Rencana Pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap) sejak beberapa bulan ini sedang dibicarakan. Bagi saya, issue atau topik ini sah-sah saja untuk mengemuka. Namun, issue ini memang sarat muatan sosial, politik, pem erintahan dan kesempatan2 bagi berbagai pihak untuk memperoleh keuntungan2 ekonomi dan bisnis (baca: proyek). Issue2 mengenai akan di mana ibukota Protap: apakah akan diputuskan di Tarutung, Siborong-borong atau Balige, bagi saya bukan sesuatu yang terlalu penting.
Pertanyaan yang selalu mengemuka adalah: Apakah benar rencana pembentukan Protap ini ujung2nya akan menyejahterakan masyarakat basis Tapanuli. Apa tidak hanya untuk sekedar bagi2 kekuasaan, bagi2 kursi, bagi2 kue pembangunan, dana APBD dst. Bagaimana juga dari segi sosial-kultural dan religi? Dalam kondisi sekarang, hal2 ini mesti dipertimbangkan dalam rangka penyamaan (alignment) visi, misi dan strategi pemberdayaan masyarakat Tapanuli sendiri. Apakah wilayah2 dan masyarakat Mandailing Tapsel misalnya yang mayoritas Islam, bersedia bergabung dengan Tapanuli Utara. Begitu juga dengan Nias. Baik untuk kabupaten Nias, Nias Selatan dan yang sebentar lagi akan dimekarkan, Nias Barat. Juga Dairi Pakpak, Tapanuli Tengah (Sibolga). Perlu waktu untuk melakukan penyamaan serta harmonisasi visi misi dan strategi khususnya dipandang dari segi sosial kultural sejarah dan religi.
Pandangan saya, Protap akan paling relevan bila dikaitkan langsung dengan kepentingan masyarakat basis (grass roots) Tapanuli sendiri. Masyarakat basis Tapanuli kalau mau maju, mesti otonom intinya membangun dirinya sendiri. Tidak terlalu berharap dari inisiasi pihak2 dari "atas", entah dari tokoh2 politisi, legislatif, pebisnis atau agen2 kekuasaan. Inisiasi yang urgen dan penting di era kini adalah dari inisiatif masyarakat basis (grass root) Tapanuli sendiri, mau apa dan bagaimana.
Untuk itu penting sekali menurut saya, kita melihat contoh rahasia keberhasilan masyarakat basis lain di daerah atau belahan dunia lainnya, seperti misalnya Bangladesh, Cebu Island di Filipina dan Bali di NKRI sendiri.
Membangun masyarakat basis Tapanuli yang mayoritas masih kurang beruntung, semestinya dilandaskan pada kesadaran dari masyarakat basis sendiri untuk secara bersama membangun diri, mengevaluasi diri dan membangun nilai-nilai baru menuju kemandirian dan kesejahteraan. Terutama dalam segi-segi budaya, sosial, ekonomi dan spiritual. Perlu ada nilai-nilai baru, revitalisasi. Yang buruk dan berdampak negatif di dibuang; yang baik dipertahankan, di improve secara bertahap dalam kebersamaan. Kebersamaan atau unity bagi masyarakat basis Tapanuli sangat penting dan mendesak sifatnya. Unsur2 perekat yang positif mesti dicari, dieksplorasi, dikembangkan, agar kekuatan masyarakat Tapanuli benar-benar bisa berdaya, lebih sejahtera dalam ekonomi, sosial dan spiritual. Semua upaya ini bila dilakukan adalah demi masyarakat basis sendiri yang akan banyak diuntungkan, menerima lebih banyak manfaat dan peluang untuk secara bertahap meningkat menjadi makin maju.
Masyarakat basis di Tapanuli bisa belajar juga dari komunitas masyarakat lain sebagai suatu kebenaran2 umum (general truths), seperti masyarakat Bangladesh (yang kini terkenal karena pendekatan membangun "dari bawah" model Grameen Muh Yunus dapat Hadiah Nobel 2006), masyarakat Bali dan masyarakat Quezon dan Cebu di Filipina. Tanpa banyak campur tangan Pemerintah/Legislatif, partai2 politik, media dan pebisnis kondang, mereka bisa lebih berdikari dan sejahtera. Banyak contoh/kiat atau rahasia mengapa masyarakat basis di situ bisa berdiri, berjalan, berdaya dan lebih sejahtera. Bali, misalnya, kalau tidak ada Tragedi Bom Bali I dan II dan dampak serta bencana yang beraneka ("swalayan bencana") yang mengenaskan, sudah lama menjadi masyarakat basis yang terdepan di antara masyarakat2 basis lainnya di Republik ini.
Ada beberapa kesamaan (similarities) dari contoh2 masyarakat basis tersebut di atas:
Satu, punya budaya, nilai2 budaya dan kendaraan2 budaya yang mencintai lingkungan; ada kegentaran dan keengganan untuk membuat lingkungan rusak, kotor dan tidak terawat.
Dua, punya budaya dan itu tumbuh dari hati masyarakat sendiri, untuk menumbuh-kembangkan kreativitas sekaligus kedisiplinan. Kreativitas yang membuat sesuatu yang belum ada, tidak ada, menjadi ada. Kreativitas itu dihargai oleh diri sendiri dan oleh orang luar. Kedisiplinan timbul dari hati karena gentar terhadap sejenis paradigma hukum sebab-akibat (Kristen: hukum menabur dan menuai, Hindu: karmaphala, hukum karma).
Tiga, kebiasaan hidup berkooperasi. Kumpul tapi menghasilkan sesuatu yang produktif secara sosial-ekonomi. Bali misalnya, beberapa kali sejak tahun 90an selalu memperoleh hadiah/prize menjadi 'masyarakat basis koperasi' yang berhasil dalam kegiatan usaha kecil2an (usaha mikro), keuangan micro (microfinance), pemasaran hasil dan industri kecil. Di Cebu dan di Bali, material sumberdaya apapun bisa dikembangkan jadi produk atas jasa. Hampir semua berasal dari sumberdaya alam pertanian, peternakan dan pertanian (kelapa, pandan, bambu, ukir kayu, rumput laut, tanah, air, air laut, ikan, kerang2an, tali, lukisan, dsb). Tidak ada hasil kreativitas berasal dari pertambangan, pembalakan liar, dlsb. Tidak ada perusakan lingkungan. Sejak 90an tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat di atas 8% selalu bisa digapai, kecuali pasca Tragedi Bom Bali di tahun 2000an. Itu melebihi dari rata2 pertumbuhan nasional. Tanpa pemerintah/legislatif pun dan pebisnis besar kondang, mereka bisa survive, hidup, mandiri dan lebih sejahtera.
Empat, latar belakang sejarah ingin hidup mandiri dan mempertahankan ciri masyarakatnya yang khas. Lihat Bangladesh. Mereka dulu adalah bagian dari India, lalu memisahkan diri menjadi Pakistan Timur, dan kemudian sekarang bernama Bangladesh. Bali, dulu secara historis menjadi bagian dari Majapahit di Jawa, kemudian "memisahkan diri" demi mempertahankan ciri khas kemasyarakan mereka dan mandiri di pulau yang gambarnya mirip "ayam broiler" itu. Semangat survive dan kemandirian (mahardhika) sudah ada, dan itu secara kolektif ada dalam setiap benak keluarga2 yang dulu memisahkan dari India (utk Bangladesh) dan dari Jawa kuno (untuk Bali kuno atau Baliage) sampai kepada keturunan-keturunannya. Spirit ini ada bukan muncul "dari atas" (elit) tapi memang dari "sononya" alias spirit people's power tradisional yang telah dipunyai dalam sejarah bersama mereka.
Lima, ciri homogenitas agama, suku dan budaya dari masyarakat basis di Quezon & Cebu (Katolik, tagalog), Bangladesh (islam berlatar belakang hinduisme, etnis Benggali) dan Bali (Hindu Dharma, baliage), bukan malah menjadi semangat terpecah-pecah dalam sub2 kultur atau denominasi tertentu, tapi telah menjadi kekuatan luar biasa untuk bersama-sama membangun dirinya dari bawah, dari tingkat egaliter sampai ke tingkat elit daerah. Istilahnya "homogenitas membangun dari bawah ke atas".
Enam, kalaupun pariwisata/turisme kemudian menjadi maju di Cebu Island, maju pula di Bali, itu sesungguhnya bukan tujuan dari masyarakat basis di Cebu dan Bali untuk memajukannya. Tapi seperti diakui mereka, kemajuan pariwisata adalah implikasi dari segala sesuatu yang mereka telah lakukan dengan tekun dan tulus untuk membangun masyarakat basis mereka sendiri.
Tujuh, penataan empowerment sumberdaya alam (SDT) dan sosial (SDS) yang dikembangkan fleksibel didasarkan kepada situasi dan kondisi serta sumberdaya yang ada, di ketiga daerah tersebut. Misal Model Grameen, competible dengan sikon budaya Bangladesh; Model Subak, competible dengan sikon budaya, pengairan dan sumberdaya pertanian di Bali yang konturnya banyak.
Delapan, budaya dialog yang santun dan keterbukaan. Ini juga kunci kiat berhasil bagi ketiga masyarakat basis tersebut. Adanya desa-desa adat (di Cebu namanya Barangay, di Bali namanya Sekaa, Banjar) sudah ada dan terbina sejak lama. Semua masalah banyak diselesaikan di Barangay atau Sekaa. Dialog sangat baik dan santun, tidak ada istilah "patah arah". Sangsi sosial dan penghargaan juga berjalan baik. Kalau mau liat penegakkan hukum, supremasi hukum dan kepastian hukum (hukum adat, red), ya kita bisa saksikan buktinya di Barangay atau Sekaa di Bali - dikenal dengan istilah "gebuk banjar".
Nah, dari ke delapan kesamaan dan rahasia keberhasilanini, sangat mungkin lah masyarakat basis Tapanuli yaitu masyarakat mayoritas yang egaliter, mudah2an bisa memetik pelajaran berharga dan dapat insight2 inspiratif serta bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari2. Tidak semua kita harus mencontoh mereka. Tapi paling tidak mengambil intisarinya, agar bagaimana kita bersama bisa membangun diri kita sendiri secara bersama dan mulai di basis, istilahnya "mulai dari bawah". Tidak melulu mengandalkan Pemerintah, Legislatif, partai2 politik, media ataupun kaum pebisnis kondang. Tidak cepat memang, tapi pasti.. pasti maju.
Sekarang kan sudah era keterbukaan, desentralisasi dan otonomi. Otonomi tidak hanya berarti otonomi di aras elit2 daerah (kalau dulu elit di Pusat), tapi yang terlebih penting masyarakat (society) basis Tapanuli pun harus sekarang bisa berani otonom, tanpa harus melulu gantung nasib dan gantung kantong ekonomi kesejahteraan kepada pihak2 elit daerah seperti Pemda/legislatif, media "corong", orpol2 dan pebisnis kondang saja.
Bravo masyarakat basis Tapanuli.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment