Kalau dibilang sudah banyak orang faham dan mafhum tentang situasi kondisi negeri kita sekarang ini, mungkin banyak yang mengatakan ya. Namun, bila ditanya bagaimana kira2 potret manusia Indonesia dan negeri kita ke depan, ini masih mengundang tanya. Terus terang orang luar pun masih banyak yang bertanya sebagai bahan rujukan mereka tentang terkait hal ini. Masuk akal. Mengingat manusia Indonesia serta negeri ini kini sedang mengalami fase-fase perubahan ataupun transisi yang berlangsung dengan begitu cepat, acap kali diselang-seling dengan berbagai kekagetan2, keprihatinan dan perasaan2 lainnya. Mungkin mirip kalau kita nonton film2 Holywood. Ada kadang2 perasaan tegang, gembira, rileks, bingung, ngga ngerti, kocak, lucu, apatis, skeptis, prihatin, sedih, serem, mengerikan, biadab, dll.
Pernah suatu kali ada orang Amerika yang datang dan pernah tinggal di Bali, sebutlah namanya si John bilang "Kita di Amerika, di Holywood, kenyataannya baru bisa bikin film2 begitu rupa sampai situasi: seramnya, suspence-nya, peristiwa penembakan, pengeboman, keprihatinnya, kesedihannya, tragisnya digambarkan nyaris hampir sama dengan fakta sebenarnya di kehidupan nyata. Sehingga mampu buat penonton miris, terperangah, terbawa dengan suasana film. Jadilah film box-office. Padahal jujur sering banyak fiksi, fiktifnya. Sebaliknya dengan Indonesia. Ternyata Indonesia lebih hebat dari Amerika, dari Holywood. Bila Holywood baru bisa bikin dalam taraf film, Indonesia bisa 'buat' kejadian2 seperti itu dalam fakta sebenarnya, bentuk riil di kehidupan keseharian.Bukan sekedar film, lebih dari sekedar film. Kalau Amerika buat film baru untuk reka2 kejadian sebenarnya, Indonesia sudah bisa 'buat' kejadian sebenarnya seperti film2 rekaan Holywood, Amerika!
Ucapan si John ini adalah ucapan sinis, sindiran. Mungkin ada benarnya. Sebenarnya masih banyak anekdot2, cerita2 dan ucapan2 sejenis yang kayaknya konyol dilontarkan dan sering buat kita 'nyinyir'; namun bila kita renungkan mungkin bisa buat kita introspeksi dan mawas diri. Meski agak menohok, kita bisa bercermin tentang identitas, attitudes (sikap, perilaku) kemanusiaan Indonesia dan kehidupan negeri kita.
Pernyataan evaluatif lainnya adalah berdasar prediksi politis, pemetaan politik. Negeri ini diprediksikan akan mengalami disintegrasi di waktu mendatang. Lihat Timtim sudah lepas. Lihat Aceh paska perjanjian Helsinki, dengan manuver GAMnya. Lihat Papua dengan 'Bintang Kejora'nya. Lihat juga isu2 yang pernah muncul mengenai Minahasa Raya, bangkitnya nostalgia PRRI/Permesta, dlsb. Itu sah2 saja. Karena orang melihat kenyataan Soviet Uni dan Yugoslavia yang mengalami perpecahan. Jadi mungkin saja Indonesia juga ke depan akan terpecah2 menjadi banyak negara-negara kecil yang merdeka dan berdaulat, seperti halnya Timor Leste itu. Kadar sintemen kedaerahan, sentimen keagamaan dan chauvinisme bisa lebih kuat daripada kadar nasionalisme kesatuan Indonesia. Timor Leste begitu kan karena mereka mayoritas Katolik. Be-tulkah? Namun orang jangan lupa juga. Ada juga negara yang dulu terpisah, bisa bersatu lagi. Contohnya Jerman Barat dan Jerman Timur paska robohnya Tembok Berlin. Bukan itu saja. Bahkan negara2 Eropa yang tidak terpikir bisa bersatu karena melihat alasan ego dan martabat bangsa2 seperti Jerman, Perancis, Inggris, Spanyol dll, bisa juga bersatu dalam kesatuan Eropa Bersatu, dengan mata uang yang sama: Euro. Timor Leste berpisah karena "dari sononya" juga bukan bagian dari Indonesia.
Itulah politik. Kalau prediksi politik dan pemetaan geo-politik yang kita pakai memang begitu. Kadang tidak dapat diprediksi tepat, masih banyak tanda tanya, apalagi untuk prediksi yang bersifat jangka panjang. Politik itu flickel. Berubah setiap saat, berjangka pendek. Seperti juga mungkin selera (taste) orang yang bisa berubah-ubah. Kadang senang, kadang benci. Kadang ngga jelas. Agak sulit memprediksi sesuatu lewat kacamata politik atau kepentingan politik.
Mungkin letak permasalahan kita ke depan tidak selalu mesti dibaca dari kacamata politik. Ada yang lebih besar dan lebih dalam dari politik. Ini mungkin terhubung dengan persoalan kebudayaan atau lebih tepatnya peradaban. Melalui kacamata peradaban, mungkin kita bisa lebih jernih melihat kekinian dan ke depan. Bisa lebih mampu melihat bagaimana kira-kira potret manusia Indonesia dan negeri kita sejak kini dan ke depan di tengah hiruk-pikuk proses perubahan yang begitu cepat. Bagaimana prediksi potret kita di tengah gelombang reformasi, desentralisasi dan otonomi. Proses demokratisasi dan transformasi. Gambaran sederhananya mungkin seperti ini. Seperti seekor ulat tanaman yang mengalami transformasi perubahan menjadi kepompong, akankah kemudian kita tau bagaimana kira-kira bentuk kupu-kupu yang akan keluar dari kepompong tersebut. Berwarna hitamkah, merahkah atau berwarna coklat. Atau malah berwarna-warni. Berukuran kecilkah, sedangkah atau malah besar seperti kupu-kupu gajah yang banyak dijumpai di Bantimurung Maros Sulsel, Flores atau Irian (Papua).
Kembali ke potret manusia Indonesia & Negeri kita: kini dan ke depan. Kaitan dengan pendapat Mochtar Lubis.
Mungkin memang ada baiknya manusia/orang Indonesia dipercayakan hal-hal yang berskala kecil (mikro) saja. Tidak atau jangan terlalu besar, apalagi sebesar gajah. Bisa2 jadi dianggap visi, padahl baru bisa mimpi (BBM), tapi faktanya tenaga dan fasilitasi kurang. Gengsi besar, namun kemampuan nyatanya kurang. Kondisi begini, mungkin sangat berbahaya bila diajarkan prinsip bagaimana berpikir besar, punya mimpi besar, berpikiran serba positif. Masalahnya attitude (mentalitas) belum beres, mentalitas rapuh. Akibatnya, pertahanan diri bisa roboh. Masa depan bukannya malah cerah (MDC), tapi malah masa depan suram (Madesu). Orang Inggris bilang "friendly monkey". Sepertinya ramah, cerah, tapi sesungguhnya kualitas tidak ada. Suka sekali pembohongan diri, pembenaran diri, padahal yang ada "pengasihanan diri".
Paling banter jika terpaksa mesti mempercayakan tugas atau amanah, ya harus dalam ukuran tanggung-jawab ‘yang sedang-sedang saja’ (mirip lirik lagu dangdut). Alasannya, yang kecil saja ngga ‘ketanganan’ atau ketanggor (tidak mampu ditangani) gimana mau dipercayakan yang besar. Ingat kembali perkataan Sang Maha Bijak: “Barangsiapa setia pada perkara kecil, ia setia juga pada perkara-perkara besar”. Sebab kalau terlalu besar, kalau ngga jadi manusia korup ya jadi arogan, kalau ngga jadi manusia diktator ya jadi ‘slebor’, seenaknya, tak terkendali "kayak lembaga atau organisasi punya kakeknya atau neneknya". Ukuran perusahaan yang dikasih untuk diurus sebaiknya yang skala kecil saja, kelas usaha mikro atau UMKM. Untuk parpol juga demikian, jangan diberi yang besar, kecil saja. Kira-kira lebih besar sedikit dari "partai gurem". Kita tau seberapa besar partai gurem. Bukankah partai kecil ternyata faktanya bisa menggolkan pilihan Presiden waktu Pemilu 2004 lalu. Ngga apa-apa partai kecil asal jumlah partainya banyak. Seperti analog layaknya partai politik independen di Amerika dengan calon presiden yang juga independen. Partai ngga apa2 kecil, asal yang penting lolos threshold. Asalkan masing2 partai kecil itu bisa terkelola dengan baik, masing2 perusahaan kelas UMKM kecil itu akuntable, dipercaya dan digerakkan oleh semangat kewirausahaan murni. Yang pokok bersih dari intrik dan bersih dari bandit2 KKN.
Untuk lembaga keagamaan pun semestinya demikian. Termasuk gereja. Sama, mungkin memang lebih bagus dan baik bila ukuran jemaah (jemaat) kecil saja, baik dalam jumlah kuantitasnya maupun dalam ukuran (size) organisasinya. Pola organisasi pun sebaiknya simpel saja, flat-organization. Mungkin ada baiknya melihat jumlah aliran keagamaan, denominasi, sinode yang muncul semakin membengkak dewasa ini, bertambah beranak-pinak menjadi sangat banyak seperti sarang lebah atau jalan semut, maka ada baiknya jumlah umat pengikut masing2 relatif sedikit saja. Paling banyak 50-100 orang dewasa. Angka ini belum termasuk anak-anak. Kan jadi mudah ditangani, mudah dipimpin atau digembalakan. Kalau terlalu banyak jumlahnya, pasti jadi repot. Tak tertangani, tepatnya tak punya kemampuan untuk menatalayani, ujung-ujungnya tak mampu jadi teladan atau contoh. Mulai bikin-bikin alasan pembenaran diri lagi. Ustadz juga manusia. Pendeta juga manusia, dll. Hal lain pula, jika melakukan tugas pengayoman atau pastoral bisa-bisa akan "pilih kasih" apabila jumlah jemaat terlalu besar. Kadang hanya jemaat2 yang terpandang, yang kaya, yang punya jabatan, yang populer, yang dikunjungi. Keluarga2 anggota jemaat lain "gigit jari" karena tidak masuk kriteria: kaya, punya jabatan, populer, dll. Demikian juga bila melakukan upaya pemberian sangsi (di Kristen dikenal istilahnya ‘siasat gereja’ atau "disiplin gereja"), bisa-bisa pakai system tebang-pilih juga kayak Pemerintah. Mirip dengan perilaku aparat di negeri ini, yang melaksanakan penegakkan hukum terpaksa dengan system tebang-pilih terhadap para penjahat pembalakan liar, sindikat narkoba dan pembobol bank. Karena apa? Karena masih banyaknya "the person behind the gun" yang tidak dapat tersentuh hukum.
Lembaga pendidikan, sekolah atau perguruan tinggi pun mestinya begitu. Jangan coba-coba punya sekolah atau fakultas (untuk tingkat universitas) yang terlalu banyak jumlah unit sekolah atau fakultasnya. Bisa jadi keblinger pimpinan yayasan atau rektornya. Fokus saja kepada satu sekolah atau satu fakultas saja. Mirip jadinya seperti institut. Paling banyak terdiri dari 2-3 unit saja. Lebih dari itu bisa bukan jadi berkualitas tapi jadi retas. Ketahuan benar motifnya hanya komersil. Sekolah atau perguruan tinggi jadi lebih mirip swalayan. Jurusan atau fakultas apa saja ada. Hal yang sama bisa diterapkan dalam dunia kesenian atau industri hiburan (entertainmen). Terlalu banyak anggota dalam satu grup band atau grup kesenian misalnya, akan jadi sangat repot. Berkibar sedikit atau populer sedikit sudah berulah. Terancam bubar atau bubar sekalian bubar jalan. Lebih baik mungkin pilihan menjadi pemain solo (soloist, tunggal) saja seperti yang dijalankan beberapa orang. Atau paling banter terdiri dari dua orang saja (duet, duo, dwi tunggal). Tapi mesti diingat, dwi tunggal juga mesti ati-ati karena bisa repot juga. Belum tentu bisa bertahan lama meski hanya berdua. Bisa bertahan kompak. Banyak dwi-tunggal dalam sejarah, akhirnya juga ngga bisa jalan normal. Ujungnya jalan ‘dewek-dewek’. Kalaupun masih bertahan, terkesan bertentangan, sulit akur meski pada awalnya bisa akur. Konon ada yang bilang, dari pada bikin dwi tunggal atau hubungan kencan dua insan berpacaran, lebih gampang bikin persekutuan atau paguyuban (fellowship, alliance, union). Bentuk persekutuan bisa lebih kompak dan lebih lama bertahan. Sistem dwi-tunggal atau hubungan berpacaran kadang terbentuk kendala percekcokan karena pertidak-sesuaian. Karena apa? Tujuan Persekutuan umumya hanya satu macam. Tujuan dwi-tunggal atau hubungan kencan, kadang bisa bermacam-macam dan lebih mendalam. Hati manusia siapa dapat menduga. Terlalu ‘jauh’ repot, kangenan; namun terlalu dekat juga repot, kelihatan semua kelemahan. Yang lebih enak barangkali “tidak jauh tapi juga tidak dekat”. Begitu. Kesimpulannya mungkin bagi manusia Indonesia jadi pemain tunggal atau soloist lebih masuk akal ketimbang bikin dwi-tunggal, duet, trio, kwartet atau vocal group atau art-group. Masalahnya itu tadi, manusia Indonesia rata-rata belum siap, rapuh, lembek dalam soal mengelola pujian sanjungan, soal keuangan dan kenikmatan yang diterima.
Mungkin gugatan Mochtar Lubis itu ada benarnya. Bagaimana menurut anda?
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Wednesday, November 15, 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)