Informasi dari Transforma Sarana Media (TSM/NS-08. Jan 2008).
Bagi Kita Umat/Pemimpin Kristen di Indonesia: Pelajaran berharga sangat penting apakah yang sesungguhnya dapat kita peroleh dari Sosok Kepemimpinan "Pemimpin Besar" Soeharto?
Seperti kita sudah ketahui bersama, Pak Harto mantan presiden (presiden ke-2) Republik ini, telah wafat pada hari Minggu siang kemarin, tanggal 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta dalam usia menjelang 87
tahun. Pak Harto wafat karena gagal multiorgan setelah dirawat selama 24 hari.
Liputan media cetak dan elektronik termasuk hampir semua channel TV pusat dan lokal propinsi begitu sangat luar biasa, sejak masuknya kembali Pak Harto ke RSPP untuk dirawat intensif untuk kesekian kalinya di awal tahun 2008 ini hingga upacara persemayaman di Jl Cendana Menteng Jakarta mulai Senin pagi 28 Januari 2008, berlanjut iring-iringan ke Lanud Halim Perdanakusumah untuk kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Pak Harto di Astana Giribangun Karang Anyar Solo, Jawa Tengah pada siang itu juga.
Berbagai komentar, perbincangan, editorial, tanggapan, tulisan untuk mengenang kembali sang Jenderal Besar ini telah disampaikan oleh banyak kalangan, bukan hanya di dalam negeri namun juga sejumlah kalangan di luar negeri.
Namun, sejauh tanggapan dan komentar itu ada, bagaimana sesungguhnya pandangan ataupun komentar orang Kristen sendiri? Buat umat/pemimpin Kristen anak bangsa khususnya di Indonesia, apa kira-kira pelajaran berharga sangat penting yang bisa atau boleh dipetik dari sosok kehidupan kepemimpinan "pemimpin besar" Pak Harto itu?
Secara spontan, "thinking on my feets", saya sempat merenungkan dan membincangkannya dengan beberapa teman sejawat. Pasti akan banyak pelajaran berharga yang dapat kita petik. Namun, paling tidak dari perbincangan dan perenungan kami, sedikitnya dapat dipetik empat (4) pelajaran berharga sangat penting yang barangkali berguna bagi kehidupan dan kemajuan umat/pemimpin kristen khususnya di sini. Yang lainnya, mungkin dapat Anda tambahkan.
Empat (4) pelajaran penting sangat berharga bagi umat/pemimpin kristen Indonesia anak bangsa, adalah sebagai berikut:
Hal pertama, kalau mau jujur bila kita lihat Pak Harto dalam hampir seluruh hidupnya, suka atau tidak suka, sesuai atau tidak sesuai dengan keyakinan Kristen kita, beliau begitu sangat menekuni menghidupi "agama" atau kepercayaan yang diyakininya sejak kecil, yakni kepercayaan Kejawen, kepercayaan Jawa. Manunggaling Kawula Gusti. Dari yang bercorak ritual olah kebatinan sampai praktek semedi berikut keilmuan ("ngelmu") yang bercorak kanuragan, ia sangat pahami dan kuasai. Ketaatan dan ketekunannya sangat mewujud terekspresi dalam hampir semua pola hidup dan aktivitasnya, kebijakan dan implementasi keputusan2nya sebagai Presiden selama 7 periode, 32 tahun. Ketokohannya di berbagai bidang hidup termasuk di berbagai yayasan2 yang ia pimpin, semua "diwarnai" dengan filosofi, gaya, nilai2 dan keyakinan "iman" yang dipercayainya. Pak Harto tidak hanya menekankan urgen pentingnya aspek spritualitas terkait olah kebatinan Kejawen yang diimaninya, namun ia juga dengan sangat seksama begitu peduli terhadap bidang kehidupan lainnya (ipoleksosbud hankamrata) terkait dengan wawasan budaya dan kepercayaan Kejawennya.
Meskipun kontradiktip, apa yang bisa kita pelajari? Dari contoh ini, secara positip dalam konteks Kristen sebenarnya umat/pemimpin Kristen atau pemimpin yang berlatar belakang kristen di negeri ini, harusnya dapat belajar.. meneladani bahwa menjadi orang Kristen, sudah saatnya tidak hanya sekadar berlabel agama Kristen atau ber-KTP Kristen belaka. Atau jika sudah menjadi Kristen, seyogianya tidak hanya menekankan aspek kebenaran rohani semata. Tapi dalam kuasa kasihNya mampu menekuni dan menghidupi seluruh kebenaran Injil Kristus sesuai Firman Allah/Alkitab dalam seluruh aspek kehidupan. Tak hanya di tingkat theologis atau filosofis, namun juga di tingkat praksis-implementatip seluruh lapangan kehidupan. Kebenaran Injil harusnya dipraktekkan secara konsisten oleh umat/pemimpin Kristen di negeri ini.
Kedua, sebagai orang Jawa tulen dan sebagai seorang mantan jenderal militer Pak Harto sangat kental bahkan terkesan terlalu kental dengan keJawaannya, kesukuannya. Itu baik-baik saja. Demikian juga Pak Harto sangat militan bahkan terkesan terlalu militan malahan dalam gaya kepemimpinannya. Kedua hal ini di tambah dengan latar belakang "agama" kepercayaan Kejawennya tadi, telah lambat laun membentuk karakter berikut pola kepemimpinannya yang bertambah-tambah semakin otoriter. Makin lama makin otoriter, kuasa sepertinya tak berbatas. Mungkin di bawah kesadarannya, lantas cendrung memiliki image diri kepemimpinan kenegarawanan yang begitu kuat serasa layaknya seorang "raja" (raja jawa), komandan besar dan pandito ratu (pendeta tertinggi dalam sebuah "agama" kepercayaan) . Efeknya tidak dapat dan tidak boleh dibantah oleh siapapun. Jangankan pengikut, yang oposan dalam pendapat pun tidak boleh membantah. Di bawah naluri kesadaran pula, ia telah menjalankan "hukum besi" (bahkan hukum baja :)] ala Machiavelli, yang menganggap Indonesia yang besar begini..faktanya terdiri dari beratus suku dan beribu pulau, ..mungkin dikesankannya semata berisikan rakyat etnik Jawa dan hanya terdiri satu pulau yang bernama Pulau Jawa saja. Kepemimpinan dengan gaya dan pola hukum besi, otoritarian seperti ini, tentu menghasilkan banyak pengikut loyalis khususnya di tingkat elite dan "pembisik" dan "orang dekat", namun sekaligus juga tentu menghasilkan para pengikut sekaligus para penjilat pengkhianat yang bisa keji. Di samping banyak korban2 "pembangunan" berjatuhan, yang merasa tersakiti laten, tertindas, terjepit dan tertinggal. Pemaksaan kehendak, kekerasan, otoriter, serba-sentralistik, corak "one-man show" serta "main gebuk" entah dalam balutan wajah halus (dengan senyum, smiling) maupun wajah angker pembantu dan pengawal, senyata-nyatanya dalam kehidupan nyatanya malah tidak membuat pengikut orang-orang yang dipimpin dan para oposan/pengkritisi, bertumbuh kembang dewasa secara awet dan sehat.
Hal ini tentu memberi pelajaran khususnya bagi pemimpin dan umat Kristen Indonesia, bahwa atribut kesukuan/etnis setulen apa pun(entah sebagai orang suku Papua, Maluku, Jawa, Batak, Nias, Toraja, Manado, Sangir, Sumba, Alor, Timor, Dayak, etnis Tionghoa dst) atau atribut lain yang membentuknya misalnya sebagai latar belakang theolog, pendeta, militer, polisi, pengusaha, birokrat, BUMN, aktivis LSM, guru, profesional, hakim/jaksa/ pengacara dan bidang profesi/talenta apa saja, tidak boleh serta merta membuat orang Kristen bila menjadi pemimpin penatua gembala diaken atau jenis-jenis kepemimpinan lainnya di semua sektor kehidupan dengan jalan memberlakukan "hukum besi" (hukum baja) ala Machiavelli dan "sentral etnik lokal sendiri" jika sudah menjadi stateman/negarawan berwawasan nasionalis. Gaya dan pola kepemimpinan Kristen yang tidak boleh dibantah, tidak mau mendengar atau dikritisi oleh siapapun, sangat tidak pas! Sebab esensi yang sesungguhnya dari kepemimpinan yang baik dan benar di semua lini kehidupan, adalah seperti yang dikatakan Yesus: Menjadi pelayan bagi semua berdasarkan kebenaran, keadilan dan kasih. "Learn to be the servant of all". Itulah corak kepemimpinan terbaik yang pernah ditunjukkan Yesus di dunia ini dan kita yakini akan dilakukanNya di dunia yang akan datang, kala Ia akan kelak datang kembali ke dunia ini bukan sebagai bayi atau baby lagi; tapi sebagai Raja dan Hakim yang Agung. Jika ini yang diterapkan umat/pemimpin Kristen, maka nuansa dan pola seperti ini pasti akan membuahkan pertumbuhan, perkembangan dan pendewasaan yang semakin penuh dari sehari ke sehari, meski pun mungkin membutuhkan banyak waktu, tenaga, pemikiran dan biaya. Sebaliknya, jika sekali ambisi kekuasaan, haus kekayaan materi dan hanya mementingkan suara kita yang ingin didengar ketimbang mau mendengar. Maka hawa nafsani ini (keinginan daging) yang cendrung hanya "ingin menang sendiri", "mau benarnya sendiri", tanpa pemahaman kebenaran hakiki dan utuh yang akan muncul, maka sejak saat itu "urapan", pengaruh dan kepemimpin bisa dipastikan makin terkikis habis, lalu ya jatuh runtuh.. semua berbagai atribut kekuasaan, kejayaan, kemuliaan, popularitas dan kehormatan. Tuhan yang mengambilnya. Bisa lewat umat. Bisa lewat komunitas, masyarakat. Lewat alam pun bisa.
Ketiga, Pak Harto selama kepemimpinannya yang sangat panjang itu (7 periode).., meski pun memiliki wawasan utuh selayaknya wawasan nusantara (ipoleksosbud) , cendrung sangat menekankan bahkan malah terkesan ekstrim.. hanya pada tok..satu bidang pembangunan. Apalagi kalau bukan bidang pembangunan ekonomi. Itulah yang dimulainya sejak memegang tampuk kepemimpinan. Tidak salah, memang. Namun kebablasan. Segalanya jadi demi kepentingan pembangunan ekonomi. Yang lain cendrung menjadi abai. Soal keadilan, moral, demokrasi, character building, penegakan HAM, kemajemukan bangsa, kemandirian terkait utang LN, dll. Akibat dari penekanan hanya pada satu bidang pembangunan atau "pelayanan", membuat seluruh tatanan kehidupan bangsa tumbuh tidak beraturan, "peot" lonjong dan timpang di sana-sini. Ini menjadi semacam "keretakan" fondasional landasan bangunan sekaligus menjadi "bom-waktu" yang pada waktunya akan roboh dan meledak hancur berkeping-keping. Sepuluh tahun terakhir sejak reformasi bergulir, hal ini masih begitu dirasakan. Untuk membangun kembali fondasi negara yang hampir hancur berikut akibat dari "bom-waktu" yang meledak berkali-kali, sungguh tidaklah gampang.
Pelajaran berharga apa yang diperoleh umat kristen/pemimpin kristen? Dari hal ini kita dapat penting betapa pentingnya melakukan perencanaan dan implementasi secara utuh, holistik sekaligus kritis. Hasilnya pun pasti akan utuh. Guna menghasilkan buah pertumbuhan dan perkembangan yang baik dari umat yang dilayani/dipimpinny a, tidak cukup dan sangat tidak bijak hanya melulu menekankan pada satu bidang atau sektor hidup semata dari yang dikuasai, dalam menjalankan pekerjaan pelayanan atau pemberdayaan umat. Memang spesialiasi di mana-mana perlu, juga skills menetapkan skala prioritas. Namun hal ini jangan berarti umat/pemimpin kristen tidak membutuhkan cara pandang atau profesi lain dalam menjalankan kepemimpinannya. Atau membuat mereka menjadi "sub-ordinate", "sub-supreme". Sangat tidak baik hasilnya. Nah, ini berarti umat/pemimpin semestinya jangan melulu "rigid", kaku.. dalam setiap mewacanakan, merencana dan atau mengimplementasikan sesuatu. Tidak jaman lagi musti mutlak-mutlakan. Apalagi sikap selalu ingin menang-menangan berdasar ego talenta, ego perspektif dan ego sektoral. Tidak melulu sekarang musti pakai satu cara pandang sektoral semata, bak orang memakai kacamata kuda. "Live only in one single box". Sangat penting dewasa ini mempertimbangkan keutuhan, dinamika, sinkronisasi wawasan dan perkembangan kebutuhan yang selalu berubah variatif. Double perspektif bahkan multi perspektif. Theologi, politik, budaya, sosiologi, seni, kreativitas, etc. Seperti seseorang pemahat yang memahat pola tubuh manusia. Tentu dia tak hanya memperhatikan pola pahatan di sekitar "perut". Namun pemahat juga perlu memberi perhatian kepada perkembangan pahatan di bagian "raut muka, wajah, kepala, tangan, dada, kaki, jari, leher, kuku" dst. Jika pemimpin dan umat Kristen memiliki wawasan dan keterampilan membaca situasi seperti seorang pemahat itu. Yang berwawasan makin lengkap dan tidak melulu mengikuti ego-sektoral berikut latar belakang talenta/profesinya saja, maka dipastikan makin lengkaplah kualitas dan kuantitas seluruh aspek pertumbuhan dan kedewasaan umat/masyarakat yang dilayani atau dipimpinnya menuju penggenapan kehendak Allah.
Yang terakhir: keempat, sebagai bapak rumah tangga, pemimpin keluarga. Pak Harto dikenal sebagai pribadi yang sangat mengasihi isterinya dan sangat sayang kepada putera-puterinya. Juga adiknya. Namun, kita semua mengetahui bahwa dari situasi dan kondisi kiprah anak-anak keluarga Pak Harto dan adiknya(keluarga Cendana), banyak diketahui umum tidak memberikan contoh buah kesaksian yang baik dan benar. Anak yang kawin-cerai, menjadi buron dan masuk penjara, tersangkut narkoba, terlibat perjudian, menjalankan praktek bisnis dan perusahaan yang tidak etis, dll. Sangat disayangkan dan menjadi keprihatinan yang sangat dalam jika melihat keadaan/kesaksian anak dan cucu dari Pak Harto. Yang telah menjadi boomerang kerusakan seluruh integritas yang telah dibangun sangat lama oleh Pak Harto.
Pelajaran yang berharga bagi seluruh pemimpin dan umat Kristen khususnya di Indonesia, adalah bagaimanapun keluarga dan kesaksian keluarga/rumah tangga menjadi cermin yang sangat penting dan krusial. Janganlah sekali-kali kasih dan sayang orang/pemimpin Kristen kepada isteri/suami, anak, cucu, abang/adik dst, malah menjadi boomerang merusak seluruh sisi dan integritas kehidupan. Kasih dan sayang orang tua atau kakek/nenek yang tidak berlandaskan kebenaran, kesucian, edukasi, moral dan keadilan. Yang akibatnya berakhir dengan pertengkaran, berantakan, dan kehancuran! Buat apa kita memperoleh kehebatan, kekuasaan absolut, kekayaan (material) sampai berbukit bahkan menggunung-gunung dengan berbagai tanda kehormatan yang diperoleh, namun salah satu pilar inti dari kehidupan itu sendiri yaitu keluarga menjadi hancur luluh lantak berantakan.
So, dari keempat hal ini setidaknya mudah-mudahan menjadi poin pembelajaran berharga dan sangat penting dari sosok kepemimpinan Pak Harto. Semoga para umat Kristen pemimpin Kristen khususnya di negeri ini dapat mengambil makna/signifikansi yang makin dalam sekaligus mencerah. Mari dengan menengok masa lalu, kita bisa makin konsolidatif hari ini dan menatap ke depan. Pembelajaran baik di aras publik, hingga aras terkecil: aras pribadi dan keluarga.
Semoga melalui sosok Pak Harto dan dengan kepergian/wafatnya Pak Harto, akan mendatangkan era babakan baru bagi anak bangsa generasi pelanjut, terutama kemunculan kalangan umat/kristen pemimpin baru dan dibaharui dari anak bangsa di negeri tercinta ini.
May God guide His people and Indonesia!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment