Saya tergelitik untuk turut berkomentar mengenai issue ini, berkaitan Komunitas Batak Diaspora (KBD) akan menyelenggarakan kembali Kebaktian Paskah Bonapasogit di Istora Senayan pada tanggal 22 April 2007. Konon, cukup banyak yang mempertanyakan kenapa pelayanan Kristen seperti KBD hanya memfokuskan pelayanan hanya untuk orang2 Tapanuli semata? Lagian kenapa harus diselenggarakan di gedung2 besar seperti Istora Senayan? Bukankah itu suatu pemborosan, apalagi kondisi masyarakat negeri ini sekarang sedang seperti sekarang.
Hemat saya issue atau topik seperti ini sebenarnya tidak perlu diperdebatkan lagi pada jaman ‘keterbukaan’ seperti sekarang. Sebenarnya tidak ada yang aneh, lumrah saja, tidak ada repotnya. Seperti kata Gus Dur: gitu aja koq repot. Era sekarang era komunitas, dan untuk pendekatan kepada komunitas bisa dilakukan melalui pendekatan apa saja: individual, multimedia, small group, massal, supra massal, teleconference, dsb. Kita mesti open-minded. Seperti gaya main bola Belanda total-football, demikian juga dalam pelayanan gereja da n ministry era sekarang perlu harus total pendekatan, total ministry.
Kenapa pelayanan (Kristen) kadang harus fokus hanya untuk orang2 Tapanuli?
Bagi banyak lembaga Kekristen, termasuk lembaga2 evangelical (Injili) seperti lembaga2 misi Operations World, St. Andrew Mission, OMF, Perkantas, Navigators, Campus Crusades (LPMI), Stephen Tong Evangelical Ministry dan masih banyak lagi yang lain, pendekatan indigenous (kesukuan, etnis) dan kontekstual merupakan hal yang lumrah. Kami sendiri di El-Trinitas Ministry dan Paguyuban Pelayanan BAKTI NUSA, sejak lama menggunakan pendekatan ini. Di tengah suku Bugis-Makassar, kita berkolaborasi dengan orang2 dari suku ini untuk mewartakan kabar baik di wilayah2 atau komunitas Bugis Makassar. Di suku Sumba, Bali , Banggai, bahkan Papua ya demikian juga. Tujuannya agar misi dan pemberitaan Kabar Baik dapat berjalan efektif.
Jika Pak Stephen Tong juga lebih banyak berbeban untuk jemaat2 dan komunitas dari etnis Tionghoa (Hokkien, dll), overseas chinesse di Asia dan berbagai tempat, bahkan untuk Cung Kuo (Tiongkok Daratan), selain juga untuk orang2 Indonesia pada umumnya, apanya yang salah? Tidak ada yang salah. Lae/Abang Mangapul juga demikian. Jika berbedan untuk2 orang2 Tapanuli, overseas Batak (Batak diaspora), selain tanah Batak bonapasogit, apanya yang salah. Tidak ada yang salah. Rasul2 dalam Alkitab, seperti Petrus dan juga Yohanes yang Jews, sangat terbeban untuk orang2 dari etnisnya sendiri Yahudi, baik yang ada di Jerusalem /Palestina maupun yang ada di luar Palestina. Saya kira itu sudah jelas. Jika ada hamba Tuhan di negeri ini ingin mengambil teladan Petrus atau Yohanes, ya sangat baik sekali.
Namun di pihak lain, ada juga hamba Tuhan yang mungkin ingin mengambil contoh atau teladan Rasul Paulus. Selain dirinya melayani orang2 Yahudi di perantauan/diaspora, dirinya juga berbeban dan mendapat panggilan untuk melayani etnis/bangsa2 Gentiles (non Yahudi). Itu pun juga baik sekali.
Itu bukan rasialis. Tapi itu menyangkut beban, panggilan dan strategi target segmen jemaat/komunitas yang ingin dilayani. Segmen pelayanan bisa didasarkan berdasarkan etnis/suku, profesi, kategori usia, tingkat pendidikan, lokasi georgrafis pelayanan, dll.
Ada penginjil Bali yang terbeban utamanya melayani orang Bali .
Ada penginjil Belanda yang terbeban utamanya melayani orang Ambon .
Ada penginjil Tionghoa yang terbeban utamanya melayani orang Cina.
Ada misionaris Inggris yang terbeban utamanya melayani orang Tiongkok.
Ada misionaris Jerman yang terbeban utamanya melayani orang Batak.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani orang Batak.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani suku Sunda.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani orang kantoran.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani usia dewasa muda.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani mahasiswa.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani suku Batak yang ada dan dibesarkan di Betawi/ Jakarta (di singkat komunitas Babet).
Sesuai dengan talenta, background kehidupan, bidang minat dan keterbebanan terhadap komunitas target sasaran. Itu mungkin kunci efektivitas pelayanan misi, penginjilan bahkan pekerjaan2 umum lainnya yang membutuhkan strategi target segmentasi pelayanan (services).
Kalau ada yang mempermasalahkan, mungkin karena faktor2 ini:
Mungkin kurang memahami fakta2 historis yang ada dalam Alkitab dan sejarah gereja.
Masih mempertentangkan dikotomi Gereja dan para Gereja (parachurch), Gereja dan ministry. Merasa terancam dengan kehadiran banyaknya ministry dan komunitas2 kristen di samping, di atas, di bawah, di dalam gereja. Lalu tugas kami nanti apa?
Mungkin lebih meninjau dari segi politis ketimbang theologis, manajerial dan sosial. Nuansa rebut-merebut pengaruh, political basis, yang bisa berpengaruh kepada nuansa faktor ekonomi, support funding. Kurang positive thinking dan kreatif, kurang terbiasa “tersaingi” dan kurang terbiasa pikiran terbuka untuk “berkolaborasi”, bekerja sama. Ini masih ciri2 orang kita/NKRI di mana-mana yang perlu ditransformasi.
Sekarang kenapa harus diselenggarakan di Istora?
Memang tidak boleh? Seperti kita tau, pendekatan untuk tranformasi komunitas/masyarakat dan society bisa di lakukan melalui banyak hal di era kini: Pendekatan individu, multi media, kelompok kecil, massal, supra massal, teleconference,dll. Semua pendekatan sama penting. Tinggal disesuaikan dengan kebutuhan dan tentunya kemampuan dalam arti luas dan .. pimpinan Tuhan.
Itu saja saya kira. Begitulah. Mau orang Tapanuli, mau di Istora. Tidak apa2 toh. Gitu aja koq repot. Let us look at this case by using a positive spectacle and holistic angles!
Saya himbau kepada kita semua, para pekerja Tuhan dan para hamba2 Tuhan, mari kita bekerja bersama2, ber sama2 bekerja dan kerjasama sesuai dengan talenta, bidang minat, background hidup dan beban panggilan masing2. Brighten the corner ! Brighten our field of life!
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment