Peristiwa banjir yang menimpa hampir 60-80% kawasan Jakarta (Jabodetabek) di awal Peb 2007 kembali membuat derita yang sangat luar biasa bagi rakyat yang tinggal di ibukota ini. Ini pengulangan dari bencana banjir 2002, 1996, 1991 dan dinilai jauh lebih parah dari luasan area yang terendam banjir.
Bantuan memasuki hari ke-5 sudah mulai mengalir meski masih sangat banyak tersendat. Baik yang dilakukan ormas2, orpol, lembaga agama maupun kaum selebritis domestik.
Namun, pertanyaan yang lebih prinsipil yang selalu menggelayut di hati kita adalah apakah kota Jakarta sekarang masih layak untuk era kini asih dinilai cocok sebagai Ibukota negara? Apakah tidak ada lagi gagasan yang lebih realistis, lebih efisien, lebih efektif dan relevan untuk memindahkan ibukota negara ini dari Jakarta ke tempat atau kota lain saja?
Ada beberapa pertimbangan cukup masak serta bijaksana, sehingga pemikiran atau rencana ini dipandang perlu untuk dilakukan oleh kita semua :
1.Pertimbangan “kecocokan”: Jakarta cocoknya dijadikan kota apa?
Dengan banyaknya jumlah penduduk hampir 15 juta dari area sekitarnya (Bodetabek), Jakarta lebih layak menjadi kota perdagangan besar, mirip Shanghai di RRC, New York di State, Sydney di Australia, dll. Tapi tidak cocok untuk Ibukota Negara atau ibukota Pemerintahan.
2.Pertimbangan pelik dan makin parahnya masalah akut Jakarta
Jakarta , sebagai ibukota Negara, lebih banyak dinilai sebagai kota paling bermasalah sebagai ibukota Negara. Begitu banyak dan sering bencana banjir dalam sejarah kota ini. Termasuk yang paling parah terjadi pada tahun 1991, 1996, 2002 dan Peb 2007 ini. Belum lagi problema macet yang paling parah di Asia, tingkat polusi paling tinggi di Asia, kasus-kasus demam berdarah karena parahnya sanitasi lingkungan di Jakarta, jumlah kemiskinan yang sangat luar biasa menyeruak di jalan2 dan slump areas (kawasan kumuh), berakibat kepada tingkat kriminalitas dan riots (kerusuhan2) yang sangat tinggi. Keamanan menjadi sangat2 mahal. Flu burung merebak relatif parah di Jakarta dan sekitarnya.
3.Pertimbangan efisiensi dan penghematan energi.
Jika dihitung lebih cermat, faktanya jauh lebih murah (efisien) dan efektif memindahkan ibukota Negara Jakarta ke tempat/kota lain, daripada biaya “menyembuhkan” , memperbaiki berbagai macam masalah sangat pelik Jakarta ini, seperti kemacetan, biaya BBM karena kemacetan kendaraan, biaya pembangunan banjir kanal timur, pembuatan area2 serapan, perbaikan bantaran kali, reklamasi dll. Apalagi jika dihitung pertimbangan faktor fenomena alam "pemanasan global" mesti jadi pertimbangan dalam beberapa tahun ke depan, terutama untuk pulau2 kecil atau kota2 yang berada sejajar atau sedikit dibawah permukaan laut, seperti Jakarta, Semarang, dll.
4. Pertimbangan dinamika perkembangan era reformasi sekarang.
Era sekarang adalah Era Reformasi, Era Desentralisasi, Era Otonomi Daerah. Tidak seluruhnya kegiatan mesti dikendalikan dari Jakarta . Power axis (titik sumbu kekuasaan di berbagai bidang: politik, ekonomi, perdagangan, pendidikan, dll) semestinya tidak harus selalu ada di Jakarta .
5.Pertimbangan sejarah (historis)
Sejak diproklamasikannya Indonesia , negeri ini pernah mengalami perpindahan ibukota Negara, pertama dari Jakarta ke kota Yogyakarta , akhir tahun 1940an. Dan kemudiaan ke Bukittinggi Sumbar pada tahun 1950an.
6. Pertimbangan analogis.
Jika UUD 1945 saja bisa diamandemen, dan bukan merupakan sesuatu yang dianggap terlalu sakral bagi rakyat untuk diamandemen, maka analog soal Ibukota Negara bisa dipindah dari Jakarta ke tempat lain, juga pasti bukan sesuatu yang sakral. Biasa2 saja.
Itu sekelumit pertimbangan2 faktor2 yang mesti dilakukan peninjauan ulang. Apa suatu harga mati ibukota negara harus di Jakarta? Apa benar ibukota Negara di Jakarta merupakan keputusan yang tidak bisa diganggu-gugat. Meski pun faktanya kota ini mungkin sudah kurang layak dipertahankan sebagai ibukota Negara. Mungkin lebih cocok Jakarta dijadikan kota dagang terbesar di negeri ini. Apakah kita mesti ikut2an orang Belanda yang menjadikan Batavia sebagai pusat kolonialis dan pusat VOC di Nusantara?
Tidak kah ada pikiran alternatif yang lain bagi kemungkinan Ibukota Negara di tahun2 mendatang ini.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment