak bisa jalan sendiri2, tapi 'merapat' dalam kerapatan yang kohesif. Kerapatan ini bisa bersifat 'melting pot' (membaur, tapi tidak berarti kacau balau anarkhis'), bisa bersifat 'gado-gado'; yang jelas tidak tersekat-sekat mati oleh pilar2 fanatisme bidang, keahlian, sektor yang tidak perlu.
Jika kita mulai menggunakan serta mengangkat membudayakan terminologi "Marketplace" dan "Christian governance" mulai dari sekarang di antara umat, pemikir dan pemimpin, maka fragmentasi dalam Kekristenan akan teratasi, dan untuk 10-20 tahun ke depan fragmentasi akan hilang. Gerakan2 refleks, dinamik, kelenturan dan totalitas dalam pergerakan pelayanan dari semua umat Tuhan di berbagai lapangan praktis dan praksis kehidupan akan nampak luar biasa.
Salam pelayanan dan pencerahan bersama
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Solusi PDS yang Terbelah: Keprihatinan Lagi.
Tulisan saya ini menanggapi artikel Bro Victor Silaen di milist DH sudah termuat di Harian Mitra Bangsa edisi Juli 2007 di bawah judul "Solusi PDS yang Terbelah".
Sekali lagi, PDS semakin terpuruk (lebih tepat mungkin juga 'diterpurukkan'). Ratingnya sudah turun jauh. Sebagai salah satu orpol, semkain tidak cukup menarik, tidak cukup atraktif untuk ditelisik dan diperbincangkan. Mereka yang dalam dunia pemasaran bilang, dari segi 'brand', 'brand image' sudah jatuh.
Bagaimana solusi untuk 'brand' yang sudah terpuruk. Perlu lama sekali untuk memperbaikinya. Secara teori, perlu 5-6 tahun untuk recover. Itu pun mungkin harus dengan berbagai upaya yang tak kunjung lelah. Secara taktis pemasaran, rubah merek, rubah brand, agar brand image naik.
Tapi lebih mendasar dari sekadar 'politik merk' atau 'brand politics' adalah menyangkut cara pandang. Apakah masih cocok untuk masa dulu hingga sekarang, menjadikan faktor agama basis agama dan primordialisme sebagai komoditas politik dan kendaraan berpolitik di tanah air? Apakah orang Kristen bahkan bangsa ini sudah siap dalam 'segala sesuatunya' untuk berpolitik melalui cara menjadikan agama dan primordialisme sebagai basisnya?
Coba saja liat PAS di Malaysia bagaimana? Lantas kita meliat PKS di sini. Apakah ada jaminan PKS akan berjaya dan melenggang lebih jauh? Akan mampu melenggang sampai sejauh mana? Kita akan liat sama-sama.
Partai Demokrat Kristen Jerman. Banyak pendeta kristen dan politisi kristen kita menyebut kenapa Jerman bisa, kita ngga bisa. Jerman itu bangsa, negara yang seperti bagaimana? Apakah sudah cukup 'worthieth' keadaan kondisi, budaya dan peradaban Jerman disamakan dengan peradaban kita yang ada di sini. Mimpi niscaya boleh.
Agama, etnik, primordialisme dst boleh boleh saja menurut saya menjadi salah satu tema bahkan 'basis' politik. Namun, agar dapat berlangsung dalam damai dan suasana fairnes dan penuh peradaban, banyak sekali mensyaratkan hal2 yang mesti dipenuhi oleh seluruh pemain yang ingin bergerak dalam kancah politik agama dan primordialisme ini.
Membangun konsensus dan unity menjadi keharusan. Seluruh sistem kepartaian dan penegakkan (compliance) hukum publik harus ada dalam tatanan demokratis. Faktor kesejahteraan juga sangat menentukan, termasuk soal aturan2 pemberlakuan pendirian partai dan transparansi penggalangan dana partai.
Keprihatinan kita dan rasa malu kita juga 'halak kita' dan 'kalangan pendeta' terlalu mudah untuk beradu dan dibuat beradu (dibuat terpuruk), ujung2nya bukan karena ingin menjalankan misi namun nyata sangat nyata karena hausnya untuk syndrom ingin berkuasa dan mencari jalan pintas yang paling pragmatis di tengah galaunya situasi sekarang.
Namun saya masih bersyukur dan masih tetap percaya, bahwa tidak atau belum semua 'halak kita' dan tidak semua 'kalangan pendeta' yang mau terlalu gampang tergoda bernafsu untuk ber-main2 dalam permainan2, cerita (story) yang sama sekali tidak menarik dan tidak indah untuk dikenang.
Lain kali saya yakin 'halak kita' dan 'kalangan pendeta' termasuk yang muda2 tidak mau asal dianggap orang pintar tapi ternyata 'tidak pandai'. Masih mudah untuk 'diojok-ojok' oleh tangan2 atau pihak2 yang tidak keliatan.
Siapa tangan2 atau pihak2 yang tidak keliatan. Dari beberapa pandangan dan parodi2 yang berhasil saya kumpulkan di lapangan, yang tidak keliatan kemungkinannya antara lain adalah dari:
- Kalangan militer yang semakin merasa post power syndrome tidak lagi banyak mendapat 'bagian kekuasaan' paska reformasi;
- Kalangan2 aktivis politisi2 dan mereka yang terjun sekarang namun lahir, tumbuh dan berkembang pada waktu yang lalu di masa2 Perang Dingin (AS-Soviet-RRC) tahun 1940-awal 1950an (habitnya mau gontok2an melulu.., dualisme kepemimpinan melulu.. he he).
- Kalangan mereka yang coba2, 'kutu loncat', bosan di satu bidang pengabdian lalu meloncat, bukan "passing over' atau proses ekstensi pengabdian secara benar, ke bidang politik..., ya kendaraannya adalah parpol seperti PDS ini.
- Kalangan kaum ambisius namun "sewot" dengan keadaan yang berlangsung di tanah air paska reformasi. Namun tidak dibarengi kemampuan, legitimasi dukungan yang luas dan pro kepada masyarakat riel di bawah yang sedang mengalami kesulitan dan penderitaan.
Solusinya yach.. rubah merek atau bangun Kekristenan kembali kepada semangat inti Injil damai sejahtera, bangun Kekristenan secara kultural kebangsaan moral ethos budaya disiplin seni keadilan sosial dan profesional excellent; jangan nafsu2 ikut2an arus dunia jalan pintas cari ketenaran kekuasaan pengaruh keliru bikin-bikin partai..
Jadinya partai2 dibikin partai2 kelas warungan.
Salam keprihatinan sekali lagi,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Sekali lagi, PDS semakin terpuruk (lebih tepat mungkin juga 'diterpurukkan'). Ratingnya sudah turun jauh. Sebagai salah satu orpol, semkain tidak cukup menarik, tidak cukup atraktif untuk ditelisik dan diperbincangkan. Mereka yang dalam dunia pemasaran bilang, dari segi 'brand', 'brand image' sudah jatuh.
Bagaimana solusi untuk 'brand' yang sudah terpuruk. Perlu lama sekali untuk memperbaikinya. Secara teori, perlu 5-6 tahun untuk recover. Itu pun mungkin harus dengan berbagai upaya yang tak kunjung lelah. Secara taktis pemasaran, rubah merek, rubah brand, agar brand image naik.
Tapi lebih mendasar dari sekadar 'politik merk' atau 'brand politics' adalah menyangkut cara pandang. Apakah masih cocok untuk masa dulu hingga sekarang, menjadikan faktor agama basis agama dan primordialisme sebagai komoditas politik dan kendaraan berpolitik di tanah air? Apakah orang Kristen bahkan bangsa ini sudah siap dalam 'segala sesuatunya' untuk berpolitik melalui cara menjadikan agama dan primordialisme sebagai basisnya?
Coba saja liat PAS di Malaysia bagaimana? Lantas kita meliat PKS di sini. Apakah ada jaminan PKS akan berjaya dan melenggang lebih jauh? Akan mampu melenggang sampai sejauh mana? Kita akan liat sama-sama.
Partai Demokrat Kristen Jerman. Banyak pendeta kristen dan politisi kristen kita menyebut kenapa Jerman bisa, kita ngga bisa. Jerman itu bangsa, negara yang seperti bagaimana? Apakah sudah cukup 'worthieth' keadaan kondisi, budaya dan peradaban Jerman disamakan dengan peradaban kita yang ada di sini. Mimpi niscaya boleh.
Agama, etnik, primordialisme dst boleh boleh saja menurut saya menjadi salah satu tema bahkan 'basis' politik. Namun, agar dapat berlangsung dalam damai dan suasana fairnes dan penuh peradaban, banyak sekali mensyaratkan hal2 yang mesti dipenuhi oleh seluruh pemain yang ingin bergerak dalam kancah politik agama dan primordialisme ini.
Membangun konsensus dan unity menjadi keharusan. Seluruh sistem kepartaian dan penegakkan (compliance) hukum publik harus ada dalam tatanan demokratis. Faktor kesejahteraan juga sangat menentukan, termasuk soal aturan2 pemberlakuan pendirian partai dan transparansi penggalangan dana partai.
Keprihatinan kita dan rasa malu kita juga 'halak kita' dan 'kalangan pendeta' terlalu mudah untuk beradu dan dibuat beradu (dibuat terpuruk), ujung2nya bukan karena ingin menjalankan misi namun nyata sangat nyata karena hausnya untuk syndrom ingin berkuasa dan mencari jalan pintas yang paling pragmatis di tengah galaunya situasi sekarang.
Namun saya masih bersyukur dan masih tetap percaya, bahwa tidak atau belum semua 'halak kita' dan tidak semua 'kalangan pendeta' yang mau terlalu gampang tergoda bernafsu untuk ber-main2 dalam permainan2, cerita (story) yang sama sekali tidak menarik dan tidak indah untuk dikenang.
Lain kali saya yakin 'halak kita' dan 'kalangan pendeta' termasuk yang muda2 tidak mau asal dianggap orang pintar tapi ternyata 'tidak pandai'. Masih mudah untuk 'diojok-ojok' oleh tangan2 atau pihak2 yang tidak keliatan.
Siapa tangan2 atau pihak2 yang tidak keliatan. Dari beberapa pandangan dan parodi2 yang berhasil saya kumpulkan di lapangan, yang tidak keliatan kemungkinannya antara lain adalah dari:
- Kalangan militer yang semakin merasa post power syndrome tidak lagi banyak mendapat 'bagian kekuasaan' paska reformasi;
- Kalangan2 aktivis politisi2 dan mereka yang terjun sekarang namun lahir, tumbuh dan berkembang pada waktu yang lalu di masa2 Perang Dingin (AS-Soviet-RRC) tahun 1940-awal 1950an (habitnya mau gontok2an melulu.., dualisme kepemimpinan melulu.. he he).
- Kalangan mereka yang coba2, 'kutu loncat', bosan di satu bidang pengabdian lalu meloncat, bukan "passing over' atau proses ekstensi pengabdian secara benar, ke bidang politik..., ya kendaraannya adalah parpol seperti PDS ini.
- Kalangan kaum ambisius namun "sewot" dengan keadaan yang berlangsung di tanah air paska reformasi. Namun tidak dibarengi kemampuan, legitimasi dukungan yang luas dan pro kepada masyarakat riel di bawah yang sedang mengalami kesulitan dan penderitaan.
Solusinya yach.. rubah merek atau bangun Kekristenan kembali kepada semangat inti Injil damai sejahtera, bangun Kekristenan secara kultural kebangsaan moral ethos budaya disiplin seni keadilan sosial dan profesional excellent; jangan nafsu2 ikut2an arus dunia jalan pintas cari ketenaran kekuasaan pengaruh keliru bikin-bikin partai..
Jadinya partai2 dibikin partai2 kelas warungan.
Salam keprihatinan sekali lagi,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Thursday, July 26, 2007
Soal Penggalangan Dana Bagi Perjuangan (untuk Kebenaran).
Soal galang menggalang dana ini menjadi ekstra penting di kalangan aktivis yang masih punya idealisme perjuangan di berbagai komunitas perjuangan tanah air. Dari dulu hingga sekarang, ini menjadi semacam kendala, apalagi sejak diterpa krisis. Duit atau dana semakin tidak gampang diperoleh.
- Sikon ekonomi yang sulit di dalam negeri, membuat perjuangan2 yang umumnya dilakonkan oleh aktivis pejuang menjadi tidak mudah lancar bergerak, karena 'mobil saja butuh bensin', 'bensin' menjadi berperanan sangat penting.
- Kalaupun dibilang saat ini Indonesia punya pertumbuhan ekonomi cukup tinggi 6.3%, masalahnya ada benarnya yang dibilang ISEI/Burhanuddin Abdullah, tidak ada terjadi trickle down ke bawah ke komunitas2 grass roots yang kebanyakan bergerak dengan idealisme. Yang ada trickle-up effects; hanya beberapa gelintir orang di negeri ini, di Singapura dan negara lain yang punya banyak dana/duit yang berkepentingan dengan negeri ini.
- Kebanyakan beberapa gelintir yang punya banyak dana ini, disinyalir kaum neo-liberalis kapitalis malah 'keder' sangat takut dengan yang namanya eksistensi perjuangan idealis komunitas untuk kebenaran. Mereka 'mau bantu' sepanjang kepentingan bisnis dan politiknya di negeri ini yang kebanyakan "ershad capitalism' kebanyakan tidak didasari dengan moral legal politis etis, bisa didukung berkelanjutan. Bisa tetap eksis sebagai 'raja-raja' dan elit2 despot.
- Tarik menarik tarik ulur negosiasi dengan aktivis perjuangan kebenaran terjadi, mau kami bantu asal lunturkan idealisme perjuangan. Kira2 begitu bahasa terangnya. Kalau mau genderang perang dengan kami, berhadapan dengan kami, sampai kapan pun anda tidak akan kami bantu. Power uang dan idealisme menjadi terkonfrontir sering secara diametral.
- Para aktivis perjuangan, sering tiba pada persimpangan. Mau meneruskan perjuangan idealisme atau berhenti mengurangi daya gebrakan penjebolan ketidak-benaran, ketidak jujuran alias mulai melihat kepentingan "tuntutan hidup", tuntutan hidup keluarga anak isteri, perlu motor mobil, rumah dll dll.
Di sini berkonfrontasi kembali antara kepentingan "panggilan hidup panggilan perjuangan kebenaran" dengan "tuntutan hidup tuntutan perut dan uang kebutuhan sehari2 kebutuhan kesenangan kenyamanan hidup".
- Maka tidak jarang karena sulitnya mendamaikan keduanya (panggilan hidup perjuangan dan tuntutan hidup), para aktivis atau yang dulunya adalah aktivis paling jempolan, memilih jalan realistis paling realistis kata mereka, untuk diam, pasif, tidak berjuang lagi, dan penilaian yang masih committed sebagai "Pengkhianatan" , para pengkhianat2 dari yang paling keji sampai dinilai "aktivis abu-abu", hanya mementingkan perut dan keluarganya sendiri.
- Diperkirakan di negeri ini yang masih committed terhadap aktivitas perjuangan paling banyak 10% saja, sedang sisanya sudah hilang, tertelan pindah habitat ke tangan2 tidak keliatan yang memegang banyak2 uang. Reformasi sedang bergelinding, menampakkan 'kelas menengah' dan 'kelas bawah' dengan persentase sekitar 50-60% semakin celik sadar dan kritis untuk memihak yang mana.
- Perlu sekali memenangkan kaum kelas menengah (menengah atas, menengah bawah), meski pun mereka tidak begitu memiliki dana, bahkan tidak punya dana tabungan untuk masa sekarang), tapi mereka memiliki akses, networking jaringan, keahlian, dst.
- Sementara donor2 di luar negeri juga sarat kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. Ada yang ke agama (label kristenisasi, islamisasi dll), ke pelestarian tradisi, ke ideologi kiri, dan ideologi neoliberal kapitalis. Jika tidak mau merapat, bernaung dalam ideologi mereka, agak tidak jelas, tidak kooperatif, tidak sesuai dengan syarat2 mereka yang semakin ketat di era sekarang, tidak mungkin untuk dibantu dengan dana apalagi dengan jumlah besar.
- Para pebisnis, eksekutif perusahaan, pejabat bumn, instansi dll meliat situasi ini lebih banyak diam, cerdik cari selamat sendiri, pasif. Poltik bisnis etnis, kedaerahan, ideologis, background partai sangat banyak berperan dalam pertimbangan. Walhasil pasif, tidak jelas untuk bertindak ke mana. Lebih baik masuk 'getto' cari aman, daripada nasib sama dengan Neloe, Rochmin Dahuri, dll dll.
Betul strategi penggalangan dana, perlu segera di rencanakan agar tepat, bersih dan halal, tidak 'mengotori' roh perjuangan kebenaran.
Mencari pemberian, bantuan, dana tanpa ada 'apa-apanya' tanpa ada pamrih, memang tidak mudah, tapi masih ada kesempatan untuk bisa diperoleh. Haruslah para aktivis perjuangan optimis.
Harus ada jalan alternatif. Para aktivis perjuangan kebenaran jangan sekadar bikin list untuk meminta donatur. Hanya bikin proposal, menyebarnya, untuk cari-cari dana. Mungkin salah satu usaha, harus punya divisi usaha (wirausaha) dan usaha self employed sendiri. Melakukan wirausaha di berbagai bidang: pertanian, ikan hias, perikanan, tambak, isi ulang, bimbingan les belajar, konsuntan, keagenan, mengajar, advis hukum, dll dll.
Bantuan donasi dana sekarang ini semakin penuh dengan muatan pamrih politik, cari nama popularitas, melanggengkan kekuasaan KKN dan imoral, melanggengkan bisnis imoral, against kebenaran dan kejujuran universil itu sendiri.
Sekaranglah waktunya para aktivis, kalau tidak ingin 'jatuh', tidak boleh berjalan sendiri-sendiri lagi. Jaringan tidak kelihatan ekstra kuat, mesti digalang. Termasuk upaya2 making money bukan saja fund raising yang dilakukan dengan cara bersih dan halal. Tidak mungkin menggalang dana dan kerja cari duit sendiri untuk sebagian besar mendanai perjuangan kebenaran, bila dilakukan dengan cara2 tidak benar dan imoral.
Ingat bagi aktivis perjuangan, tekanan internal endogen untuk mau hidup enak, materialisme, hidup hedonis, kenyamanan imoral (unholy motives), dalih2 menyiapkan dana untuk masa depan anak, isteri, dll sangat besar sangat nyata, sangat ekspresif, harus pandai2 menyiasati dan mencarikan solusinya agar keluarga tetap utuh, tetap harmonis, tetap mesra, tidak diracuni oleh "racun dunia" yang memabukkan, yang bisa membuat lupa akan visi, akan misi, akan idealisme perjuangan kebenaran.
Lebih jauh butuh konvergensi mekar. Aktivis.. perlu membuat prioritas dinamis rencana pemenuhan panggilan hidup perjuangan kebenaran dengan pemenuhan tuntutan hidup (gawang keluarga supaya jangan jebol) secara cerdas, bertanggung jawab dan proporsionil.
Untuk di negeri ini, di kabupaten kita, di kota kita, mana yang lebih penting: kemandirian ajaran (theologi cara pandang), daya atau dana. Semua sama penting. Tapi daya, SDM, saya kira masih tersedia cukup banyak orang2 terutama orang muda yang mau berjuang. Dana... menjadi titik alat sentral yang sangat sangat penting.
Salam perjuangan,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
(yang juga masih terus mencari solusi terbaik bagi strategi penggalangan dana yang halal dan bersih di era kemerdekaan ekspresi seperti sekarang dan ke depan).
- Sikon ekonomi yang sulit di dalam negeri, membuat perjuangan2 yang umumnya dilakonkan oleh aktivis pejuang menjadi tidak mudah lancar bergerak, karena 'mobil saja butuh bensin', 'bensin' menjadi berperanan sangat penting.
- Kalaupun dibilang saat ini Indonesia punya pertumbuhan ekonomi cukup tinggi 6.3%, masalahnya ada benarnya yang dibilang ISEI/Burhanuddin Abdullah, tidak ada terjadi trickle down ke bawah ke komunitas2 grass roots yang kebanyakan bergerak dengan idealisme. Yang ada trickle-up effects; hanya beberapa gelintir orang di negeri ini, di Singapura dan negara lain yang punya banyak dana/duit yang berkepentingan dengan negeri ini.
- Kebanyakan beberapa gelintir yang punya banyak dana ini, disinyalir kaum neo-liberalis kapitalis malah 'keder' sangat takut dengan yang namanya eksistensi perjuangan idealis komunitas untuk kebenaran. Mereka 'mau bantu' sepanjang kepentingan bisnis dan politiknya di negeri ini yang kebanyakan "ershad capitalism' kebanyakan tidak didasari dengan moral legal politis etis, bisa didukung berkelanjutan. Bisa tetap eksis sebagai 'raja-raja' dan elit2 despot.
- Tarik menarik tarik ulur negosiasi dengan aktivis perjuangan kebenaran terjadi, mau kami bantu asal lunturkan idealisme perjuangan. Kira2 begitu bahasa terangnya. Kalau mau genderang perang dengan kami, berhadapan dengan kami, sampai kapan pun anda tidak akan kami bantu. Power uang dan idealisme menjadi terkonfrontir sering secara diametral.
- Para aktivis perjuangan, sering tiba pada persimpangan. Mau meneruskan perjuangan idealisme atau berhenti mengurangi daya gebrakan penjebolan ketidak-benaran, ketidak jujuran alias mulai melihat kepentingan "tuntutan hidup", tuntutan hidup keluarga anak isteri, perlu motor mobil, rumah dll dll.
Di sini berkonfrontasi kembali antara kepentingan "panggilan hidup panggilan perjuangan kebenaran" dengan "tuntutan hidup tuntutan perut dan uang kebutuhan sehari2 kebutuhan kesenangan kenyamanan hidup".
- Maka tidak jarang karena sulitnya mendamaikan keduanya (panggilan hidup perjuangan dan tuntutan hidup), para aktivis atau yang dulunya adalah aktivis paling jempolan, memilih jalan realistis paling realistis kata mereka, untuk diam, pasif, tidak berjuang lagi, dan penilaian yang masih committed sebagai "Pengkhianatan" , para pengkhianat2 dari yang paling keji sampai dinilai "aktivis abu-abu", hanya mementingkan perut dan keluarganya sendiri.
- Diperkirakan di negeri ini yang masih committed terhadap aktivitas perjuangan paling banyak 10% saja, sedang sisanya sudah hilang, tertelan pindah habitat ke tangan2 tidak keliatan yang memegang banyak2 uang. Reformasi sedang bergelinding, menampakkan 'kelas menengah' dan 'kelas bawah' dengan persentase sekitar 50-60% semakin celik sadar dan kritis untuk memihak yang mana.
- Perlu sekali memenangkan kaum kelas menengah (menengah atas, menengah bawah), meski pun mereka tidak begitu memiliki dana, bahkan tidak punya dana tabungan untuk masa sekarang), tapi mereka memiliki akses, networking jaringan, keahlian, dst.
- Sementara donor2 di luar negeri juga sarat kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. Ada yang ke agama (label kristenisasi, islamisasi dll), ke pelestarian tradisi, ke ideologi kiri, dan ideologi neoliberal kapitalis. Jika tidak mau merapat, bernaung dalam ideologi mereka, agak tidak jelas, tidak kooperatif, tidak sesuai dengan syarat2 mereka yang semakin ketat di era sekarang, tidak mungkin untuk dibantu dengan dana apalagi dengan jumlah besar.
- Para pebisnis, eksekutif perusahaan, pejabat bumn, instansi dll meliat situasi ini lebih banyak diam, cerdik cari selamat sendiri, pasif. Poltik bisnis etnis, kedaerahan, ideologis, background partai sangat banyak berperan dalam pertimbangan. Walhasil pasif, tidak jelas untuk bertindak ke mana. Lebih baik masuk 'getto' cari aman, daripada nasib sama dengan Neloe, Rochmin Dahuri, dll dll.
Betul strategi penggalangan dana, perlu segera di rencanakan agar tepat, bersih dan halal, tidak 'mengotori' roh perjuangan kebenaran.
Mencari pemberian, bantuan, dana tanpa ada 'apa-apanya' tanpa ada pamrih, memang tidak mudah, tapi masih ada kesempatan untuk bisa diperoleh. Haruslah para aktivis perjuangan optimis.
Harus ada jalan alternatif. Para aktivis perjuangan kebenaran jangan sekadar bikin list untuk meminta donatur. Hanya bikin proposal, menyebarnya, untuk cari-cari dana. Mungkin salah satu usaha, harus punya divisi usaha (wirausaha) dan usaha self employed sendiri. Melakukan wirausaha di berbagai bidang: pertanian, ikan hias, perikanan, tambak, isi ulang, bimbingan les belajar, konsuntan, keagenan, mengajar, advis hukum, dll dll.
Bantuan donasi dana sekarang ini semakin penuh dengan muatan pamrih politik, cari nama popularitas, melanggengkan kekuasaan KKN dan imoral, melanggengkan bisnis imoral, against kebenaran dan kejujuran universil itu sendiri.
Sekaranglah waktunya para aktivis, kalau tidak ingin 'jatuh', tidak boleh berjalan sendiri-sendiri lagi. Jaringan tidak kelihatan ekstra kuat, mesti digalang. Termasuk upaya2 making money bukan saja fund raising yang dilakukan dengan cara bersih dan halal. Tidak mungkin menggalang dana dan kerja cari duit sendiri untuk sebagian besar mendanai perjuangan kebenaran, bila dilakukan dengan cara2 tidak benar dan imoral.
Ingat bagi aktivis perjuangan, tekanan internal endogen untuk mau hidup enak, materialisme, hidup hedonis, kenyamanan imoral (unholy motives), dalih2 menyiapkan dana untuk masa depan anak, isteri, dll sangat besar sangat nyata, sangat ekspresif, harus pandai2 menyiasati dan mencarikan solusinya agar keluarga tetap utuh, tetap harmonis, tetap mesra, tidak diracuni oleh "racun dunia" yang memabukkan, yang bisa membuat lupa akan visi, akan misi, akan idealisme perjuangan kebenaran.
Lebih jauh butuh konvergensi mekar. Aktivis.. perlu membuat prioritas dinamis rencana pemenuhan panggilan hidup perjuangan kebenaran dengan pemenuhan tuntutan hidup (gawang keluarga supaya jangan jebol) secara cerdas, bertanggung jawab dan proporsionil.
Untuk di negeri ini, di kabupaten kita, di kota kita, mana yang lebih penting: kemandirian ajaran (theologi cara pandang), daya atau dana. Semua sama penting. Tapi daya, SDM, saya kira masih tersedia cukup banyak orang2 terutama orang muda yang mau berjuang. Dana... menjadi titik alat sentral yang sangat sangat penting.
Salam perjuangan,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
(yang juga masih terus mencari solusi terbaik bagi strategi penggalangan dana yang halal dan bersih di era kemerdekaan ekspresi seperti sekarang dan ke depan).
Monday, July 23, 2007
AJP Abdul Kalam: Sosok Pemimpin Perubahan, Pemim-pin Inspirasional India (Tidak Jauh2 Background Konteks Kulturnya dengan Kita !)
Dari informasi Transforma Sarana Media edisi Juli 2007/a4.
Mungkin AJP Abdul Kalam pantas digelari pemimpin perubahan untuk India, negeri berpenduduk 1,2 milyar di era sekarang. Pemimpin inspirasional yang layak dicontoh oleh kita. Dekat2 bayangan kepemimpinan pelayanan (servant leadership) dalam konteks umum barangkali ya. Bukan apa2. Karena kultur dan konteks peradaban beliau ini nggak jauh-jauh 'banget' keadaan-nya sama kultur kita.
Harian Kompas tgl. 24/7 Hal. 16 menurunkan tulisan rekan Sdri. Fransisca R Ninik tentang sosok pemimpin warga biasa India ini, APJ Abdul Kalam. Sangat menarik storynya. Setelah beberapa bulan lalu kita mahfum tentang model dan karya pengabdian seorang pribadi: Muhammad Yunus dari Grameen Bank Bangladesh, penerima Nobel Perdamaian 2006 lalu -, kini kita sadar lagi bahwa "di sekitar kita, yang mirip2 dengan kultur kita' ada satu nama yang diangkat ke permukaan, one of 100 prominent persons from India" dari India; diangkat berkat pembuktian karya pengabdiannya yang telah berlangsung lama hingga akhirnya dia diangkat jadi Presiden dan akan segera lengser 2007 ini. (Lebih lengkap selebihnya baca Kompas 24/7 hal 16 atau ’seaching’ internet freak ”tulis AJP Abdul Kalam).
Kita paham konteks masyarakat negara seperti India, Bangladesh, etc ngga jauh2 beda dengan kultur kita. Beda tipis lah. Makanya saya pribadi terhenti sejenak membaca merenungkan ketokohan pemimpin transformasional, profesional karismatis warga biasa, namun jadi simbol pemersatu/perekat dan ada natur rendah hati seperti Abd Kalam. Sejalan lah kira2 dengan parameter mutu ’Good to Great’ seperti dibilang Jim Collins; seakan muncul inkarnatif dalam diri Abd. Kalam. Cukup lama juga sebenarnya saya telah mendengar tentang proses metamorfosis kepemimpinan yang sedang terjadi di India; proses kebangkitan 'pelan tapi pasti' yang kini sedang terjadi di India, terutama dalam 10-20 terakhir. Teringat lagi jadinya dengan ’Silk Road History’ yang sempat saya baca di teks sejarah Arnold Toynbee. Saya menelusuri dari beberapa pengamat, bukan saja di bidang theologia dan transformasi spiritualitas (Bihar) India sudah 'makin hot' menggeliat, namun juga rentetan kemajuan2 riel berhasil dicapai di bidang IT/software, knowledge management, desain dan produk computer, pendidikan higher education, pangan, pertanian, litbang pertahanan, teknologi aeroneutika, chemical engineering dan tak ketinggalan bidang microfinance/keuangan mikro dan pembinaan UMKM (ingat CGAP rating) dan.. industri cenema/film (Bollywood). George Soros masih meragukannya, namun saya tidak. Cepat atau lambat, India akan juga bangkit. Tak bedanya dengan Brazil pada masa sekarang, Korsel, Cina dan sangat2 diharapkan: Indonesia, terlebih kalau saya kabupaten2 yang ada di tanah air 'pelan tapi pasti' harus bangkit!
Balik lagi India, termausk di bidang olahraga cukup diperhitungkan, di cabang hockey, tennis perseorangan, catur mereka pernah/sering mendominasi hingga jadi jawara dunia. Hanya mungkin di olahraga supra-populer seperti sepakbola, mereka memang tidak terlalu bagus. Belum sekelas dengan kesebelasan Jepang, Korsel, Arab Saudi, Irak, Cina atau Afrika. Apalagi dengan Eropa dan Amerika Latin. Yah, barangkali satu tingkat peringkatnya dibawah Indonesia. Namun overall, pencapaian itu sangat luar biasa. Tentu itu pasti bukan kerja sesaat semalam manakala ’ada peluang ada akal’ bak main2 'petak umpet' politikus domestik kita yang acapkali despotis-oportunis yang sering ‘kurang/tidak menyajikan cerita2 episode yang menarik dan manis untuk diliat’. Bagi Abd Kalam dan India, tentu perjuangan visioner itu merupakan proses pencarian, jatuh bangun dan a long journey.
Saya pernah menulis tentang kualitas kepemimpinan. Kepemimpinan perubahan, leadership of change. Ada sekitar 28 kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan pada masa sekarang dan ke depan. (Klik http://hansmidassmjntk.blogspot.com/archieve/april 2007). Ternyata harus diakui cukup banyak dari ke-28 kualitas yang terpapar, dipenuhi kualitas2nya oleh Abd. Kalam. Segi mindset, knowledge, skills, profesionalisme dia punya. Tapi lebih lagi kekuatan pijakan kesaksian moral dia miliki (dia selibat/tidak menikah, tidak minum alkohol, pemakan sayuran, puluhan lembaga support moral menghargainya), etos hidup/kerja budaya disiplin diri, naluri keadilan sosial dan ke’seniman’an (dia pemain gitar veena loh.., musikus, penulis puisi pengagum Milton, Walt Whitman dan R. Tagore). Luar biasa!
Yang menarik APJ Abdul Kalam adalah seorang Moslem yang minoritas di India, tak ada tanda2 dia 'darah biru', kaum elitis. Lebih menonjol dia sebagai pribadi populis, egaliter. Jauh dari kesan Moslem fanatik buta. Lebih dekat kepada ciri Moslem demokratis pluralis minoritas. Latar pendidikannya Barat - Kristiani - (a.l. Schwartz High School, Sekolah Tinggi St Joseph College), dia 'tukang insinyur teknik dari ’ITB’nya India di Madras. Kalam jadi Presiden di tengah2 1,2 milyar rakyat India yang lk.80% beragama Hindu. Mindset Kalam untuk urusan ’kebhinekaan’ luar biasa; padahal seorang tukang insinyur teknik dengan background berwarna (colorful), bhineka, diverse. Seorang pemimpin multi-talent, multi-skills. Hidup populis sederhana, banyaknya hadir dan dekat dengan ’orang susah’, mendermakan 10 bulan pertama dari pendapatannya sebagai Presiden untuk sebuah organisasi kemanusiaan nirlaba. Itu jadi ’good habits’nya sejak dulu. Wow!
Kita tahu lah, semua manusia pasti punya kelemahan atau kekurangan, termasuk Kalam juga saya yakin punya. Karena dia manusia. Hanya Tuhan yang Sempurna, Maha Sempurna. Tanpa batas. Kalau sengaja dicari, pasti kita dapat kelemahannya Kalam. Secara kasat mata, sebenarnya kita bisa tau apa keterbatasannya Kalam. Tapi, disini luar biasanya Kalam. Cara pandang penilaian orang (labelisasi) yang mungkin menganggap dia ’lemah’ (ya minoritas karena dia Islam, background dari teknik insinyur yang dinilai biasanya kurang mengerti sosial-lingkungan, agak kaku dalam pandangan dan sikap, dll), nyatanya dia berhasil mengubah semua ’kelemahan’ itu menjadi faktor kekuatan. So, dia bukan saja seorang populis, technical researcher insinyur yang speak with data soal kebenaran fakta, sangat sadar lekat tentang eksistensi budaya India dengan 1,2 milyar penduduk, he is also a creative person.
Proses, hasil dan dampaknya jelas. India yang dulu sangat terasa kurang diperhitungkan, kini semua orang di dunia tau, apapun komentarnya – kini bersama Tiongkok (PRC, Chungkuo) menjadi calon-calon negara maju di planet ini.
Nah, untuk kita di Indonesia bagaimana ya? Masihkah kita atau anda terutama yang merasa jadi orang2 minoritas, seperti warga Kristen/Katolik dan non-Islam lainnya, warga bukan berasal dari suku mayoritas (Bali, Batak, Dayak, Melayu, Bali, Mandar, Mori dan non-Jawa lainya), atau bukan warga etnis mayoritas di negeri ini (keturunan Tionghoa, Arab , India , Melanesia ) - mungkinkah masih ada ’rasa malu yang keliru, yang tidak pada tempatnya (RMK), rasa takut, jeri, minder, sikap pasif keliru (pasif nyaman tapi berada dalam ’ghetto’ teralienasi – keterasingan dari dunia sekitar). Oleh karena masih ada rasa ’tidak pede’ sebagai kaum minoritas, rasa bayang2 akan mengalami trauma seram yang tidak pernah ’diputus’ akibat bayang2 tirani mayoritas masa lalu. Padahal nyatanya sebenarnya bayang2 itu ternyata tidak seseram kenyataannya. Seperti Kalam yang bukan siapa2 bisa, seyogianya kita generasi kita generasi sesudah kita bisa kan..
’Abdul Kalam Abdul Kalam’ yang lain hemat saya perlu lahir 'segera' di Indonesia. Bukan hanya untuk nempati pos jadi presiden, gubernur DKI atau pos Kabinet/Menteri nanti 2009, tapi juga menempati pos2 strategis lainnya ke depan: jadi bupati2 dan kepala2 desa di seantero tanah air. Bukan hanya di domain politik pemerintahan eksekutif, tapi juga ’Kalam-Kalam’ lain lahir di dunia pendidikan, litbang, iptek, legislatif DPR/DPRD I, II; di dewan2 regulator usaha, dunia hukum, LSM/LSM, BUMN2, UMKM/koperasi dan Perusahaan swasta besar. Satu lagi, dunia moral, agama, spiritualitas dan theologi juga keharusan sejatinya, begini ini bentengnya.
Jujur saja, kita sudah sangat merindukan ’Abd Kalam-Abd Kalam’ Indonesia, termasuk yang muda2 yang multi-skills, multi-talent leader lahir di negeri kita. Tidak hanya bisanya di satu bidang, bidang ekonomi saja. Tapi juga bisa memadu-padankan kekuatan reputasi moral dan spiritualitas misalnya dengan knowledge skills ekonomi, sosial, ke’seniman’an, naluri keadilan sosial, dst. Filsuf Plato pernah bilang, seorang yang bijaksana tidak cukup hanya punya satu cabang disiplin ilmu atau bidang minat. Paling tidak perlu 2-3 cabang ilmu/minat. Nah, ’Plato’ masa kini akan bilang, bahwa era sekarang dan ke depan, adalah era leadership dimana untuk seorang pemimpin dibutuhkan penguasaan cabang ilmu integrated, era transformasi dalam keutuhan (holistik). Itu semua untuk memimpin
Andai saja di DKI Jakarta (yang sedang pilkada dan sarat golput lk. 50-65%), Bekasi, Tangerang, Tobasa, Humbang Hasundutan, Rura Silindung, Sukoharjo, Bantul, Ponorogo, Sidoarjo, Jember, Tulang Bawang Lampung, Tembilahan Riau, Toraja Selayar Sulsel, Mamasa Sulbar, Morewali Toili Sulteng, Keerom Papua, Lease Maluku, Landak Kalbar, Karangasem Bali, Belu Manggarai Alor Waikabubak NTT, Singkil Blangkejeren Aceh, Mentawai Sumbar, dll dll punya kualitas2 leadership seperti Abd Kalam, wah betul2 menjadi suatu kemewahan dan anugerah kasih karunia bagi kita. Atau, paling tidak mendekati..’vektor’nya menunjuk ke kualitas seperti itu..... Maka tidak mustahil potret peradaban di kabupaten kita, desa kita, kota kita, negeri kita akan dipimpin oleh para pemimpin perubahan dalam satu agregat peradaban yang semakin tumbuh dan berkembang menuju kualitas hidup yang lebih baik, lebih gembira, makmur dan sejahtera.
Mungkin perlu juga sometime kita bisa jumpai beliau ke sana, atau bagaimana kita undang saja Abd Kalam ke mari ya untuk berbagi dengan kita.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Mungkin AJP Abdul Kalam pantas digelari pemimpin perubahan untuk India, negeri berpenduduk 1,2 milyar di era sekarang. Pemimpin inspirasional yang layak dicontoh oleh kita. Dekat2 bayangan kepemimpinan pelayanan (servant leadership) dalam konteks umum barangkali ya. Bukan apa2. Karena kultur dan konteks peradaban beliau ini nggak jauh-jauh 'banget' keadaan-nya sama kultur kita.
Harian Kompas tgl. 24/7 Hal. 16 menurunkan tulisan rekan Sdri. Fransisca R Ninik tentang sosok pemimpin warga biasa India ini, APJ Abdul Kalam. Sangat menarik storynya. Setelah beberapa bulan lalu kita mahfum tentang model dan karya pengabdian seorang pribadi: Muhammad Yunus dari Grameen Bank Bangladesh, penerima Nobel Perdamaian 2006 lalu -, kini kita sadar lagi bahwa "di sekitar kita, yang mirip2 dengan kultur kita' ada satu nama yang diangkat ke permukaan, one of 100 prominent persons from India" dari India; diangkat berkat pembuktian karya pengabdiannya yang telah berlangsung lama hingga akhirnya dia diangkat jadi Presiden dan akan segera lengser 2007 ini. (Lebih lengkap selebihnya baca Kompas 24/7 hal 16 atau ’seaching’ internet freak ”tulis AJP Abdul Kalam).
Kita paham konteks masyarakat negara seperti India, Bangladesh, etc ngga jauh2 beda dengan kultur kita. Beda tipis lah. Makanya saya pribadi terhenti sejenak membaca merenungkan ketokohan pemimpin transformasional, profesional karismatis warga biasa, namun jadi simbol pemersatu/perekat dan ada natur rendah hati seperti Abd Kalam. Sejalan lah kira2 dengan parameter mutu ’Good to Great’ seperti dibilang Jim Collins; seakan muncul inkarnatif dalam diri Abd. Kalam. Cukup lama juga sebenarnya saya telah mendengar tentang proses metamorfosis kepemimpinan yang sedang terjadi di India; proses kebangkitan 'pelan tapi pasti' yang kini sedang terjadi di India, terutama dalam 10-20 terakhir. Teringat lagi jadinya dengan ’Silk Road History’ yang sempat saya baca di teks sejarah Arnold Toynbee. Saya menelusuri dari beberapa pengamat, bukan saja di bidang theologia dan transformasi spiritualitas (Bihar) India sudah 'makin hot' menggeliat, namun juga rentetan kemajuan2 riel berhasil dicapai di bidang IT/software, knowledge management, desain dan produk computer, pendidikan higher education, pangan, pertanian, litbang pertahanan, teknologi aeroneutika, chemical engineering dan tak ketinggalan bidang microfinance/keuangan mikro dan pembinaan UMKM (ingat CGAP rating) dan.. industri cenema/film (Bollywood). George Soros masih meragukannya, namun saya tidak. Cepat atau lambat, India akan juga bangkit. Tak bedanya dengan Brazil pada masa sekarang, Korsel, Cina dan sangat2 diharapkan: Indonesia, terlebih kalau saya kabupaten2 yang ada di tanah air 'pelan tapi pasti' harus bangkit!
Balik lagi India, termausk di bidang olahraga cukup diperhitungkan, di cabang hockey, tennis perseorangan, catur mereka pernah/sering mendominasi hingga jadi jawara dunia. Hanya mungkin di olahraga supra-populer seperti sepakbola, mereka memang tidak terlalu bagus. Belum sekelas dengan kesebelasan Jepang, Korsel, Arab Saudi, Irak, Cina atau Afrika. Apalagi dengan Eropa dan Amerika Latin. Yah, barangkali satu tingkat peringkatnya dibawah Indonesia. Namun overall, pencapaian itu sangat luar biasa. Tentu itu pasti bukan kerja sesaat semalam manakala ’ada peluang ada akal’ bak main2 'petak umpet' politikus domestik kita yang acapkali despotis-oportunis yang sering ‘kurang/tidak menyajikan cerita2 episode yang menarik dan manis untuk diliat’. Bagi Abd Kalam dan India, tentu perjuangan visioner itu merupakan proses pencarian, jatuh bangun dan a long journey.
Saya pernah menulis tentang kualitas kepemimpinan. Kepemimpinan perubahan, leadership of change. Ada sekitar 28 kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan pada masa sekarang dan ke depan. (Klik http://hansmidassmjntk.blogspot.com/archieve/april 2007). Ternyata harus diakui cukup banyak dari ke-28 kualitas yang terpapar, dipenuhi kualitas2nya oleh Abd. Kalam. Segi mindset, knowledge, skills, profesionalisme dia punya. Tapi lebih lagi kekuatan pijakan kesaksian moral dia miliki (dia selibat/tidak menikah, tidak minum alkohol, pemakan sayuran, puluhan lembaga support moral menghargainya), etos hidup/kerja budaya disiplin diri, naluri keadilan sosial dan ke’seniman’an (dia pemain gitar veena loh.., musikus, penulis puisi pengagum Milton, Walt Whitman dan R. Tagore). Luar biasa!
Yang menarik APJ Abdul Kalam adalah seorang Moslem yang minoritas di India, tak ada tanda2 dia 'darah biru', kaum elitis. Lebih menonjol dia sebagai pribadi populis, egaliter. Jauh dari kesan Moslem fanatik buta. Lebih dekat kepada ciri Moslem demokratis pluralis minoritas. Latar pendidikannya Barat - Kristiani - (a.l. Schwartz High School, Sekolah Tinggi St Joseph College), dia 'tukang insinyur teknik dari ’ITB’nya India di Madras. Kalam jadi Presiden di tengah2 1,2 milyar rakyat India yang lk.80% beragama Hindu. Mindset Kalam untuk urusan ’kebhinekaan’ luar biasa; padahal seorang tukang insinyur teknik dengan background berwarna (colorful), bhineka, diverse. Seorang pemimpin multi-talent, multi-skills. Hidup populis sederhana, banyaknya hadir dan dekat dengan ’orang susah’, mendermakan 10 bulan pertama dari pendapatannya sebagai Presiden untuk sebuah organisasi kemanusiaan nirlaba. Itu jadi ’good habits’nya sejak dulu. Wow!
Kita tahu lah, semua manusia pasti punya kelemahan atau kekurangan, termasuk Kalam juga saya yakin punya. Karena dia manusia. Hanya Tuhan yang Sempurna, Maha Sempurna. Tanpa batas. Kalau sengaja dicari, pasti kita dapat kelemahannya Kalam. Secara kasat mata, sebenarnya kita bisa tau apa keterbatasannya Kalam. Tapi, disini luar biasanya Kalam. Cara pandang penilaian orang (labelisasi) yang mungkin menganggap dia ’lemah’ (ya minoritas karena dia Islam, background dari teknik insinyur yang dinilai biasanya kurang mengerti sosial-lingkungan, agak kaku dalam pandangan dan sikap, dll), nyatanya dia berhasil mengubah semua ’kelemahan’ itu menjadi faktor kekuatan. So, dia bukan saja seorang populis, technical researcher insinyur yang speak with data soal kebenaran fakta, sangat sadar lekat tentang eksistensi budaya India dengan 1,2 milyar penduduk, he is also a creative person.
Proses, hasil dan dampaknya jelas. India yang dulu sangat terasa kurang diperhitungkan, kini semua orang di dunia tau, apapun komentarnya – kini bersama Tiongkok (PRC, Chungkuo) menjadi calon-calon negara maju di planet ini.
Nah, untuk kita di Indonesia bagaimana ya? Masihkah kita atau anda terutama yang merasa jadi orang2 minoritas, seperti warga Kristen/Katolik dan non-Islam lainnya, warga bukan berasal dari suku mayoritas (Bali, Batak, Dayak, Melayu, Bali, Mandar, Mori dan non-Jawa lainya), atau bukan warga etnis mayoritas di negeri ini (keturunan Tionghoa, Arab , India , Melanesia ) - mungkinkah masih ada ’rasa malu yang keliru, yang tidak pada tempatnya (RMK), rasa takut, jeri, minder, sikap pasif keliru (pasif nyaman tapi berada dalam ’ghetto’ teralienasi – keterasingan dari dunia sekitar). Oleh karena masih ada rasa ’tidak pede’ sebagai kaum minoritas, rasa bayang2 akan mengalami trauma seram yang tidak pernah ’diputus’ akibat bayang2 tirani mayoritas masa lalu. Padahal nyatanya sebenarnya bayang2 itu ternyata tidak seseram kenyataannya. Seperti Kalam yang bukan siapa2 bisa, seyogianya kita generasi kita generasi sesudah kita bisa kan..
’Abdul Kalam Abdul Kalam’ yang lain hemat saya perlu lahir 'segera' di Indonesia. Bukan hanya untuk nempati pos jadi presiden, gubernur DKI atau pos Kabinet/Menteri nanti 2009, tapi juga menempati pos2 strategis lainnya ke depan: jadi bupati2 dan kepala2 desa di seantero tanah air. Bukan hanya di domain politik pemerintahan eksekutif, tapi juga ’Kalam-Kalam’ lain lahir di dunia pendidikan, litbang, iptek, legislatif DPR/DPRD I, II; di dewan2 regulator usaha, dunia hukum, LSM/LSM, BUMN2, UMKM/koperasi dan Perusahaan swasta besar. Satu lagi, dunia moral, agama, spiritualitas dan theologi juga keharusan sejatinya, begini ini bentengnya.
Jujur saja, kita sudah sangat merindukan ’Abd Kalam-Abd Kalam’ Indonesia, termasuk yang muda2 yang multi-skills, multi-talent leader lahir di negeri kita. Tidak hanya bisanya di satu bidang, bidang ekonomi saja. Tapi juga bisa memadu-padankan kekuatan reputasi moral dan spiritualitas misalnya dengan knowledge skills ekonomi, sosial, ke’seniman’an, naluri keadilan sosial, dst. Filsuf Plato pernah bilang, seorang yang bijaksana tidak cukup hanya punya satu cabang disiplin ilmu atau bidang minat. Paling tidak perlu 2-3 cabang ilmu/minat. Nah, ’Plato’ masa kini akan bilang, bahwa era sekarang dan ke depan, adalah era leadership dimana untuk seorang pemimpin dibutuhkan penguasaan cabang ilmu integrated, era transformasi dalam keutuhan (holistik). Itu semua untuk memimpin
Andai saja di DKI Jakarta (yang sedang pilkada dan sarat golput lk. 50-65%), Bekasi, Tangerang, Tobasa, Humbang Hasundutan, Rura Silindung, Sukoharjo, Bantul, Ponorogo, Sidoarjo, Jember, Tulang Bawang Lampung, Tembilahan Riau, Toraja Selayar Sulsel, Mamasa Sulbar, Morewali Toili Sulteng, Keerom Papua, Lease Maluku, Landak Kalbar, Karangasem Bali, Belu Manggarai Alor Waikabubak NTT, Singkil Blangkejeren Aceh, Mentawai Sumbar, dll dll punya kualitas2 leadership seperti Abd Kalam, wah betul2 menjadi suatu kemewahan dan anugerah kasih karunia bagi kita. Atau, paling tidak mendekati..’vektor’nya menunjuk ke kualitas seperti itu..... Maka tidak mustahil potret peradaban di kabupaten kita, desa kita, kota kita, negeri kita akan dipimpin oleh para pemimpin perubahan dalam satu agregat peradaban yang semakin tumbuh dan berkembang menuju kualitas hidup yang lebih baik, lebih gembira, makmur dan sejahtera.
Mungkin perlu juga sometime kita bisa jumpai beliau ke sana, atau bagaimana kita undang saja Abd Kalam ke mari ya untuk berbagi dengan kita.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Thursday, July 5, 2007
Bangsa Ini Telah Kehilangan Rasa Malu (yang Benar, yang Bermoral) & Alternatif Solusinya.
Tulisan ini saya buat menanggapai komentar Bro. Hengky dari komunitas milis "Sudara", terkait wawancara Wartawan Fajar dengan Dr Jalalludin Rakhmat, ahli tasawuf perihal topik "Bangsa Ini Kehilangan Rasa Malu".
Menurut penelusuran saya selama ini, sebenarnya bangsa kita ini masih belum kehilangan rasa malu. Masih koq punya rasa malu. Namun sayangnya, rasa malu yang dimiliki bangsa ini kini adalah Rasa Malu yang keliru, yang salah, tidak benar, tak Bermoral. Rasa malu yang tidak sesuai yang 'against' kebenaran universil. 'Against' moral kebenaran yang berlaku universil.
Rasa Malu yang Keliru (RMK)atau Tak Bermoral (RMTB)
Rasa Malu yang Keliru (RMK) atau Rasa Malu Tak Bermoral (RMTB) yang dimiliki bangsa ini kini bukan hanya dianut mayoritas oleh para generasi muda, tapi juga kini turut dianut generasi lebih senior. Yaitu rasa malu yang dipunyai jika dilihat orang atau keluarga sendiri tidak kaya materi (uang). Rasa Malu jika tidak punya kedudukan apa2 (di perusahaan, di pemerintahan/politik, di bidang agama dan di tengah keluarga). Rasa Malu jika dianggap tidak beragama, tidak relijius. Rasa Malu jika dianggap orang kurang/tidak terpelajar (intelek), tidak terkenal (ngetop). Rasa Malu karena berasal dari kalangan minoritas (bukan suku/golongan/agama mayoritas), Rasa Malu akibat gender pula; karena ada kekurangan kelemahan bawaan sejak lahir(cacat fisik, tubuh pendek, wajah kurang cantik/ganteng, dll),Rasa Malu jika dianggap orang tidak ikut perkembangan/trend jaman, tidak nge-pop, menganut pop-culture bak artis atau selebritis. Rasa Malu bila dibilang katro, ndeso, culun (istilah Tukul).
Sayangnya Mengatasi RMK/RMTB dengan Respons Cara2 yang juga Keliru, Tak Bermoral !
Jenis atau 'spesies' Rasa Malu Keliru (RMK) atau Rasa Malu Tak Bermoral (RMTB) seperti ini menyebabkan banyak orang dalam bangsa ini, - untuk mengatasi Rasa Malunya yang Keliru dan Tak Bermoral itu - PARAHNYA melakukan upaya menghalalkan segala cara -menghalalkan segala bentuk2 perilaku melalui CARA yang Keliru dan Tidak Bermoral pula - untuk gimana bisa jadi kaya, punya kedudukan (perusahaan, politis), bisa dianggap orang cukup relijius, dianggap terpelajar (intelek), bisa ngetop, dianggap termasuk kalangan mayoritas, serta mengikuti trend nge pop bak artis. Demi ini semua, benteng moral dikorbankan; di 'sepak keluar', dihancurkan !!
Akibat Cara Mengatasi Keliru RMK/RMTB di tengah Masyarakat
Akibat dari respons dan cara2 mengatasi yang keliru terhadap RMK/RMTB ini, adalah sangat banyaknya bidang2 kehidupan di tengah bangsa ini yang sudah penuh dengan berbagai 'tindak sikap perilaku2 keliru' pula(istilah Suka Harjana 'kelirumologi'), potret masyarakat tidak wajar, naive/tolol, sulit diterima oleh akal sehat (irrasional) dan tentu sikap perilaku2 tidak bermoral.
Di bidang Politik dan pemerintahan dijalankan tanpa moral, jadinya birokrasi mandeg tidak jalan "bottle neck", dibuat 'sengaja' bertele-tele, berlaku paradigma "kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah.. agar dapat keuntungan atau 'proyek sabetan', kongkalikong dengan pengusaha, korupsi (KKN) merajalela, elit tidak bersatu - persaingan tidak sehat (busuk), kecurangan Pemilu/Pilkada, terjadi pembusukan2 di mana2; tidak punya pemihakan pada rakyat banyak menderita, tapi hanya memihak pada diri sendiri, keluarga inti dan golongan.
Pendidikan tanpa moral, jadinya: kecurangan ujian nasional UN, jual beli ijazah gelar, bullying, sistim dongkrak nilai, plagiatisme, sex in campus, dll.
Bisnis tanpa moral, jadinya: korupsi, bribery suap, penipuan2, cheating, permainan2 money game ala BMA, Drezzel, dll; praktek kolusi, praktek "perusahaan di dalam perusahaan", permainan 'lihai2an' siluman, manipulasi di bidang perpajakan, pencurian, pencucian uang, penindasan karyawan/pekerja, pembalakan hutan liar, ileggal logging, traficing, penyelundupan dimana2.
Hubungan personal dan relatives (kekeluargaan) tanpa moral, jadinya: nepotisme dan perselingkuhan2 amoral, nikah 'siri-sirian', perceraian, free sex merajalela, "win-win relationship" dalam hubungan personal dan kerja yang amoral, tidak sehat.
Hukum tanpa moral, jadinya: putusan yang berat sebelah, tidak adil, tebang pilih, tidak memenuhi rasa keadilan hati nurani.
Tradisi (pemimpin) dan praktek budaya tanpa moral, jadinya: belum adanya atau tiadanya fakta tradisi (pemimpin) & praktek budaya yang membanggakan generasi muda, tradisi sejarah kepemimpinan dan budaya yang dibangun serius dan faktual guna mampu membangun role model, suri keteladanan dari para nenek moyang, leluhur, pahlawan, founding fathers kemudian elit2 pemimpin di segala lini, khususnya dalam sokoguru nilai2 moral dan 'adiluhung' kepada generasi sesudahnya. Yang disosialisasikan tradisi sejarah perang, intrik2, kebusukan2, perpecahan2 pengkhianatan pemimpin, kehancuran2, tindakan2 barbar dan kekerasan berikut cara2 primitif lainnya untuk mengatasi rasa malu dan menyelesaikan berbagai bentuk perselisihan serta konflik. Dasar alasannya bukan akal sehat dan moral kebenaran universil untuk melakukan evaluasi sebagai cermin introspeksi diri, melainkan demi 'harga diri (gengsi)', rasa kesukuan, kedaerahan, rasa nasionalisme, rasa keberagamaan, almamaterisme dan cermin2 rasa primordialisme lainnya yang keliru, namun ingin dijadikan standar ukuran moral kebenaran. Akibatnya yang terjadi tindakan kekerasan dan violenisme, saling mematikan, syndrom kepiting - saling membalas dan menjatuhkan -, 'loose-loose solutions', taktik bumi hangus penuh angkara murka dan prahara. Hasilnya bukan membuahkan semangat perdamaian dan kesentosaan, tapi warisan dendam dan iri turun-temurun yang bisa berakibat kepada resiliensi budaya dan kepunahan peradaban.
Bukankah masih banyak perkara tindakan di masa lalu, yang sampai kini masih 'dibiarkan' tanpa ada solusi penuntasan, terus dipeti-eskan, belum diselesaikan secara moral, kebijakan, sosial dan kebangsaan.
Beragama (Bergereja) tanpa moral, jadinya: kesalehan palsu, kesalehan ritualisme (hanya dalam peribadahan) tapi tidak extent menjadi kesalehan sosial dan global, kepura2an saleh dan "sholeha", pietisme palsu, puritanis palsu, kehidupan "topeng" (kamuflase) - "suci putih bersih di luar, busuk di dalam". Melayani, beribadah rukun agama rukun iman bukan menjadi tujuan tapi sekadar 'alat', payung, topeng atau legal formalisasi untuk menutupi berbagai tindak licik, serakah, nafsu dan curang, penipuan2 halus berkedok agama, kejahatan moral, perilaku2 amoral dari para pelaku atau para pemainnya - yang sulit tersentuh hukum.
LSM2 swadaya dan agen2 development tanpa moral, jadinya: eksploitasi orang2 miskin, susah, terpuruk, korban bencana, komunitas tercecer, terjepit, daerah terisolir, dll "menjual" kemiskinan lalu melakukan pengumpulan, penggalangan dana (fund-raising), namun kemudian dana/uang yang terkumpul bukan untuk para korban dan orang miskin, tapi digunakan untuk kepentingan dan kesenangan sendiri serta keluarga; atau digunakan untuk kepentingan lain yang tak ada hubungannya dengan program pengentasan kemiskinan, keterpurukan dan bencana.
Moral dan Cara benar dan bermoral Ibarat Jantung.
Moral atau benteng moral termasuk cara2 benar dan bermoral mengatasi rasa malu bisa diibaratkan dalam diri seseorang, adalah jantungnya seseorang. Jika moral dihancurkan, 'disepak keluar', akibatnya sudah jelas pembusukan seluruh tubuh, cepat atau lambat. Kematian, keterpurukan, kehancuran dan kebinasaan. Jika tubuh manusia itu adalah cerminan bangsa, maka bangsa sangat pasti akan menuju kematian, keterpurukan, kehancuran dan kebinasaan.
Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB): Ini yang Hilang, padahal Seharusnya Ada dan Konsisten Dipertahankan!
Yang tinggal sedikit dan sudah makin hilang dari tubuh bangsa ini, adalah jenis Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB). Rasa Malu Keliru atau Tak Bermoral (RMK/RMTB) semakin bertambah banyak, RMBnya ini yang sedikit sekali untuk tidak mengatakan hilang. Padahal yang harusnya dimiliki bangsa ini dalam jumlah banyak adalah Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB). Jenis rasa malu yang benar ini, committed kepada kebenaran (moral) universil. Rasa Malu yang sangat2 besar, tidak terkira, jika harus berbohong, berdusta, berbuat kesalahan, melanggar peraturan, tidak tegas (lembek, mencla-mencle) terhadap pelanggaran aturan, berbuat menipu, membunuh, mencuri, memeras, memalak, bullying, teror kekerasan, mengkotak2kan orang (membuat stigmata, labelisasi), meremehkan dan tidak menghargai orang, menyuap, tidak bisa dipercaya oleh orang, melakukan character assasination pada pihak lain, melakukan tindak brutal, memfitnah, dianggap dalam proses tidak mampu (uncapable), wanprestasi, kinerja jelek; melakukan manipulasi data proyek, menyontek, berzinah, mempraktekkan hubungan selingkuh atau 'kumpul kebo', menikah 'tidak resmi', pelecehan seks, tidak bisa diterima/dibenci oleh sesama atau publik (mungkin karena kikir), melakukan free sex, menjadi pengedar narkoba, pura-pura saleh atau 'sholeha', melakukan praktek babi ngepet, 'memelihara tuyul' atau ke dukun/paranormal santet', memakai uang korupsi dan hasil kejahatan untuk tujuan amal/derma (Robin Hood style), dst dst.
Demikianlah, RMB seperti inilah yang nyaris hilang terkikis dan terlindas dari tubuah bangsa, banyaknya digantikan oleh Rasa Malu Keliru yang Tak Bermoral (RMTB) seperti telah diuraikan sebelumnya. Maka, kalau sudah begitu sudah bisa ditebak diprediksi bagaimana 'kesudahan' dari bangsa ini, bila tidak ada perubahan arah hidup secara revolusioner ('revolusi moral'). Kebiasaan (bad habits) atau budaya tak bermoral harus secepatnya dihentikan dari tengah bangsa ini. Kalau tidak akan terlambat, kebablasan. Solusi dan mandat kebudayaan harus diemban. Mandat untuk mengupayakan terjadinya perubahan transformasi dari 'budaya tanpa moral' kepada'budaya bermoral'.
Altenatif Solusi Mengatasi Rasa Malu yang Keliru atau Tak Bermoral (RMK/RMTB)
Yang bisa jadi solusi, untuk mengatasi Rasa Malu yang keliru (RMK) atau Tak Bermoral (RMTB), salah satu yang penting PERTAMA adalah adanya kemauan untuk merubah paradigma, cara pandang dan pikir yang keliru terhadap orientasi hidup. Mau belajar untuk terus.. lebih banyak hidup bersyukur, mensyukuri terhadap apa yang ada dan dipunyai sekarang; Rasa Malu keliru tersebut tidak usah jadi 'kepikiran' dan masalah dalam batin dan jiwa. Sebenarnya, RMK ini tidak perlu ada, jika kita mampu merubah paradigma dari "paradigma sekadar ikut2an orang atau dunia' kepada "paradigma bersyukur dan hanya mau turut kepada apa yang benar". Tidak perlu dalam hidup terlalu melihat 'keluar' pada orang lain dan 'memandang ke atas'. Kenapa mesti malu kalau tidak kaya? Kalau tidak terlalu berkedudukan tinggi, tidak terkenal (orang biasa saja), tidak ngetop, tidak terlalu intelek? Belum tentu apa yang cocok, dipunyai oleh orang lain, cocok bagi hidup kita. Syukuri keadaan dan hal2 yang ada dan telah dipunyai pada kita, pada masa sekarang. Tidak perlu neko-neko. Kecukupan sehari, cukuplah untuk sehari. Jangan terus2an terlalu khawatir tentang hari esok, meski hari esok perlu diantisipasi dari sekarang. Syukuri hal2 yang telah terjadi dan telah menjadi berkat dari dulu hingga sekarang.
Perubahan Cara Pandang terhadap Diri Sendiri (Pemulihan Citra Diri).
Hal KEDUA yang sangat penting, adalah yang berhubungan dengan rasa malu akibat sifat atau bawaan sejak lahir. Kenapa mesti malu jika kita terlahir sebagai orang Kristen misalnya, yang adalah golongan minoritas di negeri ini. Kenapa mesti malu bila kita terlahir sebagai orang Cina, orang Batak, orang Papua yang kebetulan adalah golongan minoritas? Kenapa mesti malu bila tubuh perawakan kita pendek, tidak terlalu ganteng atau cantik? Kenapa mesti malu bila kita seorang perempuan? Kenapa musti malu bila kita anak bungsu atau bontot? Dst. Rasa Malu seperti itu kan tidak beralasan, karena 'kesemua-muanya' terkait sesuatu yang sudah given, yang ngga bisa kita tolak, bawaan dari lahir.
Alternatif solusi untuk RMK ini, adalah kembali perubahan pola pikir dan cara pandang atas diri sendiri(atau dalam bahasa beberapa teman "pemulihan citra diri') bahwa sebagai peta miniatur Allah (God's image) kita sudah diciptakan sungguh amat baik. Kalau ada 'kekurangan/kelemahan' dari bawaan lahir kita dari sudut pandang manusia mayoritas, bukan harusnya membuat kita merasa malu, tapi seharusnya 'yang mayoritas' itu yang seharusnya malu, karena pasti ada rencana Tuhan yang teramat baik dan agung di balik 'kekurangan/kelemahan kita', karena itu justru akan menjadi 'ciri khas dan keunikan' sekaligus 'kekuatan' kita yang tidak dipunyai oleh mayoritas, yang bisa membuat kita maju.
Maka, bila kita mempunyai respons dan paradigma cara pandang yang benar menyikapi RMK/RMTB tersebut, maka otomatis pasti RMK dan RMTB segera akan semakin lenyap dan tereliminasi dari kehidupan dan dari diri.
Alternatif Solusi untuk Mengatasi Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB)
Sedangkan solusi untuk mengatasi Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB) tidak lain dan tidak bukan cara yang paling 'cespleng' adalah bertobat, mau bertobat. Mau mengakui kesalahan dan cara2 yang tidak benar yang telah ditempuh. Tidak hanya di depan diri sendiri, dan di depan Tuhan. Tapi juga jika harus, ya di hadapan orang lain - orang2 dekat dan publik. Kalau untuk kebaikan dan kemajuan diri dan bersama, kenapa harus malu mengakui kesalahan. Itu ciri orang yang berjiwa besar, elemen bangsa yang besar. Mau mengakui kesalahan. Tunduk pada otoritas Kebenaran, kebenaran yang universil. Mau dan sedia juga terima sanksi atas segala kesalahan, dengan kelapangan dada dan jiwa besar. Baik sanksi administratif, organisasi, sanksi moral, sanksi sosial dan sanksi rohani (terkait berkat2 rohani dari Tuhan yang mungkin 'terhambat'). Dengan jiwa besar mau berubah, setelah mengevaluasi diri seluruh perilaku yang telah dijalankan dengan menengok ke belakang sejenak. Setelahnya, melakukan rencana tindak ke depan, tindakan2 korektif, melakukan perubahan2 tindakan2 perbaikan2 dan peningkatan nyta sampai menjadi kebiasaan dan gaya hidup baru yang lebih baik, bagus, benar dan berkualitas.
Demikianlah..solusi, upaya2 dan tugas mandat seperti ini yang seyogianya harus dilakukan guna memberantas jenis2 Rasa Malu (baik RMK/RMTB maupun RMB)yang telah berurat berakar dalam diri dan tubuh bangsa ini, sehingga bangsa akan mengalami perubahan menjadi bangsa yang makin maju, sejahtera dan berkualitas.
Siapa yang akan Menjadi Pelaksana Mandat Perubahan Pola Pikir dan Budaya Keliru & Tak Bermoral?
Nah, sekarang siapa yang menjadi pelaksana mandat kebudayaan dan perubahan pola pikir yan keliru ini? Pelaksana mandat kebudayaan ini adalah kita semua terutama yang telah celik masih sadar bahwa tingkat budaya immoral atau tak bermoral kita sekarang sudah semakin menyentuh titik nadir. Sangat perlu tindakan kuratif, pengobatan dan perubahan revolusioner terutama di bidang moral.
Salam perubahan (revolusi moral),
Hans Midas Simanjuntak :)
Menurut penelusuran saya selama ini, sebenarnya bangsa kita ini masih belum kehilangan rasa malu. Masih koq punya rasa malu. Namun sayangnya, rasa malu yang dimiliki bangsa ini kini adalah Rasa Malu yang keliru, yang salah, tidak benar, tak Bermoral. Rasa malu yang tidak sesuai yang 'against' kebenaran universil. 'Against' moral kebenaran yang berlaku universil.
Rasa Malu yang Keliru (RMK)atau Tak Bermoral (RMTB)
Rasa Malu yang Keliru (RMK) atau Rasa Malu Tak Bermoral (RMTB) yang dimiliki bangsa ini kini bukan hanya dianut mayoritas oleh para generasi muda, tapi juga kini turut dianut generasi lebih senior. Yaitu rasa malu yang dipunyai jika dilihat orang atau keluarga sendiri tidak kaya materi (uang). Rasa Malu jika tidak punya kedudukan apa2 (di perusahaan, di pemerintahan/politik, di bidang agama dan di tengah keluarga). Rasa Malu jika dianggap tidak beragama, tidak relijius. Rasa Malu jika dianggap orang kurang/tidak terpelajar (intelek), tidak terkenal (ngetop). Rasa Malu karena berasal dari kalangan minoritas (bukan suku/golongan/agama mayoritas), Rasa Malu akibat gender pula; karena ada kekurangan kelemahan bawaan sejak lahir(cacat fisik, tubuh pendek, wajah kurang cantik/ganteng, dll),Rasa Malu jika dianggap orang tidak ikut perkembangan/trend jaman, tidak nge-pop, menganut pop-culture bak artis atau selebritis. Rasa Malu bila dibilang katro, ndeso, culun (istilah Tukul).
Sayangnya Mengatasi RMK/RMTB dengan Respons Cara2 yang juga Keliru, Tak Bermoral !
Jenis atau 'spesies' Rasa Malu Keliru (RMK) atau Rasa Malu Tak Bermoral (RMTB) seperti ini menyebabkan banyak orang dalam bangsa ini, - untuk mengatasi Rasa Malunya yang Keliru dan Tak Bermoral itu - PARAHNYA melakukan upaya menghalalkan segala cara -menghalalkan segala bentuk2 perilaku melalui CARA yang Keliru dan Tidak Bermoral pula - untuk gimana bisa jadi kaya, punya kedudukan (perusahaan, politis), bisa dianggap orang cukup relijius, dianggap terpelajar (intelek), bisa ngetop, dianggap termasuk kalangan mayoritas, serta mengikuti trend nge pop bak artis. Demi ini semua, benteng moral dikorbankan; di 'sepak keluar', dihancurkan !!
Akibat Cara Mengatasi Keliru RMK/RMTB di tengah Masyarakat
Akibat dari respons dan cara2 mengatasi yang keliru terhadap RMK/RMTB ini, adalah sangat banyaknya bidang2 kehidupan di tengah bangsa ini yang sudah penuh dengan berbagai 'tindak sikap perilaku2 keliru' pula(istilah Suka Harjana 'kelirumologi'), potret masyarakat tidak wajar, naive/tolol, sulit diterima oleh akal sehat (irrasional) dan tentu sikap perilaku2 tidak bermoral.
Di bidang Politik dan pemerintahan dijalankan tanpa moral, jadinya birokrasi mandeg tidak jalan "bottle neck", dibuat 'sengaja' bertele-tele, berlaku paradigma "kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah.. agar dapat keuntungan atau 'proyek sabetan', kongkalikong dengan pengusaha, korupsi (KKN) merajalela, elit tidak bersatu - persaingan tidak sehat (busuk), kecurangan Pemilu/Pilkada, terjadi pembusukan2 di mana2; tidak punya pemihakan pada rakyat banyak menderita, tapi hanya memihak pada diri sendiri, keluarga inti dan golongan.
Pendidikan tanpa moral, jadinya: kecurangan ujian nasional UN, jual beli ijazah gelar, bullying, sistim dongkrak nilai, plagiatisme, sex in campus, dll.
Bisnis tanpa moral, jadinya: korupsi, bribery suap, penipuan2, cheating, permainan2 money game ala BMA, Drezzel, dll; praktek kolusi, praktek "perusahaan di dalam perusahaan", permainan 'lihai2an' siluman, manipulasi di bidang perpajakan, pencurian, pencucian uang, penindasan karyawan/pekerja, pembalakan hutan liar, ileggal logging, traficing, penyelundupan dimana2.
Hubungan personal dan relatives (kekeluargaan) tanpa moral, jadinya: nepotisme dan perselingkuhan2 amoral, nikah 'siri-sirian', perceraian, free sex merajalela, "win-win relationship" dalam hubungan personal dan kerja yang amoral, tidak sehat.
Hukum tanpa moral, jadinya: putusan yang berat sebelah, tidak adil, tebang pilih, tidak memenuhi rasa keadilan hati nurani.
Tradisi (pemimpin) dan praktek budaya tanpa moral, jadinya: belum adanya atau tiadanya fakta tradisi (pemimpin) & praktek budaya yang membanggakan generasi muda, tradisi sejarah kepemimpinan dan budaya yang dibangun serius dan faktual guna mampu membangun role model, suri keteladanan dari para nenek moyang, leluhur, pahlawan, founding fathers kemudian elit2 pemimpin di segala lini, khususnya dalam sokoguru nilai2 moral dan 'adiluhung' kepada generasi sesudahnya. Yang disosialisasikan tradisi sejarah perang, intrik2, kebusukan2, perpecahan2 pengkhianatan pemimpin, kehancuran2, tindakan2 barbar dan kekerasan berikut cara2 primitif lainnya untuk mengatasi rasa malu dan menyelesaikan berbagai bentuk perselisihan serta konflik. Dasar alasannya bukan akal sehat dan moral kebenaran universil untuk melakukan evaluasi sebagai cermin introspeksi diri, melainkan demi 'harga diri (gengsi)', rasa kesukuan, kedaerahan, rasa nasionalisme, rasa keberagamaan, almamaterisme dan cermin2 rasa primordialisme lainnya yang keliru, namun ingin dijadikan standar ukuran moral kebenaran. Akibatnya yang terjadi tindakan kekerasan dan violenisme, saling mematikan, syndrom kepiting - saling membalas dan menjatuhkan -, 'loose-loose solutions', taktik bumi hangus penuh angkara murka dan prahara. Hasilnya bukan membuahkan semangat perdamaian dan kesentosaan, tapi warisan dendam dan iri turun-temurun yang bisa berakibat kepada resiliensi budaya dan kepunahan peradaban.
Bukankah masih banyak perkara tindakan di masa lalu, yang sampai kini masih 'dibiarkan' tanpa ada solusi penuntasan, terus dipeti-eskan, belum diselesaikan secara moral, kebijakan, sosial dan kebangsaan.
Beragama (Bergereja) tanpa moral, jadinya: kesalehan palsu, kesalehan ritualisme (hanya dalam peribadahan) tapi tidak extent menjadi kesalehan sosial dan global, kepura2an saleh dan "sholeha", pietisme palsu, puritanis palsu, kehidupan "topeng" (kamuflase) - "suci putih bersih di luar, busuk di dalam". Melayani, beribadah rukun agama rukun iman bukan menjadi tujuan tapi sekadar 'alat', payung, topeng atau legal formalisasi untuk menutupi berbagai tindak licik, serakah, nafsu dan curang, penipuan2 halus berkedok agama, kejahatan moral, perilaku2 amoral dari para pelaku atau para pemainnya - yang sulit tersentuh hukum.
LSM2 swadaya dan agen2 development tanpa moral, jadinya: eksploitasi orang2 miskin, susah, terpuruk, korban bencana, komunitas tercecer, terjepit, daerah terisolir, dll "menjual" kemiskinan lalu melakukan pengumpulan, penggalangan dana (fund-raising), namun kemudian dana/uang yang terkumpul bukan untuk para korban dan orang miskin, tapi digunakan untuk kepentingan dan kesenangan sendiri serta keluarga; atau digunakan untuk kepentingan lain yang tak ada hubungannya dengan program pengentasan kemiskinan, keterpurukan dan bencana.
Moral dan Cara benar dan bermoral Ibarat Jantung.
Moral atau benteng moral termasuk cara2 benar dan bermoral mengatasi rasa malu bisa diibaratkan dalam diri seseorang, adalah jantungnya seseorang. Jika moral dihancurkan, 'disepak keluar', akibatnya sudah jelas pembusukan seluruh tubuh, cepat atau lambat. Kematian, keterpurukan, kehancuran dan kebinasaan. Jika tubuh manusia itu adalah cerminan bangsa, maka bangsa sangat pasti akan menuju kematian, keterpurukan, kehancuran dan kebinasaan.
Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB): Ini yang Hilang, padahal Seharusnya Ada dan Konsisten Dipertahankan!
Yang tinggal sedikit dan sudah makin hilang dari tubuh bangsa ini, adalah jenis Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB). Rasa Malu Keliru atau Tak Bermoral (RMK/RMTB) semakin bertambah banyak, RMBnya ini yang sedikit sekali untuk tidak mengatakan hilang. Padahal yang harusnya dimiliki bangsa ini dalam jumlah banyak adalah Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB). Jenis rasa malu yang benar ini, committed kepada kebenaran (moral) universil. Rasa Malu yang sangat2 besar, tidak terkira, jika harus berbohong, berdusta, berbuat kesalahan, melanggar peraturan, tidak tegas (lembek, mencla-mencle) terhadap pelanggaran aturan, berbuat menipu, membunuh, mencuri, memeras, memalak, bullying, teror kekerasan, mengkotak2kan orang (membuat stigmata, labelisasi), meremehkan dan tidak menghargai orang, menyuap, tidak bisa dipercaya oleh orang, melakukan character assasination pada pihak lain, melakukan tindak brutal, memfitnah, dianggap dalam proses tidak mampu (uncapable), wanprestasi, kinerja jelek; melakukan manipulasi data proyek, menyontek, berzinah, mempraktekkan hubungan selingkuh atau 'kumpul kebo', menikah 'tidak resmi', pelecehan seks, tidak bisa diterima/dibenci oleh sesama atau publik (mungkin karena kikir), melakukan free sex, menjadi pengedar narkoba, pura-pura saleh atau 'sholeha', melakukan praktek babi ngepet, 'memelihara tuyul' atau ke dukun/paranormal santet', memakai uang korupsi dan hasil kejahatan untuk tujuan amal/derma (Robin Hood style), dst dst.
Demikianlah, RMB seperti inilah yang nyaris hilang terkikis dan terlindas dari tubuah bangsa, banyaknya digantikan oleh Rasa Malu Keliru yang Tak Bermoral (RMTB) seperti telah diuraikan sebelumnya. Maka, kalau sudah begitu sudah bisa ditebak diprediksi bagaimana 'kesudahan' dari bangsa ini, bila tidak ada perubahan arah hidup secara revolusioner ('revolusi moral'). Kebiasaan (bad habits) atau budaya tak bermoral harus secepatnya dihentikan dari tengah bangsa ini. Kalau tidak akan terlambat, kebablasan. Solusi dan mandat kebudayaan harus diemban. Mandat untuk mengupayakan terjadinya perubahan transformasi dari 'budaya tanpa moral' kepada'budaya bermoral'.
Altenatif Solusi Mengatasi Rasa Malu yang Keliru atau Tak Bermoral (RMK/RMTB)
Yang bisa jadi solusi, untuk mengatasi Rasa Malu yang keliru (RMK) atau Tak Bermoral (RMTB), salah satu yang penting PERTAMA adalah adanya kemauan untuk merubah paradigma, cara pandang dan pikir yang keliru terhadap orientasi hidup. Mau belajar untuk terus.. lebih banyak hidup bersyukur, mensyukuri terhadap apa yang ada dan dipunyai sekarang; Rasa Malu keliru tersebut tidak usah jadi 'kepikiran' dan masalah dalam batin dan jiwa. Sebenarnya, RMK ini tidak perlu ada, jika kita mampu merubah paradigma dari "paradigma sekadar ikut2an orang atau dunia' kepada "paradigma bersyukur dan hanya mau turut kepada apa yang benar". Tidak perlu dalam hidup terlalu melihat 'keluar' pada orang lain dan 'memandang ke atas'. Kenapa mesti malu kalau tidak kaya? Kalau tidak terlalu berkedudukan tinggi, tidak terkenal (orang biasa saja), tidak ngetop, tidak terlalu intelek? Belum tentu apa yang cocok, dipunyai oleh orang lain, cocok bagi hidup kita. Syukuri keadaan dan hal2 yang ada dan telah dipunyai pada kita, pada masa sekarang. Tidak perlu neko-neko. Kecukupan sehari, cukuplah untuk sehari. Jangan terus2an terlalu khawatir tentang hari esok, meski hari esok perlu diantisipasi dari sekarang. Syukuri hal2 yang telah terjadi dan telah menjadi berkat dari dulu hingga sekarang.
Perubahan Cara Pandang terhadap Diri Sendiri (Pemulihan Citra Diri).
Hal KEDUA yang sangat penting, adalah yang berhubungan dengan rasa malu akibat sifat atau bawaan sejak lahir. Kenapa mesti malu jika kita terlahir sebagai orang Kristen misalnya, yang adalah golongan minoritas di negeri ini. Kenapa mesti malu bila kita terlahir sebagai orang Cina, orang Batak, orang Papua yang kebetulan adalah golongan minoritas? Kenapa mesti malu bila tubuh perawakan kita pendek, tidak terlalu ganteng atau cantik? Kenapa mesti malu bila kita seorang perempuan? Kenapa musti malu bila kita anak bungsu atau bontot? Dst. Rasa Malu seperti itu kan tidak beralasan, karena 'kesemua-muanya' terkait sesuatu yang sudah given, yang ngga bisa kita tolak, bawaan dari lahir.
Alternatif solusi untuk RMK ini, adalah kembali perubahan pola pikir dan cara pandang atas diri sendiri(atau dalam bahasa beberapa teman "pemulihan citra diri') bahwa sebagai peta miniatur Allah (God's image) kita sudah diciptakan sungguh amat baik. Kalau ada 'kekurangan/kelemahan' dari bawaan lahir kita dari sudut pandang manusia mayoritas, bukan harusnya membuat kita merasa malu, tapi seharusnya 'yang mayoritas' itu yang seharusnya malu, karena pasti ada rencana Tuhan yang teramat baik dan agung di balik 'kekurangan/kelemahan kita', karena itu justru akan menjadi 'ciri khas dan keunikan' sekaligus 'kekuatan' kita yang tidak dipunyai oleh mayoritas, yang bisa membuat kita maju.
Maka, bila kita mempunyai respons dan paradigma cara pandang yang benar menyikapi RMK/RMTB tersebut, maka otomatis pasti RMK dan RMTB segera akan semakin lenyap dan tereliminasi dari kehidupan dan dari diri.
Alternatif Solusi untuk Mengatasi Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB)
Sedangkan solusi untuk mengatasi Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB) tidak lain dan tidak bukan cara yang paling 'cespleng' adalah bertobat, mau bertobat. Mau mengakui kesalahan dan cara2 yang tidak benar yang telah ditempuh. Tidak hanya di depan diri sendiri, dan di depan Tuhan. Tapi juga jika harus, ya di hadapan orang lain - orang2 dekat dan publik. Kalau untuk kebaikan dan kemajuan diri dan bersama, kenapa harus malu mengakui kesalahan. Itu ciri orang yang berjiwa besar, elemen bangsa yang besar. Mau mengakui kesalahan. Tunduk pada otoritas Kebenaran, kebenaran yang universil. Mau dan sedia juga terima sanksi atas segala kesalahan, dengan kelapangan dada dan jiwa besar. Baik sanksi administratif, organisasi, sanksi moral, sanksi sosial dan sanksi rohani (terkait berkat2 rohani dari Tuhan yang mungkin 'terhambat'). Dengan jiwa besar mau berubah, setelah mengevaluasi diri seluruh perilaku yang telah dijalankan dengan menengok ke belakang sejenak. Setelahnya, melakukan rencana tindak ke depan, tindakan2 korektif, melakukan perubahan2 tindakan2 perbaikan2 dan peningkatan nyta sampai menjadi kebiasaan dan gaya hidup baru yang lebih baik, bagus, benar dan berkualitas.
Demikianlah..solusi, upaya2 dan tugas mandat seperti ini yang seyogianya harus dilakukan guna memberantas jenis2 Rasa Malu (baik RMK/RMTB maupun RMB)yang telah berurat berakar dalam diri dan tubuh bangsa ini, sehingga bangsa akan mengalami perubahan menjadi bangsa yang makin maju, sejahtera dan berkualitas.
Siapa yang akan Menjadi Pelaksana Mandat Perubahan Pola Pikir dan Budaya Keliru & Tak Bermoral?
Nah, sekarang siapa yang menjadi pelaksana mandat kebudayaan dan perubahan pola pikir yan keliru ini? Pelaksana mandat kebudayaan ini adalah kita semua terutama yang telah celik masih sadar bahwa tingkat budaya immoral atau tak bermoral kita sekarang sudah semakin menyentuh titik nadir. Sangat perlu tindakan kuratif, pengobatan dan perubahan revolusioner terutama di bidang moral.
Salam perubahan (revolusi moral),
Hans Midas Simanjuntak :)
Subscribe to:
Posts (Atom)