Grameen Bank Model mendadak sontak menjadi terkenal, sejak penganjurnya Muhammad Yunus meraih Nobel Perdamaian 2006, berkat karya pengabdiannya bermodalkan awal hanya US$ 27 pada tahun 1970an berhasil melipat-gandakannya sehingga mampu menolong ± 650 ribu rakyat jelata Bangladesh yang tak punya tempat tinggal layak, mendapatkan rumah yang layak-huni. Sekitar 7 juta rakyat miskin dengan beneficiaries (penerima manfaat dampak program/proyek) ± 15 juta orang miskin berhasil ditolong melalui program penyediaan akses kredit dan tabungan harian/mingguan kecil-kecilan berikut system pembinaan & pendampingan kelompok-kecil (terdiri dari 10-20 orang) berkesinambungan selama kurun waktu lebih dari 30 tahun.
Masalah perumahan bagi rakyat miskin dan kemiskinan dihubungan dengan pemberian Nobel Perdamaian, dikarenakan presuposisi Muhamad Yunus bahwa perdamaian di dunia akan terwujud bila masalah “rumah” bagi rakyat banyak dan kemiskinan menjadi sejarah. Sebab akar penyebab dari konflik, peperangan dan kekerasan salah satunya yang paling vital adalah karena ketiadaan “rumah” yang layak untuk memanusiakan manusia, dan kemiskinan: ketiadaan akses dalam banyak hal bagi rakyat banyak untuk menatalayani dan mengambil keputusan bagi mereka dan hidup mereka sendiri. Orang miskin menjadi miskin bukannya karena tidak bisa jujur, tidak bisa dipercaya atau tidak bisa disiplin, tetapi masalahnya adalah ketiadaan akses. Dan ketika orang miskin diberi kepercayaan, melalui kata kunci: kedisiplinan dan pendisiplinan, maka mereka berhasil keluar dari rantai kemiskinannya yang membelenggu melalui upaya-upaya yang dijalankan secara kolektif (system kelompok kecil), di mana upaya atau usahanya mungkin dinilai lembaga formal seperti bank misalnya tidak bankable, namun sesungguhnya viable.
Paradigma, konsep, metodologi dan tindakan kongkrit Yunus sebenarnya sangat sederhana, tapi dalam kesederhanaannya terasa sangat powerful dan berdampak di tengah kompleksitas permasalahan masyarakat dan negara Bangladesh yang terjadi dalam 3-4 dasawarsa terakhir. Tepatnya, dalam kompleksitas persoalan yang dihadapi Yunus berhasil mengambil inti sederhana bagi konsepnya. Meski dalam kesederhanaan konsepnya, terdapat juga kompleksitas detail2 pertimba-ngan dan action yang saling kait-mengkait secara dialektik. Kesederhanaannya itulah yang membuat Yunus diterima dan direcognisi oleh rakyat banyak Bangladesh sebagai ‘bapak bagi orang miskin dan orang papa Bangladesh ’. Penghargaan Nobel Perdamaian yang diterimanya itu hanyalah sebagai implikasi dari karya, karsa dan pengabdiannya yang tanpa mengenal lelah selama ± 4 dekade. Jika pun ia akhirnya masuk dan terjun di bidang politik sebagai jawara Partai Kekuatan Rakyat , Bangladesh sejatinya itu bukan karena ambisinya, melainkan karena aspirasi dari “anak, cucu dan cicitnya” yaitu para orang miskin dan masyarakat banyak di Bangladesh yang telah merasakan manfaat diri mereka tertolong. Sebenarnya kalau mau jujur, dengan konstituen jutaan sampai akhirnya 15 juta, dari dulu tidak susah bagi Yunus jika mau jadi anggota Parlemen (DPR/DPRD) atau petinggi birokrat Bangladesh. Tapi hal itu tidak pernah menarik hatinya. Gaya hidup Yunus yang low-profile hanya punya hati, pikiran dan hidup bagi kepentingan orang miskin dan rakyat banyak yang menderita. Kalaupun lantas ia jadi sangat terkenal bak super-selebriti seperti sekarang, itu karena anasir dan para media promo & public relations di Amerika Utara, Eropa Barat dan Eropa Utara, yang memang kelas wahid dalam bidang promo dan infotainment, yang menggaungkannya ke seluruh dunia.
Nah, itu mengenai Muhamad Yunus dan Grameen Bank Modelnya di Bangladesh. Sekarang bagaimana dengan di Indonesia , dengan manusia2 Indonesia terlebih khusus manusia2 Kristen Indonesia? Sebenarnya kalau mau terus terang, manusia2 kristen Indonesia seperti Yunus berikut model2 yang mirip2 Grameen Bank Model atau yang model serba beda sudah ada, relatif sudah lama ada. Namun, lagi2 seperti Yunus dan manusia2 berbudaya Timur lazimnya. Manusia2 ini belum atau tidak (mau) terkenal. Bekerja dan berkaryanya ‘jauh’ di tingkat basis, tingkat akar rumput (grass roots). Di pojok2 kota , tempat2 kumuh metropolitan/megapolitan dan sudut-sudut bibir dan pesisir pantai. Kemam-puan promo dan public-relations mereka terbatas atau lebih tepat mungkin sengaja membatasi diri. Tidak begitu suka teriak-teriak. Lebih banyak ‘bicara’ dalam perbuatan. Diam dalam aktivitas. Aktivitas seabreg. Sederhana dalam njlimet. Njlimet dalam kesederhanaan. Apalagi waktu jaman Pak Harto, 15-20 tahun paruh kedua masa pemerintahan sang otoriter. Berbeda dan sikap tidak mau cari muka, sangat sulit. Teriak nanti salah, konfrontatif berabe, jadi lebih baik diam. Diam dalam kreativitas dan produktivitas. Menjelang dan paska orde reformasi bergulir, kadang masih keterusan diam. Sebenarnya itu sudah tidak pas, tidak boleh. Saatnya harus speak-out. Berteriak lantang, promo, unjuk karya yang telah lama dihasilkan. Namun, nyatanya agak canggung ‘mereka’. Entahlah. Mungkin karena kebiasaan terlalu lama diam, jadi kikuk sekarang untuk berbicara. Diam jadi hobby, kegemaran. Jadi keranjingan, bukan keranjingan bicara tapi keranjingan diam.
Akhir dekade 1970an sampai 1980an, aktivis manusia2 kristen Indonesia mirip Yunus dengan model pendekatan kayak Grameen Bank Model itu sudah mulai eksis dan berkarya secara konsisten, tidak pernah stop. Ada yang alumni perguruan tinggi, ada yang tidak. Ada dari UGM, IPB, Unpad, UKSW, Udayana, Sanata Dharma Yogya & Semarang. Ada dari masih banyak lagi perguruan tinggi baik swasta maupun negeri, lulusan domestik dan luar negeri yang tak tersebutkan namanya. Juga dari lembaga2 pembinaan kader dan motivator, seperti Dharma Cipta, Pusat Latihan Kemotivatoran Cikembar, Bina Dharma, Pusat Latihan Alfa Omega, dll. Umumnya mereka merintis dan memulai karya sejak muda. Sejak lulus sarjana, sarjana baru lulus. Dari magang-magang dahulu. Sampai akhirnya jadi terampil dan excellent. Pada masa ini, mereka banyak berkarya seperti di Yogya, Bogor, Loa Majalaya, Salatiga, Semarang, Surabaya Jatim, Bali, Sulsel, Bengkulu, Sumbersari Sulteng, Kupang Timor dan daerah2 lainnya. Mereka berkarya dalam metodologi2 dan model2 alternatif di kawasan marjinal, miskin dan tertinggal, akibat tidak adanya perhatian Pemerintah kala itu akibat strategi kebijakan Pemerintah di bidang pembangunan, yang tidak memihak pada kepentingan rakyat banyak. Program atau proyek yang dilakukan adalah kegiatan relief, livehood, social-actions, pemberdayaan komunitas masyarakat marjinal, berupa perbaikan sarana umum, sosial, sanitasi lingkungan, dll disertai pelatihan-pelatihan (training), pendampingan, penyuluhan, konsultansi di bidang pertanian, peternakan, jasa-jasa usaha kecil dan sektor informal. Usaha-usaha itu dibarengi dengan bantuan untuk akses pinjaman modal usaha kecil dari lembaga-lembaga yang menyalurkan pinjaman tersebut (koperasi, LSM, bank desa dll). Sumber dana jarang berasal dari Pemerintah, umumnya kalau ngga keluar dari kantong sendiri, dapat bantuan sekadarnya dari donatur domestik dan funding luar negeri.
Tahun 1990an lambat laun, usaha-usaha dan karya mereka makin berkembang. Cukup banyak masyarakat kecil dan komunitas marjinal, kalau agregat dijumlah ratusan ribuan keluarga dan individu berhasil ditolong dan merasakan manfaat dari proyek/program mereka. Responsnya semakin banyak agency dan donatur menawarkan bantuan. Lalu untuk mengantisipasi perkembangan, agar memudahkan pengorganisian proyek/program mereka membentuk jaringan2 (network), jaringan kerja. Ada jaringan untuk Indonesia Bagian Barat, ada untuk Indonesia Bagian Timur (IBT/KTI). Ada jaringan untuk di Jawa, ada di luar Jawa. Program semakin berkembang, sampai di Pangkajene, Maros, Soppeng, Ujung Pandang, Barru dan pulau Selayar, Bali Barat, Bali Utara, Bali Timur, kawasan kumuh Jabotabek, Toraja, Ambon, Kendari, Timor, Timor Timur (sekarang Timor Leste), Bengkulu Utara Pagar Alam, Palu, Gorontalo, Minahasa, Halmahera, dll. Terkait dengan bencana (gempa, tsunami, banjir bandang, dll) mereka mengggarap program bencana & paska bencana di Aceh NAd, Nias, Yogya/Bantul & Klaten, Pangandaran, Alor NTT, Mamasa, Nabire dan beberapa daerah lainnya di Papua dan Irjabar. Peta programnya mencakup area luas sekali. Maklum, tipikal geografis negeri kita (luasan daratan, lautan dan panjangnya garis pantai) ini memang sangat berbeda dengan negerinya Yunus, Bangladesh misalnya yang 'hanya' berupa segumpal daratan bagian dari anak benua dengan garis pantai relatif pendek.
Tahun 2000an memasuki era Reformasi paska jatuhnya Orde Baru, terjadi relatif banyak perubahan dari mereka dan program mereka, seiring bangsa dan negeri ini mengalami berbagai perubahan transisional yang rumit dan cukup pelik. Krisis moneter sejak 1997 yang diiringi krisis leadership, krisis multidimensi dan multi bencana (swalayan bencana) harus dialami oleh bangsa, yang datang silih berganti. Tragedi bom (Bali, JW Marriot, Kedubes Australia Jakarta), kerusuhan2, aksi kekerasan, konflik horizontal, longsor, gempa bumi, Tsunami Aceh-Nias, kenaikan meroket BBM, penyakit ‘model baru’ dan banjir terjadi silih berganti dan berurutan, yang mengakibatkan banyak korban rakyat kecil menderita dan bangsa mengalami keterpurukan yang dirasakan di hampir seluruh pelosok dan pojok2 Nusantara. Keadaan, sikon ini, ada yang menyurutkan stamina daya tahan ‘mereka’ dan program ‘mereka’ bahkan ada yang telah mengakhiri pertandingan sampai finish dengan baik. Namun ada, malahan banyak, yang masih bertahan dan eksis sampai sekarang. ‘Mereka’ ini adalah orang2 yang telah teruji, proven, melewati badai dan gelombang, terik matahari dan hujan sampai banjir, melewati gunung dan lembah. Dalam segala kelebihan, kehebatan dan kekurangan ‘mereka’.
Sebagian mereka saya kenal. Kalau boleh dibilang kenal baik. Personal. Sebagian lagi kurang saya kenal, dalam artian tidak/kurang dekat. Tapi saya respek, appreciate terhadap karya dan karsa mereka yang excellent. Keberadaan ‘mereka’ membuat saya yakin, sangat sangat yakin bahwa di negeri ini masih ada, pernah ada dan sudah ada manusia2 kristen Indonesia seperti Muhammad Yunus. Ada dengan model varian2 yang mirip Grameen Bank Model dan varian2 yang sama sekali berbeda modelnya namun tujuannya sama, mengentaskan kemiskinan dan kebodohan guna menciptakan perdamaian melalui cara2 yang spesifik dan khas.
‘Mereka’ secara esensi sekualitas dengan Yunus. Sekualitas dengan Jaime Aristoteles di Quezon City Filipina. Sekualitas juga dengan leader2 inspirasional dari ASA India, dari Accion Bolivia , dari K-Rep Kenya . Yang membedakan hanya waktu untuk ‘tampil’. Secara khronos sudah. Punya jam terbang, skills, integritas dan worldview. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah “khairos”. Momentum untuk tampil dan unjuk kinerja. Kalau tidak sekarang, ya mungkin beberapa tahun ke depan ini. Menunggu waktu Tuhan, momentum publik dan momentum hati.
Masih ada harapan!
Salam perdamaian,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment