Monday, April 16, 2007
Popularitas Kini Makin Menjadi Bak Dewa: Makin Dikejar Makin Disayang dan Diimpikan !
Apa benar jadi populer itu enak?
Banyak orang kini dari berbagai kalangan dan profesi, menjadikan popularitas bak dewa: dikejar, disayang dan diimpikan. Anggapan kalau sudah populer semasa hidup, rasa-rasanyanya bisa hidup lebih enak. Lebih aman, dan pastinya nyaman. Padahal nyatanya tidak demikian. Banyak orang yang sudah populer, setelah populer kehidupannya tidak lebih aman dan nyaman. Malah jadi banyak terganggu. Kehidupan privacy yang tidak mestinya diungkap, lalu jadi konsumsi publik. Kemana-mana tidak bisa leluasa. Selalu dikuntit, diamat-amati membuat diri jadi salah-tingkah. Serba terikat. Harus didampingi banyak pengawal dan banyak segala macam urusan protokoler yang menghimpit. Populer itu berat. Kalau ngga kuat, bisa jadi stress berat.
Populer: repot tapi tetap saja dikejar.
Namun toh banyak juga orang tidak peduli, tetap kejar popularitas. Tetap ingin jadi populer, ngetop. Maka, melalui berbagai usaha kalau perlu pakai sensasi jadilah dia populer, atau paling tidak merasa diri populer (grp istilahnya: gede rasa populer).
Tebar pesona dan menjaga citra populer.
Syahdan, orang yang telah populer atau mulai “naik daun”, setelah diberi pilihan suara serta amanah (baca: mandat) pun, ternyata tidak mampu menyejahterakan betul2 pemberi amanah, yakni konstituen pemilihnya. Karena apa? Karena ternyata orang populer itu kenyataannya jadi lebih sibuk menjaga kepopulerannya ketimbang kerja. Kerjanya itu ya jadi menjaga kepopulerannya. Menjaga citra populer, jaga image (jaim), "politik pencitraan" istilah sekarang. Itu lebih penting ketimbang kerja memikirkan, mengupayakan, melaksanakan program kesejahteraan konstituen secara lebih serius, apalagi mau mendampingi dan mau hidup bersama-sama di tengah-tengah rakyat yang telah memilihnya.
Untuk jaga citra kepopuleran itu ternyata memang butuh sekali waktu, butuh duit keluar, butuh penampilan yang selalu okey, butuh survai untuk lihat dinamika fluktuasi rating popularitas, butuh sensasi baru, butuh isu-isu baru yang bisa diangkat ke permukaan, agar popularitas jangan anjlok.
Post 'popularity' syndrome.
Bagi orang populer, popularitas turun sungguh menyakitkan. Apalagi bila sekarang tidak populer lagi, setelah sebelumnya sempat populer dan dielu-elukan umat atau masyarakat. Makanya perlu ekstra hati-hati menjaganya. Bisa-bisa jatuh setiap saat. Bisa terkena gejala yang dinamakan “post popularity syndrome”. Tanda-tandanya mulai sering melihat wajah dan penampilan di cermin. Tanya diri, apakah wajahku tidak menarik lagi. Penampilanku tidak okey lagi. Gaya bicaraku tidak berwibawa lagi. Gaya orasiku tidak menawan lagi. Apakah aku tidak mampu tebar pesona lagi. Aku tidak sekuat dan sebugar dulu lagi, dst. dst. Yang tanggap positip, bisa menerima keberadaan diri sekarang yang tidak lagi populer. Siap jadi ‘orang biasa’. Namun yang tanggap negatif dan tidak bisa menerima keadaan, mulai lakukan tanda-tanda reaksi cepat. Mulai rasa tidak nyaman lihat orang. Menyalahi keadaan. Gatal. Tidak senang dengan orang yang sedang di puncak popularitas. Sindrom kepiting, katanya. Apalagi kalau yang tidak disenangi rival terselubung atau rival terbuka, masih lebih yunior pula. Mulai cerita, mulai mencerca, dan tidak mau tegur sapa apalagi duduk berdampingan dengan orang yang sedang populer. Mutung! Bahkan yang lebih mengenaskan, ada orang mantan populer lari ke area-area berbahaya. Lari pakai obat tidur alias valium serta obat2an terlarang alias narkoba. Tidak bisa menerima kedirian. Pikirnya aku harus populer, tetap populer. Meskipun sekarang tidak lagi populer, harus populer. Aku nggak mau, mesti terus populer!
Popularitas = hidup nyaman ?
Populer sudah jadi sejenis dewa atau idol. Idol popularitas. Kalau sudah mengandalkan dewa atau idol ini pokoknya semua urusan diharap jadi lancar, semua berjalan okey, semua cespleng. Dana atau fund-raising bisa digalang, bisa diraup. Anggaran tercukupi. Kegiatan apa pun bisa dijalankan. Kemana-mana tidak susah. Bisa banyak jalan-jalan atau travel. Belanja dapat diskon. Ke bandara bisa melenggang masuk excecutive-lounge. Kemana-mana orang cium tangan. Gestur lambaian tangan pun sudah lain, langsung ditanggap orang. Selalu minta difoto bersama dan minta tanda-tangan. Kalau difoto berdiri atau duduk selalu paling tengah. Kemana-mana dikawal. Banyak asisten dan dayang-dayang. Pokoknya asyik ciamik deh. Terlalu banyak fasilitas kenyamanan didapatkan. Hidup rasanya jadi aman, tentram, nyaman,
Bagaimana dengan amanat?
Tapi.. gimana dengan amanat atau mandat yang dibebankan ke pundak oleh pemilih ya? Amanat untuk menyejahterakan masyarakat, mencerdaskan bangsa, mendewasakan umat? Yah itu tetap jalanlah.. Gampang diatur. Gimana deh pokoknya kegiatan diatur, agar popularitas jangan anjlok. Jadi program diatur agar popularitas tidak turun. Kesejahteraan? Pencerdasan? Pendewasaan? Program bidang itu tetaplah dijalankan, tetapi sebisanya program-program itu tidak boleh keluar dari ‘koridor’ yaitu tetap mempertahankan popularitas agar tidak anjlok.
Prioritas dalam Teori Rostow tambah satu: Popularitas!
Prioritas utama masa kini adalah popularitas. Teori Rostow menurut orang populer ini harusnya ada empat: satu, popularitas, dua stabilitas, tiga pertumbuhan dan empat, pemerataan. Stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan itu harus tetap merujuk kepada yang prioritas pertama, popularitas. Tiga terakhir proforma saja lah (bahasa Batak bilang “ondeng”, Red).
Bagaimana dengan stabilitas?. Gimana umat, masyarakat masih banyak konflik atau rusuh bagaimana? Yah tetap diuruslah demi stabilitas toh. Lihat Timtim kan beres, Aceh beres, Papua beres! (beres apanya ?!) Tapi ingat, yang diurus adalah yang jadi konflik atau kerusuhan2 populer saja. Konflik yang tidak populer jangan. Jangan liat kasus-kasus yang tidak populer, itu tidak perlu jadi fokus. Yang kelaparan? Yang bencana? Yang kecelakaan? Iya urus, kerjakan hanya kasus-kasus yang populer saja, yang sempat diangkat di media massa dan diketahui masyarakat. Termasuk flu burung. Supaya kelihatanlah kita kerja. Dengan demikian, orang akan liat kita tetap giat kerja. Masyarakat senang sama kita, sehingga tetap populer. Jadi, prinsip yang kita pakai: Kasus populer untuk tetap jadi populer!
Bagaimana dengan pertumbuhan (ekonomi)? Ya tetap toh diurus. Area, bidang atau satu-dua sektor yang mulai dan sedang tumbuh, terus saja dipromosikan tiap hari. Jangan sampai lupa itu. Usahakan orang tau pertumbuhan di sektor atau sub sektor itu. Sehingga orang tau, ada kerja kita dalam upaya pertumbuhan sektor itu. Sektor-sektor yang tidak tumbuh, macet, ya jangan dimunculkan. Tapi.. banyak sektor yang tidak tumbuh? Ya ngga apa-apa, tidak usah dilaporkan. Gitu aja koq repot. Bodoh kalau kau laporkan itu dan munculkan ke permukaan. Lagian ingat 'Teori Pertumbuhan' dong, kan sudah tidak lagi banyak diminati orang. Tidak populer. Jadi tidak perlu kita terlalu perhatikan soal pertumbuhan ini. Fokus kepada pertumbuhan tidak boleh lebih besar dari fokus kita ketimbang popularitas dan popularitas. Pokoknya begini, angkat sektor-sektor yang bisa tumbuh, meskipun hanya 1-2 saja, untuk proforma saja. Sektor-sektor yang tidak tumbuh, diamkan saja. Jangan bangunkan‘macan tidur’. Orang tidak mau lagi bicara pertumbuhan. Kalaupun mau juga, sektor pertumbuhan fokus saja yang kita angkat, sektor yang benar-benar bisa menjamin popularitas kita. Kebijakan-kebijakan yang kita angkat ke permukaan pun adalah kebijakan-kebijakan yang bisa menyenangkan masyarakat walau hanya sesaat. Seperti makan permen sajalah. Itu namanya kebijakan populer. Meskipun hanya ada satu dua, angkat saja. Kebijakan-kebijakan yang tidak populer meskipun banyak, jangan diangkat, jangan diberitakan kepada khalayak. Cukup kita-kita saja yang tau. TST lah. Bisa susah kita nanti. Intinya camkan prinsip ini: Kebijakan populer untuk popularitas. Lihat selalu prioritas satu, Popularitas!
Bagaimana dengan pemerataan? Kesejahteraan dan keadilan sosial? Nyatanya masih banyak yang miskin dan tidak berdaya. Di desa di kota. 60 jutaan menurut data tahun 2005. Bahkan ada informasi bertambah lagi hingga 80 jutaan setelah kebijakan kenaikan BBM yang sangat luar biasa itu di kuartal III 2005? Oh..itu, isu rumor, isu saja. Kita sudah beri tahu kan pengamatan penelitian kita di awal 2006, yang miskin kan tinggal 30 jutaan saja. Dibanding jumlah penduduk 220 juta, kan itu hanya kurang dari 15%. Kecil itu, peanut! Lagian mereka kan tinggal di tempat-tempat yang tidak populer, macam desa, pinggiran kota dan kawasan kumuh. Nama-nama kabupaten dan provinsi-provinsinya juga tidak populer, susah dijangkau pula. Sudah, sudah baguslah kinerja kita itu. Kita sudah ngga krisis koq. Siapa yang bilang kita masih tertimpa krisis. Tidak, itu pemberitaan miring. Berita seperti itu nggak akan mempengaruhi kebijakan dan tingkat kepopuleran kita.
Upaya pembenaran.
Tapi kan pengamatan itu dilakukan sebelum kebijakan BBM kuartal III 2005 dan dilakukan pada musim panen raya? Oh... itu, ya, kan mana tau rakyat. Ndak usah digembar-gemborkanlah hal itu. Yang mengkritik itu kan, orang2 yang nggak ada kerjaan saja. Lagi sudah nggak populer pula. Demo juga demo kesiangan. Mereka mau populer tapi kan nggak pernah bisa populer. Atau sudah pernah sempat populer, tapi dulu...sekarang kan ngga populer lagi. Sekarang begini deh... Kita tidak peduli lah, mau yang miskin 30 juta, 60 juta, 80 juta itu nggak penting. Yang penting, kita bikin masyarakat senang walau sesaat, tonjolkan saja informasi-informasi lain saja, yang lebih mengundang tawa, lebih menghibur walau sesaat. Informasinya misalnya tentang pertumbuhan, meski kita sudah usang tapi bisa kita pakai lagi. Pertumbuhan kan sudah beranjak naik 5%. Mengenai kemana yang 5% ini terdistribusikan, kita ngga usah pusing. Ndak usah pikirin sampai ke situ. Yang penting pertumbuhan tidak rendah atau tidak jadi negatip. Masyarakat pasti sudah senang itu. Persepsi yang penting, yang bisa ciptakan. Untuk kelompok yang miskin itu, bikin gampang saja bikin kegiatan “bagi-bagi duit”. Nggak usaha mereka jadi berdaya atau mandiri, itu terlalu idealis; yang penting bagi kita prinsipnya masyarakat jangan berontak. Itu saja. Itu kan sudah prinsip yang terbukti manjur sejak dulu. Urusan kegiatan pengamatan dilakukan saat panen raya atau bukan dalam penelitian kita, itu juga tidak penting. Bottom linenya bukan di situ. Memang petani selama ini tidak kerja? Kerja kan. Setelah panen raya kan petani kerja juga. Jadi buruh, jadi tukang galian, tukang kayu, penjaga warung, jadi tukang ojeg, ada juga yang jadi nelayan, pengrajin, PRT, calo terminal, pemulung, penjaja makanan lampu merah, jadi germo, PSK dll. Mereka tetap kerja toh. Tidak nganggur. Jadi harusnya kita anggap saja mereka ngga miskin. Salah tuh angka 60 juta apalagi 80 juta miskin. Itu tidak benar. Kita ngga usahlah publikasikan hal-hal yang begituan. Soal petani, kan memang sudah dari dulu mereka begitu. Mau diapa-apain juga tetap begitu. Yang kita bela yang penting 2 hal: komoditi beras dan pihak konsumen beras saja, bukan petani. Petani itu kan memang sudah banyak masalahnya dari dulu. Rendah tingkat pendidikannya, lahannya juga kecil-kecil, ngga tau juga masalah fluktuasi harga, penyimpanan dan pemasaran. Baiknya bagaimana juga ngga tau, itu salah mereka. Tak cukup waktu lah untuk cari cara manjur untuk petani. Balik lagi, yang penting 2 hal tadi: komoditi beras dan konsumen beras, konsumen nasi. Kalau sulit beras atau nasi, ya impor saja dari Vietnam, Kamboja, Thailand atau Cina. Gampang, kenapa sulit. Ingat, beras sekali lagi beras, bukan komoditi sembarangan tapi komoditi populer. Jadi prinsipnya, komoditi populer harus ditangani demi popularitas kita jangan anjlok.
Popularitas kini jadi panglima?
Nah, begitulah. Di tengah kasus-kasus populer yang diangkat, kebijakan populer oleh tokoh-tokoh populer dan kecendrungan masyarakat yang makin keranjingan dengan segala sesuatu yang juga serba populer: minta berfoto dan tanda-tangan dengan orang populer, nonton orang populer, merek populer (meskipun bajakan, ngga apa2), dan telah jatuhkan pilihan pada tokoh populer saat Pemilu, maka popularitas kini telah menjadi semacam dewa atau idol, namanya dewa Popularitas. Popularitas menjadi segala-galanya. Kini popularitas dianggap lebih tinggi nilainya ketimbang nilai kapabilitas/nilai kemampuan seseorang. Lebih penting dari nilai-nilai kekuatan, kepintaran, kebersamaan, rasa malu, moralitas, kesehatan, kekayaan, kesalehan sejati, kejujuran apalagi kasih dan kebenaran (truth). Kalau kurang dalam hal nilai-nilai selain popularitas, bisa deh dipoles. Dipoles-poles dikit. Yang penting sudah sedikit kelihatan kuat, pintar, ada kebersamaan, ada rasa malu dan seterusnya. Polesan itu wajib, prinsipnya polesan (pengelabuan, kamuflase) yang menjamin popularitas.
Prinsip pokoknya bagi banyak orang masa kini:
Buat apa punya kemampuan, kalau tidak populer
Buat apa kuat tapi tidak populer
Buat apa pintar tapi tidak populer
Buat apa faktor kebersamaan dan kesatuan kalau tidak populer
Buat apa punya rasa malu kalau tidak populer
Buat apa punya moral dan kejujuran kalau tidak populer
Buat apa kesehatan kalau toh itu tidak populer
Buat apa punya kekayaan kalau tidak dipamer atau tidak populer
Buat apa jadi saleh kalau tidak populer, dan tidak dipopulerkan
Buat apa punya kasih sayang dan kebenaran, kalau ujung2nya tidak populer
Anasir2 dan antek2 popularitas.
Jadilah sekarang, yang digandrungi diidolakan dikejar disayang dan diimpikan masyarakat adalah popularitas. Antek2nya popularitas ya para penggiat, anasir dan idol-idol popularitas. Ngga penting populer karena punya rasa malu atau tidak punya rasa malu. Tidak penting bodoh atau pintar. Tua atau muda. Kaya atau miskin. Bersikap kanak-kanak (childish) atau dewasa. Tidak penting itu laki-laki, perempuan atau waria. Semua antek tumplek dalam klub lingkaran dewa dan idol popularitas. Oh, bukan main banyaknya, bejibun!. Lihat bertebaran pelawak-pelawak, band-band, artis dangdut, idol-idol penyanyi, penari, aktris film, redaktur koran/tabloid, tukang sulap, tukang ramal, tukang sihir, tukang lenong, seniman, pemain bola, pemain bulutangkis, penggiat demo, politisi selebritis, pengacara selebritis, dokter /direktur/manajer professional/ pegawai selebritis sampai pendeta selebritis, kyai ulama ustadz-ustadz selebritis dan ada juga biksu selebritis. Dari pejabat/jenderal/ anggota2 legislatif/jaksa/hakim/ bupati/ gubernur selebritis, sampai menteri selebritis dan bahkan….Presiden/Wapres selebritis. Aneh dan lucunya, berbagai bencana, swalayan bencana, puluhan ratusan bahkan ribuan jenis bencana yang tidak populer terus terjadi silih berganti beriringan. Banjir, longsor, konflik suku dan daerah, KA terbalik, pesawat jatuh, pesawat hilang, kapal tenggelam, flu burung, narkoba, HIV/AidS, teror bom, yang belum lekang dari ingatan: Tsunami Aceh, gempa Yogya/Klaten/Bantul, gempa dan tsunami Pangandaran, lalu demam berdarah, kasus KKN, kasus pembalakan liar, kasus orang hilang, kasus sutet, kasus santet, money laundering, pembobolan bank, korban longsor sampah dan masih banyak lagi yang tak terhitung bila dilist, tidak populer sama sekali, terus terjadi hingga sekarang .... Tapi tetap aja banyak orang tidak mau itu, segera melupakan hal-hal yang tidak populer itu, secara konsisten kembali mengejar, sayang dan mengimpikan popularitas.
Kenyataan kontradiktif dibanding tokoh2 legend.
Jika menengok ke belakang dan contoh hati ini, anehnya ada selalu tokoh-tokoh sejati yang mewarnai dunia dari dulu hingga sekarang, yang jika ditelisik, semasa hidupnya tidak pernah memimpikan diri mereka akan populer. Nyaris tidak ada yang pernah punya ambisi setitikpun untuk jadi populer, jadi idola apalagi jadi selebritis. Ketika orang-orang ini ditembak mati, dihilangkan, terjepit, dalam pengasingan atau meninggal, barulah mereka jadi populer sampai hari dikenang dunia sepanjang masa. Itu lebih banyak karena buah kebaikan mereka, karena perjuangan tanpa henti, karya masterpiece yang diperbuat mereka. Popularitas sejatinya bukan menjadi tujuan mereka. Popularitas nyatanya ‘hanya’ implikasi dari karya-karya pengabdian mereka yang luar biasa; yang tidak kunjung padam selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Melalui banyak pembelajaran, percobaan dan pengorbanan. Sebut saja nama-nama Madame Teresa, Martin Luther King Jr, Wright Bersaudara, Thomas Alfa Edison, Galileo Galilei, Pablo Picasso, John Locke, David Hume, Emmanuel Kant, George Washington, Raffles, W. Shakepears, Mahatma Gandhi, J. Nehru, Mozart, Tolstoy, Rostow, Magsaysay, Nelson Mandela, Auy Sun Kyii, Lee Kuan Yew, Jimmy Carter sampai Muhammad Yunus Grameen Bank Model, Pemenang Nobel Perdamaian 2006. Di Indonesia ada Bung Karno, Bung Hatta, Jend. Sudirman, pelukis Affandi, J. Leimena, TB Simatupang, Yap Thian Hien, Pramudya Ananta Toer, Baharuddin Lopa sampai Munir. Tentu masih banyak tokoh2 low-profile yang bisa disebut dengan sejuta excellent works. Tokoh-tokoh itu bisa senior bisa lebih muda, sedang bermunculan di kancah atau bidang seperti: seni, budaya, penulis dan novelis, pendidikan dasar, demokrasi dan penegakkan hukum dan keadilan, aktivis sosial dan bidang kemasyarakatan lainnya. Mungkin mereka tidak populer sekarang, dan memang tidak berambisi untuk populer mungkin selama masa hidupnya, namun di kemudian hari dipastikan akan jadi tokoh yang turut mewarnai Indonesia dan mungkin dunia. Memang ada nama-nama populer lain juga, yang populer tetapi populer karena keburukan mereka atau skandal memalukan yang mereka lakukan. Tapi itu biasanya dipergunakan hanya untuk bahan-bahan sindiran atau olok-olokan Om Pasikom, pojok-pojok harian koran atau dalam today's dialoque, seperti nama Hitler, Maria Eva, Machievelli, Harmoko, Brutus, Delilah, Marcos, Aa Gym, dll. Untuk di republik ini mungkin tidak begitu sulit untuk menyebutkannya, jauh lebih mudah dari pada menghapal rumus fisika atau kimia, untuk menyebutkan contoh-contoh atau nama-nama orang populer namun buruk kinerja dan reputasinya. Ya dari kalangan pejabat, partai politik, anggota dpr, polisi, pebisnis, perguruan tinggi, tokoh agama, kalangan artis sampai orang biasa.
Kenapa cukup mudah untuk menyebutkannya? Ya nyaris karena itu tadi, fenomena di negeri ini orang lebih mengejar rating popularitas, tebar pesona dan rasa ingin buru-buru tampil dan pamer diri. Kenapa sih "demen banget" cari popularitas seperti begitu. Ya mungkin kebanyakan telah terkena semacam sindrom penyakit, bukan HIV/AidS atau flu burung, tapi penyakit “rasa bosan”. Bosan ‘jadi orang biasa’ yang tidak pernah ngetop, bosan jadi ‘orang rumahan’, bosan ‘hidup susah’, bosan ‘jadi kere’, bosan ‘jadi bawahan terus’, bosan ‘mendem jero’, bosan ‘selalu dimanfaatkan', 'selalu dieksploitasi' dan bosan 'didzolimi pihak lain’. Banyaklah jenis-jenis bosan lainnya yang mungkin sebagai pertanda inferiority, rasa lebih rendah dari pihak lain dari bangsa lain, minder menahun minder latent minder klasik yang tak teratasi. Nah, untuk mengatasi itu kejar popularitas dianggap jadi jalan keluar yang tepat. Demikianlah nyaris sekarang segalanya diberikan dikorbankan untuk dan demi popularitas. In the name of popularity. In the name of 'dewa Popularitas'. Dewa Popularitas: dikejar, disayang dan diimpikan !!
Bagaimana dengan anda? Apakah anda juga sedang mengejar dan mengimpikan popularitas dengan rasa sayang? Wallahu alam.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment