Monday, January 28, 2008

Bagi Umat/Pemimpin Kristen: Pelajaran Berharga Apakah yang Dapat Diperoleh dari Sosok Kepemimpinan "Pemimpin Besar" Soeharto?

Informasi dari Transforma Sarana Media (TSM/NS-08. Jan 2008).

Bagi Kita Umat/Pemimpin Kristen di Indonesia: Pelajaran berharga sangat penting apakah yang sesungguhnya dapat kita peroleh dari Sosok Kepemimpinan "Pemimpin Besar" Soeharto?

Seperti kita sudah ketahui bersama, Pak Harto mantan presiden (presiden ke-2) Republik ini, telah wafat pada hari Minggu siang kemarin, tanggal 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta dalam usia menjelang 87
tahun. Pak Harto wafat karena gagal multiorgan setelah dirawat selama 24 hari.

Liputan media cetak dan elektronik termasuk hampir semua channel TV pusat dan lokal propinsi begitu sangat luar biasa, sejak masuknya kembali Pak Harto ke RSPP untuk dirawat intensif untuk kesekian kalinya di awal tahun 2008 ini hingga upacara persemayaman di Jl Cendana Menteng Jakarta mulai Senin pagi 28 Januari 2008, berlanjut iring-iringan ke Lanud Halim Perdanakusumah untuk kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Pak Harto di Astana Giribangun Karang Anyar Solo, Jawa Tengah pada siang itu juga.

Berbagai komentar, perbincangan, editorial, tanggapan, tulisan untuk mengenang kembali sang Jenderal Besar ini telah disampaikan oleh banyak kalangan, bukan hanya di dalam negeri namun juga sejumlah kalangan di luar negeri.

Namun, sejauh tanggapan dan komentar itu ada, bagaimana sesungguhnya pandangan ataupun komentar orang Kristen sendiri? Buat umat/pemimpin Kristen anak bangsa khususnya di Indonesia, apa kira-kira pelajaran berharga sangat penting yang bisa atau boleh dipetik dari sosok kehidupan kepemimpinan "pemimpin besar" Pak Harto itu?

Secara spontan, "thinking on my feets", saya sempat merenungkan dan membincangkannya dengan beberapa teman sejawat. Pasti akan banyak pelajaran berharga yang dapat kita petik. Namun, paling tidak dari perbincangan dan perenungan kami, sedikitnya dapat dipetik empat (4) pelajaran berharga sangat penting yang barangkali berguna bagi kehidupan dan kemajuan umat/pemimpin kristen khususnya di sini. Yang lainnya, mungkin dapat Anda tambahkan.

Empat (4) pelajaran penting sangat berharga bagi umat/pemimpin kristen Indonesia anak bangsa, adalah sebagai berikut:

Hal pertama, kalau mau jujur bila kita lihat Pak Harto dalam hampir seluruh hidupnya, suka atau tidak suka, sesuai atau tidak sesuai dengan keyakinan Kristen kita, beliau begitu sangat menekuni menghidupi "agama" atau kepercayaan yang diyakininya sejak kecil, yakni kepercayaan Kejawen, kepercayaan Jawa. Manunggaling Kawula Gusti. Dari yang bercorak ritual olah kebatinan sampai praktek semedi berikut keilmuan ("ngelmu") yang bercorak kanuragan, ia sangat pahami dan kuasai. Ketaatan dan ketekunannya sangat mewujud terekspresi dalam hampir semua pola hidup dan aktivitasnya, kebijakan dan implementasi keputusan2nya sebagai Presiden selama 7 periode, 32 tahun. Ketokohannya di berbagai bidang hidup termasuk di berbagai yayasan2 yang ia pimpin, semua "diwarnai" dengan filosofi, gaya, nilai2 dan keyakinan "iman" yang dipercayainya. Pak Harto tidak hanya menekankan urgen pentingnya aspek spritualitas terkait olah kebatinan Kejawen yang diimaninya, namun ia juga dengan sangat seksama begitu peduli terhadap bidang kehidupan lainnya (ipoleksosbud hankamrata) terkait dengan wawasan budaya dan kepercayaan Kejawennya.

Meskipun kontradiktip, apa yang bisa kita pelajari? Dari contoh ini, secara positip dalam konteks Kristen sebenarnya umat/pemimpin Kristen atau pemimpin yang berlatar belakang kristen di negeri ini, harusnya dapat belajar.. meneladani bahwa menjadi orang Kristen, sudah saatnya tidak hanya sekadar berlabel agama Kristen atau ber-KTP Kristen belaka. Atau jika sudah menjadi Kristen, seyogianya tidak hanya menekankan aspek kebenaran rohani semata. Tapi dalam kuasa kasihNya mampu menekuni dan menghidupi seluruh kebenaran Injil Kristus sesuai Firman Allah/Alkitab dalam seluruh aspek kehidupan. Tak hanya di tingkat theologis atau filosofis, namun juga di tingkat praksis-implementatip seluruh lapangan kehidupan. Kebenaran Injil harusnya dipraktekkan secara konsisten oleh umat/pemimpin Kristen di negeri ini.

Kedua, sebagai orang Jawa tulen dan sebagai seorang mantan jenderal militer Pak Harto sangat kental bahkan terkesan terlalu kental dengan keJawaannya, kesukuannya. Itu baik-baik saja. Demikian juga Pak Harto sangat militan bahkan terkesan terlalu militan malahan dalam gaya kepemimpinannya. Kedua hal ini di tambah dengan latar belakang "agama" kepercayaan Kejawennya tadi, telah lambat laun membentuk karakter berikut pola kepemimpinannya yang bertambah-tambah semakin otoriter. Makin lama makin otoriter, kuasa sepertinya tak berbatas. Mungkin di bawah kesadarannya, lantas cendrung memiliki image diri kepemimpinan kenegarawanan yang begitu kuat serasa layaknya seorang "raja" (raja jawa), komandan besar dan pandito ratu (pendeta tertinggi dalam sebuah "agama" kepercayaan) . Efeknya tidak dapat dan tidak boleh dibantah oleh siapapun. Jangankan pengikut, yang oposan dalam pendapat pun tidak boleh membantah. Di bawah naluri kesadaran pula, ia telah menjalankan "hukum besi" (bahkan hukum baja :)] ala Machiavelli, yang menganggap Indonesia yang besar begini..faktanya terdiri dari beratus suku dan beribu pulau, ..mungkin dikesankannya semata berisikan rakyat etnik Jawa dan hanya terdiri satu pulau yang bernama Pulau Jawa saja. Kepemimpinan dengan gaya dan pola hukum besi, otoritarian seperti ini, tentu menghasilkan banyak pengikut loyalis khususnya di tingkat elite dan "pembisik" dan "orang dekat", namun sekaligus juga tentu menghasilkan para pengikut sekaligus para penjilat pengkhianat yang bisa keji. Di samping banyak korban2 "pembangunan" berjatuhan, yang merasa tersakiti laten, tertindas, terjepit dan tertinggal. Pemaksaan kehendak, kekerasan, otoriter, serba-sentralistik, corak "one-man show" serta "main gebuk" entah dalam balutan wajah halus (dengan senyum, smiling) maupun wajah angker pembantu dan pengawal, senyata-nyatanya dalam kehidupan nyatanya malah tidak membuat pengikut orang-orang yang dipimpin dan para oposan/pengkritisi, bertumbuh kembang dewasa secara awet dan sehat.

Hal ini tentu memberi pelajaran khususnya bagi pemimpin dan umat Kristen Indonesia, bahwa atribut kesukuan/etnis setulen apa pun(entah sebagai orang suku Papua, Maluku, Jawa, Batak, Nias, Toraja, Manado, Sangir, Sumba, Alor, Timor, Dayak, etnis Tionghoa dst) atau atribut lain yang membentuknya misalnya sebagai latar belakang theolog, pendeta, militer, polisi, pengusaha, birokrat, BUMN, aktivis LSM, guru, profesional, hakim/jaksa/ pengacara dan bidang profesi/talenta apa saja, tidak boleh serta merta membuat orang Kristen bila menjadi pemimpin penatua gembala diaken atau jenis-jenis kepemimpinan lainnya di semua sektor kehidupan dengan jalan memberlakukan "hukum besi" (hukum baja) ala Machiavelli dan "sentral etnik lokal sendiri" jika sudah menjadi stateman/negarawan berwawasan nasionalis. Gaya dan pola kepemimpinan Kristen yang tidak boleh dibantah, tidak mau mendengar atau dikritisi oleh siapapun, sangat tidak pas! Sebab esensi yang sesungguhnya dari kepemimpinan yang baik dan benar di semua lini kehidupan, adalah seperti yang dikatakan Yesus: Menjadi pelayan bagi semua berdasarkan kebenaran, keadilan dan kasih. "Learn to be the servant of all". Itulah corak kepemimpinan terbaik yang pernah ditunjukkan Yesus di dunia ini dan kita yakini akan dilakukanNya di dunia yang akan datang, kala Ia akan kelak datang kembali ke dunia ini bukan sebagai bayi atau baby lagi; tapi sebagai Raja dan Hakim yang Agung. Jika ini yang diterapkan umat/pemimpin Kristen, maka nuansa dan pola seperti ini pasti akan membuahkan pertumbuhan, perkembangan dan pendewasaan yang semakin penuh dari sehari ke sehari, meski pun mungkin membutuhkan banyak waktu, tenaga, pemikiran dan biaya. Sebaliknya, jika sekali ambisi kekuasaan, haus kekayaan materi dan hanya mementingkan suara kita yang ingin didengar ketimbang mau mendengar. Maka hawa nafsani ini (keinginan daging) yang cendrung hanya "ingin menang sendiri", "mau benarnya sendiri", tanpa pemahaman kebenaran hakiki dan utuh yang akan muncul, maka sejak saat itu "urapan", pengaruh dan kepemimpin bisa dipastikan makin terkikis habis, lalu ya jatuh runtuh.. semua berbagai atribut kekuasaan, kejayaan, kemuliaan, popularitas dan kehormatan. Tuhan yang mengambilnya. Bisa lewat umat. Bisa lewat komunitas, masyarakat. Lewat alam pun bisa.

Ketiga, Pak Harto selama kepemimpinannya yang sangat panjang itu (7 periode).., meski pun memiliki wawasan utuh selayaknya wawasan nusantara (ipoleksosbud) , cendrung sangat menekankan bahkan malah terkesan ekstrim.. hanya pada tok..satu bidang pembangunan. Apalagi kalau bukan bidang pembangunan ekonomi. Itulah yang dimulainya sejak memegang tampuk kepemimpinan. Tidak salah, memang. Namun kebablasan. Segalanya jadi demi kepentingan pembangunan ekonomi. Yang lain cendrung menjadi abai. Soal keadilan, moral, demokrasi, character building, penegakan HAM, kemajemukan bangsa, kemandirian terkait utang LN, dll. Akibat dari penekanan hanya pada satu bidang pembangunan atau "pelayanan", membuat seluruh tatanan kehidupan bangsa tumbuh tidak beraturan, "peot" lonjong dan timpang di sana-sini. Ini menjadi semacam "keretakan" fondasional landasan bangunan sekaligus menjadi "bom-waktu" yang pada waktunya akan roboh dan meledak hancur berkeping-keping. Sepuluh tahun terakhir sejak reformasi bergulir, hal ini masih begitu dirasakan. Untuk membangun kembali fondasi negara yang hampir hancur berikut akibat dari "bom-waktu" yang meledak berkali-kali, sungguh tidaklah gampang.

Pelajaran berharga apa yang diperoleh umat kristen/pemimpin kristen? Dari hal ini kita dapat penting betapa pentingnya melakukan perencanaan dan implementasi secara utuh, holistik sekaligus kritis. Hasilnya pun pasti akan utuh. Guna menghasilkan buah pertumbuhan dan perkembangan yang baik dari umat yang dilayani/dipimpinny a, tidak cukup dan sangat tidak bijak hanya melulu menekankan pada satu bidang atau sektor hidup semata dari yang dikuasai, dalam menjalankan pekerjaan pelayanan atau pemberdayaan umat. Memang spesialiasi di mana-mana perlu, juga skills menetapkan skala prioritas. Namun hal ini jangan berarti umat/pemimpin kristen tidak membutuhkan cara pandang atau profesi lain dalam menjalankan kepemimpinannya. Atau membuat mereka menjadi "sub-ordinate", "sub-supreme". Sangat tidak baik hasilnya. Nah, ini berarti umat/pemimpin semestinya jangan melulu "rigid", kaku.. dalam setiap mewacanakan, merencana dan atau mengimplementasikan sesuatu. Tidak jaman lagi musti mutlak-mutlakan. Apalagi sikap selalu ingin menang-menangan berdasar ego talenta, ego perspektif dan ego sektoral. Tidak melulu sekarang musti pakai satu cara pandang sektoral semata, bak orang memakai kacamata kuda. "Live only in one single box". Sangat penting dewasa ini mempertimbangkan keutuhan, dinamika, sinkronisasi wawasan dan perkembangan kebutuhan yang selalu berubah variatif. Double perspektif bahkan multi perspektif. Theologi, politik, budaya, sosiologi, seni, kreativitas, etc. Seperti seseorang pemahat yang memahat pola tubuh manusia. Tentu dia tak hanya memperhatikan pola pahatan di sekitar "perut". Namun pemahat juga perlu memberi perhatian kepada perkembangan pahatan di bagian "raut muka, wajah, kepala, tangan, dada, kaki, jari, leher, kuku" dst. Jika pemimpin dan umat Kristen memiliki wawasan dan keterampilan membaca situasi seperti seorang pemahat itu. Yang berwawasan makin lengkap dan tidak melulu mengikuti ego-sektoral berikut latar belakang talenta/profesinya saja, maka dipastikan makin lengkaplah kualitas dan kuantitas seluruh aspek pertumbuhan dan kedewasaan umat/masyarakat yang dilayani atau dipimpinnya menuju penggenapan kehendak Allah.

Yang terakhir: keempat, sebagai bapak rumah tangga, pemimpin keluarga. Pak Harto dikenal sebagai pribadi yang sangat mengasihi isterinya dan sangat sayang kepada putera-puterinya. Juga adiknya. Namun, kita semua mengetahui bahwa dari situasi dan kondisi kiprah anak-anak keluarga Pak Harto dan adiknya(keluarga Cendana), banyak diketahui umum tidak memberikan contoh buah kesaksian yang baik dan benar. Anak yang kawin-cerai, menjadi buron dan masuk penjara, tersangkut narkoba, terlibat perjudian, menjalankan praktek bisnis dan perusahaan yang tidak etis, dll. Sangat disayangkan dan menjadi keprihatinan yang sangat dalam jika melihat keadaan/kesaksian anak dan cucu dari Pak Harto. Yang telah menjadi boomerang kerusakan seluruh integritas yang telah dibangun sangat lama oleh Pak Harto.

Pelajaran yang berharga bagi seluruh pemimpin dan umat Kristen khususnya di Indonesia, adalah bagaimanapun keluarga dan kesaksian keluarga/rumah tangga menjadi cermin yang sangat penting dan krusial. Janganlah sekali-kali kasih dan sayang orang/pemimpin Kristen kepada isteri/suami, anak, cucu, abang/adik dst, malah menjadi boomerang merusak seluruh sisi dan integritas kehidupan. Kasih dan sayang orang tua atau kakek/nenek yang tidak berlandaskan kebenaran, kesucian, edukasi, moral dan keadilan. Yang akibatnya berakhir dengan pertengkaran, berantakan, dan kehancuran! Buat apa kita memperoleh kehebatan, kekuasaan absolut, kekayaan (material) sampai berbukit bahkan menggunung-gunung dengan berbagai tanda kehormatan yang diperoleh, namun salah satu pilar inti dari kehidupan itu sendiri yaitu keluarga menjadi hancur luluh lantak berantakan.

So, dari keempat hal ini setidaknya mudah-mudahan menjadi poin pembelajaran berharga dan sangat penting dari sosok kepemimpinan Pak Harto. Semoga para umat Kristen pemimpin Kristen khususnya di negeri ini dapat mengambil makna/signifikansi yang makin dalam sekaligus mencerah. Mari dengan menengok masa lalu, kita bisa makin konsolidatif hari ini dan menatap ke depan. Pembelajaran baik di aras publik, hingga aras terkecil: aras pribadi dan keluarga.

Semoga melalui sosok Pak Harto dan dengan kepergian/wafatnya Pak Harto, akan mendatangkan era babakan baru bagi anak bangsa generasi pelanjut, terutama kemunculan kalangan umat/kristen pemimpin baru dan dibaharui dari anak bangsa di negeri tercinta ini.

May God guide His people and Indonesia!

Wednesday, January 9, 2008

Inspirasi Nilai2 Utama: dari peluncuran buku baru seorang CEO "Beyond Batak" Indonesia.

Kemarin (8 Jan 2008) saya diundang hadir pada acara peluncuran buku baru seorang putera Batak kelahiran Siantar, CEO/Dirut Jiwasraya, aktivis gereja/kristen bro Herris B. Simanjuntak, 58 tahun di Financial Hall Room (2nd floor), Graha Niaga Sudirman, Jakarta. Seorang "beyond Batak" istilah dari penulis etos kerja Jansen Sinamo yang turut hadir, dengan seabreg gelar akademik dan profesi. Bukunya berjudul: "CEO Messages, 40 Nilai Kiat Sukses Perusahaan Unggul" (2008). Berangkat bukan saja dari teori, tapi dari pengalaman ybs selama puluhan tahun bergumul dalam perusahaan swasta dan bumn seperti Jasindo, Allianz dan Jiwasraya.

Menurut saya ke-40 nilai utama (core values) yang disodorkan bpk Herris bak "ensiklopedia nilai-nilai" , seperti nilai bersyukur, eksekusi, kepercayaan. ., kesederhanaan, penguasaan diri.., tanggung jawab dan spiritualitas, dll tidak ada satupun yang bertentangan dengan nilai kekristenan, biblical values. Namun, seperti yang disampaikannya bagaimana sekarang menginternalisasi ke-40 nilai utama terkait budaya orang Indonesia, perusahaan Indonesia pada umumnya, itulah yang menjadi masalah yang tidak gampang. Dari penelusuran saya terhadap buku ini, nyatanya memang sangat sedikit nama-nama orang Indonesia yang dikutip Bro Herris, ketimbang nama-nama beken dari dunia pertama (western).

Bahasan cukup menarik. Disitu ada hadir bro Adler Manurung pakar investasi & UKM, ada Eileen Rachman direktur Experd Consulting, Dr Budi W Soetjipto direktur LMFE UI dan masih banyak pakar-pakar lain termasuk halak kita, orang batak. Namun karena waktu yang sangat terbatas, bahasan menurut saya tidak bisa sampai menyentuh ke "kedalaman". Intinya, yang diinginkan adalah Indonesia tidak mau hanya jadi manusia kolektor nilai-nilai luhur, adi luhung semata.., sejak jaman Bung Karno sampai penataran P4, namun bagaimana sekarang harus bisa mengimplementasikan nilai2 utama spiritualitas tersebut sampai di aras sosial dan lingkungan. Kekhawatiran memang sempat muncul dari Dr Budi W Soetjipto dari UI terkait adanya hasil riset bahwa 'semakin spiritual seseorang atau satu kelompok/komunitas di negeri ini.., kecendrungan untuk melakukan pelanggaran baik di bidang etika, moral hukum dan keadilan, malah semakin besar. Pertanyaan baliknya, spiritual atau model beragama yang bagaimana yang dilakoni oleh Indonesia? Harus diperjuangkan terjadinya perubahaan riel: lakon gaya spiritual beragama yang sehat di masa ini.

Perubahan, adjustment transformatif budaya di Indonesia sudah jadi kebutuhan mendesak. Hakekat spiritualitas (keberagamaan) yang benar menjadi tuntutan masyarakat masa kini. Bukan saja budaya materialisme, dll yang harus diperangi. Tapi juga budaya munafik dan ketidak-tegasan ketidak terus-terangan dalam mengambil putusan dan pilihan.

Potret kemunafikan dan ketidak-tegasan "wajah Indonesia" sebenarnya telah sangat baik dipaparkan A. Slamet Widodo, penulis sastra kerakyatan seorang katolik asal Surakarta dalam buku-buku kumpulan puisi/sastra kerakyatannya seperti "Bernafas dalam Resesi" (2005) dan "Selingkuh" (2007).

Pilihan untuk melakukan perubahan menuju penerapa nilai2 utama (cultural change) sebenarnya cukup banyak. Mulai dari yang bercorak agresif (pemaksaan, 'kekerasan), konsiliatif cara damai tak dramatis, korosif (taktik dan proses politik) atau lewat cara indoktrintatif (pendidikan dan pelatihan) seperti yang terdapat di buku karangan bpk Herris ini. Tapi yang jadi pertanyaan 'bottom-line' nya, adalah mau tidaknya kita pada detik ini untuk berubah?

Mau melakukan perubahan. Memimpin perubahan!

Sunday, January 6, 2008

Antara Tuntutan Hidup dan Panggilan Hidup. Bagaimana Menyikapinya?

Informasi dari Transforma Sarana Media (TSM/NW-12 edisi Jan 2008).

Antara Tuntutan Hidup dan Panggilan Hidup: Bagaimana Menyikapinya?
Quo Vadis Hidup Kehidupan Umat Kristen Anak Bangsa di Indonesia??


Banyak orang kristen di Indonesia dewasa ini yang telah mengalami anugerah karya keselamatan Allah dalam hidup mereka, dibaharui di dalam Dia, mengalami pergumulan yang sangat tidak mudah dalam menyikapi dua hal ini: Antara memenuhi tuntutan hidup dan atau panggilan hidup.

Hal Tuntutan Hidup.
Tuntutan hidup terkait berbagai upaya yang dilakukan umat kristen anak bangsa di Indonesia dalam mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari bagi diri sendiri dan keluarga. Terkait utamanya kepada permasalahan ekonomi. Tuntutan mencari uang (making money, generating income). Situasi perekonomian yang semakin sulit konteks Indonesia (tantangan resesi), membuat orang Indonesia termasuk orang kristen anak bangsa makin sukar menyiasati masalah keuangannya. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarga saja sudah sulit, apalagi untuk memikirkan orang lain terkait dengan keuangan. Maka sering muncul di kalangan masyarakat termasuk orang kristen istilah-istilah di sekitar gaya hidup, seperti: "Lebih besar pasak dari tiang" (lebih besar pengeluaran sehari-hari, dari pada pendapatan). Ada banyak anekdot lain yang diketahui tentang hal ini.

Hal Panggilan Hidup, Visi Hidup.
Panggilan hidup, visi hidup terkait pada apa yang menjadi panggilan tugas dari seorang Kristen. Intinya panggilan untuk menjadi terang bagi bangsa, bagi sekitar. Menjadi garam dan terang dunia. Dalam konteks gereja, singkatnya bagaimana merealisasi panggilan tugas persekutuan (koinonia), diakonia (pelayanan) dan marturia (kesaksian, penginjilan). Di mana dalam menjalankan panggilan tugas ini, yang sangat dibutuhkan bukan saja yang terkait dengan bidang doa, theologia dan daya (SDM, ketrampilan, pemikiran) namun juga hal dana atau sokongan keuangan. Untuk yang terakhir ini, kristen yang telah mengalami anugerah Allah semestinya turut mendukung menyokong gereja, pekerjaan Tuhan dan sesama yang betul-betul membutuhkan dengan sokongan materi (uang). Baik itu lewat kolekte, persembahan, dana pembangunan gereja, dana misi, perpuluhan atau apapun namanya. Dan itu semua terkait dengan materi (uang). Hal yang menjadi persoalan yang menjadi pertanyaan dan pergumulan banyak jemaat, umat kristen pemimpin kristen, adalah bagaimana bisa menjalankan tugas panggilan hidup, visi hidup, menyokong tugas panggilan gereja/kekristenan. Sedangkan, untuk memenuhi tuntutan hidup kebutuhan hidup sehari-hari saja sudah semakin tidak sanggup.

Kekurangan/kemiskinan materi dan pengaruhnya. Kemiskinan (ketidak-cukupan) materi, kemiskinan ekonomi yang banyak melanda orang kristen, keluarga-keluarga kristen khsusnya indigenous (pribumi) di Indonesia mengakibatkan jiwa mentalitas menjadi terganggu. Ada perasaan takut, minder rendah diri, tidak confidence dalam membina hubungan relasi. Relasi dengan tetangga, keluarga besar sanak-famili, dengan gereja dan rupa-rupa pelayanan persekutuan kristen dan pergaulan sosial lainnya di tengah masyarakat.

Arus budaya dewasa ini yang demikian besar mengancam!
Budaya konsumtif, konsumerisme, hedonis dan individualisme yang melanda Indonesia terutama karena pengaruh ekses negatif neo-kapitalisme korporatokrasi dan globalisasi a.l melalui iklan2 televisi dan media, maraknya mal-mal dan gaya hidup perkotaan kota besar, senyatanya telah membuat banyak rumah-tangga kristen dewasa ini mengalami banyak persoalan hidup serta pilihan pelik dalam keluarga, relasi suami-isteri, orang tua-anak, relasi dengan mertua/famili dlsb. Di sisi lain budaya materialisme yang sangat terasa dalam kehidupan komunal tradisi adat kekerabatan, mengakibatkan banyak rumah tangga kristen semakin terlilit berbagai permasalahan hidup.

Budaya konsumtif, konsumerisme, hedonis, individualisme (kepentingan diri, selfish, egoisme) dan materialisme seperti ini tidak tanggung-tanggung juga telah sangat mempengaruhi kehidupan gereja, persekutuan dan komunitas kristen. Banyak gereja seakan tidak sanggup lagi membendung arus besar dan deras budaya seperti ini. Sendi-sendi spiritual gereja semakin tergerus dan tergeroroti. Seakan arus kuat tuntutan budaya ini menjadi jauh lebih penting dan urgen dibandingkan segi kebenaran dan ajaran firman Tuhan, segi doa, puasa, ibadah berikut disiplin rohani lainnya. Melihat kondisi ini, sangat miris melihat kehidupan kebanyakan gereja dewasa ini khususnya di Indonesia. Hal ini bukan saja tampak di kota besar seperti Jakarta,

Jika saja kehidupan orang kristen, rumah tangga kristen secara agregat kolektif di negeri ini, tidak mengalami situasi kondisi riel miskin materi (keterpurukan ekonomi) atau hanya 'merasa' saja miskin materi (tidak pernah merasa cukup-cukup dalam hal materi), pasti kencangnya arus budaya seperti di atas, tidak harus menjadi masalah. Akan relatif lebih mudah mengikutinya. Namun, yang jadi masalah dan telah menjadi masalah pelik, apabila kristen banyak rumah-tangga kristen tidak bisa mengikutinya. Tidak bisa memenuhinya, walau sebenarnya barangkali mungkin saja ada keinginan untuk mengikuti "arus besar" ini. Maka hal ini akan menjadi semacam "bom waktu" yang sewaktu-waktu bisa meledak keluar dalam bentuk pelbagai pelampiasan dan perbuatan daging, perbuatan dosa di kala tak sanggup menahannya. Hasrat hati ingin dan rindu hidup bahagia (happiness), berkecukupan (prosperity, wealth) dan sehat (health), namun faktanya 'jauh dari panggang dari api'. Hidup berkekurangan. Pelampiasannya agar 'seakan' mampu mencapai hidup bahagia dan secara mental bisa 'senang', adalah keniscayaan melakukan tindak kriminalitas (mencuri, korupsi, memeras, pungli premanisme, menerima sogok, dsb) berikut penyimpangan-penyimpangan lainnya termasuk di bidang seksual: fedofilia, perselingkuhan, pemerkosaan, free-sex, homosexual, dll).

Kristen anak bangsa: hidup dalam zona aman atau zona tidak aman?
Umat kristen rumah tangga kristen anak bangsa yang berada dalam zona aman (meski prosentase jumlahnya di Indonesia faktanya relatif kecil) mungkin tidak akan banyak mengalami pergumulan keseharian seperti itu. Tapi, tidak demikian bagi mereka yang berada di zona tidak aman, 'zona rawan'. Di bawah ambang kecukupan materi ekonomi. Sudah bukan rahasia lagi, menurut berbagai penelusuran yang telah banyak dilakukan, justru lebih banyak prosentase jumlah kristen rumah tangga kristen yang mengalami masalah pelik seperti ini. Terutama adalah kristen rumah tangga kristen anak bangsa (indigenous) yang penulis jumpai tinggal di kota besar seperti Jakarta & Pulau Jawa; kota desa pegunungan dan pesisir Papua, Sumatera, Nias, Kalimantan maupun di NTT, Maluku atau banyak daerah di Sulawesi. Dari banyak penelitian, justru daerah-daerah kelurahan kecamatan kabupaten yang mayoritas penduduknya adalah umat kristen anak bangsa (indegenous) adalah merupakan daerah/kelurahan/kabupaten paling minus dan paling miskin secara ekonomi di seluruh Indonesia (data bisa dilihat pada data Susenas & BPS terakhir). Komunitas Christian_t-poor pernah memunculkan persoalan ini, terutama yang terjadi di NTT.

PR besar bagi umat pemimimpin influencer kristen indigenous lokal dan nasional.
Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemimpin-pemimpin dan influencers Kristen, baik pemimpin lokal maupun pemimpin nasional kristen, agar bagaimana menjawab tantangan pergumulan permasalahan pelik yang dialami banyak orang kristen rumah-tangga kristen terutama yang masyarakat indigenous di Indonesia. Menyikapi antara pentingnya memenuhi panggilan hidup, sekaligus bisa memenuhi tuntutan hidup sehari-hari (masalah "perut", mentalitas ekonomi).

Jangankan untuk mendorong orang kristen rumah-tangga kristen umat kristen pelayan kristen pendeta kristen secara agregat/kolektif untuk melihat keluar berpikir keluar. "Inside out" untuk berkontribusi bagi bangsa, bagi negara, bagi tugas panggilan hidup visi gereja dan kekristenan (koinonia, diakonia, penginjilan dan menjadi terang bagi bangsa). Untuk menyelesaikan persoalan intern, "outside in" di dalam saja menyangkut tuntutan hidup sehari-hari (keperluan ekonomi individu, keluarga, sanak-famili, gereja lokal) saja sudah sangat sulit.

Bagaimana Menyikapinya?

Menjadi suatu yang urgen menyikapi pergumulan besar: antara tuntutan hidup dan panggilan hidup. Sangat diperlukan saat ini!

Secara perspektif rohani, untuk menyikapi hal ini, pertama bisa dilakukan melalui pembinaan pengajaran mengenai pentingnya aktivasi iman. Pembinaan yang disampaikan lewat seminar, pembinaan iman, mimbar di gereja, persekutuan atau komunitas. Kedua, melalui pengajaran tentang pentingnya sikap selalu mengucap syukur dan 'menerima segala keadaan yang ada sejak masa lalu hingga sekarang' dalam kekurangan-kekurangan (termasuk hal materi). Ketiga, lewat pengajaran tentang 'hal memberi, mempersembahkan sesuatu' agar diberi diberkati oleh Tuhan. Berilah maka kamu akan diberi.

Namun, hal keempat, hal selanjutnya yang harus dilakukan guna menyikapi persoalan antara tuntutan hidup dan panggilan hidup adalah mengenai pentingnya secara bersama, secara kolektif, para anak Tuhan umat Kristen anak bangsa di Indonesia, dalam anugerah hikmat bijaksana Tuhan, duduk menyusun strategi bersama. Suatu "grand design" (strategi besar) bersama dari umat kristen pemimpin kristen baik lokal, daerah dan nasional, melakukan upaya transformasi besar secara sinkron di dalam tatanan pelayanan, organisasi, gereja, pendidikan dan kemasyarakatan kristen anak bangsa secara holistik. Transformasi rohani, sekaligus dibarengi dengan transformasi paradigma, sosial, ekonomi dan lingkungan.

Terus terang, ini membutuhkan bentuk kesadaran bersama. Resolusi bersama dari seluruh umat kristen pemimpin kristen anak bangsa di Indonesia bersama-sama dengan yang ada di luar negeri, untuk tidak lagi berpikir sempit hanya sebatas kepentingan gereja lokal (denominasi)nya sendiri, organisasinya sendiri atau komunitas ikatan primordialnya sendiri. Selama umat kristen pemimpin kristen di Indonesia masih berkutat hanya pada masalahnya sendiri kepentingannya sendiri, maka permasalahan besar yang dihadapi umat kristen di Indonesia secara keseluruhan tidak akan dapat terpecahkan, mendapat solusi strategis terobosannya yang pas dan efektif.

Sekarang, berapa banyak jumlah umat kristen pemimpin kristen anak bangsa di Indonesia baik lokal maupun nasional, dan juga di mana pun secara global, yang masih memiliki kesadaran dan tekad bersama untuk menyikapi antara tuntutan hidup dan panggilan hidup secara sosiologis korporat?? Seberapa banyak dari umat pemimpin kristen anak bangsa sendiri yang bersedia melepas atribut "kesementaraan", kepentingan sebatas individual diri sendiri, kedudukan atribut formal dan image-image lainnya. Demi tugas tanggung-jawab bersama yang lebih besar bagi perbaikan dan kebaikan seluruh umat kristen anak bangsa negeri ini?

Hanya umat kristen pemimpin kristen anak bangsa (indegenous) yang bisa menolong dirinya sendiri!
Ini menjadi pernyataan sekaligus tanda tanya besar bagi kita bersama terutama umat kristen pemimpin kristen anak bangsa di Indonesia dan di mana pun. Hanya mereka yang bisa menjawab. Karena hanya umat kristen pemimpin kristen anak bangsa sendiri yang dapat mengangkat harkat martabat kesejahteraan dari diri umat masyarakat kristen indegenousnya sendiri. Kita tidak bisa hanya ingin terus menerus sekedar meminta mengharapkan uluran bantuan pertolongan belas kasihan dari umat lainnya, hanya dari para donor, atau bahkan dari Pemerintah. Atau juga sekadar bantuan dan uluran tangan dari umat lainnya, umat beragama lain atau bangsa lain.

Satu keyakinan percaya kita. Jika hidup/kehidupan: kualitas dan jumlah umat kristen indegenous/anak bangsa secara agregat kolektif di Indonesia dapat diperbaiki, di samping tentu hal kedewasaan pendewasaan rohani namun juga perihal perbaikan ekonomi dan segi mentalitas, profesionalisme, keahlian entrepreneurial disertai integritas, dll(terkait persoalan tuntutan hidup dan panggilan hidup visi hidup). Maka meski pun jumlah prosentase umat kristen di Indonesia relatif kecil tidak besar -- diperkirakan besarnya lk. 10-12% --, maka bukan suatu yang mustahil atau musykil, sumbangsih umat kristen pemimpin kristen indegenous anak bangsa di Indonesia dan di mana pun akan sangat sangat besar bagi perbaikan peri kehidupan seluruh masyarakat bangsa dan negara Indonesia juga bisa diperbaiki dan dibangkitkan. Menjadi suatu bangsa yang terhormat, bermartabat dan lebih sejahtera di berbagai bidang kehidupan.

Kita meski yakin bahwa Tuhan pasti akan terus menolong dan memelihara kita: memberkati setiap upaya kita!
Meski kita tau dan menyadari, jalan untuk meretas kepada hal ini sangat tidak mudah. Mengingat pergumulan dan tantangan lain yang tidak kecil -- sangat sangat besar ---, sebut saja bahaya radikalisme agama internasional(terutama di kalangan Islam dan juga Kristen), terorisme dan budaya kekerasan, pluralisme agama, kejahatan trans nasional, dll. Kita masih meyakini serta percaya bahwa Tuhan Semesta Alam di dalam Kristus Yesus dan bimbingan perlindungan RohNya, dapat memampukan dan memberkati upaya kita bersama, --umat kristen pemimpin kristen anak bangsa di Indonesia --- untuk mengalami perbaikan-perbaikan yang signifikan khususnya di bidang spiritual (rohani) dan ekonomi sejak hari ini dan untuk masa-masa yang akan datang.

Maka melalui tulisan ini, berikutnya sangat dibutuhkan bersifat "segera": ide-ide konvergensi, masukan, saran doa, dukungan serta gagasan pemikiran solutif yang lugas tegas riel sekaligus transformasional dari kita sekalian, yang masih menyebut sebagai kristen indegenous anak bangsa Indonesia di mana pun.

Kiranya Kristus Tuhan tetap menolong kita dan mencerahkan hati dan pikiran kita bersama. Terpujilah Tuhan!!

Tuesday, January 1, 2008

Artikel Visi Provisi Perbaikan Indonesia: Sambut Tahun Baru 2008.

Dari informasi Transforma Sarana Media (TSM/BN-09), 1 Januari 2008.

"Konteks Indonesia indigenous: "Orang-orang para pemimpin dulu yang diperbaiki dipulihkan 'disembuhkan' , ataukah sistem, sistem-sistem internal dulu, sekaitan maraknya perkembangan pengaruh lingkungan eksternal?"

Visi provisi bersama: "Menuju kemajuan, kebaikan dan kesejahteraan seutuhnya bagi seluruh suku-suku bangsa, 'suku-suku' golongan, etnis, bangsa dan negara Indonesia, untuk akhirnya menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain".

Pertanyaan yang mungkin masih terus menggelayut dalam hati sanubari kalbu tiap suku-suku bangsa indigenous Indonesia, tiap bangsa Indonesia atau yang masih 'merasa' Indonesia hingga kini. Kenapa bangsa dan negara Indonesia, orang Indonesia, suku-suku bangsa indigenous di Indonesia serta berbagai etnis keturunan lainnya (Arab, Cina, India, Melanesia dll) sukar sekali maju, berkembang, hidup dalam cinta kasih persatuan dan kesatuan saling menghargai dan respek ?? Belum mampu untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa lain, di belahan dunia lainnya secara kolektif ?

Pertanyaan ini seharusnya mampu 'menohok' langsung diri orang-orang: para pemimpin dan umat Kristen indigenous termasuk saya, dan orang-orang kristen etnis keturunan lainnya yang 'masih merasa' Indonesia di seluruh tumpuan bumi persada negeri ini maupun di sebrang lautan. Menjadi 'titik berangkat' yang urgen dan utama bagi kesamaan (alignment, spooring) cara pandang, visi dan provisi untuk perbaikan kualitas suku-suku bangsa dan bangsa tercinta.

Faktor utama penyebabnya jika mau dirunut dalam kesederhanaan berpikir, mungkin bisa kita sama-sama kategorikan ke dalam 3 hal esensiil.
Kembali menyangkut 3 segi (domain) mendasar:

1. Orang-orang dan para pemimpin.
2. Sistem, sistem-sistem (internal).
3. Pengaruh lingkungan eksternal.

1. Dari segi orang dan para pemimpin (suku2 bangsa, orang Indonesia dan etnis lainnya yang 'merasa' Indonesia).

a. Dari segi orang, orang-orang.
Dari pengamatan puluhan tahun bahkan ratusan tahun, dari jaman purba hingga sekarang harus diakui faktanya bahwa sedemikian banyaknya orang Indonesia, suku2 bangsa dan etnis keturunan lainnya, sampai sekarang ini, tidak terkecuali orang-orang Kristen indigenous sendiri, dalam perspektif keutuhan manusia (orang) telah mengalami banyak kekurangan, untuk tidak mengatakan kemiskinan (lacknessess) dalam banyak dimensi.

Kekurangan-kekurang an (lacknesses) tersebut paling tidak bisa dirunut dan bisa lebih diteliti seksama:
Ada 10 kekurangan yang harus ditutupi diperbaiki ditambahkan, yaitu:

1. Hal berKetuhanan, teologi, filosofi hidup dan visi hidup kolektif yang benar dan utuh.
2. Hal berkesadaran penuh sbg salah satu bagian inheren alam ciptaan jagad raya (universe) sebagai ciptaan Allah.
3. Hal berkesadaran penuh sbg salah satu bagian dari lingkungan bumi terkait isu-isu lingkungan kekinian.
4. Hal kerohanian, spiritualitas (ketaatan, komitmen pada Tuhan yang benar, kekayaan & kesucian hati, kesederhanaan hidup namun sangat sanggup memperkaya banyak orang sesama suku2 masyarakat dan bangsa dll)
5. Hal intuisi kesadaran lingkungan sosial, mindset budaya, cara pandang kolektif (bidang seni tradisi, agama, politik, militer, keamanan, sosial, ekonomi, bisnis), tradisi, lingkup solidaritas dan kesetia-kawanan sosial, warisan budaya sosial yang diwariskan dari leluhur bangsa suku-suku bangsa, yang bergerak menuju kemajuan sesuai perkembangan jaman, yang baik, benar dan dapat dipertanggung- jawabkan.
6. Hal religi, keberagamaan (religiositas) dalam menjalankan hukum peraturan ketentuan2 agama dan cara beribadah dalam relevansi dengan perkembangan jaman, toleransi atas adanya perbedaan, keseharian dan kenyataan hidup.
7. Hal moral etika perilaku hidup yang benar, adil, bagus, baik dan dapat dipertanggung- jawabkan terkait pengambilan keputusan dalam kehidupan.
8. Hal intelektual, kecerdasan intelektual, hal menganalisa persoalan.
9. Hal kejiwaan, mental, mind, emosional (kestabilan, kematangan emosi), kekuatan mental, kemandirian mental dan kecukupan ekonomi, entrepreneurship social-entrepreneur ship, ketekunan, kemauan bekerjasama, kemauan untuk mentaati hukum ranah publik, mental survival (bertahan dalam kesulitan) dan mental menghargai hidup dan kehidupan.
10. Hal fisik, kondisi tubuh jasmani, ragawi, terkait dengan kesehatan, gizi nutrisi dan penyakit fisik.

Kekurangan dalam satu dimensi saja apalagi banyak dimensi dari 10 hal di atas, akan menimbulkan masalah, persoalan dan penyakit. Sakit dalam banyak dimensi, akan berakibat pada gejala kemiskinan, pemiskinan bahkan kemunduran (kemerosotan) . Sebaliknya, semakin lengkap kepemilikan anugerah Tuhan dalam 10 dimensi tersebut akan berakibat kepada kemajuan, kedewasaan dan kesejahteraan otentik dari orang-orang.

b. Dari segi pemimpin (leaders).
Belum banyak dari kalangan pemimpin, atau yang punya pengaruh kuat (influencers) atau yang menamakan diri sebagai pemimpin atau orang yang telah dikenal (populer) atau lingkungan para pemimpin di Indonesia, di suku-suku bangsa Indonesia dan etnis-etnis keturunan lainnya (Cina pengusaha naga, India, Arab) di Indonesia, yang memiliki kualitas dan kelengkapan dalam kepemilikan 10 aspek di atas. Pemimpin-pemimpin yang ada dari dulu hingga sekarang, barangkali belum dapat dikatakan sebagai pemimpin yang 'ideal'. Rata-rata dari para pemimpin yang ada di negeri ini, di suku-suku bangsa, di daerah-daerah adalah pemimpin-pemimpin yang masih berkekurangan. Masih banyak kekurangan. Sehingga kalau pun harus memimpin pun, para pemimpin memimpin orang-orang Indonesia lainnya masih harus dalam keadaan yang berkekurangan. Dengan demikian, hasil kepemimpinan para pemimpin belum banyak mengalami kemajuan yang berarti, untuk tidak mengatakan 'jalan di tempat', stagnan atau bahkan bisa juga mungkin justru mengalami kemunduran.

2. Dari segi sistem, sistem-sistem (internal).
Sistem yang dibangun, sangat dipengaruhi oleh faktor orang dan pemimpin. Karena orang dan pemimpin di Indonesia, di suku-suku bangsa dan etnis keturunan lainnya di Indonesia masih 'sangat' berkekurangan, maka sistem yang dibangun (sistem apa saja) masih sangat terasa sekali kekurangan-kekurang annya. Mau sistem politik, sistem keagamaan, sistem hukum, sistem pertahanan dan keamanan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem sosial, sistem ketenaga-kerjaan, sistem perdagangan, sistem pembangunan pertanian, kelautan berikut sistem-sistem lainnya. Masih sangat sulit dan panjang jangka waktunya untuk mengharapkan terbentuknya dan beroperasinya sistem-sistem yang handal, baik, bagus, benar dan dapat dipertanggung- jawabkan guna membuahkan kemajuan, kebaikan, keadilan dan kesejahteraan kolektif yang hakiki dan nyata di tengah bangsa, negara, rakyat, masyarakat, di suku-suku bangsa, daerah-daerah dan keseluruhan penduduk bangsa ini.

3. Dari segi pengaruh lingkungan eksternal (global).
Sejak dulu, pengaruh lingkungan eksternal sangat besar untuk kehidupan suku-suku, bangsa dan negara Indonesia. Baik sebelum adanya kesadaran pergerakan nasional tahun 1908 maupun periode-periode sesudahnya (1928: Sumpah Pemuda, 1945: Proklamasi Indonesia sampai Orla, 1966: Orde Baru, 1998: Orde Reformasi dan masa 10 tahun Pasca Reformasi ke depan.

Fenomena-fenomena dan perubahan-perubahan yang terjadi secara global di dunia dan bagian-bagian dunia, mau tidak mau turut mempengaruhi orang-orang para pemimpin dan sistem-sistem (internal) yang ada di suku-suku bangsa dan bangsa negara Indonesia. Sebut saja, masa-masa jaman purba (animisme, dinamisme), jaman kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha kuno, kerajaan-kerajaan Mongol, Tiongkok kuno, jaman kerajaan dan perdagangan Islam, jaman kolonialisme Eropa Barat, jaman Jepang dan Sekutu (AS, Inggris & Rusia), jaman Perang Dingin (AS dan Soviet), Jaman Modern Paska Perang Dingin (Neo Kapitalisme) sampai Jaman Globalisasi Supra Modern seperti sekarang.

Isu-isu global yang sangat dirasakan sampai penghujung 2007 sebut saja:
- MDGs
- Global warming (UNFCCC Bali, akhir Protokol Kyoto 2012)
- Neo-kapitalisme, WTO dan Neo-marxisme
- Krisis energi dan 'sky rocketing' harga BBM tingkat dunia.
- Global korporatokrasi
- Konstelasi ASEAN (dgn Malaysia, Singapura, Thailand..) dan Australia.
- Kebangkitan RRC dan India
- Kejahatan transnasional
- HIV/AidS dan berbagai penyakit lainnya.
- Revolusi iptek, TI TV/multimedia

Di semua tahapan jaman, suku-suku bangsa dan bangsa ini turut dipengaruhi dan mengalami berbagai perubahan. Namun, dalam percaturan dunia dengan pengaruh lingkungan eksternal seperti ini, suku-suku bangsa dan bangsa Indonesia harus memiliki ketahanan jati diri, wawasan dan kelengkapan dalam paling tidak 10 hal di atas. Jika tidak, maka yang terjadi dalam proses saling pengaruh dan mempengaruhi ada dua hal. Dipengaruhi atau mulai mempengaruhi. Yang diharapkan adalah adanya keseimbangan, kesetaraan, untuk saling mempengaruhi: boleh dipengaruhi tapi juga bisa mempengaruhi. Jadi ada nilai persaingan, sekaligus kerjasama kolaborasi dalam suatu play-ground atau game yang dapat berlangsung sebisanya dalam iklim yang mengedepankan fairness atau asas keadilan.

Agar dapat memiliki posisi yang setara, equal (egalite'), dalam kesatuan bersama hidup umat menuju pembebasan kemajuan (liberte') dan persaudaraan yang rukun (fraternite' ), tentu suku-suku bangsa dan bangsa Indonesia harus memiliki orang-orang para pemimpin sekaligus sistem, sistem-sistem (internal) yang dibangun secara handal, baik, bagus, benar dan dapat dipertanggung- jawabkan. Sekuat-kuat pengaruh lingkungan eksternal di jaman globalisasi supra modern seperti sekarang, bila orang-orang para pemimpin dan sistem yang dibangun ditata handal, baik dan benar; maka pengaruh lingkungan eksternal tersebut tidak akan dapat membuat kehidupan di tingkat individu, keluarga, komunal, suku/suku-suku bangsa dan bangsa ini menjadi collapse.

Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Tidak lain adalah kembali kepada orang orang para pemimpin lebih dulu. Baru selanjutnya kepada sistem, atau sistem-sistem (internal) yang di bangun pada tingkat-tingkat itu. Jadi, jika orang-orang para pemimpin dalam komunitas, suku-suku dan bangsa handal, maka suku-suku bangsa, bangsa dan negara pun akan mampu menghadapi sistem-sistem dan pengaruh lingkungan eksternal sebesar dan se- negatip apapun. Sebab itu kembali penting dan urgen untuk memperbaiki, memulihkan, menyembuhkan orang-orang para pemimpin terlebih dulu. Guna menjamin sistem, sistem-sistem (internal) dapat semakin handal menyikapi pengaruh lingkungan eksternal dengan benar, baik dan dewasa menuju kemajuan.

Jadi jika demikian, dari mana kita dapat memperbaikinya?
Jika harus memilih prioritas, ya harus dari segi orang dan pemimpin/para pemimpin nya terlebih dahulu. Meski dalam segi realitas, kedua-duanya harus diretas. Memperbaiki orang/pemimpin, dan dalam saat yang sama secara paralel harus diupayakan perbaikan sistem atau berbagai sistemnya agar makin berjalan semakin handal.

Bagi seorang engineer atau kumpulan engineer termasuk di bidang sosial, untuk awal membangun sistem tidak terlalu sukar bila dibandingkan membangun orang atau pemimpin. Namun, untuk membangun sistem yang benar-benar handal, bagus, baik, benar dan dapat dipertanggung- jawabkan, nyatanya tidak bisa lagi hanya mengandalkan sistem awal yang telah terbentuk atau dibentuk itu semata. Sangat perlu berperan atau peran serta orang-orang atau para pemimpin tersebut di atas. Jadi kembali lagi kepada orang dan para pemimpin itu, agar sistem yang telah dibentuk tersebut dapat berjalan, atau dapat operasional secara handal, bagus, baik, benar dan dapat dipertanggung- jawabkan.

Sistem awal terbentuk bagus, baik, benar, namun pelaksanannya orang-orangnya para pemimpinnya tidak bagus, baik dan benar, maka sistem tidak dapat bekerja dengan baik. Sistem tidak dapat bekerja dengan handal menuju kemajuan. Jadi orang-orang dan para pemimpin lah yang harus pertama dan seterusnya diperbaiki. Ditingkatkan. Dimatangkan. Sehingga dapat mencapai kelengkapan. Demikianlah pentingnya dilakukan berganti-ganti, berurut. Orang/pemimpin, sistem, orang/pemimpin lalu sistem yang diperbaiki. Terus sampai mencapai kematangan bagi kedua-duanya.

Dari mana harus dimulai perbaikan dan pendewasakan orang para pemimpin?
Jika mulai dari orang dan para pemimpin, dari mana harus mulai untuk melakukan perbaikan dan pendewasaan orang-orang para pemimpin? Jawabnya, adalah ya mulai dari langkah perbaikan orang/para pemimpin. Orang-orang dan para pemimpin harus disembuhkan, diperbaiki, dipulihkan. Lihat prioritas, mana yang harus disembuhkan, diperbaiki dengan segera. Mana yang harus disembuhkan, diperbaiki dalam jangka panjang. Aspek atau dalam segi mana yang harus mulai disembuhkan: Ketuhanan, kesadaran akan alam universal, lingkungan, spiritual (rohani), kebudayaan mindset sosial, kejiwaan/mental atau segi fisik jasmani?

Selanjutnya, adalah upaya pembinaan orang-orang para pemimpin!
Jika aspek atau segi-segi kehidupan dari orang-orang para pemimpin sudah mengalami kesembuhan, perbaikan atau pemulihan, maka hal yang bisa dilakukan selanjutnya adalah upaya pembinaan (nurturing) secara terus menerus. Pembinaan di sini cakupannya sangat luas, meliputi upaya pendidikan (formal, non formal, informal), pemuridan, persekutuan, pendampingan, penggembalaan, pelayanan dan seterusnya. Dan hal ini semua, tidak bisa dilakukan hanya lewat satu metoda misalnya metoda atau pola patron-klien, namun lewat berbagai metoda. Semua metoda. All for all.

Tidak hanya menyangkut atau melibatkan satu individu, satu kelompok, satu komunitas. Namun dilakukan dengan bersama-sama sebagai satu kesatuan kolektif. All for all juga. Kolektif kecil sampai kolektif besar. Kolektif lokal, kolektif region sampai kepada kolektif nasional dan global.

Ambillah sisi positip dari globalisasi
Kita bersyukur lewat satu sisi positip globalisasi misalnya, metoda atau pendekatan "all for all" ini bukan merupakan hal yang mustahil lagi. Tapi dapat dilakukan dan diwujud-nyatakan. Sisi globalisasi ini kita dapat lihat sebagai anugerah Tuhan bagi peluang terjadinya perubahan bagi kemajuan. Perubahan kini tidak lagi bisa dilakukan hanya di tingkat individu atau keluarga semata. Namun perubahan nyata dapat terjadi sekaligus di tingkat kelompok kecil, komunal, komunitas, suku, kaum, bangsa dan bangsa-bangsa secara mengglobal. Lewat cara apa saja, orang-orang dan para pemimpin dapat diubahkan. Tentu harapan kita, perubahan yang terjadi adalah yang menuju kemajuan, kebaikan, keadilan dan kesejahteraan utuh (holistik) dalam arti sesungguhnya. Lahir batin, jasmani rohani, seanteronya.

Jika orang-orang para pemimpin bisa diubah, maka sistem pun akan bisa diubah!
Dengan demikian, kita makin meyakini sekarang, jika orang-orang para pemimpin punya kemungkinan untuk dirubah, disembuhkan, diperbaiki, dipulihkan dan dibina saling membina terus hingga kedewasaan utuh, maka sistem ataupun sistem-sistem yang ada di masyarakat, suku-suku bangsa, negara dan bangsa pun dapat mengalami perubahan, perbaikan, pemulihan serta peningkatan menuju kepada operasionalisasi sistem yang semakin handal. Sistem handal dan bermutu yang sanggup membuat komunitas, masyarakat dan bangsa itu sendiri semakin maju, semakin baik, bagus, semakin adil dan sejahtera secara seutuhnya (holistik).

Jika orang-orang pemimpin dan sistem dapat diubah dan menjadi handal, maka suku-suku dan bangsa Indonesia dapat memberi kontribusi positip bagi dunia dalam percaturan global.
Hal ini akan berlaku otomatis dan natural. Jika orang-orang para pemimpin dalam suku bangsa dan bangsa di Indonesia berhasil dipulihkan, diperbaiki dan dibina dengan baik. Lalu sistem, sistem-sistem (internal)nya juga bisa diperbaiki dan dibuat handal, maka suku-suku dan bangsa Indonesia secara keseluruhan dapat memberi kontribusi yang positip bagi kemajuan dunia. Bagi keadilan dan kesejahteraan dunia secara seutuhnya. Menjadi garam dan terang dunia. Terang bagi bangsa-bangsa!

Maka, mari kita semua mulai perbaikan dengan lebih serius lagi! Jangan menjadi lelah dan tawar hati!
Untuk Indonesia, suku-suku bangsa indigenous di Indonesia dan etnis keturunan lainnya di Indonesia, mari mulai kita bangun dari sekarang lebih seksama lagi upaya perbaikan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan orang-orang dan para pemimpin. Dari mulai unit terkecil: keluarga. Kelompok kecil, komunal, komunitas, marga-marga, suku-suku, jemaat/jemaah agama, kaum, golongan sampai kepada orang-orang dan para pemimpin dalam berbagai lingkungan sosial (politik, agama, militer, pendidikan/sekolah, seni, budaya, iptek, lsm, mahasiswa, generasi muda, remaja, anak-anak, dst). Jangan karena kita melihat perkembangan- perkembagan negatif dan berbagai kegagalan yang terjadi di waktu-waktu yang lalu bahkan sekarang ini, hingga membuat kita menjadi lelah dan tawar hati. Jangan jangan menjadi lelah dan tawar hati! Mari, lewat berbagai cara, berbagai metoda, pendekatan yang dipilih dengan penerapan nilai-nilai etika/moral dan content (isi) yang benar, baik, bagus dan dapat dipertanggung- jawabkan. All for all. Pendekatan all for all, dan semua bagi semua.

Kita akan sama-sama menyaksikan perubahan bagi kemajuan itu dari sekarang dan ke depan!
Maka, jika hal ini semua hal ini yang dilakukan, maka kita akan sama-sama menyaksikan perubahan dan kemajuan nyata dari sekarang dan ke depan. Perubahan bagi kemajuan yang Tuhan akan dan segera lakukan melalui kita semua bagi individu-individu, keluarga-keluarga, komunitas-komunitas , marga-marga, jemaat/jemaah jemaah agama, suku-suku bangsa, etnis keturunan lainnya, lingkungan-lingkung an sosial dan alam. Perbaikan dan kesembuhan kolektif massal di bangsa ini akan terjadi, tidak perlu harus dicapai dalam jangka waktu yang terlalu lama. Sesuai upaya dan keseriusan kita semua. Semakin serius dan seksama, maka jangka waktu perubahan perbaikan penyembuhan dan pemulihannya akan segera terasa.

Kesejahteraan seutuhnya bagi suku-suku bangsa dan bangsa Indonesia!
Maka setiap 'suku-suku' dan suku-suku bangsa, bahkan bangsa dan negara ini akan mengalami kesembuhan, pemulihan, perbaikan, kemajuan yang luar biasa hasilnya. Kemajuan menuju kebaikan, keadilan dan kesejahteraan seutuhnya. Jika suku-suku bangsa dan bangsa Indonesia bisa mencapai hal yang seperti ini, maka secara kolektif suku-suku bangsa dan bangsa Indonesia akan mampu memberi kontribusi yang positif bagi keutuhan ciptaan, keadilan dan kesejahteraan seutuhnya di dunia. Menjadi garam dan terang dunia. Terang bagi bangsa-bangsa.

Itu yang kita semua sama-sama harapkan.
Menjadi visi dan ekspektasi kita bersama.

Semoga Tuhan menolong kita semua. Selamat Tahun Baru 2008 !! Selamat menyongsong hari depan yang penuh harapan dan sejahtera utuh bagi kita semua.

Hanya bagi Tuhan, segala kemuliaan !!

Foto udara Pulau Alor NTT

Foto udara Pulau Alor NTT
Photo, 2007