Pemuda, perannya menjadi sangat penting dan strategis pada hari-hari ini. Sama halnya dengan waktu founding-fathers bangsa dan pemimpin2 kristen indonesia senior kita eksis pada periode2 awal Indonesia.
Pemuda (dan juga remaja) menjadi suara (yang mewakili) masa depan Indonesia.
Suara yang saya boleh sebut: suara kemandirian. Suara perjuangan menuju kemandirian bangsa, gereja tubuh Kristus, society. Yang pada gilirannya benar-benar mengarahkan kita selanjutnya kepada makna kedaulatan (sovereignty) .
Pemuda, dekat dengan teknologi. Aplikasi teknologi. Dekat dengan kreativitas dan inovasi.
Dekat dengan kondisi. Kondisi kebugaran suatu bangsa (freshness of the nation).
Pemuda sehat, sehatlah bangsa. Pemuda sakit, maka sakitlah bangsa.
Pemuda, mesti diakui menjadi salah satu pihak, komunitas, society yang paling dekat dengan Demokrasi, gerak demokrasi. Maka, di tangan pemuda pula Demokrasi dapat berproses berkembang jauh lebih baik dan lebih semarak.
Pemuda juga yang diharap menjadi penerus jati diri bangsa. Pemuda sangat erat mengait dengan budaya. Budaya lokal, budaya nasional, budaya mengglobal.
Pemuda, penjaga tradisi bangsa, keindonesiaan. Pemelihara tradisi gereja, christianity traditions dalam arti luas.
Kini, hari-hari ini, Pemuda tidak dapat lagi hanya menjadi bagian marjinal dari tubuh bangsa, gereja tubuh Kristus, dari society.
Pemuda, suara pemuda wajib kita dengar!
Wajiblah pemimpin2 di sektor publik, privat maupun masyarakat sipil untuk mendengarnya!
Bila Pemuda bersatu, maka bersatulah bangsa, gereja, civil society.
Bila Pemuda bangkit mentransformasi diri dan maju, maka akan demikianlah suatu Bangsa dan Bahasa.
Pemuda. Suara yang pasti dan akan terus mewakili masa depan bangsa dan gereja.
Maka, tidak heran meski banyak kaum yang telah bertambah tahun usia
ingin tetap bersama pemuda.
Bersama Pemuda, mari segenap kita, merajut masa depan.
Salam Soempah Pemoeda 2009.
28 Oktober 2009.
Wednesday, October 28, 2009
Wednesday, October 14, 2009
Resensi "The Indonesian Dream": Meraih Mimpi dalam Bingkai Retak
(Tulisan dari Dr Victor Silaen, telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, Minggu 11/10/2009)
SEBAGIAN orang mungkin akan langsung berkata bahwa ”mimpi Indonesia” merupakan sesuatu yang asing dan jarang terdengar atau dibicarakan.
Karena itu, mereka mungkin akan bertanya: apakah Indonesia punya mimpi? Jawabannya ”punya”,dan itu tertulis di dalam Pembukaan UUD 45, yakni ”Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur” dan ”yang sejahtera, cerdas, dan yang berperan serta di tengah pergaulan internasional”.
Terkait itu mungkin kita setuju bahwa sebagian dari mimpi itu kini sudah tercapai yakni merdeka,berdaulat, bersatu,dan berperan serta secara aktif di tengah pergaulan internasional. Tetapi adil dan makmur, sejahtera, cerdas, agaknya masih jauh dari kenyataan. Inilah persoalan besar kita.Menurut Elwin Tobing, penulis buku ini, persatuan merupakan prasyarat untuk meraih mimpi itu.
Celakanya, persatuan itulah yang kini menjadi masalah karena Indonesia dewasa ini adalah Indonesia yang rapuh. Bagaimana mungkin Indonesia dapat menjadi bangsa yang unggul jika rakyatnya tidak dapat dipersatukan? Secara teritorial Indonesia mungkin akan terus bersatu, namun ikatan-ikatan sosial politik yang mempersatukan rakyatnya yang beraneka ragam selama ini perlahan kian melemah.
Kebinekaan Indonesia kini mulai retak di sana-sini. Ini bukan saja membuat Indonesia menjadi bangsa yang sulit maju, bahkan juga terancam disintegrasi (hlm 69). Kalau kita tak mau Indonesia menjadi ”negara gagal”, perubahan paradigma di tengah proses pembangunan bangsa ini ke depan diperlukan.
Untuk membangun bangsa yang kompetitif, tak bisa tidak, setiap warga di negara ini harus dibentuk menjadi individuindividu yang kompetitif pula. Untuk itu setiap orang harus memiliki pikiran yang kritis, sementara kebudayaan masyarakat juga harus mendukung terciptanya iklim yang kompetitif tersebut.
Bagaimana caranya? Ilmu pengetahuan harus dikuasai dan inovasi-inovasi harus digencarkan. Namun, hal itu hanya bisa dicapai jika ada kondisi di mana masyarakat selalu ”lapar” akan pengetahuan dan terobsesi untuk maju dalam pendidikan.
Elwin Tobing,seorang warga negara Indonesia yang kini menjadi dosen bidang ekonomi di Universitas Azusa Pasific, California, Amerika Serikat itu, juga menyoroti faktor lain yang menyebabkan Indonesia sulit maju yakni mentalitas sebagian besar rakyat Indonesia yang selalu menganggap diri sebagai korban dari negaranegara maju maupun paham neolib.
Mentalitas seperti ini jelas harus dibuang jauh-jauh, diganti dengan optimisme dan keyakinan diri bahwa kita juga bisa. Selain pada kenyataannya kita tak mungkin menghindar dari keniscayaan berinteraksi dengan negara-negara lain, maju atau mundurnya negara kita terletak di tangan kita sendiri.
Elwin menekankan perlunya kita bekerja keras membangun toleransi beragama. Bagaimanapun, menurut dia, agama tetap penting dan bahkan merupakan faktor deterministik di dalam kehidupan kita. Karena itulah tak mungkin kita mengabaikannya begitu saja atau menganggapnya tidak penting.
Apalagi Indonesia adalah bangsa yang sangat religius.Untuk itulah diperlukan perubahan paradigma dalam beragama dan dalam melakukan dialog antarumat beragama, di samping juga perlu merumuskan ulang orientasi pendidikan agama di semua lembaga pendidikan (hlm 100-124).
Terkait itu patut disyukuri bahwa Indonesia kini telah menjadi negara demokratis secara prosedural dan struktural. Hal ini tentu dapat menjadi modal untuk membangun demokrasi di ranah budaya, yang meniscayakan bukan saja diakui dan dihayatinya kebebasan, tetapi juga toleransi karena bertumbuhnya kemampuan untuk menyikapi perbedaan secara wajar, juga kesetaraan dan nilai-nilai lainnya.
Selain itu,ada modal sosial yang harus dibangun. Itulah nilai ”trust” (kepercayaan) yang kian menghilang dari kehidupan kita di tengah kebersamaan (hlm 126-143). Boleh jadi menghilangnya ”trust” dikarenakan ”distrust” (kecurigaan) telah sekian lama menguasai hati dan pikiran kita.
Tak heran jika bingkai yang merekat kebersamaan kita selama ini mulai retak di sana-sini. Buku ini terdiri atas tiga bagian, yang masing-masingnya terdiri atas beberapa bab. Bagian Pertama berjudul ”A United Nation”,memaparkan fakta-fakta dan gambarangambaran tentang situasi dan kondisi bangsa Indonesia dewasa ini.
Bab Keenam,yang mengakhiri bagian ini, seakan mengajak kita untuk mengevaluasi sekaligus menyadari bahwa Indonesia kini tengah di ambang bahaya kolaps karena menguatnya intoleransi beragama. Bagian Kedua berjudul ”A Democratic Nation”, membahas tentang perkembangan yang berhasil dicapai Indonesia dalam demokrasi dan demokratisasi.
Ironisnya, politik semakin modern, namun distrustsemakin menguat di tengah kehidupan bermasyarakat. Tak dapat dipungkiri bahwa tingkat keanekaragaman bangsa Indonesia yang sangat tinggi juga turut menyumbang menguatnya ketidakpercayaan sosial tersebut. Bagian Ketiga berjudul ”A Confident and Competitive Nation”, menguraikan tentang hal-hal yang penting dan perlu dilakukan ke depan demi menjadikan Indonesia bangsa yang unggul dan kompetitif.
Pada intinya,buku ini menekankan perlunya perubahan-perubahan mendasar yang harus dilakukan jika Indonesia mau menjadi bangsa yang unggul dan kompetitif.Untuk itu,selain hal-hal yang telah disebut di atas, diperlukan perubahan dalam nilai-nilai yang kita hayati selama ini. Di sinilah signifikansinya membahas kebudayaan kita sebagai bangsa Indonesia.Persoalan nya, sudahkah kita memiliki ”kebudayaan nasional” yang betulbetul telah dijadikan pedoman oleh seluruh rakyat Indonesia? (*)
Victor Silaen,
Dosen Fisipol UKI
Tanggapan HMS di milis Aliteia (14 Oct 2009):
Resensi konseptualnya TID ini, bagus sekali Lae Victor.
Membawa semangat dan optimistik kita bahwa TID bukan sekedar khayalan atau The Dreaming Indonesian, tapi betul2 upaya "karsa karya dan rasa" bersama menjadikan bangsa ini, bangsa pemenang - bukan bangsa kalahan pencundang.atau selalu terpuruk dlm segala kelemahan.
Terima kasih. JBU
HMS
Tanggapan kembali VS (15 Oct 2009):
Terima kasih Lae Hans. Semoga semua kita bisa menjadi pemenang.
Salam
Victor Silaen
SEBAGIAN orang mungkin akan langsung berkata bahwa ”mimpi Indonesia” merupakan sesuatu yang asing dan jarang terdengar atau dibicarakan.
Karena itu, mereka mungkin akan bertanya: apakah Indonesia punya mimpi? Jawabannya ”punya”,dan itu tertulis di dalam Pembukaan UUD 45, yakni ”Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur” dan ”yang sejahtera, cerdas, dan yang berperan serta di tengah pergaulan internasional”.
Terkait itu mungkin kita setuju bahwa sebagian dari mimpi itu kini sudah tercapai yakni merdeka,berdaulat, bersatu,dan berperan serta secara aktif di tengah pergaulan internasional. Tetapi adil dan makmur, sejahtera, cerdas, agaknya masih jauh dari kenyataan. Inilah persoalan besar kita.Menurut Elwin Tobing, penulis buku ini, persatuan merupakan prasyarat untuk meraih mimpi itu.
Celakanya, persatuan itulah yang kini menjadi masalah karena Indonesia dewasa ini adalah Indonesia yang rapuh. Bagaimana mungkin Indonesia dapat menjadi bangsa yang unggul jika rakyatnya tidak dapat dipersatukan? Secara teritorial Indonesia mungkin akan terus bersatu, namun ikatan-ikatan sosial politik yang mempersatukan rakyatnya yang beraneka ragam selama ini perlahan kian melemah.
Kebinekaan Indonesia kini mulai retak di sana-sini. Ini bukan saja membuat Indonesia menjadi bangsa yang sulit maju, bahkan juga terancam disintegrasi (hlm 69). Kalau kita tak mau Indonesia menjadi ”negara gagal”, perubahan paradigma di tengah proses pembangunan bangsa ini ke depan diperlukan.
Untuk membangun bangsa yang kompetitif, tak bisa tidak, setiap warga di negara ini harus dibentuk menjadi individuindividu yang kompetitif pula. Untuk itu setiap orang harus memiliki pikiran yang kritis, sementara kebudayaan masyarakat juga harus mendukung terciptanya iklim yang kompetitif tersebut.
Bagaimana caranya? Ilmu pengetahuan harus dikuasai dan inovasi-inovasi harus digencarkan. Namun, hal itu hanya bisa dicapai jika ada kondisi di mana masyarakat selalu ”lapar” akan pengetahuan dan terobsesi untuk maju dalam pendidikan.
Elwin Tobing,seorang warga negara Indonesia yang kini menjadi dosen bidang ekonomi di Universitas Azusa Pasific, California, Amerika Serikat itu, juga menyoroti faktor lain yang menyebabkan Indonesia sulit maju yakni mentalitas sebagian besar rakyat Indonesia yang selalu menganggap diri sebagai korban dari negaranegara maju maupun paham neolib.
Mentalitas seperti ini jelas harus dibuang jauh-jauh, diganti dengan optimisme dan keyakinan diri bahwa kita juga bisa. Selain pada kenyataannya kita tak mungkin menghindar dari keniscayaan berinteraksi dengan negara-negara lain, maju atau mundurnya negara kita terletak di tangan kita sendiri.
Elwin menekankan perlunya kita bekerja keras membangun toleransi beragama. Bagaimanapun, menurut dia, agama tetap penting dan bahkan merupakan faktor deterministik di dalam kehidupan kita. Karena itulah tak mungkin kita mengabaikannya begitu saja atau menganggapnya tidak penting.
Apalagi Indonesia adalah bangsa yang sangat religius.Untuk itulah diperlukan perubahan paradigma dalam beragama dan dalam melakukan dialog antarumat beragama, di samping juga perlu merumuskan ulang orientasi pendidikan agama di semua lembaga pendidikan (hlm 100-124).
Terkait itu patut disyukuri bahwa Indonesia kini telah menjadi negara demokratis secara prosedural dan struktural. Hal ini tentu dapat menjadi modal untuk membangun demokrasi di ranah budaya, yang meniscayakan bukan saja diakui dan dihayatinya kebebasan, tetapi juga toleransi karena bertumbuhnya kemampuan untuk menyikapi perbedaan secara wajar, juga kesetaraan dan nilai-nilai lainnya.
Selain itu,ada modal sosial yang harus dibangun. Itulah nilai ”trust” (kepercayaan) yang kian menghilang dari kehidupan kita di tengah kebersamaan (hlm 126-143). Boleh jadi menghilangnya ”trust” dikarenakan ”distrust” (kecurigaan) telah sekian lama menguasai hati dan pikiran kita.
Tak heran jika bingkai yang merekat kebersamaan kita selama ini mulai retak di sana-sini. Buku ini terdiri atas tiga bagian, yang masing-masingnya terdiri atas beberapa bab. Bagian Pertama berjudul ”A United Nation”,memaparkan fakta-fakta dan gambarangambaran tentang situasi dan kondisi bangsa Indonesia dewasa ini.
Bab Keenam,yang mengakhiri bagian ini, seakan mengajak kita untuk mengevaluasi sekaligus menyadari bahwa Indonesia kini tengah di ambang bahaya kolaps karena menguatnya intoleransi beragama. Bagian Kedua berjudul ”A Democratic Nation”, membahas tentang perkembangan yang berhasil dicapai Indonesia dalam demokrasi dan demokratisasi.
Ironisnya, politik semakin modern, namun distrustsemakin menguat di tengah kehidupan bermasyarakat. Tak dapat dipungkiri bahwa tingkat keanekaragaman bangsa Indonesia yang sangat tinggi juga turut menyumbang menguatnya ketidakpercayaan sosial tersebut. Bagian Ketiga berjudul ”A Confident and Competitive Nation”, menguraikan tentang hal-hal yang penting dan perlu dilakukan ke depan demi menjadikan Indonesia bangsa yang unggul dan kompetitif.
Pada intinya,buku ini menekankan perlunya perubahan-perubahan mendasar yang harus dilakukan jika Indonesia mau menjadi bangsa yang unggul dan kompetitif.Untuk itu,selain hal-hal yang telah disebut di atas, diperlukan perubahan dalam nilai-nilai yang kita hayati selama ini. Di sinilah signifikansinya membahas kebudayaan kita sebagai bangsa Indonesia.Persoalan nya, sudahkah kita memiliki ”kebudayaan nasional” yang betulbetul telah dijadikan pedoman oleh seluruh rakyat Indonesia? (*)
Victor Silaen,
Dosen Fisipol UKI
Tanggapan HMS di milis Aliteia (14 Oct 2009):
Resensi konseptualnya TID ini, bagus sekali Lae Victor.
Membawa semangat dan optimistik kita bahwa TID bukan sekedar khayalan atau The Dreaming Indonesian, tapi betul2 upaya "karsa karya dan rasa" bersama menjadikan bangsa ini, bangsa pemenang - bukan bangsa kalahan pencundang.atau selalu terpuruk dlm segala kelemahan.
Terima kasih. JBU
HMS
Tanggapan kembali VS (15 Oct 2009):
Terima kasih Lae Hans. Semoga semua kita bisa menjadi pemenang.
Salam
Victor Silaen
Subscribe to:
Posts (Atom)