Soal fundamentalis dan liberalis sering masih mencuat. Baik dalam wacana maupun di praktis sehari-hari. Salahkah di negeri kita menjadi fundamentalis, salahkan menjadi liberalis?
'Fundamentalis' menurut saya masih sangat dibutuhkan. Diperlukan bagi kita dan bangsa ini yang masih seperti begini. Mungkin seterusnya. Ya, fundamentalis di bidang apa saja. Di bidang ekonomi, teologia, keluarga, agama, usaha, pembinaan generasi muda, dll. Bukankah jika tanpa fundamen atau fondasi, "rumah" apapun jadi gampang roboh. Bukankah karena tanpa fundamen atau dasar fondasi yang kuat ini juga, maka "rumah" bangsa ini nyaris runtuh? Terutama sejak krisis ekonomi 97/98 dan reformasi bergulir mengambil jalannya sendiri bak prinsip 'Mestakung'. Fundamen 'asli' sangat diperlukan.
Kita ingat di penghujung 1997 sampai paruh 2000 banyak praktisi dan pakar kita komentar fundamental ekonomi kita masih sangat kuat. Namun mana? Apaan? Kala krisis menerpa, negeri ini jadi sakit terkapar menggelepar sulit bisa bangun2 layaknya petinju Jepang Takemoto dihajar Chris John baru2 ini. Orang lain (negeri tetangga lain) seperti Malaysia, Thailand, Korsel, sudah pada bangun dan pulih, kita masih 'puyeng keteter' keliyeng2' ngga karuan. Ibarat orang baru bangun tidur, nyebut arah Barat Timur Selatan aja ngga sanggup. Dengkul masih loyo, geregetan lagi.
Faktanya setelah ditelisik, bukan saja fundamental ekonomi yang nyatanya keropos. Fundamen moral juga. Fundamental keagamaan dan teologi juga. Keadilan sosial (social injustice) juga. Etos hidup kedisiplinan etos kerja profesionalitas apa lagi. Yang ada saling salah-menyalahkan. Bukan 'speak the truth in love', tapi "speak the love in untruth" bahkan yang lebih memprihatinkan lagi "speak the things without love and truth".
Kita masih sangat memerlukan orang2 di bidang agama, pendidikan, lingkungan dan bangsa ini yang berbicara melatih berkarya mengkritisi mengemong di aras fundamental, kalau perlu sampai ke tingkat akar (radiks). Jangan pernah bermimpi berpikir hal yang lebih tinggi, advanced maju level unggul kreativitas, termasuk berbagai rencana 'pembangunan' , jika hal2 yang fundamental terus2an tak tersentuh, ditelantarkan.
Kreativitas, liberalis, pengkajian ulang, mindset dekonstruksi, defundamentalisasi sampai "Kristen-Lib" barangkali perlu. Namun hemat saya perlu diliat konteksnya, kita berada di mana. Kita bukan hadir di negeri, di wadah agama, di entitas gereja dll, yang segala-galanya fundamen2nya tradisi2nya sudah mapan established, seperti halnya di Barat Eropa & AS.
Di negeri ini segala2nya masih belum dapat disebut mapan fundamennya. Fundamen kita masih banyak 'cangkokan' yang belum bisa disebut orisinalitas asli kita. Kita masih mengejar mana yang disebut fundamen otentik kita. Negara Indonesia memang sudah terbentuk 62 tahun. Namun, apakah kebangsaan Indonesia juga sudah terbentuk, mapan fundamennya. Di jawab sendirilah. Itu mengenai bangsa. Bagaimana dengan agama, gereja?
Apakah fondasi agama, gereja yang betul2 telah mengindonesia telah terbentuk berproses terformat baik, dengan benar? Kita bisa jawab sendiri juga.
Nah., masalahnya sekarang fundamentalis bagaimana yang kita harapkan ada di Indonesia, di agama, di gereja, di kekristenan? Tentu bukan fundamentalis serba generik yang mengklaim sudah mentradisi padahal belum atau bukan tradisional akar yang sehat dan menyuburkan. Bukan fundamentalis yang miskin wawasan miskin worldview miskin pergaulan berbangsa (seperti seekor kodok dalam kotak sabun wangi). Bukan juga miskin love, peace & respect for others dan miskin kebijaksanaan. Bukan fundamentalis yang 'asal'. Asal mengkritisi, asal debat, asal apologet. Tapi sebaliknya. Mungkin lebih sopan dan tau aturan, lebih sabar, lebih 'open minded'. Mengkritisi, mendebat, apologet juga ada dasar fundamennya dan caranya.
Sebab itulah kita perlu saling belajar. Di balik kemegahan, mungkin kemewahan serba luks kita, kehebatan kita, glorifikasi yang sempat mampir ke kita, saya mungkin masih harus yakini bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan kita. Kita masih harus banyak belajar mendengar. Listening skills, hati dingin kepala dingin keterbukaan hati pikiran ditengarai masih banyak belum dimiliki kaum intelligence intelektual master mind politisi agamawan kita. Cermin Asia, yang juga dijumpai di Afrika dan Amerika Latin. Masih cukup banyak ditengarai yang hanya asal teriak 'gila'.. Kader2 di bawah dan massa di bawah juga jadi ikut2an teriak 'gila'. Bukan massa cair yang murni, tapi massa yang terprovokasi.
So, bagaimana? Kita punya keyakinan fundamentalis masih diperlukan di negeri ini. Masih 'diijinkan' ada di negeri ini. Termasuk oleh pemerintah. Apalagi oleh Tuhan. Masalahnya sekarang adalah bagaimana memunculkan fundamentalis sejati yang mengindonesia, yang baik benar, luas pemikiran dan kebijaksanaannya. Bermoral, mencintai gereja tak memusuhi gereja; sama sekali tak chaotic. Yang liberalis pun begitu. Bukan liberalis yang asal, namun liberalis sejati yang mengindonesia, yang bukan asal jadi amplifier atau terompet. Tidak liar dan tidak jadi chaotic.
Salam fundamental,
Hans Midas Simanjuntak (:
Thursday, August 23, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment