Tulisan ini saya buat menanggapai komentar Bro. Hengky dari komunitas milis "Sudara", terkait wawancara Wartawan Fajar dengan Dr Jalalludin Rakhmat, ahli tasawuf perihal topik "Bangsa Ini Kehilangan Rasa Malu".
Menurut penelusuran saya selama ini, sebenarnya bangsa kita ini masih belum kehilangan rasa malu. Masih koq punya rasa malu. Namun sayangnya, rasa malu yang dimiliki bangsa ini kini adalah Rasa Malu yang keliru, yang salah, tidak benar, tak Bermoral. Rasa malu yang tidak sesuai yang 'against' kebenaran universil. 'Against' moral kebenaran yang berlaku universil.
Rasa Malu yang Keliru (RMK)atau Tak Bermoral (RMTB)
Rasa Malu yang Keliru (RMK) atau Rasa Malu Tak Bermoral (RMTB) yang dimiliki bangsa ini kini bukan hanya dianut mayoritas oleh para generasi muda, tapi juga kini turut dianut generasi lebih senior. Yaitu rasa malu yang dipunyai jika dilihat orang atau keluarga sendiri tidak kaya materi (uang). Rasa Malu jika tidak punya kedudukan apa2 (di perusahaan, di pemerintahan/politik, di bidang agama dan di tengah keluarga). Rasa Malu jika dianggap tidak beragama, tidak relijius. Rasa Malu jika dianggap orang kurang/tidak terpelajar (intelek), tidak terkenal (ngetop). Rasa Malu karena berasal dari kalangan minoritas (bukan suku/golongan/agama mayoritas), Rasa Malu akibat gender pula; karena ada kekurangan kelemahan bawaan sejak lahir(cacat fisik, tubuh pendek, wajah kurang cantik/ganteng, dll),Rasa Malu jika dianggap orang tidak ikut perkembangan/trend jaman, tidak nge-pop, menganut pop-culture bak artis atau selebritis. Rasa Malu bila dibilang katro, ndeso, culun (istilah Tukul).
Sayangnya Mengatasi RMK/RMTB dengan Respons Cara2 yang juga Keliru, Tak Bermoral !
Jenis atau 'spesies' Rasa Malu Keliru (RMK) atau Rasa Malu Tak Bermoral (RMTB) seperti ini menyebabkan banyak orang dalam bangsa ini, - untuk mengatasi Rasa Malunya yang Keliru dan Tak Bermoral itu - PARAHNYA melakukan upaya menghalalkan segala cara -menghalalkan segala bentuk2 perilaku melalui CARA yang Keliru dan Tidak Bermoral pula - untuk gimana bisa jadi kaya, punya kedudukan (perusahaan, politis), bisa dianggap orang cukup relijius, dianggap terpelajar (intelek), bisa ngetop, dianggap termasuk kalangan mayoritas, serta mengikuti trend nge pop bak artis. Demi ini semua, benteng moral dikorbankan; di 'sepak keluar', dihancurkan !!
Akibat Cara Mengatasi Keliru RMK/RMTB di tengah Masyarakat
Akibat dari respons dan cara2 mengatasi yang keliru terhadap RMK/RMTB ini, adalah sangat banyaknya bidang2 kehidupan di tengah bangsa ini yang sudah penuh dengan berbagai 'tindak sikap perilaku2 keliru' pula(istilah Suka Harjana 'kelirumologi'), potret masyarakat tidak wajar, naive/tolol, sulit diterima oleh akal sehat (irrasional) dan tentu sikap perilaku2 tidak bermoral.
Di bidang Politik dan pemerintahan dijalankan tanpa moral, jadinya birokrasi mandeg tidak jalan "bottle neck", dibuat 'sengaja' bertele-tele, berlaku paradigma "kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah.. agar dapat keuntungan atau 'proyek sabetan', kongkalikong dengan pengusaha, korupsi (KKN) merajalela, elit tidak bersatu - persaingan tidak sehat (busuk), kecurangan Pemilu/Pilkada, terjadi pembusukan2 di mana2; tidak punya pemihakan pada rakyat banyak menderita, tapi hanya memihak pada diri sendiri, keluarga inti dan golongan.
Pendidikan tanpa moral, jadinya: kecurangan ujian nasional UN, jual beli ijazah gelar, bullying, sistim dongkrak nilai, plagiatisme, sex in campus, dll.
Bisnis tanpa moral, jadinya: korupsi, bribery suap, penipuan2, cheating, permainan2 money game ala BMA, Drezzel, dll; praktek kolusi, praktek "perusahaan di dalam perusahaan", permainan 'lihai2an' siluman, manipulasi di bidang perpajakan, pencurian, pencucian uang, penindasan karyawan/pekerja, pembalakan hutan liar, ileggal logging, traficing, penyelundupan dimana2.
Hubungan personal dan relatives (kekeluargaan) tanpa moral, jadinya: nepotisme dan perselingkuhan2 amoral, nikah 'siri-sirian', perceraian, free sex merajalela, "win-win relationship" dalam hubungan personal dan kerja yang amoral, tidak sehat.
Hukum tanpa moral, jadinya: putusan yang berat sebelah, tidak adil, tebang pilih, tidak memenuhi rasa keadilan hati nurani.
Tradisi (pemimpin) dan praktek budaya tanpa moral, jadinya: belum adanya atau tiadanya fakta tradisi (pemimpin) & praktek budaya yang membanggakan generasi muda, tradisi sejarah kepemimpinan dan budaya yang dibangun serius dan faktual guna mampu membangun role model, suri keteladanan dari para nenek moyang, leluhur, pahlawan, founding fathers kemudian elit2 pemimpin di segala lini, khususnya dalam sokoguru nilai2 moral dan 'adiluhung' kepada generasi sesudahnya. Yang disosialisasikan tradisi sejarah perang, intrik2, kebusukan2, perpecahan2 pengkhianatan pemimpin, kehancuran2, tindakan2 barbar dan kekerasan berikut cara2 primitif lainnya untuk mengatasi rasa malu dan menyelesaikan berbagai bentuk perselisihan serta konflik. Dasar alasannya bukan akal sehat dan moral kebenaran universil untuk melakukan evaluasi sebagai cermin introspeksi diri, melainkan demi 'harga diri (gengsi)', rasa kesukuan, kedaerahan, rasa nasionalisme, rasa keberagamaan, almamaterisme dan cermin2 rasa primordialisme lainnya yang keliru, namun ingin dijadikan standar ukuran moral kebenaran. Akibatnya yang terjadi tindakan kekerasan dan violenisme, saling mematikan, syndrom kepiting - saling membalas dan menjatuhkan -, 'loose-loose solutions', taktik bumi hangus penuh angkara murka dan prahara. Hasilnya bukan membuahkan semangat perdamaian dan kesentosaan, tapi warisan dendam dan iri turun-temurun yang bisa berakibat kepada resiliensi budaya dan kepunahan peradaban.
Bukankah masih banyak perkara tindakan di masa lalu, yang sampai kini masih 'dibiarkan' tanpa ada solusi penuntasan, terus dipeti-eskan, belum diselesaikan secara moral, kebijakan, sosial dan kebangsaan.
Beragama (Bergereja) tanpa moral, jadinya: kesalehan palsu, kesalehan ritualisme (hanya dalam peribadahan) tapi tidak extent menjadi kesalehan sosial dan global, kepura2an saleh dan "sholeha", pietisme palsu, puritanis palsu, kehidupan "topeng" (kamuflase) - "suci putih bersih di luar, busuk di dalam". Melayani, beribadah rukun agama rukun iman bukan menjadi tujuan tapi sekadar 'alat', payung, topeng atau legal formalisasi untuk menutupi berbagai tindak licik, serakah, nafsu dan curang, penipuan2 halus berkedok agama, kejahatan moral, perilaku2 amoral dari para pelaku atau para pemainnya - yang sulit tersentuh hukum.
LSM2 swadaya dan agen2 development tanpa moral, jadinya: eksploitasi orang2 miskin, susah, terpuruk, korban bencana, komunitas tercecer, terjepit, daerah terisolir, dll "menjual" kemiskinan lalu melakukan pengumpulan, penggalangan dana (fund-raising), namun kemudian dana/uang yang terkumpul bukan untuk para korban dan orang miskin, tapi digunakan untuk kepentingan dan kesenangan sendiri serta keluarga; atau digunakan untuk kepentingan lain yang tak ada hubungannya dengan program pengentasan kemiskinan, keterpurukan dan bencana.
Moral dan Cara benar dan bermoral Ibarat Jantung.
Moral atau benteng moral termasuk cara2 benar dan bermoral mengatasi rasa malu bisa diibaratkan dalam diri seseorang, adalah jantungnya seseorang. Jika moral dihancurkan, 'disepak keluar', akibatnya sudah jelas pembusukan seluruh tubuh, cepat atau lambat. Kematian, keterpurukan, kehancuran dan kebinasaan. Jika tubuh manusia itu adalah cerminan bangsa, maka bangsa sangat pasti akan menuju kematian, keterpurukan, kehancuran dan kebinasaan.
Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB): Ini yang Hilang, padahal Seharusnya Ada dan Konsisten Dipertahankan!
Yang tinggal sedikit dan sudah makin hilang dari tubuh bangsa ini, adalah jenis Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB). Rasa Malu Keliru atau Tak Bermoral (RMK/RMTB) semakin bertambah banyak, RMBnya ini yang sedikit sekali untuk tidak mengatakan hilang. Padahal yang harusnya dimiliki bangsa ini dalam jumlah banyak adalah Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB). Jenis rasa malu yang benar ini, committed kepada kebenaran (moral) universil. Rasa Malu yang sangat2 besar, tidak terkira, jika harus berbohong, berdusta, berbuat kesalahan, melanggar peraturan, tidak tegas (lembek, mencla-mencle) terhadap pelanggaran aturan, berbuat menipu, membunuh, mencuri, memeras, memalak, bullying, teror kekerasan, mengkotak2kan orang (membuat stigmata, labelisasi), meremehkan dan tidak menghargai orang, menyuap, tidak bisa dipercaya oleh orang, melakukan character assasination pada pihak lain, melakukan tindak brutal, memfitnah, dianggap dalam proses tidak mampu (uncapable), wanprestasi, kinerja jelek; melakukan manipulasi data proyek, menyontek, berzinah, mempraktekkan hubungan selingkuh atau 'kumpul kebo', menikah 'tidak resmi', pelecehan seks, tidak bisa diterima/dibenci oleh sesama atau publik (mungkin karena kikir), melakukan free sex, menjadi pengedar narkoba, pura-pura saleh atau 'sholeha', melakukan praktek babi ngepet, 'memelihara tuyul' atau ke dukun/paranormal santet', memakai uang korupsi dan hasil kejahatan untuk tujuan amal/derma (Robin Hood style), dst dst.
Demikianlah, RMB seperti inilah yang nyaris hilang terkikis dan terlindas dari tubuah bangsa, banyaknya digantikan oleh Rasa Malu Keliru yang Tak Bermoral (RMTB) seperti telah diuraikan sebelumnya. Maka, kalau sudah begitu sudah bisa ditebak diprediksi bagaimana 'kesudahan' dari bangsa ini, bila tidak ada perubahan arah hidup secara revolusioner ('revolusi moral'). Kebiasaan (bad habits) atau budaya tak bermoral harus secepatnya dihentikan dari tengah bangsa ini. Kalau tidak akan terlambat, kebablasan. Solusi dan mandat kebudayaan harus diemban. Mandat untuk mengupayakan terjadinya perubahan transformasi dari 'budaya tanpa moral' kepada'budaya bermoral'.
Altenatif Solusi Mengatasi Rasa Malu yang Keliru atau Tak Bermoral (RMK/RMTB)
Yang bisa jadi solusi, untuk mengatasi Rasa Malu yang keliru (RMK) atau Tak Bermoral (RMTB), salah satu yang penting PERTAMA adalah adanya kemauan untuk merubah paradigma, cara pandang dan pikir yang keliru terhadap orientasi hidup. Mau belajar untuk terus.. lebih banyak hidup bersyukur, mensyukuri terhadap apa yang ada dan dipunyai sekarang; Rasa Malu keliru tersebut tidak usah jadi 'kepikiran' dan masalah dalam batin dan jiwa. Sebenarnya, RMK ini tidak perlu ada, jika kita mampu merubah paradigma dari "paradigma sekadar ikut2an orang atau dunia' kepada "paradigma bersyukur dan hanya mau turut kepada apa yang benar". Tidak perlu dalam hidup terlalu melihat 'keluar' pada orang lain dan 'memandang ke atas'. Kenapa mesti malu kalau tidak kaya? Kalau tidak terlalu berkedudukan tinggi, tidak terkenal (orang biasa saja), tidak ngetop, tidak terlalu intelek? Belum tentu apa yang cocok, dipunyai oleh orang lain, cocok bagi hidup kita. Syukuri keadaan dan hal2 yang ada dan telah dipunyai pada kita, pada masa sekarang. Tidak perlu neko-neko. Kecukupan sehari, cukuplah untuk sehari. Jangan terus2an terlalu khawatir tentang hari esok, meski hari esok perlu diantisipasi dari sekarang. Syukuri hal2 yang telah terjadi dan telah menjadi berkat dari dulu hingga sekarang.
Perubahan Cara Pandang terhadap Diri Sendiri (Pemulihan Citra Diri).
Hal KEDUA yang sangat penting, adalah yang berhubungan dengan rasa malu akibat sifat atau bawaan sejak lahir. Kenapa mesti malu jika kita terlahir sebagai orang Kristen misalnya, yang adalah golongan minoritas di negeri ini. Kenapa mesti malu bila kita terlahir sebagai orang Cina, orang Batak, orang Papua yang kebetulan adalah golongan minoritas? Kenapa mesti malu bila tubuh perawakan kita pendek, tidak terlalu ganteng atau cantik? Kenapa mesti malu bila kita seorang perempuan? Kenapa musti malu bila kita anak bungsu atau bontot? Dst. Rasa Malu seperti itu kan tidak beralasan, karena 'kesemua-muanya' terkait sesuatu yang sudah given, yang ngga bisa kita tolak, bawaan dari lahir.
Alternatif solusi untuk RMK ini, adalah kembali perubahan pola pikir dan cara pandang atas diri sendiri(atau dalam bahasa beberapa teman "pemulihan citra diri') bahwa sebagai peta miniatur Allah (God's image) kita sudah diciptakan sungguh amat baik. Kalau ada 'kekurangan/kelemahan' dari bawaan lahir kita dari sudut pandang manusia mayoritas, bukan harusnya membuat kita merasa malu, tapi seharusnya 'yang mayoritas' itu yang seharusnya malu, karena pasti ada rencana Tuhan yang teramat baik dan agung di balik 'kekurangan/kelemahan kita', karena itu justru akan menjadi 'ciri khas dan keunikan' sekaligus 'kekuatan' kita yang tidak dipunyai oleh mayoritas, yang bisa membuat kita maju.
Maka, bila kita mempunyai respons dan paradigma cara pandang yang benar menyikapi RMK/RMTB tersebut, maka otomatis pasti RMK dan RMTB segera akan semakin lenyap dan tereliminasi dari kehidupan dan dari diri.
Alternatif Solusi untuk Mengatasi Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB)
Sedangkan solusi untuk mengatasi Rasa Malu yang Benar, yang Bermoral (RMB) tidak lain dan tidak bukan cara yang paling 'cespleng' adalah bertobat, mau bertobat. Mau mengakui kesalahan dan cara2 yang tidak benar yang telah ditempuh. Tidak hanya di depan diri sendiri, dan di depan Tuhan. Tapi juga jika harus, ya di hadapan orang lain - orang2 dekat dan publik. Kalau untuk kebaikan dan kemajuan diri dan bersama, kenapa harus malu mengakui kesalahan. Itu ciri orang yang berjiwa besar, elemen bangsa yang besar. Mau mengakui kesalahan. Tunduk pada otoritas Kebenaran, kebenaran yang universil. Mau dan sedia juga terima sanksi atas segala kesalahan, dengan kelapangan dada dan jiwa besar. Baik sanksi administratif, organisasi, sanksi moral, sanksi sosial dan sanksi rohani (terkait berkat2 rohani dari Tuhan yang mungkin 'terhambat'). Dengan jiwa besar mau berubah, setelah mengevaluasi diri seluruh perilaku yang telah dijalankan dengan menengok ke belakang sejenak. Setelahnya, melakukan rencana tindak ke depan, tindakan2 korektif, melakukan perubahan2 tindakan2 perbaikan2 dan peningkatan nyta sampai menjadi kebiasaan dan gaya hidup baru yang lebih baik, bagus, benar dan berkualitas.
Demikianlah..solusi, upaya2 dan tugas mandat seperti ini yang seyogianya harus dilakukan guna memberantas jenis2 Rasa Malu (baik RMK/RMTB maupun RMB)yang telah berurat berakar dalam diri dan tubuh bangsa ini, sehingga bangsa akan mengalami perubahan menjadi bangsa yang makin maju, sejahtera dan berkualitas.
Siapa yang akan Menjadi Pelaksana Mandat Perubahan Pola Pikir dan Budaya Keliru & Tak Bermoral?
Nah, sekarang siapa yang menjadi pelaksana mandat kebudayaan dan perubahan pola pikir yan keliru ini? Pelaksana mandat kebudayaan ini adalah kita semua terutama yang telah celik masih sadar bahwa tingkat budaya immoral atau tak bermoral kita sekarang sudah semakin menyentuh titik nadir. Sangat perlu tindakan kuratif, pengobatan dan perubahan revolusioner terutama di bidang moral.
Salam perubahan (revolusi moral),
Hans Midas Simanjuntak :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment