Tulisan ini terkait dengan simpati saya terhadap apa yang dialami oleh Sdri Felyshia, terutama adiknya. Sesuai dengan postingnya di berbagai milist (23/8/3007) berjudul "Mobilku Ditabrak, Aku dan Adikku Dianiaya Penabrak".
Kita memang harus tetap ambil hikmahnya. Perlu bagi kita sekalian bergandengan tangan untuk memperjuangkan keadilan di tengah banyaknya ketidak-adilan yang terjadi di sekitar kita. Keadilan, termasuk keadilan sosial, memang harus diperjuangkan. Tak bisa hanya dibayang2kan atau dimimpikan.
Lain hal dengan itu, faktor safety & security (keselamatan & keamanan) diri, keluarga, komunitas sampai tingkat bangsa harus menjadi ekstra perhatian kita. Kejadian yang menimpa Sdri Felyshia dan adik, terlalu banyak untuk disebutkan. Dari kasus kecil sepele sampai kasus2 besar yang dimuat di media nasional. Kita tau bagaimana sekarang kasus penculikan anak begitu marak, beberapa waktu yang lalu kasus penghilangan orang (seperti alm. Munir belum tuntas masalahnya), kasus KDRT, penganiayaan dalam taksi, dll.
Setiap waktu, di setiap tempat dan keadaan kebrutalan bisa saja menghadang. Maklum, jaman ini jaman kesenjangan. Ketimpangan. Kesenjangan banyak hal, tidak hanya sosial. Di satu pihak, orang pada berburu dalam lingkungan hyper-kompetisi seperti ini agar dapat 'tampil paling beda' (make most difference), tampil paling unik, 'paling lain dari yang lain', maka di seberang lain masih banyak orang masyarakat yang belum dapat menerima perbedaan, apalagi kesenjangan. Baik perbedaan kesenjangan sedikit saja, maupun perbedaan mencolok sekalipun.
Perbedaan apalagi kesenjangan dapat membuat orang sebagian kelompok komunitas sub kultur masyarakat menjadi cemburu (kecemburuan sosial), iri, geram, gerah, marah, sakit hati yang laten, tersimpan dalam hati. Yang bisa meledak sewaktu-waktu tanpa permisi. Kalau sudah marah, mata menjadi gelap, hati mendidih, kemudian menggeneralisasi orang atau keadaan. Melakukan pembalasan, revenge, yang kadang bukan kepada orang yang tepat, kelompok yang tepat. Salah alamat. Namun apa hendak dikata, tindakan violence, barbar, brutal sudah sempat dilayangkan. Berakibat korban yang betul alamatnya masih 'mending', namun yang sangat menyedihkan bila korban yang dituju salah alamat. Bukan 'dia' atau 'mereka' yang seharusnya dijadikan sasaran. Sasaran tembak.
Yang jadi masalah, soal penegakkan hukum di negeri ini, kinerja polisi dan keamanan, masih jauh dari optimal. Berapa jumlah polisi? satuan polisi pamong praja, satpam, hansip? Bagaimana juga kualitasnya? Nah, karena hal-hal itulah maka tidak heran pribadi2 keluarga2 komunitas2 tertentu mau tidak mau mempersenjatai dirinya mulai dari 'belajar bela diri', coba memiliki senjata api (dari yang sederhana sampai yang canggih), mempunyai keamanan pribadi/keluarga sendiri (satpam, sistem alarm, memakai jasa pengamanan/body guard pengawal sampai menghubungi 'orang pintar' guna praktek klenik) menjagai dirinya, rumahnya, mobilnya, anggota keluarga, dst. Di sisi lain, umat Tuhan mengandalkan doa, minta perlindungan Tuhan melalui malaikat penolongNya. Faktanya, keselamatan & keamanan 'hare gene' kini memang menjadi komoditi mahal bahkan mewah.
Nah, bagaimana dengan kita? Mungkin kita perlu mengevaluasi diri. Apakah saya selama ini faktualnya telah 'tampil beda' 'tampil paling lain' 'tampil paling unik' 'lain dari yang lain'. Yang mungkin bisa membuat potensi kesenjangan dengan orang lain pihak lain komunitas lain masyakakat sekitar, tercipta atau bertambah. Tampil beda dan 'kesenjangan' sosial kita bisa kita tampilkan melalui hal yang paling sederhana. Perhiasan yang kita pakai sehari2, tampilan pakaian kita, rumah kita, mobil kita, hand phone; singkatnya gaya hidup atau life style kita. Mungkin bisa membuat 'tebar pesona' 'minta perhatian orang (MPO)' dari khalayak sekitar. Tapi jangan salah, bisa juga membuat 'tebar cemburu' 'tebar iri' 'tebar teror' dan tebar-tebar yang lain.
Tampil beda atau terciptanya kesenjangan juga bisa dikarenakan cara pandang, selera, prinsip, doktrin, ideologi, iman percaya yang kita anut. Jika nyatanya paling beda, 'paling paling' bisa di satu pihak menebar pesona, tapi juga menebar teror, tindakan barbar, brutalisme terutama dari pihak yang dirugikan oleh prinsip, doktrin, kepercayaan kita tersebut. Brutalisme pertama melihat simbol2 dari kepercayaan, dan kemudian merusak simbol2 tersebut, sampai tidak luput kepada orang2 atau penganutnya yang dibarbar.
Ini yang disebut dengan 'keberbedaan' 'kesenjangan' dalam soal agama dalam istilah SARA. Agama atau aliran2 agama yang tampil paling-paling beda dengan yang lain, pasti akan menjadi sasaran tembak, terutama juga bagi tokohnya. Hal lain adalah kesenjangan soal etnis kesukuan. Etnis atau suku yang mau tampil serba serba lain dan paling2 beda, maka tidak mustahil akan dibarbar oleh yang lain. Demikian juga dengan golongan, komunitas, keluarga sampai pribadi yang berani tampil2 beda pasti akan mendapat hukuman sosial yang sangat kejam dari pola sosialisme bablas atau sistem komunalisme bablas yang sesungguhnya keliru dan terlampau ekstrim.
Mendidik masyarakat sosial menjadi lebih berbudaya, civilized, lebih demokratis merupakan jalan panjang yang harus diretas bersama. Masyarakat mayoritas yang lebih bisa menerima perbedaan dan kesenjangan. Meski dituntut pula bagi pribadi di sektor privat, keluarga komunitas, perusahaan, dst agar mampu melakukan 'self security' secara swadaya. Dan yang paling manjur adalah bersikap lebih bijaksana. Mengedepankan semangat kebersamaan, unity saya kira sangat penting. Tidak melulu menekan2kan perbedaan, keunikan prinsip, ajaran, cara pandang, dan berusaha paling benar sendiri, ingin menang sendiri.
Bagi kita yang cendrung memiliki karakter tabiat perangai mengandung potensi konflik yang tinggi, mungkin ke depan perlu lebih belajar menahan diri. Namun kalau percaya diri, ya silakan diteruskan. Tentu sudah dipikirkan masak2 berbagai resiko terburuk yang akan diterima. Penganiayaan, pemukulan, pemecatan, kekerasan, kebrutalan. Hal ini juga berlaku bagi mereka yang menekuni pekerjaan profesi yang mengandung potensi konflik tinggi, perlu memiliki sikap alert, extra hati-hati.
Bukan untuk menakut nakuti. Memang faktanya keadaan kita masih demikian. Maklum kita tinggal dan hidup, bukan di negara2 yang telah maju dalam hal survival, sehat fisik, perut tidak kosong, kesejahteraan ekonomi dan politik. Jika di negara2 seperti itu, orang mau berdebat berapologet adu konsep adu mulut masih bisa 'peaceful coexistence' berdampingan lagi bersalam2an lagi dengan damai, berpisah tanpa dendam dan sakit hati.
Namun, di negeri ini bagaimana bisa? Berdebat, berapologetika, adu pendapat adu konsep adu gagasan, adu keterampilan sekalipun (seperti liga sepakbola kita) seringkali membuahkan keadaan chaos, adu jotos, kekerasan, tawuran, pembakaran pengrusakan, brutalisme. Karena kondisi mayoritas masyarakat masih perut keroncongan, jiwa tidak sehat, banyak problem dan kesusahan keseharian; bukan hanya di rumah, tapi juga di pabrik di pergaulan komunitas atau di kantor, dll. Mayoritas yang belum bisa survived, masih 'merayap' dalam kegelapan kesulitan kemiskinan ekonomi. Berapa gelintir di negeri ini yang sudah betul2 sehat ekonomi politik? Kita bisa menjawabnya, baik untuk di kota2 besar seperti Jakarta Surabaya, dll maupun di desa dan pesisir sekalipun.
Maka bagi orang2 yang tampil ingin selalu berbeda dalam kehidupan, perlu sekali mempersiapkan mengantisipasi diri dengan self security tentu dalam batas2 kewajaran dan berlandaskan peraturan dan hukum. Self security juga jangan terlalu mencolok, karena yang mencolok itu juga akan membuahkan kesenjangan; menjadikan brutalisme semakin bereaksi lebih keras.
Salam damai dan keamanan,
Hans Midas Simanjuntak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment