Adat Batak, sebagaimana adat2 dari etnis lainnya adalah wujud serta ‘produk’ dari kebudayaan peradaban (Batak). Inti budaya Batak sejatinya adalah ‘rasa’ dari manusia2 Batak yang bersifat artistik, teraplikasi dalam seni perilaku orang2 Batak (kebiasaan, tradisi, kelembagaan formal/informal dan prosedur2 ulaon adat Batak seperti peristiwa kelahiran, perkawinan, kematian, dll), tutur-kata (pantun, poda, umpasa), nyanyian2, musik (gondang Batak), tari2an (tortor), pahat/lukis, benda2 seni (ulos, tandok, dll), dan makanan khas tradisional Batak (saksang, dekke naniura, dll) yang ada. Makna (meaning) yang ingin dituju sebetulnya apa? Tak lain menurut saya adalah makna ‘Kenikmatan Rasa’ dan Kebahagiaan (disingkat KRK) melalui terciptanya nilai2 Keindahan (estetika), Keseimbangan, Keselarasan dan Kelestarian (disingkat K-4) sebagai karya postulat etnis orang Batak.
Makna KRK dan nilai2 ‘rasa’ K-4 yang dituju itu, kalau mau jujur tak dapat dipungkiri bersifat relative (bukan ‘harga mati’), tidak mutlak dan permanen (tak seeksak aksiomatis dalam epistomologi ilmu pasti alam), namun dia terus bergerak seturut dinamika perkembangan internal masyarakat Batak itu sendiri seturut jaman/waktu, domain/bidang hidup dan tempat domisilinya (di Bonapasogit atau diaspora/overseas), berikut interaksinya dengan lingkungan eksternal yang mempengaruhi apalagi dikaitkan dengan proses demokratisasi yang berlangsung semakin cepat di abad ini.
Karena bersifat relatif, tidak mutlak itu, maka sebenarnya tidak ada yang dapat mengklaim dari individu, komunitas atau komponen masyarakat Batak itu sendiri bahwa adatnya paling benar, paling baik, paling murni (pure, aseli) dst. Ini berlaku bagi seluruh manusia Batak, ya pemimpin adat, raja adat, juru hata atau warga biasa yang mengaku ‘tau adat’ atau ‘beradat’ atau ‘tau hanya separo-separo adat’ alias ‘nanggung’. Relativitas melahirkan cara pandang adat Batak eksis dalam berbagai varian, versi (ada teman yang menyebut dengan istilah ‘species-species’) terkait menurut angle dan penafsiran tujuan makna dan nilai yang berbeda.
Dalam menyikapi perbedaan2 ini, spiritnya mungkin perlu sama, yang dibutuhkan bukanlah pola2 pemaksaan kehendak, dominansi, hegemoni bahkan eksploitasi dalam opini, musyawarah dan pengambilan putusan2 masalah adat, namun mana yang lebih TBB (tepat/pas, baik dan benar) bisa dipikirkan dan dibicarakan dalam sikap dialog, kompromi, evaluasi kajian dan penafsiran ulang secara dialektis berkelanjutan dari semua pihak yang berkepentingan dengan keseimbangan, keselarasan, pelestarian adat Batak. Dengan demikian, adat Batak tidak perlu membawa pada ekses fanatisme ‘buta’ dari sebagian warganya dan pada sisi lain bisa pula membawa ekses ‘fobia’, anti, rasa out-group dari sebagaian lainnya yang mengakibatkan adat Batak ditinggalkan. Kalau sudah demikian, adat Batak tidak akan sampai dinilai ‘konstituennya’ tidak/kurang indah, tidak sreg, kurang cocok serta tidak bisa memenuhi harapan dan makna tujuan kenikmatan ‘rasa’ dan kebahagiaan (no happiness, no KRK). Ekstrimnya, adat Batak niscaya bisa mengalami keterpencilan, masuk dalam labyrint keterasingan peradaban global (istilah Lavinas) atau bahkan mengalami kepunahan (tinggal menjadi kenangan sejarah) seperti adat species atau suku Hobbit di Flores.
Aktualnya, faktor internal dan eksternal masyarakat Batak, baik yang ada di pojok2 huta, gunung, lembah & desa Bonapasogit (Silindung, Humbang, Tobasa) maupun pinggiran kota dan kota2 megapolitan nasional-global, tak dapat disangkal sedang mengalami perubahan terkait berubahnya tingkat pendidikan (intelektual), religi, ritual dan spiritualitas (eksistensi agama Kristen, Katolik, agama suku seperti Parmalim berikut kehadiran agama-agama/aliran2 kepercayaan lainnya), berubahnya pola mata pencaharian dan background profesi, tingkat social-ekonomi, kondisi politik/birokrasi, eksistensi LSM/NGI, media, peran teknologi multi-media dan berbagai rupa permasalahan lingkungan terkait multi-bencana dan multi-krisis yang sedang menimpa di hampir seluruh wilayah negeri termasuk Bonapasogit serta beberapa bagian dunia. Perubahan ini terkait erat dengan uraian tadi, terjadinya gelombang besar demokratisasi yang sedang melahirkan banyak fenomena2 yang muncul terbalik (“sungsang”) di dalam dan di sekitar komunitas dan manusia Batak.
Meminjam istilah John Locke, adat (tradition) adalah salah satu bentuk juga dari ‘kontrak sosial’. Maka, sepanjang ‘kontrak’ itu dapat tetap dipertahankan, ditinjau atau ditafsir ulang dan dikompromikan dalam proses dialog yang dinamis dan dialektis oleh mayoritas society Batak (desa-kota, tua-muda, pertanian-industri, lokal/nasional/global, original-‘proselit Batak dst) maka kita tidak/jangan pernah merasa takut akan kehilangan jati-diri kita sebagai orang Batak, kehilangan sense of belonging terhadap adat Batak kita, merasa kehilangan makna ‘KRK’ dan nilai2 K4 jika adat (Batak) ‘harus’ mengalami perubahan, pergeseran dan adjustment2. Toh, yang jadi persoalan esensial dalam membicarakan adat (Batak) bukan terletak pada ‘adat Batak ini benar atau tidak ‘ atau ‘murni (aseli) atau tidak’. Tapi apakah sanggup Adat Batak ini membawa makna tujuan ‘kenikmatan rasa’ dan kebahagiaan serta nilai2 keindahan, keseimbangan, keselarasan dan kelestarian bagi yang semua konstituen/warga yang terlibat mengerjakannya. Sehingga, tidak perlu terjadi konflik batin atau konflik-horizontal baik yang ‘terselubung’ maupun terbuka karena sempitnya pola pikir, sikap respek, rasa toleransi dan sikap demokratis.
Walau kita tau tugas untuk membahagiakan dan membawa ‘kenikmatan rasa’ bagi semua pihak (100%), sungguh bukan hal yang gampang, sangat sulit. Namun paling tidak, dalam pola pikir, pola tindak dan sikap kita sebagai ‘warga adat, raja adat, pengamat adat, dll’, kita sejatinya tidak ingin menjadi korban Adat, dan di pihak lain juga tidak ingin mengorbankan orang lain atau pihak lain demi Adat, selain juga.. tidak niat mengeksploitasi Adat demi keuntungan atau ‘credit-point’ diri kita sendiri.
Seperti kita tau, pergumulan2 masalah adat/tradisi seperti ini bukan saja manusia Batak dan adat Batak yang mengalami, tapi juga dialami oleh hampir semua suku di negeri ini (Bali, Jawa, Toraja, Sumba, suku2 di propinsi Sulteng dengan lk. 45 sukunya dan di Papua dengan 251 sukunya), juga dialami etnis Cina/Tionghoa yang baru merayakan Imlek, suku Filipino Tagalog, Arab, Kurdi, Maori, dll).
Yang penting, bukan benar atau murninya, tetapi apakah adat Batak itu pas atau tidak diterapkan.
Upaya reposisi, revitalisasi adat Batak (bukan ‘re-batakisasi) jelas memang harus dikerjakan sebagai ‘ulaon na balga’ bagi seluruh manusia Batak dimanapun dan kapanpun, agar kita bukan terpaku hanya kepada teks dan sejarah historia Batak semata, namun yang penting dan urgen sebenarnya bagaimana ‘kesesuaiannya’ dengan konteks jaman, domain spasial dan tempat. Bagaimana dapat mencari serta meng-adjust nilai2 K4 (keindahan, keseimbangan, keselarasan dan kelestarian) yang ‘pas’ - tidak over tapi juga tidak kurang -, sehingga adat Batak tetap punya daya greget, tidak ditinggalkan fans tapi justru makin bertambah dalam jumlah dan kualitas fansnya karena makin disayangi, diminati, dicintai dan dimiliki. Menjadi salah satu adat (tradisi) di dunia ini yang paling bertahan (survived) dan eksis.
Mudah2an ini mencerahkan dan dapat memberi semangat bagi pentuntasan sejumlah persoalan2 adat Batak lebih spesifik, namun dipandang dalam kacamata/wawasan yang lebih luas (holistik).
Horas jala gabe,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Tuesday, April 10, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment