Mana yang lebih dulu utama: Identitas Suku Etnik atau Identitas Indonesia?
Ciri NKRI nasional relijius bagaimana?
Pertanyaan ini sering ditanyakan beberapa teman kepada saya.
Terhubung dengan wacana yang banyak dibicarakan selama ini: yang namanya Indonesia setelah 62 tahun merdeka disinyalir belum terbentuk. Memang secara politik, sudah. Namanya NKRI. Berciri nasionalis agamis, atau nasionalis relijius. Apa benar? Apa semua orang yang ber KTP Indonesia atau ber paspor Indonesia, sudah menerima bahwa ciri NKRI ini adalah nasionalis agamis, nasionalis relijius?
Apa yang dimaksud nasionalis? Apa yang dimaksud relijius? Apa yang dimaksud nasionalis, nasionalis sipil atau nasionalis militeristik? Lalu, yang dimaksud relijius apakah relijius mencakup agama2 seluruhnya berikut aliran kepercayaan, atau hanya relijius Islami. Sehingga ciri sebenarnya adalah nasionalis relijius islami. Wallahu alam.
Wacana seperti ini nyatanya sampai sekarang masih tetap bergulir. Kayaknya belum ada konsensus. Kalaupun ada mungkin baru di tingkat elit2. Elit2 dpr, elit2 ormas, elit pemerintah, birokrasi, dsb. Yang jelas, yang bisa diambil kesimpulannya, budaya peradaban Indonesia sejatinya barangkali memang belum terbentuk, belum mantap. Ciri NKRI sebagai nasionalis relijius itu pun sepertinya masih dipertanyakan. Tafsirannya bagaimana.
Wacana sejak masih ada majalah PRISMA beberapa dekade lalu, sudah dibicarakan bahwa NKRI itu nasion atau supra nasion. Karena menurut asal katanya, yang disebut nasion di Nusantara ini, adalah suku bangsa yang ada sekarang, seperti nasion Sunda, nasion Jawa, nasion Batak, nasion Bugis, nasion Melayu, nasion Papua, dlsb. Jadi, bila menelisik asal kata nasion itu adalah bangsa, bukan berarti suku bangsa. Sebab itu jika ditanya orang Batak misalnya, orang Dayak atau orang Papua, maka yang bersangkutan melalui perbendaharaan kata2 yang ada dalam bahasanya mengatakan bahwa kami adalah bangsa Batak (bhs Batak: bangso Batak), bangsa atau nasion Dayak, nasion Papua.
Nah, kalau suku2 bangsa yang kita sebut sekarang menjelaskan dirinya sendiri sebagai bangsa, Indonesia itu itu tepat tidak disebut bangsa juga? Apa tidak lebih tepat disebut "supra bangsa", atau kumpulan dari berbagai bangsa, sejenis istilah konfederasi misalnya?
Namun, lebih membingungkan lagi bila memakai jalan pikiran seperti ini. Karena nyatanya Indonesia bukanlah negara konfederasi, tapi negara bangsa, dengan bentuk negara kesatuan (unitarian). Ini diyakini masih banyak diwacanakan orang. Saya sudahi dulu wacana ini sampai disini.
Karena sejak proklamasi 17.8.1945 dengan landasan Sumpah Pemuda 28.10.1928 kita sudah mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kesatuan, unitarian, NKRI. Menjadi negara bangsa. Artinya nasion-nasion atau bisa disebut juga sebagai etnis, etnik (ethne) yang ada dalam wilayah NKRI, diterima sebagai sub-nasion, suku bangsa. Pertanyaan lanjutnya adalah apakah sub nasion sub nasion itu sudah benar2 menyatu secara unitarian dalam NKRI setelah 62 tahun merdeka ini?
Kita jawab mungkin belum, karena soal keragaman sub nasion sub nasion (tepatnya sebenarnya nasion nasion atau etnik2) saja sampai sekarang masih dinilai belum seluruh elemen bangsa bisa atau ikhlas menerimanya secara aklamasi. Di bibir atau forum2 resmi mungkin iya, tapi who knows di hati, di intuisi, naluri.
Mengukurnya tidak berapa sulit barangkali. Mungkin dapat melalui pertanyaan: Bangga mana proud mana kita atau seorang warga negara, menjadi orang Bugis, orang Batak, orang Bali, orang Papua, dst atau menjadi orang Indonesia, orang NKRI?
Dalam 10-20 tahun terakhir ini, saya punya pengalaman berjumpa dengan rekan2 baik di luar negeri atau pun ketika berbincang di sini, di Indonesia. Menurut pernyataan mereka yang cukup jujur saya kira, cukup banyak yang lebih bangga sebagai orang Bugis dari pada sebagai orang Indonesia. Lebih bangga dengan identitas orang Batak, ketimbang dikenal sebagai orang Indonesia. Identitas orang Bali ketimbang dikenal sebagai orang Indonesia. (Jangan lupa untuk hal yang satu ini, soal Bali, di mancanegara nama Bali jauh lebih dikenal masyarakat internasional ketimbang nama Indonesia, banyak mereka yang belum/tidak kenal). Juga Papua, Maluku, Timor dst. Mereka lebih confort, lebih proud bila dibilang sebagai orang Papua, Maluku, Timor NTT ketimbang dibilang sebagai orang Indonesia. Jika ini berlaku bagi orang etnis Tionghoa (Cina) yang pernah lahir dan besar di Indonesia, saya kira sama saja. Mungkin sekali mereka akan lebih proud dikatakan sebagai orang Tionghoa (Cina) bila
dikatakan sebagai orang Indonesia.
Pertanyaan kita kemudian, kenapa bagi sebagian mereka yang saya temui ini lebih bangga menyebut identitasnya dengan sukunya, etnisnya sendiri, ketimbang menyebut mereka sebagai orang Indonesia, identitas Indonesia? Kenapa sampai demikian?
Kalau memang faktanya masih seperti ini, sejatinya mana sebenarnya yang lebih dulu utama: Identitas suku etnik (kita), atau identitas sebagai Indonesia, identitas Indonesia?
Kalau identitas yang lebih penting, lebih dulu utama adalah identitas suku etnis (kita) sendiri, tentu akan memiliki konsekuensi. Yang namanya Indonesia sebagai identitas, kapan akan pernah terbentuk? Atau tepatnya dalam tujuan dan motif yang positip, bagaimana bisa membentuk identitas kepribadian Indonesia yang utuh, bila sementara identitas kesukuan, etnisitas yang masih muncul lebih utama, lebih membanggakan?
Sebaliknya, kalau identitas yang lebih dulu utama adalah identitas Indonesia, identitas NKRI, tentu membawa memiliki konsekuensinya pula. Dasar apa kita beridentitaskan Indonesia, bagaimana kita bisa memelihara dan mengembangkan terus identitas Indonesia itu, tanpa menafikan menelantarkan identitas kesukuan atau etnisitas mana kita berasal?
Kalau kita menjawab dua-duanya sama2 penting: identitas suku etnik kita dan identitas Indonesia sama2 penting, sama2 utama, bagaimana kita bisa tepat menyeimbangkan kedua identitas tersebut agar dapat berjalan seiring selaras di level operasionalnya. Tanpa ada perbenturan, tanpa ada perasaan kontradiksi?
Ini baru hubungan antara identitas suku etnik dengan identitas Indonesia, identitas Keindonesiaan. Belum lagi bila dikaitkan dengan agama, reliji, ideologi yang kita anut. Dianut oleh masing2nya.
Menengok ke negara2 lain, banyak pengamat menilai dan menengarai bila negara2/bangsa seperi Rusia, yang presidennya Vladimir Putin baru berkunjung ke Indonesia, sudah "beres" dan cukup "tuntas" dalam penyelesaian mengenai identitas bangsanya, nasionnya, budayanya. Sejak dulu bahkan dinilai Russia (Rush) memang sudah cukup mantap dalam ke Russia annya, terlebih sejak era Glasnost, Perestoika, Demokratiya bergulir sejak 1985. Demikian juga dengan Jepang, Cina, Korea dan India. Jangan dibanding dengan AS atau Eropa Barat.
Tinggal Indonesia, yang sudah menggulirkan Reformasi sejak 1998, demokratisasi, desentralisasi transformasi sosial ini bagaimana. Note: Demokrasi yang ditengarai kini terlalu terbuka, berjalan seakan "lepas kendali". Program "liberalisasi" terutama di bidang politik dan ekonomi (contoh restrukturisasi, privatisasi bumn, perbankan dll) dinilai kebablasan.. ).
Kembali ke persoalan. Kita tahu Islam, Kristen, modernisme, faham militerisme termasuk Hindu, Budha semuanya secara historia sejatinya berasal dari "luar" Indonesia. Bukan asli 'locals heritage' Indonesia. Kembali ke pertanyaan di bagian awal lagi. Jika disebut nasionalis versi NKRI di era sekarang, nasionalis yang mana nasionalis yang bagaimana?
- nasionalis militeristik?
- nasionalis jawani?
- nasionalis sipil, civil?
- nasionalis madani (islami)?
- nasionalis kristiani? hinduis? budhis?
- nasionalis mayoritas agama?
- nasionalis minoritas agama?
- nasionalis politis?
- nasionalis budaya?
- nasionalis tanpa patron militeristik, sipil, madani, kristiani, hinduis, budhis, politis, budaya dst? nasionalis dalam pengertian umum saja, general yang bisa menerima semua pencirian di atas?
Kalaupun disebut relijius, relijius yang mana, relijius yang bagaimana?
- relijius islami? relijius madani?
- relijius kejawenis?
- relijius kristiani?
- relijius hinduis, budhis? atau
- relijius dalam pengertian betul2 umum, general, yang bisa menerima latar belakang reliji atau agama kepercayaan apa/mana saja?
Ini memang perlu kejujuran bersama. Kejujuran bukan saja tingkat naluriah, tapi juga kejujuran tingkat intuitif. Kejujuran dalam ground-motives.
Selama belum ada kejujuran dan kesepakatan bersama konsensus bersama dalam menjawab persoalan berbangsa, ber"suku bangsa", beragama dan bernegara secara internal di Indonesia, yang diharap bisa bebas dari pengaruh "luar" atau "asing", maka akan selama itu pula akan masih banyak syak-wasangka, kecurigaan2 dan ketidak-terus terangan dalam wacana dan pembahasan menuju identitas bangsa yang sejati, yang genuine.
Mengapa wacana bahasan dan kesepakatan bersama ini sudah waktunya dituntaskan? Karena hemat saya ini berkaitan sekali dengan pemberdayaan, 'pembangunan' dan kemajuan bangsa untuk tahap2 selanjutnya. Bagaimana mau berbicara yang lebih advanced, menyangkut lingkungan, ekologi, investasi, "pembangunan" , infrastruktur, kemajuan dst, sementara hal yang fundamental, fondasional, radiks (akar) terhubung persoalan identitas bangsa dan kenegaraan NKRI masih belum juga tuntas. Masih terus hanya jadi sebatas wacana, dan belum mampu diselesaikan secara korporat, secara mendasar oleh seluruh elemen bangsa ini. Dari Rote sampai Miangas, dari Merauke sampai Aceh Nias, dari Yogyakarta Jakarte sampai Bulungan Atas? sampai Danau Di Atas?
Bagaimana opini Anda's ?
Salam persaudaraan, basudara, horas!
Hans Midas Simanjuntak.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment