[Telah dimuat dalam Buletin Narhasem HKPB Semper edisi Oktober 2007].
Gereja masa kini dan ke depan, khususnya para pemuda (naposo) dan remaja Kristen, mau tidak mau sangat ditantang dengan isu-isu permasalahan lingkungan yang banyak muncul akhir-akhir ini dan harus dihadapi.
Isu pemanasan global & dampaknya. Isu yang telah mendunia, mengundang perhatian banyak kalangan. Meskipun masih mengundang pro-kontra dalam pembahasannya di antara para scientist. Pemanasan global atau global warming adalah kejadian meningkatnya temperatur suhu rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Kenaikan rata-rata itu kini mencapai 2 derajat Celsius per tahun. Penyebab utamanya adalah adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas gas asam arang (karbondioksida, CO2) dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer makin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari matahari yang dipancarkan ke bumi. Yang paling besar menyumbang emisi karbon ini adalah aktifitas pembangunan pabrik dan rumah kaca, pembakaran lahan dan bencana asap. Faktor-faktor ini mengakibatkan emisi karbon meningkat secara tajam, berakibat pada rusaknya lapisan ozon bumi. Perhitungan dan penelitian yang antara lain dilakukan laboratorium air Delft Hydraulics, menyatakan bahwa ternyata 2.000 juta ton gas asam arang (CO2) telah keluar tiap tahun akibat kebakaran tanah gambut di Kalimatan dan Sumatra. Pancaran gas asam arang di dunia saat ini mencapai 26.000 juta ton. Jika pancaran tanah gambut ikut dihitung, maka Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah Amerika Serikat dan Cina sebagai negara terbesar pembuang gas CO2.
Pembangunan yang ’asal-asalan’ (baca: acak-acakan) dan semena-mena telah berlangsung dalam beberapa dasawarsa terakhir ini. Dampaknya lingkungan hidup rusak parah. Produsen primer di alam menjadi sakit bermasalah. Energi di ambang kritis, jaring2 makanan (food web) pupus, daur air kacau, emisi karbon meningkat secara eksponensiil. Banyak lahan makin sulit ditanami, menjadi lahan kritis, tidak subur. Unsur-unsur hidup, relung ekologis, populasi penduduk naik tanpa terkendali. Reproduksi keturunan tak berstrategi, suksesi ekologis ’mampet’, terumbu karang habis, komposisi atmosfer berubah. Bila lapisan ozon bumi rusak dan ”bolong”, maka panas ganda permukaan bumi akan melelehkan es di kutub. Ini membuat volume air laut dan gelombang pasang air laut naik secara sistematis. Meniscayakan ribuan pulau akan tenggelam, antara lain di Kep Maldives, Lautan Pasifik dan Maluku. Termasuk bagian utara Jakarta diprediksi akan tenggelam bila tak ada upaya pencegahan yang riel. Itu diperkirakan akan terjadi dalam 40-70 tahun ke depan.
Protokol Kyoto. Kerjasama internasional pada tahun 1997 di Kyoto Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca (CO2 dan gas-gas lainnya), yang sangat merusak lapisan ozon dan berakibat kepada pemanasan global. Perjanjian ini adalah tindak-lanjut dari Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil tahun 1992, dimana 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5 persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Presiden SBY di Sidang Umum PBB New York sekaitan Perjanjian ini, menyatakan bahwa Indonesia akan mengambil peran lebih besar dan lebih aktif untuk komitmen pengurangan emisi karbon dalam kerjasama dengan negara-negara maju seperti AS, Rusia, Jepang, dll terkait bantuan dana dan teknologi.
Swalayan bencana karena rusaknya lingkungan. Beberapa tahun terakhir ini negeri ini semakin sering diterpa bencana. Bencana alam berupa banjir (seperti banjir Jakarta Maret 2007 lalu, banjir siklus 5 tahunan), kemarau panjang, tsunami seperti di Aceh & Pangandaran, gempa bumi (Aceh/Nias, Yogya/Klaten, Bengkulu), gunung berapi, kebakaran hutan (Sumatera, Kalimantan), tanah longsor (Kalsel, Sinjau Sulsel, Gorontalo, dll). Ambruknya TPA Bantar Gebang Bekasi dan TPA di Bandung Jawa Barat, yang menelan korban jiwa. Semua tak dapat dilepaskan akibat kondisi makin rusak dan parahnya lingkungan. Masalah lingkungan di negeri ini sudah sama-sama kita tahu: penebangan hutan secara liar/pembalakan hutan; polusi air dari limbah industri dan pertambangan; polusi udara di daerak perkotaan (Jakarta merupakan kota dengan udara paling kotor ke 3 di dunia, tidak pernah lepas dari kemacetan); asap dan kabut dari kebakaran hutan; kebakaran hutan permanen/tidak dapat dipadamkan; perambahan suaka alam/suaka margasatwa; perburuan liar, perdagangan dan pembasmian hewan liar yang dilindungi; penghancuran terumbu karang; pembuangan sampah B3/radioaktif dari negara maju; pembuangan sampah tanpa pemisahan/pengolahan; semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo, Jawa Timur, dsb.
Kerusakan lingkungan harus segera dicegah, pelestarian dikerjakan! Sudah tiba saatnya Gereja, naposo dan remaja Kristen berbuat hal yang riel berkaitan dengan persoalan lingkungan. Tidak bisa lagi hanya dengan sebatas wacana. Namun, harus dalam bentuk kongkrit rencana aksi diupayakan. Mulai dari kesadaran diri pribadi. Keluarga. Bersama dengan pemerintah, sekolah/perguruan tinggi, perusahaan, media, LSM dan unsur-unsur masyarakat lainnya. Komitmen untuk bersama menjadikan semua aspek kehidupan sebagai gaya hidup yang ramah lingkungan (environment friendly).
Hal-hal berikut menjadi kebutuhan & fokus utama untuk diperhatikan dengan seksama:
1) Ketersediaan air bersih (untuk minum, masak, cuci, dsb): dalam jumlah maupun kualitas.
2) Kebersihan udara bebas polusi, bebas dari pencemaran terutama di kota besar & industri.
3) Kesuburan tanah: meningkatkan kembali tingkat kesuburan tanah/lahan.
4) Tingkat keragaman biota: meningkatkannya kembali keanekaragaman hayati, misalnya melalui upaya reboisasi hutan gundul.
Arti lingkungan dan upaya pelestariannya. Wikipedia encyclopedia memberi batasan lingkungan hidup atau lingkungan sebagai: (1) Daerah di mana sesuatu mahluk hidup berada, (2) Keadaan/kondisi yang melingkupi suatu mahluk hidup, dan (3) Keseluruhan keadaan yang meliputi suatu mahluk hidup atau sekumpulan mahluk hidup, terutama: a) Kombinasi berbagai kondisi fisik di luar mahluk hidup yang mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan dan kemampuan mahluk hidup untuk bertahan hidup, dan b) Gabungan kondisi sosial dan budaya yang berpengaruh pada keadaan suatu individu mahluk hidup atau suatu perkumpulan/ komunitas mahluk hidup. Istilah lingkungan hidup atau lingkungan sering dipertukarkan dalam pengertian yang sama. Ilmu yang mempelajari persoalan lingkungan disebut Ekologi. Jika lingkungan dikaitkan dengan hukum/aturan pengelolaannya, maka batasan wilayah wewenang pengelolaan dalam lingkungan tersebut menjadi lebih jelas. Dalam konteks politik, lingkungan hidup bagi republik ini disebut Wawasan Nusantara. Menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim. Memberikan kondisi alamiah dan kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya, tempat bangsa ini menyelenggarakan kehidupan berbangsa, bernegara, beragama dan bermasyarakat.
Dengan batasan ini, lingkungan hidup atau persoalan lingkungan kini tidak dapat lagi dipandang hanya sekedar sebagai ”pemantas” belaka (Batak: ondeng) oleh manusia dan bagi manusia. Cara pandang, paradigma atau mindset antroposentrisme yang mungkin selama ini masih dianut, yakni menganggap manusia adalah segala-galanya, pusat dari sistem alam semesta, atau nilai tertinggi dalam menentukan setiap kebijakan lingkungan, sesungguhnya tidak dapat dipertahankan lagi. Kutipan terhadap bagian Alkitab, Kejadian 1: 26-28, yang ditafsirkan bahwa Allah memberi kewenangan penuh kepada manusia (yang “segambar” dengan-Nya), dan kemudian dijadikan alasan pembenaran bagi manusia untuk mengeksploitasi alam habis-habisan demi kepentingannya sendiri, sungguh merupakan hal yang naif, keliru dan tidak bisa diterima! Yang benar, adalah manusia adalah ciptaan Allah, bagian dari lingkungan yang diciptakan Allah. Cara pandang, paradigma mindset yang benar adalah Allah lah pusatnya, segala-galanya (teosentris) dan melaluiNya lingkungan diciptakan (ekosentris), bumi diciptakan (geosentris), sebagaimana kalangan Deep Ecology (DE) atau ”Ekologi Mendalam” menya-takannya.
Mengapa lingkungan perlu dilestarikan? Seperti ilustrasi tubuh, lingkungan itulah tubuhnya. Manusia adalah bagian dari tubuh itu sendiri. Bagian tubuh lain misalnya adalah hewan/binatang (fauna), tumbuhan vegetasi hutan (flora), material seperti: tanah, pasir, air, udara, batu, mineral, logam dst. Tubuh ’lingkungan’ ini diciptakan oleh Allah. Maka jika kita menghargai lingkungan, lingkungan dihargai dan dilestarikan, maka itu sama dengan kita menghargai Allah. Sama dengan kita mempermuliakan Allah. Lingkungan perlu dilestarikan bukanlah untuk pemuasan kebutuhan manusia, karena manusia memang bukan pusat segala-galanya di alam semesta. Pelestarian ini dilakukan adalah untuk kepentingan dan keperluan lingkungan itu sendiri. Lingkungan yang lestari adalah lingkungan yang terus berkelanjutan (sustainable). Lingkungan lestari adalah tanda nyata dari kehadiran Allah yang memberi damai-sejahtera, keindahan, keseimbangan, kebaikan dan sukacita bagi semua makhluk, segenap ciptaan di seluruh persada jagad-raya.
Peran dan usaha gereja dalam pelestarian lingkungan? Sudah tiba saatnya Gereja mengambil peran aktif, jika memungkinkan mengambil tempat di barisan terdepan, guna menyadarkan khalayak bahwa cara pandang antroposentrisme sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Cara pandang itu harus diubah menjadi cara pandang teosentris (berpusat pada Allah), yang melaluinya kita dapat semakin menghargai lingkungan (ekosentris), di mana kita manusia hidup dan tinggal. Bersama-sama Allah sebagai mitraNya, dalam pimpinanNya, dan dengan makhluk ciptaan lainnya, Gereja seharusnya melakukan tugas restorasi, pemulihan dan pelestarian lingkungan.
1. Sebagai pembawa misi Allah, Gereja menjadi pemrakarsa awal, penghimbau, penegur sekaligus menjadi contoh terkait usaha pencegahan kerusakan lingkungan menjadi lebih parah, karena dampak pemanasan global dan berbagai bencana akibat faktor lingkungan. Tujuannya agar bumi dapat tetap layak dihuni oleh segenap makhluk. Hutan, pohon-pohon, hewan-hewan, tanah/lahan serta isinya, berikut sumberdaya alam lainnya (air bersih, udara, keragaman biota) untuk keperluan pemberdayaan dan kehidupan, hendaknya dipergunakan secukupnya/sewajarnya. Masih dalam batas-batas persediaan yang memungkinkan kehidupan dan pemberdayaan dapat tetap berlanjut. Berperiode jangka panjang, antar generasi. Tidak akan dibiarkan sampai habis dan punah. Melainkan masih tersisa, sehingga upaya pemberdayaan, hidup dan ketersediaan sumberdaya alam tadi dapat terus berkelanjutan bagi kepentingan generasi anak cucu mendatang.
2. Gereja disadarkan kembali bahwa mempermuliakan Tuhan berarti mencintai menghargai melestarikan lingkungan, di mana segenap ciptaan Allah hidup dan tinggal. Menghargai melestarikan lingkungan, berarti menghargai kehidupan berkelanjutan itu sendiri. Sikap penghargaan ini, mungkin bisa diekspresikan misalnya dalam ibadah ritual, melalui penggunaan pola liturgi yang bernuansakan ekologis, berisikan pesan-pesan pelestarian lingkungan. Di ranah publik, Gereja dapat mencanangkan gerakan penyadaran lingkungan di tengah masyarakat melalui program-program tertentu di sekolah-sekolah kristen yang didirikan, di rumah-rumah sakit kristen, melalui komunitas politisi dan birokrat kristen, media, multimedia, LSM-LSM di dalam dan disekitar gereja, dsb. Bila terjadi bencana akibat faktor lingkungan di satu tempat, Gereja dapat secara aktif terjun langsung dalam aktifitas lingkungan dan kemanusian. Melakukan tindakan darurat (emergency rescue), crisis response. Membantu misalnya dalam upaya evakuasi korban, penanganan saat bencana (terapi penyembuhan, trauma, psikis) dan pasca bencana misalnya dalam bentuk relief, rehabilitasi, rekonstruksi dan recovery sosial-ekonomi. Demikian juga dalam pencanangan gerakan, sebut saja gerakan pelestarian hutan (Gerhan), Gereja dapat berperan aktif melalui LSM-LSM kristen yang diprakarsainya.
3. Gereja dan warga jemaat kristen memprakarsai suatu cara pandang ’baru’ bahwa pementingan terhadap diri sendiri (individualisme) demi kebutuhan masyarakat yang lebih luas dan kecintaan penghargaan kepada lingkungan, harus dikendalikan, lebih bisa ditahan dan diperlembut (ingat buah Roh: penguasaan diri), namun bukan berarti rasa penghargaan terhadap diri pribadi menjadi hilang atau berkurang. Contoh kongkrit, misalnya jika transportasi umum kelak sudah semakin memadai dalam jumlah dan kualitas di Ibukota, maka dirasa lebih baik menggunakan fasilitas transportasi umum ketimbang mobil/kendaraan pribadi. Hal senada dilakukan pemerintah dan pengusaha terhadap hutan. Lebih berorientasi kepada upaya proteksi hutan yang pro-lingkungan, ketimbang upaya eksploitasi hutan yang pro-keuntungan rupiah/dollar investasi sesaat. Demikianpun dengan masalah kependudukan. Akan lebih baik mempertimbangkan faktor ekologis, ketimbang mengikuti naluri kebebasan individu dalam bereproduksi sebanyak-banyak jumlah anak tanpa mengindahkan nilai-nilai penting dari perencanaan keluarga atau keluarga berencana.
4. Secara spiritualitas ekologis, Gereja semakin peka dan menghargai lebih dalam kehidupan Allah Tritunggal. Allah yang secara penuh menjelma dalam Kristus meneguhkan nilai materi dari ciptaan. Kristus meneguhkan pentingnya nilai lingkungan. Maka doa juga menjadi bagian iman gereja yang berakar pada kasih kepada Allah dan kasih kepada lingkungan, ciptaan! Sekaitan ini, Gereja semakin peka terhadap aspek keadilan (justice), terutama bagi mereka yang terpinggirkan baik secara gender, strata sosial-ekonomi, ras, agama dlsb, yang dengannya Gereja dapat memprakarsai berbagai upaya dialog guna mengatasi kesenjangan atau ketimpangan-ketimpangan sosial yang ada. Karena berbicara lingkungan, tentu mencakup pula persoalan ranah spiritualitas dan ranah sosial.
Apa yang bisa dilakukan warga HKBP Semper cq naposo remaja Narhasem? Bisa dilakukan dari hal-hal yang praktis dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, betul-betul menghemat pemakaian air bersih untuk keperluan memasak, mandi, mencuci, dsb. Menghemat pemakaian bahan bakar/BBM (pertamax, premium atau solar) untuk kendaraan bermotor, mobil atau sepeda motor. Ganti dengan bahan bakar yang ramah lingkungan, seperti bahan bakar jarak pagar (Jathropa). Kampanye menggunakan sepeda untuk ke sekolah, ke kampus atau tempat pekerjaan, merupakan hal yang sangat dihargai. Hemat pemakaian listrik, lampu-lampu rumah diganti dengan jenis lampu hemat energi, kebiasaan mematikan lampu, dsb.
Membuang sampah pada tempatnya, tidak sembarangan, menjadi kebiasaan yang baik dan dikomitmentkan. Dengan membiasakan diri memisahkan jenis sampah basah dan sampah kering. Tujuannya, untuk alternatif pengolahan bio kompos (pupuk organik) dan daur ulang menjadi material baru yang berguna. Contoh saja di IPPL Jakarta, ada pelatihan bagi remaja dan naposo agar mampu memanfaatkan sumberdaya seperti cabai, pepaya, tomat, dan lain sebagainya di berbagai pasar tradisional di Jakarta untuk dijadikan saos. Cabai, pepaya, tomat yang tidak dimanfaatkan pedagang karena pembusukan dimanfaatkan naposo dan remaja untuk ditingkatkan nilainya dengan cara membuat saos. Sehingga, pasar-pasar tradisional berkurang sampahnya.
Mendukung gerakan kebersihan lingkungan rumah, sekolah, gedung ibadah, tempat pekerjaan dari tumpukan sampah, lancarnya aliran air selokan, aliran kali dan sungai yang dapat mengakibatkan banjir di bantaran kali hingga ke rumah-rumah warga. Naposo dan remaja mulai sekarang juga dapat bertekad membatasi mengurangi penggunaan bahan-bahan yang terbuat dari plastik seperti tas kresek platik, tas plastik, bekas pembalut, sterioform – kotak pembungkus makanan dll (karena sangat sukar di daur ulang). Juga mengurangi penggunaan tissue basah dan tissue kering, karena dibuat melalui pengurangan/pembabatan pohon atau hutan. Padahal hutan dan pepohonan adalah media efektif untuk menghilangkan gas karbondioksida (CO2) dalam jumlah banyak di udara. Menanam pohon baru, memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi adalah cara jitu mengurangi efek rumah kaca, perusakan ozon bumi dan dampak lebih besar dari pemanasan global. Jenis pohon yang bagus untuk ditanam a.l duwet, buni, menteng, gandaria, mahoni, kemang, lobi-lobi, mangga, jambu, durian, rambutan, kelapa hibrida, dan sawo duren.
Pemuda (naposo) dan remaja dapat menghemat pemakaian kertas yang bahan materialnya dari pohon. juga bisa terlibat dalam upaya pencegahan kepunahan jenis binatang dan tumbuhan, ikut menyuarakan kesadaran akan pentingnya pengenalan alam sekitar, informasi terkait dampak pemanasan global, ledakan populasi dan bahaya bencana karena faktor lingkungan, lewat berbagai media apa saja yang bisa dikerjakan seperti membuat artikel majalah dinding (mading) dan buletin sekolah, milist, radio remaja, pagelaran musik, puisi dan kreativitas, kegiatan retret dan bible-camp, dsb.
Kalimat di bawah ini semoga bisa jadi perenungan kita:
”Jika pohon terakhir telah ditebang, jika sungai terakhir telah tercemar, jika ikan terakhir telah ditangkap, baru manusia akan sadar bahwa mereka tidak akan bisa makan uang.” (Green Peace).
“Bumi bisa mencukupi kebutuhan setiap orang (semua orang di muka bumi), tapi tak bisa mencukupi orang-orang (sebagian orang) yang rakus.” (Mahatma Gandhi)
”Mempermuliakan Tuhan caranya yang tepat adalah melalui menghargai lingkungan. Melestarikan lingkungan, adalah tanda seseorang mempermuliakan Tuhan (Anonym).
Soli Deo gloria.
Referensi:
1) Celia Deane-Drummond, 2006. Teologi & Ekologi, Buku Pegangan. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
2) http://id.wikipedia.org/wiki/Lingkungan_hidup
3) Lingkungan Hidup, GKI Kayu Putih Jaktim.
4) Weinata Sairin, M.Th, 2000. Gereja, Agama-Agama dan Pembangunan Nasional. BPK Gunung Mulia, Jakarta.
5) http://hansmidassmjntk.blogspot.com/Archieve/Juni 2007. Istilah Kata Pembangun- an”: Masih Layakkah Kita Pergunakan dan Populerkan di Jaman Begini ??, artikel Hans Midas Simanjuntak lewat informasi Transforma Sarana Media.
Friday, October 5, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
ok ni program pamrih ato cuma sekedar proyek
ReplyDeletenye...NYE