Kemiskinan dan Proses Pemiskinan Spiritual dan Sosial di Tanah Batak - Pasca Reformasi
Berikut ini saya ingin mengetengahkan permasalahan yang relevan dan sangat membumi untuk keadaan kita terutama di 'bona pasogit' atau 'bona ni pinasa' Tanah Batak yang semakin memprihatinkan terutama sejak krisis melanda Republik ini sejak bulan Juli 1997 saat-saat menjelang jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto, yakni permasalahan kemiskinan dan pemiskinan.. Melihat situasi yang menimpa Tanah Batak belakangan ini, harus diakui bahwa Tanah leluhur kita ini sama sekali belum lepas dari belenggu kemiskinan dan proses pemiskinan, jumlah orang miskin bertambah banyak sejak dua dekade lalu (baca: "Tapanuli Peta Kemiskinan", Sinar Harapan, Juni 1984). Harian Kompas mengungkap lagi, daerah-daerah seperti Tapanuli, Nias, Mentawai, Kalimantan Tengah, Mamasa, NTT, Maluku, Papua menjadi daerah-daerah yang relatif tertinggal (Kompas, 9 Juni 2005). Padahal kita tahu, daerah-daerah itu sejak jaman kolonial dikenal sebagai daerah ”kantong-kantong Kekris-tenan” (Chrisian enclaves).
Gambaran Kemiskinan dan Proses Kemiskinan di Tanah Batak Sekarang Ini
Tanah Batak, dan juga Nias sekitarnya adalah daerah yang kerap kali dilanda gempa, bahkan Tsunami (di Nias), tanah longsor akibat perambahan hutan semena-mena di sepanjang jalur Pegunungan Bukit Barisan, dalam 10 tahun terakhir ini sampai awal tahun 2006. Memang jalur Pulau Sumatera terutama pedalaman dan sisi baratnya, sangat rawan terhadap bencana alam karena berada lingkaran api (ring of fire) Archipelago- Lautan Hindia & Pasifik - pertemuan lempeng Euro Asia dan Indo-Australia, yang rawan sekali terhadap aktivitas gunung api dan gempa tektonik (informasi: di Republik ini ada 129 gunung berapi aktif serta potensi gempa teknonik seperti terakhir yang terjadi di Yogya dan sekitar Jateng 27 Mei 2006 lalu yang menelain 6,234 orang jiwa meninggal, 46,148 orag luka-luka diantarannya 33,112 orang luka parah, lebih 135,000 keluarga kehilangan tempat tinggal, lebih 647,000 orang men-derita, 269 sekolah hancur dan ratusan tempat iba-dah hancur termasuk 49 bangunan gereja).
Kembali kepada kemiskinan Tanah Batak. Kemiskinan dan proses pemiskinan di Tapanuli Utara, Tobasa, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah semakin menjadi hal yang mengkhawatirkan. Jika diperhatikan dengan seksama peta/map situasi pangan dan gizi P-12 dari provinsi Sumatera Utara (2002-2003) – Lihat Lampiran / Attachement 1, maka terlihat jelas adanya spot atau kantong-kantong di provinsi Sumatera Utara khususnya di Tanah Batak (dan juga Nias), dengan indikasi-indikasi sebagai berikut:
(1) Adanya daerah beresiko sangat tinggi dan sangat rawan (bintik warna hitam), daerah beresiko tinggi (area warna merah), beresiko rendah (area warna kuning) serta beresiko rendah (area warna hijau).
(2) Kabupaten-kabupaten seperti Nias, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, Karo, Dairi dan Simalungun, ditemui adanya bintik bulatan hitam yang berarti jumlah KK miskin mencapai 60% di wilayah kantong ”bintik hitam” tersebut.
(3) Adanya bintik segitiga warna merah selalu ada pada kabupaten-kabupaten di atas, yang menandakan bahwa prosentase produksi pangan beras dibanding kebutuhannya masih berkisar 95-99.9% berarti di bawah kebutuhan. Dan secara gabungan, kabupaten Karo sudah dikategorikan area merah yang berarti ”daerah beresiko tinggi”. Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Tapanuli Tengah dan Dairi dikategorikan area kuning, yang berarti ”daerah beresiko sedang”. Lalu Kabupaten Simalungun, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal termasuk area hijau yang berarti ”daerah beresiko rendah”. Dibanding dengan Nias dan Mentawai, memang lebih parah pulau atau kepulauan ini apalagi pasca gempa bumi di awal 2005 ini. Namun, jika tidak diwaspadai, kemiskinan di kantong-kantong wilayah Tanah Batak akan bertambah semakin parah.
Demikian juga dengan tabel di halaman berikutnya, Lihat Lampiran/ Attachement 2 yakni jumlah dan prosentase penduduk miskin Sebagaimana terlihat dalam tabel penduduk miskin provinsi Sumatera Utara tahun 1996-1999, terlihat bahwa peningkatan jumlah dan prosentasi penduduk miskin di kabupaten Tapanuli Selatan (sebelum pemekaran), Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara (sebelum pemekaran), Simalungun, Dairi, Karo meningkat secara fluktuatif. Sebagai contoh Tapanuli Utara, meningkat dari sebesar 18,51% di tahun 1996 menjadi 38,28% di tahun 1998, yang kemudian turun menjadi 20,69% di tahun 1999. Krisis moneter yang terjadi mulai medio 1997 disinyalir sebagai penyebab terjadinya hidup masyarakat semakin sulit di sepanjang tahun 1998. Namun kemudian, prosentase bisa ditekan pada tahun 1999 (20,69%) oleh karena kemungkinan terjadinya pemulihan ekonomi transisional meski prosentasi tetap saja meningkat bila dibanding dengan angka tahun 1996 (18,51%).
Ini membuktikan sekali lagi bahwa persoalan kemiskinan (atau tepatnya proses pemiskinan) di Tanah Batak sudah menjadi persoalan yang sangat serius di hari-hari ke depan. Secara kasat mata, kita juga bisa melihat ataupun mendengar bagaimana kerusakan ekosistem di sekitar Danau Toba sudah semakin mengkhawatirkan. Turunnya permukaan danau yang drastis dewasa ini, disertai sesekali timbul banjir dadakan di beberapa pinggiran danau yang menimbulkan tanda tanya. Belum lagi persoalan pembabatan hutan, erosi, pencemaran lingku-ngan, kasus Indorayon beberapa waktu lalu, makin kering dan tandusnya beberapa wilayah, berkurangnya luasan kepemilikan lahan per KK di lahan pertanian, ikut menambah peliknya persoalan kemiskinan.
Di kabupaten Nias, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, Karo, Dairi dan Simalungun ditemui adanya bintik bulatan hitam yang berarti jumlah KK miskin 60% di wilayah kantong ”bintik hitam” tersebut. Selain itu bintik segitiga warna merah selalu ada pada kabupaten-kabupaten di atas, yang menandakan bahwa prosentase produksi pangan beras dibanding kebutuhannya masih berkisar 95-99.9% berarti di bawah kebutuhan. Dan secara gabungan, kabupaten Karo sudah dikategorikan area merah yang berarti ”daerah beresiko tinggi”. Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Tapanuli Tengah dan Dairi dikategorikan area kuning, yang berarti ”daerah beresiko sedang”. Lalu Kabupaten Simalungun, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal termasuk area hijau yangb erarti ”daerah beresiko rendah”. Dibanding dengan Nias dan Mentawai, memang lebih parah pulau atau kepulauan ini apalagi pasca gempa bumi di awal 2005 ini. Namun, jika tidak diwaspadai, kemiskinan di kantong-kantong wilayah Nias dan Tanah Batak akan bertambah semakin parah.
Bintik hitam baik berbentuk kotak, bulatan atau segitiga berarti status kurang gizi sudah >40% dari jumlah penduduk, dan rasio produksi dan kebutuhan pangan beras < 96%.
Secara geografis, kita ketahui yang disebut Tanah Batak berada dalam cakupan propinsi Suma-tera Utara (Sumut), dan bila ditinjau secara ilmiah sesungguhnya Tanah Batak seyogianya mencakup wilayah Tapanuli Utara dan Toba-Samosir, Simalungun, tanah Karo, Dairi, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Dan secara etno-demografis, wilayah-wilayah ini pun ditempati oleh etnis Batak Toba untuk daerah Tapanuli Utara dan Toba-Samosir, Batak Angkola untuk daerah Tapanuli Selatan/Mandailing, Batak Karo untuk derah Tanah Karo, Batak Simalungun untuk daerah Simalungun, serta Batak Pakpak untuk daerah Dairi. Merekalah yang secara umum disebut orang Batak. Walau kemudian pada beberapa masa kemudian, ada kecendrungan sebagian khalayak menyebut orang Batak konotasinya lebih kepada orang Toba. Sedangkan untuk orang Karo misalnya lebih suka disebut sebagai orang Karo saja, dibanding disebut dengan Batak Karo. Demikian juga dengan orang Nias, mereka lazimnya disebut sebagai orang Nias, jarang disebut dengan sebutan orang Batak Nias misalnya.
Fenomena Kemiskinan Spiritual
Hal yang sangat penting dan urgen adalah persoal-an kerohanian (spiritual). Kerohanian Kristen tentunya. Sejak 5 dekade lalu, Tanah Batak dikenal sebagai ”daerah mayoritas Kristen”, kantong Kristen. Tapi bagaimana sesungguhnya potret kekinian Tanah Batak sekarang ini. Tidak banyak peningkatan, bahkan ditengarai lebih banyak menghadapi kemunduran rohani. Kekeringan dan kelaparan rohani sangat terasa di Tanah Batak sekarang ini. Tentunya yang dimaksud adalah spiritualitas Kristen yang sehat dan dewasa. Terjadi kekosongan rohani yang mungkin diakibatkan terpaan-terpaan kemiskinan dan pemiskinan yang sekian lama dirasakan berikut formalitas keagamaan yang dirasakan oleh komunitas-komunitas masyarakat Batak sekarang ini. Itu akan nyata tatkala merespons terhadap berbagai gejolak permasalahan spiritual dan sosial yan dialami sehari-hari oleh jemaat dan masyarakat. Memang, kegiatan mission-trip dan KKR-KKR kerap diadakan oleh berbagai kelompok Kristen dan lembaga, terutama dari kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan dsb, namun ditengarai tidak banyak memberi dampak yang signifikan kepada tingkat kedewasaan rohani masyarakat di Tanah Batak. Di samping follow-up yang kurang, strategi konseling dan pembinaan yang tepat, baik dan benar juga belum diterapkan dengan baik. Di pihak lain, kenyataannya dewasa ini cukup banyak pendeta, rohaniawan Kristen dan alumni STT setempat yang tidak berorientasi lagi dan tertarik pada fungsi pelayanan pastoral maupun counselling untuk berkunjung ke lapangan, ke keluarga anggota-anggota jemaat. Mereka kini lebih tertarik menjadi theolog dan pengkhotbah di mimbar-mimbar hari Minggu, ketimbang menjalankan fungsinya sebagai pastor yang menggembalakan dan membimbing kehidupan kerohanian jemaat di desa-desa. Tuntutan kehidupan menjadi alasan, ketimbang panggilan pelayanan untuk jiwa-jiwa yang rohaninya membutuhkan.
Oleh karena alasan ini, kedewasaan spiritualitas Kristen warga jemaat dan masyarakat di Tanah Batak belum terbentuk dengan baik, bahkan menampakan gejala mengkhawatirkan. Disitir belum terbentuknya karakter Kristen dan cara pandang Kristen yang mantap seperti yang diharapkan, menjadi salah satu penyebab. Sehingga dalam menghadapi berbagai ”angin pengajaran” yang datang seiring dengan laju globalisasi, demokratisasi yang kerap ”kebablasan” menjadi ”democrazy” bercirikan kebebasan yang sebebas-bebasnya (free thinkers, free liberalisme, free sex), radikalisasi agama, spiritualisme yang tumbuh sebagai hasil hibridisasi antara spirtualisme tradisional leluhur Batak dan spiritualisme postmodern global & ”isme-isme” dan isu-isu sosial-politik-kekuasaan dan radikalisme lainnya, masyarakat dan umat Tanah Batak begitu kewalahan dan tidak sanggup untuk mengantisipasinya.. Memang ini bukan dominan sebagai isu yang dialami orang Kristen di Tanah Batak, namun tentu menjadi isu di tingkat yang lebih tinggi nasional bahkan global. Kemiskinan dan kelaparan spiritual menemukan bentuknya. Kehidupan doa yang kering, Alkitab bukan lagi menjadi sandaran utama, ibadah menjadi sekadar formalitas, kewajiban ritual keagamaan dan sekadar status sosial, kompromisitas dan sinkretisme ajaran, kebekuan diakonia dan semangat penginjilan serta kebuntuan dalam cara pandang, kreativitas dan paradigma dalam mendapati solusi atas permasalahan-permasalahan kehidupan komunitas-komunitas di Tanah Batak.
(Berlanjut ke Bagian 2)
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment