Thursday, October 12, 2006

Oleh2 dari Perjalanan Saya ke Papua (2006)

Hari ini (12/10/2006) saya baru tiba dari pedalaman Papua. Selama setengah bulan ini, saya dan team pelayanan Paguyuban BAKTI NUSA cq Tim Kerja Gerbang Timur (Go East Mission) diundang utamanya oleh Persekutuan Gereja2 di Papua (PGPP), Keuskupan Katolik, unsur Pemda/Pemkab (beberapa Bupati/Wagub) dan LSM untuk mengunjungi wilayah2 pedalaman di Papua. Sejak September lalu, kami berkunjung lewat Sorong, Timika, Pomako lalu ke Agats (18 jam kapal laut dari Agats), ke pedalaman suku Asmat di Atsy (3-4 jam dengan speed boot dari Agats, Ewer, lalu ke kota paling selatan Papua: Merauke dan perkampungan suku Mappi, kemudian ke Wamena dan Pegunungan Bintang, berakhir di Jayapura, Abe, Sentani dan pemukiman kembali suku Paniai di Arso berikut daerah perbatasan yang berbatasan langsung dengan PNG dan Biak-Yaropen.

Sangat menggembirakan, sebagai umat Tuhan di tempat-tempat terisolir suku-suku Papua, saya masih bisa sempat bertemu dan sharing dengan banyak umat Tuhan dari berbagai kalangan, baik yang bertugas sebagai guru, pegawai Pemda, polisi, tentara dan pengelola usaha, penginjil dan pastur, dll) namun, yang paling banyak saya temui di wilayah2 pedalaman tersebut adalah pendatang2 dari suku Bugis, Buton, Jawa, Makassar, Tionghoa/Cina, TorajaTual dari Kep.Kai, Maluku, Keyser dan Ternate, Flores, Timor, Manado, berikut orang2 bule yang bertugas sebagai misionaris Katolik di Keuskupan dan Protestan dan bule2 LSM yang mengkhususkan diri di Papua.

Kelompok yang pertama, hampir seluruhnya bergerak di bidang perdagangan dan ekonomi, kemudian di bidang birokrat Pemerintah, pendidikan dan kesehatan, serta yang terakhir bergerak di bidang agama dan misi. Lonjakan misi dan dakwah2 Islam sangat terasa di hampir semua tempat pinggir2 pedalaman dan kota-kota yang kami jumpai seiring dengan perambahan bidang ekonomi, retail dan perdagangan usaha yang dilakukan sampai ke wilayah pedalaman bersentuhan dengan tanah-tanah ulayat yang bertahap semakin dilepaskan dan dengan tanah-tanah misi.

Cermin pertumbuhan ini terlihat dengan bertambahnya secara pasti mesjid2 dan mushola2 yang sekaligus mengubah konfigurasi prosentasi populasi masyarakat berdasarkan agama, di pedalaman dan kota-kota. Di Merauke sebagai contoh, perbandingan populasi penduduk Kristiani (Katolik dan Protestan) dan Islam telah mencapai 50:50. Yang paling banyak berkecimpung dalam tugas dakwah ini adalah dari Muhammadiyah, Khalwatiah, juga tarekat2 serta mazhab2 alumni IAIN di Jawa dan Sulawesi.

Dari Keuskupan Katolik, yang banyak terlibat di suku2 Papua, umumnya adalah dari tarekat ordo OFM, MSC, OSC (Salib Suci) dan Pr (Projo). Dari Protestan, yang paling banyak di temui adalah dari denominasi GKI Irja, GIDI (Gereja Injili di Indonesia), Kingmi, GPKAI, Baptis, GPdI dan Adventis.

Tujuan kami adalah ingin melihat secara langsung potret pelayanan terakhir Papua dan belajar dari keadaan di jantung komunitas-komunitas Papua, dan mencermati/menginisiasi apa yang kira2 bisa dibuat secara korporat dan kongkrit dengan teman-teman serta pihak2 terkait, sebagai wujud "Go East Mission" kami guna turut menolong, melayani serta upaya partisipasi memberdayakan komunitas masyarakat di Papua secara utuh (holistik) berdasarkan prinsip, worldview dan nilai-nilai transformasi kasih Kristen.

Sesungguhnya masih sangat banyak "lapangan" kebutuhan bagi lk. 251 suku-suku yang ada di Papua dengan bahasa2 yang sangat berbeda; jumlah populasi sekitar 2,4 juta jiwa (seperlima populasi kota Jabodetabek) yang menghuni luasan pulau besar seluas 3-4 kali pulau Jawa. Beberapa suku besar saja kami sempat berinteraksi, yaitu suku Asmat, suku Dani, suku Sawi, suku Mappi dan suku Paniai.

Meskipun Injil telah lama masuk di tanah Papua dan banyak gereja dari berbagai denominasi tersebar di wilayah2 termasuk pedalaman, namun tantangan pemberitaan Injil seutuhnya yang memerdekakan masih sangat dibutuhkan bagi seantero komunitas di Papua. Kesempatan dan tantangan2 pemberitaan Injil sekaligus "ancaman" yang dihadapi di berbagai bidang hidup sangat lekat di depan mata. Jiwa-jiwa yang haus akan Injil yang membaharui sangat dirasakan di Atsy, Agats, wilayah Mappi, pedalaman Wamena dan pemukiman Arso dan Waena.

Kami sempat menginisiasi KKR, konsultasi doa dan seminar "pembukaan visi" (worldview) di sana. Respons masyarakat yang haus akan sabda Tuhan sangat besar terhadap firman Tuhan dan pentingnya peranan doa. Namun tantangan kerohanian di sana, adalah masih sangat lekatnya budaya komunitas suku2 dengan budaya animis, pemujaan terhadap Kes (menurut istilah Asmat, yang berbeda sebutannya untuk suku2 lainnya di Papua),

Papua tanah yang sangat subur, sangat sangat kaya sumberdaya alam (LNG, emas, tembaga, batubara, batuan bernilai, dll), 2/3 dipenuhi hamparan hutan tropis dan pegunungan yang luar biasa, tanah berciri grumosol, andosol, dll, liat-lumpur (kuala lumpur) dan luasan garis pantai yang bukan main panjangnya. Hamparan hutan sagu, bakau, kayu gaharu dan liuk-liuk sungai besar dan kali-kali potong berkilo-kilo meter. Sangat berbeda dengan karakteristik yang dijumpai di Sumatera, Kalimantan atau Sulawesi.

Namun, selain belum semua ditata-layani dengan tepat-baik dan benar (TBB), tantangan globalisasi dan "migrasi" bergelombang yang sangat intensif terjadi, membuat pembuat kebijakan dan praktisi masyarakat komunitas di Papua belum berapa siap alias kewalahan dalam mengantisipasinya. Masih banyak social-gap, shock budaya yang langsung kami lihat. Bahasa sederhananya membuat komunitas2 indigenous bingung.

Mayoritas mereka adalah kantong2 komunitas kristiani (katolik dan protestan). Budaya komunitas lokal yang tidak siap menerima gempuran gaya hidup global dan migran dari pendatang luar, yang akhirnya dipaksa siap walau kelihatan sekali keteteran. Apalagi di komunitas "hinterland" yang sarat dengan kehidupan yang masih primitif: rumah-rumah gaya honay, rumah-rumah adat yang disebut jew (baca: jeu, rumah bujang) yang bisa terisi sampai 500 orang laki-laki, belum atau tidak berpakaian, upacara ritual bakar batu, cara hidup meramu (bergantung pada alam dan hutan), tari2an dan ukiran tradisional, masih dalam fase tradisional pra-modern di tengah gegap gempitanya fenomena post-modern dewasa ini di berbagai belahan dunia.

Tidak heran, kebutuhan (felt-needs) akan pelayanan pemberdayaan masyarakat, development, usaha dan advokasi HAM bagi komunitas2 masih sangat sangat besar. Tingkat kematian mortalitas rata2 antara 30-45%, berbagai penyakit yang belum dapat diatasi seperti diarhe, malaria (yang ganas: tropicana dan tertiana), lalat babi, busung lapar dan rawan gizi, penyakit kulit cascado, ISPA, dan terakhir yang mencengangkan adalah HIV/AidS yang tingkatnya paling mengkhawatirkan di Indonesia. Jumlah dokter yang dihasilkan oleh Uncen masih sangat sedikit. Dokter2 yang bertugas di wilayah Papua kebanyakan masih dokter-dokter PTT dari luar Papua terutama dari Jawa. Itu dokter umum. Dokter spesialis masih belum ada yang permanen.

Bila di Jawa dikenal istilah "mo limo" atau 5M (mabok/minum, maling/tipu/mencuri, main judi, madon/seks bebas), di komunitas2 Papua menjadi barang keseharian yang kerap dijumpai. Cermin "hawa" moralitas yang memprihatinkan namun dilakukan dalam gaya hidup pra-modern. Jika di Jawa, orang mabok atau narkoba cendrung tidak mengganggu orang lain, maka di Papua kecendrungan mabok, "ngaibon" (menghirup lem sejenis aika aibon) dan mencuri kerap mengganggu hidup masyarakat di jalan-jalan, dermaga2 dan pasar-pasar. Tidak heran, tim kami termasuk saya cukup banyak kehilangan barang2 (Hp nokia terbaru saya yang berisi lk. 300-an data nama termasuk "menguap" tak tahu rimbanya dimana.. he.. he).

Bidang Pendidikan dasar, angka buta huruf masih sangat tinggi. Langkanya sarana pendidikan mulai dari TK, SD, SMP dan seterusnya. Anak2 yang berkeliaran tidak sekolah dan berkubang di rawa, pesisir dan hutan. Pola asrama anak-anak dan asrama sampai tingkat mahasiswa menjadi tantangan besar, agar mereka dapat dibina, diasuh, diarahkan, didisiplin dan diberdayakan secara layak menjadi manusia seutuhnya. Alumni2 perguruan tinggi seperti Uncen yang dilahirkan, yang memiliki dedikasi dan skill yang memadai, masih dalam jumlah relatif sedikit dibanding kebutuhan. Begitu juga mereka yang dikirim ke luar Papua. Tidak heran, jumlah pendeta indigenous komunitas suku Papua bisa dihitung dengan jari. Belum ada pastur yang lahir dari suku asli Papua. Di area birokrasi Pemda, LSM, pendidikan persekolahan dan usaha bisnis, tempat2 strategis diduduki hampir seluruhnya oleh kaum pendatang seperti yang telah saya sebutkan di atas.

Di bidang ekonomi perdagangan sehari-hari, hampir dikatakan 90-98% komunitas asli Papua tidak ada atau tepatnya tidak/belum tertarik/belum sadar berkecimpung di bidang penting ini. Meskipun cara hidup kolektif sangat kental, namun bidang-bidang produktif seperti ini belum mampu melahirkan pola usaha, dagang, kewirausahaan, koperasi, credit-union, kios dan warung2 dan kontraktor yang memadai guna memandirikan kehidupan sehari-hari mereka.

Pemanfaatan sumberdaya alam, hampir semua dilakukan oleh perusahaan2 asing seperti yang kita kenal Freeport di Tembagapura, Korindo (Korea) di Merauke dan Boven Digul (Tanah Merah), British Petroleum LNG di Bintuni Kepala Burung dan masih banyak yang lain. Masyarakat setempat menjadi "penonton" klasik di tengah hiruk-pikuknya industri pertambangan yang berlangsung sangat luar biasa. Kayu gaharu menunjukkan gejala yang semakin "habis" oleh logging yang sangat intensif dari pendatang.

Di bidang sarana dan prasarana, seluruh pasar masih berciri tradisional dengan komoditi yang tidak begitu besar variasinya. Jalan-jalan masih sangat terbatas. Di kuala lumpur daerah "perut" Papua masih berupa palar-palar atau papan-papan kayu besi (kayu ulin) sebagai jalan untuk dilalui oleh kaki tanpa sepeda motor apalagi mobil. Jalan trans Papua Jayapura menuju Wamena berjarak 560 km masih jauh dari selesai. Jadi seluruhnya jalan yang kami lalui, kalau tidak dengan pesawat (Merpati, Twin Otter, Cassa, pesawat misi MAF), kami lakukan melalui kapal laut - kapal perintis seperti KM Maroka Ehe dan speed boat atau long boat dengan mesin Yamaha Diesel masuk ke berbagai wilayah pedalaman, seperti Pantai Kasuari, Yamas, sampai Suator berbatasan dengan Yahukimo melaui bivak-bivak tempat kediaman sementara pinggir sungai dan kali suku pedalaman. Kapal penumpang yang melintas Papua, hanya satu, yaitu KM Kalimutu. Selebihnya adalah kapal-kapal relatif kecil atau perahu-perahu barang, seperti KM Wulandari, KM Korindo dengan jelajah dari Jawa (Jakarta, Surabaya) melalui NTB dan NTT lalu masuk ke pedalaman2 Agats, Atsy, Merauke sampai ke Boven Digul.

Selama perjalanan, selain ditemani beberapa pendeta, pengabar Injil, aktivis LSM development dan aktivis social-business persons, kami sempat berjumpa dan beraudiensi dengan para Ketua Sinode gereja-gereja, pimpinan2 gereja dan penghentar jemaat, para Uskup- Monsigneur dan pastor-pastor2 dan zuster2 Katolik, Kepala2 suku dan ketua adat suku2 Asmat, Akad, Sawi, Pantai Kasuari, Mappi, dll, aktivis MRP (Majelis Rakyat Papua), aktivis jaringan doa Papua dan Indonesia Bagian Timur), para bupati/wakil bupati serta istri bupati/isteri wabup, pebisnis sosial pelayanan di berbagai kota Papua, tokoh2 LSM dan aktivis microfinance (koperasi, PSE, perbankan) lokal dan LSM internasional yang bekerja di Papua, guru-guru lokal di samping langsung dengan keluarga2, jemaat, paroki dari komunitas beberapa suku2 Papua.

Demikian oleh-oleh perjalanan pelayanan yang telah kami jalani dari pedalaman Papua, semoga bermanfaat dan memberi gambaran yang mungkin berguna sekaligus memberi inspirasi, insights, aspirasi atau mungkin beban pelayanan bagi kita yang mencintai negeri ini, tugas developments sosial-ekonomi, cinta sesama dan kemanusiaan, terutama bagi saudara2 kita berbagai suku2 di tanah Papua.

Saya betul2 merasa berada di ujung bumi kali ini.

Dormomo ! Nayak ! La'uk ! Wah..wah, Horass !!

Salam pelayanan,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)

Monday, October 2, 2006

Komentar Saya Soal: Gereja Konvensional & Karismatik; Kekristenan & Adat Batak

Sebenarnya, dari beberapa tulisan beberapa kali, secara implisit saya telah menelisik/ mempertanyakan terkait kedua topik "cukup pelik" ini. Terutama dalam hubungan dengan fenomena "kemiskinan dan pemiskinan spiritual & sosial yang telah dan sedang terjadi di Tapanuli (Tanah Batak) dewasa ini. Berikut bagaimana kira2 mencermati penanggulangannya. Tanah Batak disini bisa diperluas pengertiannya untuk seluruh komunitas orang Batak di mana pun, termasuk Batak diaspora dan generasi mudapenerus Batak Kristen.

Thesis saya mengenai ini cukup sederhana, namun tidak gampang mungkin dalam mengimplementasikannya:

1. Soal Gereja Konvensional (Protestan) vs Gereja Karismatik.

Sederhanan saja, Jika Gereja Konvensional dalam kiprahnya cukup bermutu, dalam hal:
- Keandalan doktrin Kebenaran yang sehat (apakah itu Lutheran atau Calvinist/ Reformed), serta kuat dan cakap dalam apologetika dan penyebrangan dasar2 ajaran ke lingkungannya,
- Leadership nya mulai di pucuk pimpinan termasuk pimpinan STT yang bertanggung jawab atas kurikulum dan penggemblenggan calon pemimpin jemaat/gereja dan pimpinan2/pendeta/pengurus yang ada punya cara pandang (NDH: BBB) yang seiring/selaras - terutama dalam visi-misi-strategi-policy-implementasi penjemaatan,
- Melayani dengan penuh integritas (jujur)/keteladanan, jiwa melayani dan spirit kegembalaan/pastoral yang memadai dan tidak pilih kasih, memiliki kedewasaan rohani yang cukup(bukan hanya penguasaan ilmu theologi), tidak hanya condong mengedepankan materialisme dalam melayani,
- Mau terus belajar (open-minded) dan "mendengar", cerdik-bijak, kreatif mengikuti perkembangan di luar mimbar - tidak picik dan jaga image, memiliki confidence yang benar dalam melihat perkembangan SDM, SDA, SDT, SDK internal & eksternal,
- Tidak terus kaku dalam perceiving worship-service (kebaktian jemaat) yang menjadikan pola liturgi sebagai "harga mati", namun belajar "sedikit" ilmu service serta pendekatan pola service dari ahli-ahli di bidang manajemen,
- Memahami dunia persaingan dan kemitraan (NDH: BBB),
- Memahami cara2 membangun image baru bagi organisasi,
- Mengeliminasi segala ekses2 kejadian yang "tidak enak ditelinga" seperti kejadian2 seperti contohnya kasus yang terjadi di HKBP Pd Bambu dan tempat2 lainnya,
..................
Maka saya kira kita tidak perlu merasa takut dan akan tetap mampu confidence terhadap segala bentuk "ancaman/serangan/kritik dari pihak2 atau pengikut (fans) baik yang berada di dalam maupun di luar Gereja Konvensional - ya dalam kasus ini dari Gereja Karismatik. Kuncinya, seperti yang sudah berulang2 dibahas di milist ini: Kita perbaiki dari dalam, ecclesia semper reformanda est (internal reformation all the time). Jangan mengulang kesalahan yang sama lagi, evaluasi diri lalu tetapkan satu rancangan ke depan yang lebih baik-benar-bagus, kemudian..... mulai tingkatkan kapasitas dan kemampuan profesi serta berlaku dan bersikap rendah hati (tidak usah membangga2kan diri). Dua kalimat terakhir ini, saya kutip dari buku best-seller "Good to Great" dari Jim Collins (2004).

Saya yakin, bila hal2 di atas bisa dilakukan Gereja Konvensional secara tepat dan bersama-sama, maka "domba-domba" atau "warga2 itu" akan kembali ke kandangnya tanpa perlu lagi dipaksa-paksa, diperingatkan (dimarahi), diprovokasi, "di hipnotis", atau diagitasi. Dia balik kandang dengan senang hati dan penuh "sukarela" dan gembira.

2. Soal Kekristenan dan Adat Batak.

Saya kira sudah cukup ada literatur-lituratur, seminar, bahasan yang tersedia mengenai topik ini. Termasuk dari Lae Mangapul Sagala. Walau harus diakui sosialisasinya terkadang belum seintensif yang diharapkan banyak orang Batak Kristen, agar bisa lebih dimengerti oleh seluruh komunitas/orang Batak di berbagai tempat.

- Yang mendesak adalah: Bagaimana runutan serta rincian pandangan yang tegas, jelas dan lugas dari Gereja Konvensional terhadap seluruh tatanan Adat- Batak: menerima, menerima dengan catatan, atau menolak? Yang diterima/ditolak/diterima dengan catatan, yang mana saja? Cukup banyak uraian item-itemnya dalam pilar-pilar "way of life" Adat Batak: Dasar falsafahnya (paradigmanya), Sistem-prosedur tata cara paradaton nya (untuk perkawinan, kematian, kelahiran, dll),medium2 /alat2/sipanganon/materi bahan dll yang dipakai, dan legenda/mitos/pengenaan Penerapannya dalam kehidupan sehari-hari bagi orang Batak.

Jika pun diterima bagian2 dari sistem prosedur adat Batak, mesti jelas apa alasannya (theologis, filosofis, sosiologis). Begitu juga jika ditolak atau diterima dengan catatan.

Kalau sampai ditolak/diterima dengan catatan, bagaimana solusinya agar warga mendapat jalan keluar dalam item-item adat itu bisa bersama-sama maju. Tinggalkan begitu saja (ganti yang baru, pakai cara pihak luar, cara modern dari mana?), atau diubah pola2 kebiasaan melalui pola transformatif menuju item prosedur/material adat yang dibaharui.

Jika seorang Batak di era Batak Baru, Kristen, mungkin ckp "mencurigai" atau meragukan pola tata-aturan sosial paradaton Batak sejatinya pernah dibangun di atas dasar peradaban tua animisme-Hindu Kuno-Budhisme dalam waktu yang lama; Atau paling tidak merupakan upaya sinkritis, blended, dari kepercayaan Animisme-Hindu Kuno-Budha Kuno dengan ajaran Kristen yang dibawa Nommensen pertama kali, dengan unsur2 Liberal-Modernisme, ..... apakah kemudian dia/mereka harus dilarang punya sikap dan "kecurigaan/keraguan" pemikiran demikian? Tentu kan tidak. Harus ada penjelasan dari kita. Sekarang eranya penjelasana, dialog. Why why?

Nah, dalam upaya mengkaji kembali "bangunan arsitektur" tata-adat budaya Batak di era Batak Baru ini, jelas sangat membutuhkan Konsensus Bersama, yang harapannya akan bisa terbangun "Bangunan Arsitek Adat Budaya Batak Era Batak Baru" yang diterima sebagai stream besar; di mana jika mungkin bukan saja bisa melibatkan Pimpinan tertinggi Gereja Konvensional, namun juga "orang2 paling berpengaruh" dari kelompok2 non-Gereja Konvensional yang peduli terhadap Batak; juga tokoh2 politik, pemerintahan, pengusaha, LSM dan pemuka adat khususnya yang berada di dalam masyarakat internal Batak Kristen.

Jika sudah ada keputusan bersama yang lugas, jelas dan tegas dari para pimpinan seluruh pihak dalam internal Batak yang Kristen, dan/atau internal Kristen yang Batak, saya yakin warga jemaat - keluarga - anggota komunitas terutama Batak yang Kristen/Kristen yang Batak beserta generasimudapenerus nya tidak perlu kebingungan dalam menentukan keputusan/pilihannya, menyangkut imannya dalam kaitan dengan adat Batak. Karena sisi "imannya" ini, nanti juga akan berpengaruh pada keputusan/pilihan mereka dalam menentukan keberadaan di Gereja mana mereka ingin bertumbuh: Gereja Konvensional atau Non Konvensional.

Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)

Foto udara Pulau Alor NTT

Foto udara Pulau Alor NTT
Photo, 2007