Kemiskinan dan Proses Pemiskinan Spiritual dan Sosial di Tanah Batak - Pasca Reformasi
Berikut ini saya ingin mengetengahkan permasalahan yang relevan dan sangat membumi untuk keadaan kita terutama di 'bona pasogit' atau 'bona ni pinasa' Tanah Batak yang semakin memprihatinkan terutama sejak krisis melanda Republik ini sejak bulan Juli 1997 saat-saat menjelang jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto, yakni permasalahan kemiskinan dan pemiskinan.. Melihat situasi yang menimpa Tanah Batak belakangan ini, harus diakui bahwa Tanah leluhur kita ini sama sekali belum lepas dari belenggu kemiskinan dan proses pemiskinan, jumlah orang miskin bertambah banyak sejak dua dekade lalu (baca: "Tapanuli Peta Kemiskinan", Sinar Harapan, Juni 1984). Harian Kompas mengungkap lagi, daerah-daerah seperti Tapanuli, Nias, Mentawai, Kalimantan Tengah, Mamasa, NTT, Maluku, Papua menjadi daerah-daerah yang relatif tertinggal (Kompas, 9 Juni 2005). Padahal kita tahu, daerah-daerah itu sejak jaman kolonial dikenal sebagai daerah ”kantong-kantong Kekris-tenan” (Chrisian enclaves).
Gambaran Kemiskinan dan Proses Kemiskinan di Tanah Batak Sekarang Ini
Tanah Batak, dan juga Nias sekitarnya adalah daerah yang kerap kali dilanda gempa, bahkan Tsunami (di Nias), tanah longsor akibat perambahan hutan semena-mena di sepanjang jalur Pegunungan Bukit Barisan, dalam 10 tahun terakhir ini sampai awal tahun 2006. Memang jalur Pulau Sumatera terutama pedalaman dan sisi baratnya, sangat rawan terhadap bencana alam karena berada lingkaran api (ring of fire) Archipelago- Lautan Hindia & Pasifik - pertemuan lempeng Euro Asia dan Indo-Australia, yang rawan sekali terhadap aktivitas gunung api dan gempa tektonik (informasi: di Republik ini ada 129 gunung berapi aktif serta potensi gempa teknonik seperti terakhir yang terjadi di Yogya dan sekitar Jateng 27 Mei 2006 lalu yang menelain 6,234 orang jiwa meninggal, 46,148 orag luka-luka diantarannya 33,112 orang luka parah, lebih 135,000 keluarga kehilangan tempat tinggal, lebih 647,000 orang men-derita, 269 sekolah hancur dan ratusan tempat iba-dah hancur termasuk 49 bangunan gereja).
Kembali kepada kemiskinan Tanah Batak. Kemiskinan dan proses pemiskinan di Tapanuli Utara, Tobasa, Tapanuli Selatan dan Tapanuli Tengah semakin menjadi hal yang mengkhawatirkan. Jika diperhatikan dengan seksama peta/map situasi pangan dan gizi P-12 dari provinsi Sumatera Utara (2002-2003) – Lihat Lampiran / Attachement 1, maka terlihat jelas adanya spot atau kantong-kantong di provinsi Sumatera Utara khususnya di Tanah Batak (dan juga Nias), dengan indikasi-indikasi sebagai berikut:
(1) Adanya daerah beresiko sangat tinggi dan sangat rawan (bintik warna hitam), daerah beresiko tinggi (area warna merah), beresiko rendah (area warna kuning) serta beresiko rendah (area warna hijau).
(2) Kabupaten-kabupaten seperti Nias, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, Karo, Dairi dan Simalungun, ditemui adanya bintik bulatan hitam yang berarti jumlah KK miskin mencapai 60% di wilayah kantong ”bintik hitam” tersebut.
(3) Adanya bintik segitiga warna merah selalu ada pada kabupaten-kabupaten di atas, yang menandakan bahwa prosentase produksi pangan beras dibanding kebutuhannya masih berkisar 95-99.9% berarti di bawah kebutuhan. Dan secara gabungan, kabupaten Karo sudah dikategorikan area merah yang berarti ”daerah beresiko tinggi”. Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Tapanuli Tengah dan Dairi dikategorikan area kuning, yang berarti ”daerah beresiko sedang”. Lalu Kabupaten Simalungun, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal termasuk area hijau yang berarti ”daerah beresiko rendah”. Dibanding dengan Nias dan Mentawai, memang lebih parah pulau atau kepulauan ini apalagi pasca gempa bumi di awal 2005 ini. Namun, jika tidak diwaspadai, kemiskinan di kantong-kantong wilayah Tanah Batak akan bertambah semakin parah.
Demikian juga dengan tabel di halaman berikutnya, Lihat Lampiran/ Attachement 2 yakni jumlah dan prosentase penduduk miskin Sebagaimana terlihat dalam tabel penduduk miskin provinsi Sumatera Utara tahun 1996-1999, terlihat bahwa peningkatan jumlah dan prosentasi penduduk miskin di kabupaten Tapanuli Selatan (sebelum pemekaran), Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara (sebelum pemekaran), Simalungun, Dairi, Karo meningkat secara fluktuatif. Sebagai contoh Tapanuli Utara, meningkat dari sebesar 18,51% di tahun 1996 menjadi 38,28% di tahun 1998, yang kemudian turun menjadi 20,69% di tahun 1999. Krisis moneter yang terjadi mulai medio 1997 disinyalir sebagai penyebab terjadinya hidup masyarakat semakin sulit di sepanjang tahun 1998. Namun kemudian, prosentase bisa ditekan pada tahun 1999 (20,69%) oleh karena kemungkinan terjadinya pemulihan ekonomi transisional meski prosentasi tetap saja meningkat bila dibanding dengan angka tahun 1996 (18,51%).
Ini membuktikan sekali lagi bahwa persoalan kemiskinan (atau tepatnya proses pemiskinan) di Tanah Batak sudah menjadi persoalan yang sangat serius di hari-hari ke depan. Secara kasat mata, kita juga bisa melihat ataupun mendengar bagaimana kerusakan ekosistem di sekitar Danau Toba sudah semakin mengkhawatirkan. Turunnya permukaan danau yang drastis dewasa ini, disertai sesekali timbul banjir dadakan di beberapa pinggiran danau yang menimbulkan tanda tanya. Belum lagi persoalan pembabatan hutan, erosi, pencemaran lingku-ngan, kasus Indorayon beberapa waktu lalu, makin kering dan tandusnya beberapa wilayah, berkurangnya luasan kepemilikan lahan per KK di lahan pertanian, ikut menambah peliknya persoalan kemiskinan.
Di kabupaten Nias, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Tapanuli Tengah, Karo, Dairi dan Simalungun ditemui adanya bintik bulatan hitam yang berarti jumlah KK miskin 60% di wilayah kantong ”bintik hitam” tersebut. Selain itu bintik segitiga warna merah selalu ada pada kabupaten-kabupaten di atas, yang menandakan bahwa prosentase produksi pangan beras dibanding kebutuhannya masih berkisar 95-99.9% berarti di bawah kebutuhan. Dan secara gabungan, kabupaten Karo sudah dikategorikan area merah yang berarti ”daerah beresiko tinggi”. Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Tapanuli Tengah dan Dairi dikategorikan area kuning, yang berarti ”daerah beresiko sedang”. Lalu Kabupaten Simalungun, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal termasuk area hijau yangb erarti ”daerah beresiko rendah”. Dibanding dengan Nias dan Mentawai, memang lebih parah pulau atau kepulauan ini apalagi pasca gempa bumi di awal 2005 ini. Namun, jika tidak diwaspadai, kemiskinan di kantong-kantong wilayah Nias dan Tanah Batak akan bertambah semakin parah.
Bintik hitam baik berbentuk kotak, bulatan atau segitiga berarti status kurang gizi sudah >40% dari jumlah penduduk, dan rasio produksi dan kebutuhan pangan beras < 96%.
Secara geografis, kita ketahui yang disebut Tanah Batak berada dalam cakupan propinsi Suma-tera Utara (Sumut), dan bila ditinjau secara ilmiah sesungguhnya Tanah Batak seyogianya mencakup wilayah Tapanuli Utara dan Toba-Samosir, Simalungun, tanah Karo, Dairi, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Dan secara etno-demografis, wilayah-wilayah ini pun ditempati oleh etnis Batak Toba untuk daerah Tapanuli Utara dan Toba-Samosir, Batak Angkola untuk daerah Tapanuli Selatan/Mandailing, Batak Karo untuk derah Tanah Karo, Batak Simalungun untuk daerah Simalungun, serta Batak Pakpak untuk daerah Dairi. Merekalah yang secara umum disebut orang Batak. Walau kemudian pada beberapa masa kemudian, ada kecendrungan sebagian khalayak menyebut orang Batak konotasinya lebih kepada orang Toba. Sedangkan untuk orang Karo misalnya lebih suka disebut sebagai orang Karo saja, dibanding disebut dengan Batak Karo. Demikian juga dengan orang Nias, mereka lazimnya disebut sebagai orang Nias, jarang disebut dengan sebutan orang Batak Nias misalnya.
Fenomena Kemiskinan Spiritual
Hal yang sangat penting dan urgen adalah persoal-an kerohanian (spiritual). Kerohanian Kristen tentunya. Sejak 5 dekade lalu, Tanah Batak dikenal sebagai ”daerah mayoritas Kristen”, kantong Kristen. Tapi bagaimana sesungguhnya potret kekinian Tanah Batak sekarang ini. Tidak banyak peningkatan, bahkan ditengarai lebih banyak menghadapi kemunduran rohani. Kekeringan dan kelaparan rohani sangat terasa di Tanah Batak sekarang ini. Tentunya yang dimaksud adalah spiritualitas Kristen yang sehat dan dewasa. Terjadi kekosongan rohani yang mungkin diakibatkan terpaan-terpaan kemiskinan dan pemiskinan yang sekian lama dirasakan berikut formalitas keagamaan yang dirasakan oleh komunitas-komunitas masyarakat Batak sekarang ini. Itu akan nyata tatkala merespons terhadap berbagai gejolak permasalahan spiritual dan sosial yan dialami sehari-hari oleh jemaat dan masyarakat. Memang, kegiatan mission-trip dan KKR-KKR kerap diadakan oleh berbagai kelompok Kristen dan lembaga, terutama dari kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan dsb, namun ditengarai tidak banyak memberi dampak yang signifikan kepada tingkat kedewasaan rohani masyarakat di Tanah Batak. Di samping follow-up yang kurang, strategi konseling dan pembinaan yang tepat, baik dan benar juga belum diterapkan dengan baik. Di pihak lain, kenyataannya dewasa ini cukup banyak pendeta, rohaniawan Kristen dan alumni STT setempat yang tidak berorientasi lagi dan tertarik pada fungsi pelayanan pastoral maupun counselling untuk berkunjung ke lapangan, ke keluarga anggota-anggota jemaat. Mereka kini lebih tertarik menjadi theolog dan pengkhotbah di mimbar-mimbar hari Minggu, ketimbang menjalankan fungsinya sebagai pastor yang menggembalakan dan membimbing kehidupan kerohanian jemaat di desa-desa. Tuntutan kehidupan menjadi alasan, ketimbang panggilan pelayanan untuk jiwa-jiwa yang rohaninya membutuhkan.
Oleh karena alasan ini, kedewasaan spiritualitas Kristen warga jemaat dan masyarakat di Tanah Batak belum terbentuk dengan baik, bahkan menampakan gejala mengkhawatirkan. Disitir belum terbentuknya karakter Kristen dan cara pandang Kristen yang mantap seperti yang diharapkan, menjadi salah satu penyebab. Sehingga dalam menghadapi berbagai ”angin pengajaran” yang datang seiring dengan laju globalisasi, demokratisasi yang kerap ”kebablasan” menjadi ”democrazy” bercirikan kebebasan yang sebebas-bebasnya (free thinkers, free liberalisme, free sex), radikalisasi agama, spiritualisme yang tumbuh sebagai hasil hibridisasi antara spirtualisme tradisional leluhur Batak dan spiritualisme postmodern global & ”isme-isme” dan isu-isu sosial-politik-kekuasaan dan radikalisme lainnya, masyarakat dan umat Tanah Batak begitu kewalahan dan tidak sanggup untuk mengantisipasinya.. Memang ini bukan dominan sebagai isu yang dialami orang Kristen di Tanah Batak, namun tentu menjadi isu di tingkat yang lebih tinggi nasional bahkan global. Kemiskinan dan kelaparan spiritual menemukan bentuknya. Kehidupan doa yang kering, Alkitab bukan lagi menjadi sandaran utama, ibadah menjadi sekadar formalitas, kewajiban ritual keagamaan dan sekadar status sosial, kompromisitas dan sinkretisme ajaran, kebekuan diakonia dan semangat penginjilan serta kebuntuan dalam cara pandang, kreativitas dan paradigma dalam mendapati solusi atas permasalahan-permasalahan kehidupan komunitas-komunitas di Tanah Batak.
(Berlanjut ke Bagian 2)
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Monday, May 22, 2006
Saturday, May 20, 2006
Kemiskinan & Pemiskinan spiritual dan sosial di Tanah Batak: bagaimana mencermati penanggulangannya? (2)
Aspek Sosial-Politik, Keadilan, HAM dan Demokratisasi:
Aspek menolong orang miskin, keadilan (justice) dan berjalan dengan kerendahan hati menjadi tema penting dalam Alkitab, terutama suara kenabian Mikha seperti tertulis dalam Mikha 6:8. Untuk masa sekarang hal ini terkait dengan aspek kebijakan publik, politik, HAM, dan demokrasi.
Dalam soal socio-politik, penegakkan hukum & HAM, demokrasi serta upaya desentralisasi & regionalisasi (baca: otonomi daerah), Tanah Batak atau daerah Tapanuli mengalami dewaasa ini masa-masa transisional yang tidak mudah (terseok-seok) untuk dijalankan. Proses demokratisasi dan pelaksanaan Otoda serta Pilkada dirasa tidak lancar. Terlalu banyak friksi dan gesekan, yang menyebabkan sulitnya ditegakkannya rule of laws, nilai-nilai demokrasi dan toleranssi yang kondusif dalam berpolitik dan berdemokrasi. Isu-isu KKN, abuse of power dan pelanggaran terhadap Etika Lingkungan Hidup masih kerap muncul berkali-kali di Tanah Batak; di pemerintahan, legislatif, sektor perusahaan swasta, koperasi, unit-unit perbankan/bank desa sampai di ranah LSM sekalipun. Aspek kepastian hukum, etika politik dan lemahnya penegakkan hukum sekali lagi menjadi masalah latent.
Jika ditelusuri, yang terkena dampak lebih dulu dari kemiskinan, bencana dan proses pemiskinan ini adalah kampung-kampung atau komunitas huta yang berada di tingkat terbawah yakni di tingkat komunitas basis (community base). Merekalah yang langsung berhadapan dengan peliknya kebutuhan sehari-hari. Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang mulai diintroduksi setahun terakhir ini, masih tersendat-sendat di beberapa desa dan kecamatan. Di pihak lain, pengukuran indikator kemiskinan yang dipakai BPS pun masih banyak mengandung kontroversi. Berbedanya cara pandang dan definisi ukuran kemiskinan, menjadi momok kemacetan penyaluran bantuan antar instansi secara lintas sektoral dan lintas kedinasan.
Di pihak lain, sampai sekarang belum mudah untuk menarik perhatian para Batak Perantauan atau Batak Diaspora yang telah mengalami kemajuan berarti di berbagai bidang kehidupan (bidang theologi, politik, ekonomi, bisnis, BUMN, media, hukum, pengacara, LSM, jaringan nasional dan internasional), untuk mentransformasi kampung halaman atau ”bona pasogit”nya. Alasan klasik yang selalu dikedepankan adalah terkendalanya dalam soal-soal adat sosial budaya dan mentalitas orang Batak, kondisi tekstur lahan dan keadaan alam Tanah Batak yang tidak subur, pencitraan Sumatera Utara termasuk Tanah Batak” yang berbau negatip (sogok-menyogok, KKN, dlsb).
Beberapa gerakan untuk membangun kampung-halaman, pernah dilakukan. Antara lain pada tahun 1980-an oleh Alm. Raja Inal Siregar, mantan Gubernur Sumut, dengan pencanangan program ”Marsipature Huta Na Be”. Namun, gerakan tersebut tidak bergaung-sambut dan terhenti di tengah jalan. Boleh dibilang, di era Orde Baru, banyak sekali diintroduksi ”gerakan” atau program-program yang berbau pembangunan. Sejak awal tahun 1980-an sebut misalnya diluncurka program PKK, GN-OTA, KB dan posyandu, SEDP I-III Bank Dunia, program kredit KIK, KMKP, KUK dan macam-macam lagi. Belum lagi ada program pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK), KUT serta berbagai Inpres: Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Sapi Banpres dan Bangdes, yang kesemuanya diintroduksi dari Pusat (Jakarta) dan berciri ”top down” untuk dijalankan di Tanah Batak/Tapanuli. Namun, yang terjadi program-program sentralisasi itu putus di tengah jalan, tidak berkelajutan. Kalau pun ada yang selesai program atau proyeknya, dampaknya tidak terasa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Petani-petani tetap susah, lahan mereka menyempit. Hasil tani mereka pun tidak seberapa. Babi atau sapi mereka juga banyak yang mati, atau hilang entah kemana. Sementara para generasi muda, pegawai kecil, buruh-buruh makin banyak yang menganggur. Kenyataan paradoks, banyak program tidak membuat sejahtera komunitas, tapi membuat masyrayat lokal tetap miskin, melarat, tercecer dan terjepit. Bukan berkurang tapi tambah banyak. Ada faktor ketidak-adilan di sini.
Mulai tahun 1990-an sampai awal tahun 2000 an, program pembangunan di Tapanuli/Tanah Batak bukan tambah sedikit tapi semakin banyak dan canggih istilahnya. Istilah Sapi Banpres, Bangdes mulai terlupakan. Yang muncul kemudian istilah Inpres Desa Tertinggal (IDT), program pembinaan dan peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil (P4K), program tabungan dan kredit usaha kesejahteraan rakyat (Takesra-Kukesra), program pengembangan kecamatan (PPK) oleh Bappenas, program penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP), ada lagi program pembangunan prasaran pendukung desa tertinggal (P3DT). Belum lagi tiap departemen atau kementrian punya program atau unit-unit program untuk penanggulangan kemiskinan. Di bawah dinas koperasi, dinas pertanian, dinas tenaga kerja, dinas sosial, BKKBN, dll. Upaya-upaya sentralistik seperti tetap saja menambah proses pemiskinan yang ada di tingkat lokal.
Pasca Reformasi, mulai tahun 2000 an hingga sekarang, Tanah Batak belum menunjukkan kemajuan dalam mengerem angka kemiskinan dan proses pemiskinan. Ditambah lagi dengan peristiwa Gempa Tsunami Aceh dan Nias, 26 Desember 2005 berlanjut dengan gempa di Sibolga dan Tarutung, keadaan tidak semakin baik. Perhatian program tanggap-darurat dan continuity reliefs lebih banyak ke Aceh dan Nias. Tanah Batak tidak menjadi prioritas pemulihan.
Atas fenomena dan problema ini, kemiskinan dan proses pemiskinan yang dialami Tanah Batak khususnya di 5-10 tahun terakhir ini sebagai masa transisi demokrasi dan transformasi, ditengarai berkutat kepada beberapa faktor penyebab secara internal maupun eksternal, secara mikro maupun makro, antara lain:
(1) Peran Gereja, organisasi-organisasi pelayanan dan individu-individu Kristen di berbagai bidang pelayanan/ministry yang masih harus dioptimalkan dan diefektifkan di dan untuk Tanah Batak, guna dapat mereposisi dan merevitalisasi perannya dalam tugas koinonia, marturia dan diakonia kekinian dalam mengantisipasi laju perubahan masyarakat daerah yang sangat kencang di era keterbukaan komunikasi, informasi dan teknologi seperti sekarang, baik secara internal maupun lingkungan eksternal. Pengkajian ulang dan proses dekonstruksi-rekonstruksi ulang paradigma dan cara pandang pelayanan untuk transformasi masyarakat Tanah Batak sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan.
(2) Masih berkembangnya mindset pemikiran bahwa orang Batak terutama yang sudah berdiaspora ke luar kampung halaman (Batak perantauan, Batak nasional, Batak internasional/global), kurang dalam berpikir inward looking bagi kepentingan daerah atau bona pasogit nya. Dinilai orang Batak overseas terlalu berpikir outward looking, cosmo-mundialsm, terlalu berpikir untuk kepentingan dan survival di ”tanah-air baru” namun kurang sekali berpikir berorientasi inward-local, seperti halnya orang Padang dengan panggilan Ranah Minangnya, orang Jawa dengan ”mangan ora mangan asal kumpul”nya atau orang Toraja dengan ”kembali ke tongkonan”nya. Mindset ini bila ada harus segera dirubah, karena kontra dengan gelombang demokratisasi dan panggilan ”ethne et ethne” (Mat. 28: 19-20) bertalian dengan jati diri dan nilai-diri orang Batak. Thesis ini bisa dielaborasi lebih jauh untuk membuktikan tingkat kebenarannya.
(3) Disinyalir masih belum adanya komitmen dan kesepakatan bersama, termasuk mengenai kapan waktunya (”khairos”, Greek), antara pemimpin-pemimpin lokal informal dan formal Tanah Batak, serta pemimpin-pemimpin Batak Diaspora baik di tingkat nasional maupun internasional yang mencakup seluruh elemennya dari semua bidang, untuk menyatukan tekad membangun Tanah Batak dan tentunya Komunitas Batak secara keseluruhan, menjadikan katakanlah ”Batak Revival Secara Seutuhnya”. Lem-lem perekat kesatuan (unity) seperti ”Bait Allah Jerusalem” untuk orang Jahudi, ”Ranah Minang” untuk orang Padang, ”Tongkonan” untuk orang Toraja, ”Kaabah Mekah” untuk umat Islam, atau katakanlah ”Pancasila” untuk NKRI Proklamasi 17 Agustus 1945, belum ada tidak ada (?) dimiliki oleh komunitas dan masyarakat Tanah Batak. Mengenai hal ini, memang harus dielaborasi lebih lanjut.
(4) Pemerintahan selama 5-6 dekade terakhir terpusat di Jawa (baca: Jakarta), dan sejak 1998 sampai sekarang dinilai tidak lagi sekuat era Orde Baru Soeharto, sehingga anggapan Pemerintah (pusat) lemah, sangat masuk akal. Sementara aparat pemerintah di daerah (pemkab/pemkot) terasa belum ”siap” untuk berdiri apalagi berdikari. Pemprov kehilangan orientasi dan dinilai gamang bersikap. Akibatnya, problem kemiskinan di Tanah Batak (juga daerah lainnya di luar Jawa) masih sangat panjang untuk dicarikan terobosan pengentasannya. Jelas, selama ini ada nuansa ketidak-adilan dan diskriminasi di sini yang dialami Tanah Batak, bila dibandingkan dengan daerah lainnya di Republik ini, khususnya di Jawa.
(5) Konsekuensi dari proses demokratisasi dan regionalisasi yang sedang berlangsung yang belum final, menyebakan pemerintahan baik eksekutif dan legislatif lemah dalam berkoordinasi: pusat-daerah (pemkab/pemkot, pemprov) dan lintas instansi/sektoral menyebabkan roda birokrasi juga belum berjalan sebagaimana mestinya terutama lihat saja di bidang penanggulangan bencana (gempa, tanah longsor, dll), bidang kesejahteraan rakyat, keamanan dan perekonomian.
(6) Birokrasi yang macet dan bergerak perlahan, menyebabkan partisipasi masyarakat juga sangat minim di tingkat komunitas basis. Gap antara aparatur pemerintahan sampai di tingkat desa dan kelompok-kelompok masyarakat basis belum dapat ditutupi, ini terjadi hampir di semua sektor hidup komunitas.
(7) Isu penegakkan hukum, lemahnya supervisi dan peran yudikatif, pemberatasan KKN yang berjalan lambat, besarnya utang luar negeri akibat kekeliruan strategi pembangunan di masa lalu, sangat terasa akibatnya bagi daerah sampai sekarang, di mana rakyat dan komunitas di tingkat-basis yang selalu menjadi korban.
(8) Pemerintah daerah (pemkab/pemkot) terutama di daerah-daerah yang tidak banyak sumber daya alamnya sekarang ”tidak punya duit” atau dana APBN di pusat serta DAU di kabupaten sangat kecil untuk menutupi kebutuhan anggaran untuk keperluan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan dasar bagi mereka yang miskin, tertinggal dan marjinal. Isu diskriminasi daerah sangat kental, belum lagi dana yang relatif kecil ini pun tidak bebas dari virus KKN terkait dengan pendanaan Pilkada misalnya dan ”kongkalikong” petinggi legislatif daerah.
(9) Dana kompensasi kenaikan BBM dalam bentuk BLT yang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat miskin, sebagian besar tidak sampai ke alamat yang benar atau dikorupsi; hanya dinikmati oleh sebagian kecil kalangan, penyelundup dan kaum pedagang oplosan. Sementara upaya pemberantasan korupsi yang sedang dijalankan sekarang ini, meski menunjukkan gejala cukup menggembirakan, dirasa belum sampai titik optimal seperti yang diharapkan oleh masyarakat atau publik – masih dalam proses yang cukup panjang.
(10) Proses desentralisasi dan otonomi daerah (Otoda) yang kini sedang berlangsung di Tanah Batak, belum meningkatkan kesadaran yang maksimal kepada pimpinan atau kepala daerah di daerah (bupati, camat, lurah/kades dst) untuk proaktif menanggulangi kemiskinan dan pemiskinan yang terjadi di daerahnya. Orientasi dan mindset mereka masih sebatas kekuasaan siapa yang akan menang dalam Pilkada, belum memiliki mindset dan konsep strategi yang tepat, baik dan benar untuk membangun benar-benar daerah atas dasar akuntabilitas yang sehat.
(11) Seperti yang diuraikan sebelumnya, ukuran dan definisi kemiskinan masih belum jelas, rancu dan debatable di Tanah Batak, belum satu bahasa atau satu pandangan, antar instansi, aparat, LSM, pengusaha dan donor/investor. Sejatinya masih sangat sulit menentukan siapakah orang miskin itu dan bagaimana ukurannya secara tepat dan akurat. Sebab itu mengambil putusan kebijakan yang tepat untu penanggulangannya juga tidak semudah membalik tangan.
(8) Belum adanya lagi muncul pengusaha-pengusaha Batak generasi baru, yang dianggap berhasil setelah era TD. Pardede, GM Panggabean, KM Sinaga, dll. Yang dapat berinvestasi dan berbisnis di Tanah Batak dalam paradigma ”business for the poor” atau ”profit for the poor”. Kalau pun belum memiliki kepeduliaan yang memadai terhadap bona pasogit. Sehingga ditengarai iklim kaderisasi dan penyemaian pelaku-pelaku wirausaha (entrepreneurship) yang menjadi kunci keberhasilan kenaikan GDP suatu daerah masih menghadapi kendala. Paradigma orang Batak hanya bertalenta untuk jadi tentara, polisi, guru, pendeta, pengacara, seniman, eksekutif, pengamat dan jasa-jasa keagenan (middle-person) sampai kepada stigma-stigma miring di jalanan, harus dihilangkan. Sudah saatnya, ada generasi baru orang Batak, baik di Tanah Batak dan di diaspora, yang mampu jadi industrialis besar, investing production holders mirip Matsushita di Jepang, Hyundai dan Samsung di Korsel, Bill Gates di Canada/US, Charoen Pokpan di Thailand dll meskipun mulai dari skala yang lebih kecil. Itu artinya penyemaian generasi penerus era baby boomers tahun 70-an hingga generasi pasca Reformasi memasuki abad 21 mesti segera disiapkan secara seksama.
(9) LSM serta tokoh-tokoh LSM yang diharapkan bisa menjadi ujung tombak dan keteladanan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat di Tanah Batak, baik dalam lingkup LSM lokal, nasional maupun internasional dalam penanggulangan kemiskinan, dirasa mengalami ”disorientasi” dan kehilangan leadership apalagi ditemui fenomena di beberapa kasus, tokoh-tokoh LSM dan LSM juga tidak kebal terhadap KKN dan cara pikir cari untung dan berbagai konsesi, bak tokoh pengusaha ataupun konglomerat di era Pak Harto dulu.
(Berlanjut ke Bagian III.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Aspek menolong orang miskin, keadilan (justice) dan berjalan dengan kerendahan hati menjadi tema penting dalam Alkitab, terutama suara kenabian Mikha seperti tertulis dalam Mikha 6:8. Untuk masa sekarang hal ini terkait dengan aspek kebijakan publik, politik, HAM, dan demokrasi.
Dalam soal socio-politik, penegakkan hukum & HAM, demokrasi serta upaya desentralisasi & regionalisasi (baca: otonomi daerah), Tanah Batak atau daerah Tapanuli mengalami dewaasa ini masa-masa transisional yang tidak mudah (terseok-seok) untuk dijalankan. Proses demokratisasi dan pelaksanaan Otoda serta Pilkada dirasa tidak lancar. Terlalu banyak friksi dan gesekan, yang menyebabkan sulitnya ditegakkannya rule of laws, nilai-nilai demokrasi dan toleranssi yang kondusif dalam berpolitik dan berdemokrasi. Isu-isu KKN, abuse of power dan pelanggaran terhadap Etika Lingkungan Hidup masih kerap muncul berkali-kali di Tanah Batak; di pemerintahan, legislatif, sektor perusahaan swasta, koperasi, unit-unit perbankan/bank desa sampai di ranah LSM sekalipun. Aspek kepastian hukum, etika politik dan lemahnya penegakkan hukum sekali lagi menjadi masalah latent.
Jika ditelusuri, yang terkena dampak lebih dulu dari kemiskinan, bencana dan proses pemiskinan ini adalah kampung-kampung atau komunitas huta yang berada di tingkat terbawah yakni di tingkat komunitas basis (community base). Merekalah yang langsung berhadapan dengan peliknya kebutuhan sehari-hari. Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang mulai diintroduksi setahun terakhir ini, masih tersendat-sendat di beberapa desa dan kecamatan. Di pihak lain, pengukuran indikator kemiskinan yang dipakai BPS pun masih banyak mengandung kontroversi. Berbedanya cara pandang dan definisi ukuran kemiskinan, menjadi momok kemacetan penyaluran bantuan antar instansi secara lintas sektoral dan lintas kedinasan.
Di pihak lain, sampai sekarang belum mudah untuk menarik perhatian para Batak Perantauan atau Batak Diaspora yang telah mengalami kemajuan berarti di berbagai bidang kehidupan (bidang theologi, politik, ekonomi, bisnis, BUMN, media, hukum, pengacara, LSM, jaringan nasional dan internasional), untuk mentransformasi kampung halaman atau ”bona pasogit”nya. Alasan klasik yang selalu dikedepankan adalah terkendalanya dalam soal-soal adat sosial budaya dan mentalitas orang Batak, kondisi tekstur lahan dan keadaan alam Tanah Batak yang tidak subur, pencitraan Sumatera Utara termasuk Tanah Batak” yang berbau negatip (sogok-menyogok, KKN, dlsb).
Beberapa gerakan untuk membangun kampung-halaman, pernah dilakukan. Antara lain pada tahun 1980-an oleh Alm. Raja Inal Siregar, mantan Gubernur Sumut, dengan pencanangan program ”Marsipature Huta Na Be”. Namun, gerakan tersebut tidak bergaung-sambut dan terhenti di tengah jalan. Boleh dibilang, di era Orde Baru, banyak sekali diintroduksi ”gerakan” atau program-program yang berbau pembangunan. Sejak awal tahun 1980-an sebut misalnya diluncurka program PKK, GN-OTA, KB dan posyandu, SEDP I-III Bank Dunia, program kredit KIK, KMKP, KUK dan macam-macam lagi. Belum lagi ada program pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK), KUT serta berbagai Inpres: Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Sapi Banpres dan Bangdes, yang kesemuanya diintroduksi dari Pusat (Jakarta) dan berciri ”top down” untuk dijalankan di Tanah Batak/Tapanuli. Namun, yang terjadi program-program sentralisasi itu putus di tengah jalan, tidak berkelajutan. Kalau pun ada yang selesai program atau proyeknya, dampaknya tidak terasa dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Petani-petani tetap susah, lahan mereka menyempit. Hasil tani mereka pun tidak seberapa. Babi atau sapi mereka juga banyak yang mati, atau hilang entah kemana. Sementara para generasi muda, pegawai kecil, buruh-buruh makin banyak yang menganggur. Kenyataan paradoks, banyak program tidak membuat sejahtera komunitas, tapi membuat masyrayat lokal tetap miskin, melarat, tercecer dan terjepit. Bukan berkurang tapi tambah banyak. Ada faktor ketidak-adilan di sini.
Mulai tahun 1990-an sampai awal tahun 2000 an, program pembangunan di Tapanuli/Tanah Batak bukan tambah sedikit tapi semakin banyak dan canggih istilahnya. Istilah Sapi Banpres, Bangdes mulai terlupakan. Yang muncul kemudian istilah Inpres Desa Tertinggal (IDT), program pembinaan dan peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil (P4K), program tabungan dan kredit usaha kesejahteraan rakyat (Takesra-Kukesra), program pengembangan kecamatan (PPK) oleh Bappenas, program penanggulangan kemiskinan perkotaan (P2KP), ada lagi program pembangunan prasaran pendukung desa tertinggal (P3DT). Belum lagi tiap departemen atau kementrian punya program atau unit-unit program untuk penanggulangan kemiskinan. Di bawah dinas koperasi, dinas pertanian, dinas tenaga kerja, dinas sosial, BKKBN, dll. Upaya-upaya sentralistik seperti tetap saja menambah proses pemiskinan yang ada di tingkat lokal.
Pasca Reformasi, mulai tahun 2000 an hingga sekarang, Tanah Batak belum menunjukkan kemajuan dalam mengerem angka kemiskinan dan proses pemiskinan. Ditambah lagi dengan peristiwa Gempa Tsunami Aceh dan Nias, 26 Desember 2005 berlanjut dengan gempa di Sibolga dan Tarutung, keadaan tidak semakin baik. Perhatian program tanggap-darurat dan continuity reliefs lebih banyak ke Aceh dan Nias. Tanah Batak tidak menjadi prioritas pemulihan.
Atas fenomena dan problema ini, kemiskinan dan proses pemiskinan yang dialami Tanah Batak khususnya di 5-10 tahun terakhir ini sebagai masa transisi demokrasi dan transformasi, ditengarai berkutat kepada beberapa faktor penyebab secara internal maupun eksternal, secara mikro maupun makro, antara lain:
(1) Peran Gereja, organisasi-organisasi pelayanan dan individu-individu Kristen di berbagai bidang pelayanan/ministry yang masih harus dioptimalkan dan diefektifkan di dan untuk Tanah Batak, guna dapat mereposisi dan merevitalisasi perannya dalam tugas koinonia, marturia dan diakonia kekinian dalam mengantisipasi laju perubahan masyarakat daerah yang sangat kencang di era keterbukaan komunikasi, informasi dan teknologi seperti sekarang, baik secara internal maupun lingkungan eksternal. Pengkajian ulang dan proses dekonstruksi-rekonstruksi ulang paradigma dan cara pandang pelayanan untuk transformasi masyarakat Tanah Batak sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan.
(2) Masih berkembangnya mindset pemikiran bahwa orang Batak terutama yang sudah berdiaspora ke luar kampung halaman (Batak perantauan, Batak nasional, Batak internasional/global), kurang dalam berpikir inward looking bagi kepentingan daerah atau bona pasogit nya. Dinilai orang Batak overseas terlalu berpikir outward looking, cosmo-mundialsm, terlalu berpikir untuk kepentingan dan survival di ”tanah-air baru” namun kurang sekali berpikir berorientasi inward-local, seperti halnya orang Padang dengan panggilan Ranah Minangnya, orang Jawa dengan ”mangan ora mangan asal kumpul”nya atau orang Toraja dengan ”kembali ke tongkonan”nya. Mindset ini bila ada harus segera dirubah, karena kontra dengan gelombang demokratisasi dan panggilan ”ethne et ethne” (Mat. 28: 19-20) bertalian dengan jati diri dan nilai-diri orang Batak. Thesis ini bisa dielaborasi lebih jauh untuk membuktikan tingkat kebenarannya.
(3) Disinyalir masih belum adanya komitmen dan kesepakatan bersama, termasuk mengenai kapan waktunya (”khairos”, Greek), antara pemimpin-pemimpin lokal informal dan formal Tanah Batak, serta pemimpin-pemimpin Batak Diaspora baik di tingkat nasional maupun internasional yang mencakup seluruh elemennya dari semua bidang, untuk menyatukan tekad membangun Tanah Batak dan tentunya Komunitas Batak secara keseluruhan, menjadikan katakanlah ”Batak Revival Secara Seutuhnya”. Lem-lem perekat kesatuan (unity) seperti ”Bait Allah Jerusalem” untuk orang Jahudi, ”Ranah Minang” untuk orang Padang, ”Tongkonan” untuk orang Toraja, ”Kaabah Mekah” untuk umat Islam, atau katakanlah ”Pancasila” untuk NKRI Proklamasi 17 Agustus 1945, belum ada tidak ada (?) dimiliki oleh komunitas dan masyarakat Tanah Batak. Mengenai hal ini, memang harus dielaborasi lebih lanjut.
(4) Pemerintahan selama 5-6 dekade terakhir terpusat di Jawa (baca: Jakarta), dan sejak 1998 sampai sekarang dinilai tidak lagi sekuat era Orde Baru Soeharto, sehingga anggapan Pemerintah (pusat) lemah, sangat masuk akal. Sementara aparat pemerintah di daerah (pemkab/pemkot) terasa belum ”siap” untuk berdiri apalagi berdikari. Pemprov kehilangan orientasi dan dinilai gamang bersikap. Akibatnya, problem kemiskinan di Tanah Batak (juga daerah lainnya di luar Jawa) masih sangat panjang untuk dicarikan terobosan pengentasannya. Jelas, selama ini ada nuansa ketidak-adilan dan diskriminasi di sini yang dialami Tanah Batak, bila dibandingkan dengan daerah lainnya di Republik ini, khususnya di Jawa.
(5) Konsekuensi dari proses demokratisasi dan regionalisasi yang sedang berlangsung yang belum final, menyebakan pemerintahan baik eksekutif dan legislatif lemah dalam berkoordinasi: pusat-daerah (pemkab/pemkot, pemprov) dan lintas instansi/sektoral menyebabkan roda birokrasi juga belum berjalan sebagaimana mestinya terutama lihat saja di bidang penanggulangan bencana (gempa, tanah longsor, dll), bidang kesejahteraan rakyat, keamanan dan perekonomian.
(6) Birokrasi yang macet dan bergerak perlahan, menyebabkan partisipasi masyarakat juga sangat minim di tingkat komunitas basis. Gap antara aparatur pemerintahan sampai di tingkat desa dan kelompok-kelompok masyarakat basis belum dapat ditutupi, ini terjadi hampir di semua sektor hidup komunitas.
(7) Isu penegakkan hukum, lemahnya supervisi dan peran yudikatif, pemberatasan KKN yang berjalan lambat, besarnya utang luar negeri akibat kekeliruan strategi pembangunan di masa lalu, sangat terasa akibatnya bagi daerah sampai sekarang, di mana rakyat dan komunitas di tingkat-basis yang selalu menjadi korban.
(8) Pemerintah daerah (pemkab/pemkot) terutama di daerah-daerah yang tidak banyak sumber daya alamnya sekarang ”tidak punya duit” atau dana APBN di pusat serta DAU di kabupaten sangat kecil untuk menutupi kebutuhan anggaran untuk keperluan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan dasar bagi mereka yang miskin, tertinggal dan marjinal. Isu diskriminasi daerah sangat kental, belum lagi dana yang relatif kecil ini pun tidak bebas dari virus KKN terkait dengan pendanaan Pilkada misalnya dan ”kongkalikong” petinggi legislatif daerah.
(9) Dana kompensasi kenaikan BBM dalam bentuk BLT yang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat miskin, sebagian besar tidak sampai ke alamat yang benar atau dikorupsi; hanya dinikmati oleh sebagian kecil kalangan, penyelundup dan kaum pedagang oplosan. Sementara upaya pemberantasan korupsi yang sedang dijalankan sekarang ini, meski menunjukkan gejala cukup menggembirakan, dirasa belum sampai titik optimal seperti yang diharapkan oleh masyarakat atau publik – masih dalam proses yang cukup panjang.
(10) Proses desentralisasi dan otonomi daerah (Otoda) yang kini sedang berlangsung di Tanah Batak, belum meningkatkan kesadaran yang maksimal kepada pimpinan atau kepala daerah di daerah (bupati, camat, lurah/kades dst) untuk proaktif menanggulangi kemiskinan dan pemiskinan yang terjadi di daerahnya. Orientasi dan mindset mereka masih sebatas kekuasaan siapa yang akan menang dalam Pilkada, belum memiliki mindset dan konsep strategi yang tepat, baik dan benar untuk membangun benar-benar daerah atas dasar akuntabilitas yang sehat.
(11) Seperti yang diuraikan sebelumnya, ukuran dan definisi kemiskinan masih belum jelas, rancu dan debatable di Tanah Batak, belum satu bahasa atau satu pandangan, antar instansi, aparat, LSM, pengusaha dan donor/investor. Sejatinya masih sangat sulit menentukan siapakah orang miskin itu dan bagaimana ukurannya secara tepat dan akurat. Sebab itu mengambil putusan kebijakan yang tepat untu penanggulangannya juga tidak semudah membalik tangan.
(8) Belum adanya lagi muncul pengusaha-pengusaha Batak generasi baru, yang dianggap berhasil setelah era TD. Pardede, GM Panggabean, KM Sinaga, dll. Yang dapat berinvestasi dan berbisnis di Tanah Batak dalam paradigma ”business for the poor” atau ”profit for the poor”. Kalau pun belum memiliki kepeduliaan yang memadai terhadap bona pasogit. Sehingga ditengarai iklim kaderisasi dan penyemaian pelaku-pelaku wirausaha (entrepreneurship) yang menjadi kunci keberhasilan kenaikan GDP suatu daerah masih menghadapi kendala. Paradigma orang Batak hanya bertalenta untuk jadi tentara, polisi, guru, pendeta, pengacara, seniman, eksekutif, pengamat dan jasa-jasa keagenan (middle-person) sampai kepada stigma-stigma miring di jalanan, harus dihilangkan. Sudah saatnya, ada generasi baru orang Batak, baik di Tanah Batak dan di diaspora, yang mampu jadi industrialis besar, investing production holders mirip Matsushita di Jepang, Hyundai dan Samsung di Korsel, Bill Gates di Canada/US, Charoen Pokpan di Thailand dll meskipun mulai dari skala yang lebih kecil. Itu artinya penyemaian generasi penerus era baby boomers tahun 70-an hingga generasi pasca Reformasi memasuki abad 21 mesti segera disiapkan secara seksama.
(9) LSM serta tokoh-tokoh LSM yang diharapkan bisa menjadi ujung tombak dan keteladanan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat di Tanah Batak, baik dalam lingkup LSM lokal, nasional maupun internasional dalam penanggulangan kemiskinan, dirasa mengalami ”disorientasi” dan kehilangan leadership apalagi ditemui fenomena di beberapa kasus, tokoh-tokoh LSM dan LSM juga tidak kebal terhadap KKN dan cara pikir cari untung dan berbagai konsesi, bak tokoh pengusaha ataupun konglomerat di era Pak Harto dulu.
(Berlanjut ke Bagian III.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Friday, May 19, 2006
Kemiskinan & Pemiskinan spiritual dan sosial di Tanah Batak: bagaimana mencermati penanggulangannya? (3)
Upaya Mengkaji Ulang Pengertian Miskin dan Tolok Ukur Kemiskinan (Konteks Tanah Batak, Komunitas Batak)
Hal pertama, yang selalu menjadi kendala dan momok bagi banyak dalam upaya mentranformasi suatu daerah dan komunitas, seperti Tanah Batak atau Komunitas Batak (tentu komunitas lainnya pula), adalah persoalan penafsiran dan/atau pengukuran apa yang disebut miskin. Ukurannya apa, suatu keluarga, kelompok, komunitas atau suatu daerah dikatakan miskin. Ini bisa bermakna obyektif, sekaligus juga subyektif tergantung dari siapa pihak yang melihatnya. Perdebatan penafsiran dan pengukuran tentang kemiskinan, pemiskinan dst. mengakibatkan satu upaya tidak dapat lancar dijalankan. Kontroversi timbul. Pemerintah mengukur seperti ini, masyarakat berbeda lagi. LSM punya juga ukuran. Komisi Nasional untuk Pengentasan Kemiskinan juga punya ukuran. Gereja juga demikian. Dan seterusnya. Oleh karena belum samanya pandangan, maka yang terjadi komitmen bersama juga sulit terjadi. Jika komitmen bersama belum terbentuk, bagaimana bisa terjadi transformasi atau revival yang sesungguhnya. Kita ingat kitab Amos, berkata jika ”dua orang belum bersetuju (bersepakat, be agreed), bagaimana bisa berjalan bersama (walk together)?”.
Hal kedua, yang juga penting adalah mengenai kapan momentum yang tepat untuk mengadakan pembaharuan, transformasi? Satu orang mengatakan, belum waktunya sekarang, sabar jangan gegabah? Yang lain mengatakan sudah waktunya sekarang, kapan lagi? Yang lain lagi mengatakan nanti, satu periode Pemilu lagi, baru bergerak. Ketidak-samaan antar pihak untuk melihat kapan ”moment of truth” (khairos, Greek) ini terjadi, mengakibatkan suatu komunitas atau suatu daerah tetap menjadi ”mediocre” bahkan terus tertinggal; bila dibanding dengan daerah-daerah lainnya. Sebab itulah, perlu ketersaling-tergantungan, sinergi, dialog, komunikasi, saling sharing agar cara pandang dan komitmen bisa terbentuk.
Sebagai anggota komunitas dan berasal dari bonapasogit yang sama, mungkin sudah sepatutnya diadakan pemetaan ulang dan meninjau ulang kembali definisi miskin dan ukuran kemiskinan yang selama ini masih debateable, agar upaya dan pola kebijakan bersama atas program pemberdayaan masyarakat miskin dan mengalami pemiskinan seperti Tanah Batak, baik secara spiritual maupun sosial; dapat membumi, terukur dan akurat dalam pelaksanaannya.
Delapan definisi kemiskinan dan ukuran kemiskinan yang bisa digunakan
Mengacu kepada narasumber, seperti Ade Cahyat (2003) dari CIFOR dan World Bank (2004) serta yang terpenting berdasar perspektif Alkitab, diketahui bahwa sekurangnya ada tujuh (7) definisi kemiskinan dan ukuran kemiskinan yang dipakai di Indonesia, termasuk oleh gereja-gereja yang berperan serta dalam pemberdayaan sosial-spiritual masyarakat. Masing-masing definisi dan model mempunyai ciri-ciri tersendiri, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, yang tentu sangat dibutukan untuk transformasi Tanah Batak, yakni sebagai berikut :
1. Definisi dan ukuran kemiskinan Prof. Sayogyo (IPB Bogor, tahun 1971): berdasarkan model tingkat konsumsi beras. Pada tahun 1970-an, Prof. Sayogyo (1971) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak-mampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar, khususnya beras. Dia membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun.
Ekuivalen konsumsi beras:
Kriteria Pedesaan (kg/per orang/tahun Perkotaan (kg/per orang/tahun)
Melarat 180 270
Sangat miskin 240 360
Miskin 320 480
2. Definisi dan ukuran kemiskinan Biro Pusat Statistik (BPS): berdasarkan model ting-kat konsumsi kebutuhan dasar. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak-mampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan maupun non-makanan. Inti dari model ini adalah membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan ”garis kemiskinan” (GK) yaitu jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan. Jadi, tujuan model ini sebenarnya adalah untuk mengetahui berapa jumlah penduduk dan rumah tangga miskin; serta untuk perencanaan yang lebih makro termasuk misalnya perimbangan dana pusat dan daerah.
Apa itu garis kemiskinan (GK) atau poverty line (PL). GK atau PL itu digunakan dan ditetapkan oleh BPS, gunanya adalah untuk menghitung jumlah penduduk dan rumah tangga miskin. GK didapatkan dari hasil survey modul konsumsi Susenas yang ditetapkan dalam rupiah per orang per bulan. Dengan demikian GK ditetapkan setiap tiga tahun sekali baik untuk tingkat nasional maupun tingkat provinsi. Sebagai contoh, jika GK misalnya di suatu provinsi pada tahun tertentu (misal 2004) untuk daerah perkotaan adalah Rp 99, 286 per orang per bulan, maka artinya penduduk yang nilai pengeluaran di bawah Rp 99, 286 per orang per bulan dika-tegorikan sebagai penduduk miskin.
Seperti pada model konsumsi beras Prof. Sayogyo, BPS menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Perbedaannya adalah bahwa BPS tidak menyetarakan kebutuhan-kebutuhan dasar dengan jumlah beras. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan, melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan.
Dalam kaitan ini, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), telah melakukan survey konsumsi dan belanja tingkat rumah tangga yang sebelumnya dimaksudkan untuk mencakup seluruh provinsi di Indonesia agar dapat memberikan gambaran tingkat nasional. Sejak tahun 1993 informasi mengenai jumlah dan persentase penduduk miskin sudah dapat disajikan sampai tingkat provinsi secara keseluruhan. Karena Susenas hanya dapat memprediksi angka kemiski-nan sampai tingkat provinsi, maka jika yang diinginkan adalah data yang lebih rinci dan lebih tepat untuk kabupaten (Kabupaten Tobasa misalnya), maka kabupaten bisa membuat Survey Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) seperti yang telah dilakukan oleh Kabupaten Kutai Barat. Suseda tidak dibuat secara teratur, melainkan dibuat atas dasar permintaan pemerintah kebupaten atas biaya kabupaten sendiri yang dijalankan oleh BPS. Pada prinsipnya metodologi Suseda sama dengan Susenas hanya saja jumlah sampel jauh lebih banyak
3. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut BKKBN: berdasarkan sisi kesejahteraan keluarga. Berbeda dengan BPS, BKKBN lebih melihat dari sisi kesejahteraan. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak-mampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial-psikologis. Unit survey yang dipakai juga berbeda dengan BPS; bila BPS menggunakan unit rumah tangga maka BKKBN menggunakan keluarga. Model pengukuran ini dibuat sejalan dengan visi dari program KB yaitu Keluarga yang Berkualitas. Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut Pendataan Keluarga. Yang didata ada empat kelompok, yaitu data demografi, data keluarga berencana, data tahapan keluarga sejahtera (jumlah keluarga yang masuk dalam keluarga pra-sejahtera, sejahtera I, II dan III) dan data individu (nomor identitas keluarga, nama, alamat, dll). Data kemiskinan dilakukan lewat pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu: 1. Keluarga pra-sejahtera (sangat miskin), 2. Keluarga sejahtera I (miskin), 3. Keluarga sejahtera II, 4. Keluarga sejahtera III, dan 5. Keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra-sejahtera (sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi secara minimal, seperti kebutuhan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Sejahtera tahap I (miskin) diartikan sebagai keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Yang dimaksud dengan kebutuhan sosial-psikologis adalah kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal dan transportasi.
4. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut UNDP (PBB): berdasarkan aspek pem-bangunan manusia. Pendekatan pembangunan manusia dipromosikan oleh PBB untuk program pembangunan (UNDP). Kemiskinan menurut UNDP didefinisikan sebagai ketidak-mampuan untuk memperluas pilihan-pilihan dalam hidup. Laporan tentang pembangunan manusia atau sering disebut dengan human development report (HDR) ini telah dikembangkan di 120 negara. Pemerintah RI lewat BPS dan Bappenas telah mengembangkan model ini sebagai model yang disebut dengan ”Pembangunan Manusia Seutuhnya”. HDR berisikan empat index, yaitu Human Development Index (HDI), Gender Development Index (GDI), Gender Empowerment Measure (GEM) dan Human Poverty Index (HPI). HDR adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, dimana pembangunan harus menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Tujuan pembangunan adalah untuk memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat. Dan indikator-indikator dalam HDR dapat dikelompokkan ke dalam enam dimensi dan HPI serta GDI menggunakan tiga dimensi yang sama yaitu: umur yang panjang, pengetahuan dan standar hidup yang layak. Sedangkan indikator pada GEM menggunakan tiga dimensi yang berbeda, yaitu partisipasi politik, partisipasi dalam ekonomi dan pengambilan keputusan, dan memiliki kekuatan dalam sumberdaya ekonomi. Model pengukuran ini lebih ditujukan untuk menaksir transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia.
5. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut Bank Dunia: berdasarkan tingkat peng-hasilan keluarga dalam ukuran dollar (US$). Bank Dunia/World Bank memiliki definisi dan ukuran tersendiri mengenai kemiskinan. Menurut Bank Dunia, kriteria kemiskinan (poverty criteria) adalah jika masyarakat atau keluarga-keluarga memiliki pendapatan atau penghasilan kurang dari US$2 per harinya (less than USS$ 1 - US$ 2 per day). Bila diasumsikan ukuran atau size keluarga (KK) dewasa ini beranggotakan rata-rata 3-4 orang anggota, maka kalkulasi income per capitanya bagi individu anggota yang disebut miskin itu adalah sekitar atau kurang dari Rp 3,000 - 6,500 per hari (US$ 1 = Rp 9,900). Mungkin bisa dibayangkan: penghasilannya kurang lebih satu kali makan di warung padang. Itu bila asumsinya 3-4 orang anggota. Tidak bisa dibayangkan bagaimana bila keluarga mempunyai anak hingga 7 atau 10 orang?
6. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut pakar pertanian, seperti Clifford Geertz: berdasar luasan kepemilikan lahan yang dimiliki keluarga. Kemiskinan diartikan sebagai keluarga yang tidak mempunyai tanah (landless), atau menjadi buruh garapan di lahan milik sendiri, atau bilapun memiliki hanya memiliki luasan lahan sangat sempit. Semakin sempit luasan kepemilikan lahan yang dimiliki, maka keluarga itu disebut dengan keluarga miskin. Di pulau Jawa, keluarga yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, dikatakan miskin. Sedangkan di luar Jawa (termasuk Tanah Batak tentunya), kepemilikan tanah kurang dari 0,75 ha bahkan kurang 1 ha sudah tergolong miskin.
7. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut Deparpem PGI: berdasarkan pengertian ”miskin atau termiskin”, ”tersisih” dan ”tercecer”. Sekitar tahun 1989 Departemen Partisipasi untuk Pembangunan (Deparpem) PGI bekerjasama dengan LPU Universitas Kristen Satya Wacana, pernah mengetengahkan definisi kemiskinan dari suatu masyarakat beserta kandungan ukurannya yang bersifat kualitatif. Kemiskinan dijabarkan ke dalam 3 ukuran kualitatip yang yang mirip tapi tidak sama, dijabarkan dalam 3 istilah: ”miskin atau termiskin”, ”tersisih” dan ”tercecer”. Yang disebut ”masyarakat miskin atau termiskin” [poorest of the poor] bukanlah masyarakat yang secara ekonomis lemah bila dibandingkan dengan masyarakat di sekitarnya, tapi merupakan masyarakat yang dianggap belum siap menghadapi modernisasi dan kurang dapat menikmati fasilitas umum. Sedangkan ”masyarakat tersisih” adalah kelompok masyarakat yang berada pada lokasi dan posisi yang jauh dari pusat-pusat kegiatan pembangunan, seperti masyarakat-masyarakat luar Jawa yang terpencil [termasuk di tanah Batak dan pedalaman Sumatera tentunya]. Kemudian, ”masyarakat tercecer” lebih dimaksud sebagai masyarakat yang walaupun berada di dekat pusat-pusat kegiatan pembangunan, namun mereka ini tetap tidak tersentuh oleh program-program pembangunan.
8 Definisi dan ukuran kemiskinan menurut pengertian teologis: berdasarkan model transformasi dan pemaknaan holistik. Kemiskinan dan kesengsaraan merupakan akibat dari dosa dan kejahatan. Kemiskinan tidak hanya diartikan sebagai ketidak-mampuan mencukupi kebutuhan fisik berupa pangan, nutrisi akibat kegagalan panen pertanian seperti yang dialami Naomi sekeluarga dalam kitab Ruth atau gambaran Habakuk 3: 14-19, namun juga mencakup persoalan kemiskinan kualitatif hidup lainnya, seperti kemiskinan hati-jiwa seperti yang dialami oleh perempuan Samaria (Yohanes 4), kemiskinan intelektual atau kebodohan (Amsal 1: 6-8), kemiskinan sosial seperti yang dialami Zakeus ataupun kemiskinan karakter & kerohanian seperti gambaran jemaat Laodikia dalam Wahyu 3: 17-18. Jadi, miskin diartikan dalam pengertian seutuhnya, pengertian holistik transformasional sebagaimana dinyatakan oleh Injil dalam Lukas 4: 18-19.
9. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut pola Participatory Wealth Ranking (PWR). Diintroduksi oleh Small Enterprises Foundation (SEF) dalam kaitan dengan Microcredit Summit Campaign. Kemiskinan didefinisikan dan diukur berdasarkan opini ataupun pandangan yang bersifat partisipatif dari masyarakat sendiri. Masyarakat yang memberi pendapat apa kemiskinan itu, apa ciri-ciri kelompok orang yang paling miskin, siapa orang miskin itu, bagaimana kita dapat mengenali seseorang itu miskin, apa yang membuat seseorang lebih baik keadaannya dari mereka yang paling miskin dan bagaimana gambaran orang yang mampu itu. Karena bersifat relatif, maka untuk daerah yang satu kemungkin akan berbeda ada menyangkut definisi dan ukuran miskin itu. Melalui penyortiran kartu, nantinya akan diperoleh penstrataan dari yang paling miskin, miskin, sedang sampai mampu.
Kajian Ulang: Mengapa Semakin Banyak Kampung-Kampung (Huta) yang mengalami Kemiskinan dan Pemiskinan Spiritual dan Sosial di Tanah Batak
Dari berbagai sudut pandang yang dipelajari dan dialami, baik dari segi sosial dalam kaitan dengan teori/pengalaman pengentasan kemiskinan, maupun dari segi teologis, politik dan ekonomi-bisnis-mentalitas, maka bisa dikaji berbagai kemungkinan-kemungkinan yang menjadi beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya dijumpai kantong-kantong kemiskinan, boleh disebut ada ditemui di hampir seluruh kantong-kantong Kekristenan di Pintu Gerbang Timur Indonesia, sebagaimana tercermin pada ”bintik-bintik bulatan hitam” dan area warna merah dan kuning pada peta di atas adalah sebagai berikut :
(1) Faktor sosiologis: terjadinya ”brain-drain” dalam proses yang cukup lama terjadi. Adanya fenomena cara pandang orang Kristen yang tersentralisasi di Jawa/Jakarta dan kurangnya penekanan nasihat untuk bertanggung-jawab secara sosial terhadap kampung-halamannya. Brain drain yang sudah cukup berlangsung cukup lama, bisa dijadikan alasan mengapa banyak kantong kemiskinan tersebut. Seperti sudah banyak diketahui umum, bahwa Tanah Batak banyak ”keluar” orang pandai, berintelektual tinggi, dan sukses di perantauan (meskipun yang gagal juga banyak). Keberhasilan yang dimaksud di sini, adalah keberhasilan bukan saja dalam hal materi; namun juga dalam hal pertumbuhan iman menuju kedewasaan (Ef. 4: 13), cara pandang dan etika yang terus diperbaharui, di bidang kesehatan dan daya-emphaty dalam melayani bagi yang membutuhkan.
Historisnya, demi mencari peruntungan yang lebih baik, sejak sebelum Merdeka 1945 ingga puncaknya di era tahun 1960-80an banyak pemuda/pemudi dari bonapasogit, meninggalkan ”kampungnya”. Rata-rata migrasi orang Batak, bisa melalui tembak langsung (umumnya ke Jawa) sejak tahun 20-an. Biasanya lewat jalur sekolah, ada yang ke Jakarta (Stovia), ada yang ke Solo, Yogya, Bandung dan sebagainya. Migrasi langsung dari orang-orang Batak pertama, kemudian diikuti dengan komunitas-komunitas lainnya. Mereka yang berasal dari Padang Sidempuan (dari marga Siregar, Harahap, Nasution, Lubis, Hasibuan) dan sekitarnya, serta dari Tarutung (dari marga Tobing, Sitompul, Hutabarat, Hutagalung) dan seterusnya, merupakan orang-orang Batak yang tercatat pertama melakukan migrasi ke Pulau Jawa umumnya. Fakta ini bisa dibuat lebih rinci menurut kajian sejarah.
Migrasi lainnya pada sekitar tahun 30-40an, adalah melalui migrasi tidak langsung. Banyak orang Batak dari Tanah Batak pada jaman Pra Kemerdekaan, merantau ke Simalungun. Ke Pematang Siantar, Tanah Jawa, daerah Sumatera Timur; bekerja di perkebunan-perkebunan afdeling yang diadministrasi masih oleh Belanda atau Inggris. Dari sana berkembang sampai ke kota Medan, Rantau Prapat, Bagan Batu, Kota 50 sampai ke Riau, Jambi, Palembang dan seterusnya. Selain menjadi kerani, mereka juga banyak terjun di bidang keagenan, jasa, theologia, usaha-usaha mikro, dan lain sebagainya. Fakta sejarah ini pun bisa dirinci lebih jauh.
Kedua jenis migrasi membuat orang Batak, ada yang segera ”jadi orang”, ada juga yang tidak. Kalaupun sudah ”jadi orang”, namun nyatanya sedikit sekali yang mau kembali ke tanah asal untuk membantu membangun bonapasogit. Seolah sudah ”lupa” begitu. Cara pandang ini berbeda sekali misalnya dengan orang Jawa, Sunda atau Minang misalnya yang bergairah sekali untuk pulang kampung alias mudik terutama di hari raya sejak jaman dahulu kala, dengan membawa apa saja yang bisa mereka bawa untuk kampung halamannya. Berkenaan dengan hal ini, sekali lagi dikemukakan ada beberapa pandangan yang bermaksud menjelaskan secara filosofis. (a) Orang-orang dari wilayah ini cendrung memiliki cara pandang tersentralisasi di Jawa/Jakarta saja, tidak sama bila dibanding orang Jawa, Sunda atau Minang yang lebih berpandangan lokal atau lokalitan. Kalau cara berpikir orang-orang Batak tersebut itu ”outward looking” (melihat keluar), berfalsafah ”di mana tanah diinjak maka tanah itu dapat menjadi tanah airnya yang baru”, maka cara berpikir orang Jawa ”inward looking” disertai falsafah ”mangan ora mangan asal kumpul” yang membuat arus mudik begitu luar biasa tiap hari raya pulang untuk kumpul di kampung halamannya, dan (b) Orang-orang Batak di wilayah tersebut rata-rata cendrung pantang pulang kampung, apabila belum ”jadi orang” atau menjadi orang yang berhasil dalam pengertian secara adat istiadat mereka. Sikap ini berekses, kalaupun si anak akan pulang kampung bukan untuk motif membangun kampung halaman, melainkan hanya untuk ”menunjukkan kesuksesan” atau katakalah ”show of force” bahwa ia sudah berhasil tanpa disertai keharusan kewajiban moral atau tanggung-jawab sosial untuk membangun kampungnya. Mengapa ini terjadi? Karena pesan moral-sosial ini mungkin kurang dikumandangkan oleh para orang tua kepada anak-anaknya (ingat habit orang Yahudi dalam menitip pesan untuk anak-anaknya, dalam Jews Custom). Mungkin lebih banyak orang-tua yang menasihati anak-anaknya, ”jadilah berhasil kamu di perantauan” namun tanpa menekankan nasihat lain ”jadilah orang berguna bagi kampung halamanmu sendiri”, sehingga si anak berpikir pun tidak untuk membangun kampung. Dalam keluarga pun, banyak keluarga di perantauan sudah tidak mengajarkan lagi bahasa ibu (bahasa Batak) kepada anak-anaknya. Lebih suka bila si anak disuruh belajar bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Jepang, bahasa Mandarin), bahkan bahasa komputer (Cobol, Fortran, JavaScript, dan aplikasinya WS, Excell, Sympohony, MS Word, Power Point dst) ketimbang memakai bahasa sendiri (bahasa Batak). Pragmatisme disertai motif tujuan-tujuan ekonomi lebih besar ketimbang upaya untuk mempertahankan nilai-nilai sosiologis, budaya dan filosofis Orang Batak. Pernikahan-pernikahan antar suku, antar budaya yang terjadi perantauan, turut menyurutkan sistem nilai dan kecintaan generasi-generasi paska tahun 20-40 an pada sistem socio-budaya Batak. Kemiskinan dan pemiskinan akan budaya ethnis sendiri ini, menjadi salah satu faktor penting mengapa Tanah Batak tidak banyak berkembang.
(2) Faktor kesalahan kita (baca: dosa kita), masalah spiritualitas. Berdasarkan Kejadian pasal 3, kejatuhan manusia dalam dosa, menyebabkan keterpisahan dengan TUHAN yang ditandai dengan terkutuknya tanah serta makin susah-payahnya manusia mencari rezeki dari tanah seumur hidup (3:18-19). Besar kemungkinan kemiskinan yang melanda kantong-kantong Kekristenan, disebabkan dosa dan perbuatan dosa yang belum atau tidak diakui di hadapan TUHAN. Dosa berarti absennya atau hilangnya kemuliaan Allah, bergesernya tujuan hidup manusia dari tujuan dan kehendak Allah dalam menciptakan kita sebagai manusia orang percaya. Dosa adalah pelanggaran terhadap hukum-hukum TUHAN (1 Yoh 3:4). Semakin kita berdosa, semakin terkutuk tanah tempat kita hidup. Berdosa atau perbuatan dosa diartikan sebagai tahu bagaimana harus berbuat baik, namun tidak melakukannya (Yakobus 4: 17). Gambaran perbuatan dosa tercermin jelas dalam Gal. 5: 19-20 dalam istilah perbuatan daging, seperti: sihir, penyembahan berhala, perzinahan (perselingkuhan), percabulan, pertengkaran, dlsb yang mengakibatkan berbagai macam kesusahan.
(3) Faktor diijinkan terjadi oleh Tuhan. Kemiskinan, sengsara, sakit-penyakit, bencana alam seperti gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor bahkan tsunami seperti yang baru-baru terjadi; bisa dialami manusia mungkin dikarenakan adanya ijin Tuhan; misalnya lewat upaya musuh (iblis) atas hidup orang beriman. Seperti halnya Ayub mengalami semua itu, menghadapi cobaan iblis yang memiskinkan dia dan memeranakan hidupnya, dijadikan Tuhan sebagai batu ujian untuk menguji kemurnian iman dan kesetiaannya pada Allah. Begitu juga dengan kantong-kantong kemiskinan atau kantong-kantong Kekristenan yang mengalami hal ini, bisa dianggap sebagai cobaan musuh kita yang dipergunakan Allah untuk mengingatkan kita, menguji kita sampai di mana kesetiaan kita kepadaNya dan firmanNya. Kalau tidak ada masalah dengan kantong-kantong Kekristenan atau kantong kemiskinan di wilayah kita, mungkin kita segera lupa akan Dia!
(4) Faktor kemalasan dan kelemahan mentalitas. Ini bisa menjadi faktor penyebab kantong kemiskinan. Kurangnya kekuatan mental, niat, etika serta motivasi untuk pantang menyerah menggarap lahan menjadi faktor mengapa banyak lahan garapan di kantong-kantong huta Tanah Batak yang terbengkalai. Mentalitas yang sudah menjadi pemahaman umum, bahwa orang Batak sering punya perangai ”late, teal, elat” menjadi kendala tersendiri untuk memajukan Tanah Batak, komunitas Batak dalam kebersamaan. Mestinya perlu instrospeksi dan buka hati dan pikiran, tidak menyalahkan yang lain, bertanya mengapa lahan atau wilayah daerah lain bisa subur, sedang kita mengalami kegersangan dan rendah produktivitas. Ada stigma bahwa pria Batak atau laki-laki Batak umumnya malas. Tidak cepat, tepat dan produktif-sinergis dalam bertindak. Lebih senang untuk nongkrong di lapo, main gitar sampai jauh malam, judi, mabuk, dlsb. Lebih suka bicara (talkative) ketimbang kerja dalam pengertian fisik, aktif di acara-acara adat, dst. Sedang perempuan Batak, boru Batak umumnya lebih berdaya, tangguh dan terpercaya (jadi tidak perlu lagi ada program pemberdayaan perempuan), meski perannya tidak menonjol dalam komunitas yang berpola patrinial. Namun sebagai ”orang belakag” kuat bekerja di lahan tani, sambil menggendong anak, kalau perlu sambil ”marengge-rengge” dilakoni. Anak banyak bisa diasuh dengan baik, anak-anak pun banyak yang ”jadi orang” itu bukan karena peran bapaknya, tapi mamaknya, inang pangitubu. Sebab itulah, pujian kepada mamak (Inang), baik dalam lagu, dalam kata, dalam bayangan, sangat bergaung di hati dan pikiran anak-anak Batak terutama tatkala di perantauan. Jarang hal itu ditujukan kepada kaum-kaum Bapak orang Batak. Begitu stigma yang ada, untuk hal ini sudah banyak yang membahas.
Jika mengacu pada Alkitab, bukankah kitab Amsal misalnya menasihati pentingnya mentalitas produktif, taat, sabar, arif, berpikir-panjang serta rajin seperti semut, karena karena kemalasan dan kelemahan mentalitas akan membawa kepada kemiskinan dan pemiskinan, bukan hanya pada aspek sosial secara luas, tapi juga aspek spiritual.
(5) Faktor kebodohan. Kemiskinan kreativiatas, kemiskinan gagasan dan ide-ide cemerlang dari orang-orang Batak dewasa ini bisa membuat hidup dan lingkungan kehidupan kita dan daerah-daerah komunitas Batak/Tanah Batak menjadi tak bergerak, mediocre, bahkan semakin terpuruk dan tertinggal. Kejenuhan nasehat, rasa puas diri dan perasaan mapan membuat sering ada keengganan, tidak mau belajar lagi lalu mengalami kemiskinan sekaligus pemiskinan. Demikian pun akibat langkanya sarana/prasarana pendidikan yang berkualitas. Pola pendidikan nasional yang lebih berorientasi teori ketimbang praksis, teori dan kejuruan, turut membuat pengembangan masyarakat di basis menjadi tidak menentu. Pemahaman ilmu dari praktek ke teori sangat sedikit dipunyai. Kebanyakan hanya dari teori ke teori. Sehingga disitir, banyak memakai bahasa langit, tidak down to earth. Ini berbeda sekali dengan sistem pendidikan di komunitas masyarakat maju macam di Jepang, US atau Jerman. Di Jerman misalnya, pendidikan praktek di tingkat praksis seperti pendidikan Industrie Kaufmann misalnya, dihargai dan diinsentip sama besarnya; bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan pendidikan akademik maupun pendidikan profesi (profesional). Mengenai hal ini bisa dibahas lebih mendalam, berikut contoh-contoh yang kongrit di lapangan. Amsal pasal 1-3 menyiratkan takut akan Tuhan adalah permulaan dari pengetahuian (1:7), kepandaian (bukan kepintaran, ada nuansa pengalaman di dalamnya), membawa kepada kekayaan dan kehormatan; kebodohan membawa kepada kemiskinan.
(6) Faktor sikap pasrah nasib yang salah. Ini bisa saja terjadi di kalangan kita sebagai orang Batak. Sikap melankolis, apatis, skeptis lalu pasrah menjadi sikap yang keliru, akibat kurangnya sikap pengharapan, optimis; juga cara pandang iman yang salah terhadap rencana TUHAN. Percaya keliru terhadap ”takdir nasib” yang harus diterima secara melankolis sebagai takdir nasib duniawi atau manusiawi, dan bukan takdir daripada Tuhan yang sesungguhnya menginginkan hidup kita menjadi berkat dan menjadi garam dan terang dunia (Mat 5: 13-16).
(7) Faktor politis: dimiskinkan atau dizalimi oleh si “kuat”. Faktor ini kerapkali terjadi, apalagi di negara-negara yang belum berkembang, termasuk yang bernuansa radikalisasi agama tertentu. Satu daerah menjadi miskin bukan karena mereka tidak mampu sehingga jadi miskin, tapi memang karena dimiskinkan. Dibuat policy untuk akhirnya jadi miskin alias dizalimi oleh si ”kuat” atau mayoritas. Si kuat, bisa berarti penguasa atau elite di bidang apa saja (pemerintahan, militer, kepolisian, departemen, BUMN, konglomerat, NGO gurita dan arogan – gurita lama maupun baru, yang berorientasi cari untung, dsb), pihak-pihak yang tidak menyukai etnis tertentu, termasuk orang Batak tentunya, jadi maju karena kalau jadi maju akan berpotensi membuat persoalan bagi ”si penguasa” tadi, dlsb. Karena orang Batak dikenal cukup pintar (asal jangan keminter, sok tahu), maka komunitas etnis Batak dipanadng jangan boleh diberi akses terlalu banyak apalagi menjadi top pimpinan, termasuk dalam hal segi akses suplai informasi, akses anggaran (funding), akses keagenan-brokerage, akses jabatan dan kedudukan (power), dll. Apalagi karena orang Batak itu ada salibnya (maksudnya: Salib Kristus). Ditengarai ada tiga kekuatan besar di Indonesia dewasa ini, yang selalu berlomba untuk mengadu kekuatan: Javanisasi, yang berkutat pada kenyataan sejarah hegemoni dari jaman Kalingga, Singosari, Majapahit sampai Mataram yang berpusat di Jawa Tengah/Yogya dan Solo; Globalisasi yang berorientasi pada kepentingan hegemoni global dengan merek-merek IMF, IFC, Bank Dunia, Iluminatie, Lobby Yahudi, dsb; Islamisasi yang berorientasi kini pada kepentingan menjadikan Negara Internasional Islam (NII) untuk menghadapi serangan gencar Globalisasi AS dan negara-negara Eropa. Kekuatan Sosialis-Marxis-Komunis ditengarai sejak robohnya Tembok Berlin ditengarai mengalami kegamangan dan sedang mencari bentuknya yang baru, untuk meneruskan perjuangan, baik versi Moskow, versi Eropa Timur maupun versi Beijing PRC, disertai kelompok-kelompok tanpa bentuk yang ada di semua lini masyarakat egalitarian. Singkatnya, adu kekuatan ini tentu berakibat rakyat kecil yang mejadi korban; Masyarakat miskin karena ketamakan akan kekuasaan, perilaku korup (KKN) dari para elite pemimpinnya, karena opressi, kerusuhan, perang saudara, teror dan violenisme.
(8) Faktor ekonomi-bisnis-komersial: akses yang terbatas (finansial, skills, jejaring, selling, etc). Berbagai penelitian menyatakan, faktor akses finansial, skills/pemberdayaan (empowerment), jejaring, dsb sangat menentukan satu daerah bisa ”naik kelas” dari tadinya pra-sejahtera (miskin) ditransformasi ke dalam masyarkat/keluarga sejahtera I atau II. Namun bila tidak ada akses-akses ini, secara ekonomi aktivitas daerah akan terhambat, macet tanpa pertumbuhan; bahkan yang ada adalah kemunduran. Tanah Batak mungkin saja mengalami pemunduran. Akses-akses tersebut lebih banyak hanya diterima di daerah perkotaan, di kota-kota besar saja terhadap pengusaha yang hanya itu-itu saja. Akses-akses berupa pelabuhan, airport, market-distruting center, sentra industri bila itu tidak ada di Tanah Batak, tidak akan menjadikan daerah ini maju dengan pesat.
(Berlanjut ke Bagian IV).
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Hal pertama, yang selalu menjadi kendala dan momok bagi banyak dalam upaya mentranformasi suatu daerah dan komunitas, seperti Tanah Batak atau Komunitas Batak (tentu komunitas lainnya pula), adalah persoalan penafsiran dan/atau pengukuran apa yang disebut miskin. Ukurannya apa, suatu keluarga, kelompok, komunitas atau suatu daerah dikatakan miskin. Ini bisa bermakna obyektif, sekaligus juga subyektif tergantung dari siapa pihak yang melihatnya. Perdebatan penafsiran dan pengukuran tentang kemiskinan, pemiskinan dst. mengakibatkan satu upaya tidak dapat lancar dijalankan. Kontroversi timbul. Pemerintah mengukur seperti ini, masyarakat berbeda lagi. LSM punya juga ukuran. Komisi Nasional untuk Pengentasan Kemiskinan juga punya ukuran. Gereja juga demikian. Dan seterusnya. Oleh karena belum samanya pandangan, maka yang terjadi komitmen bersama juga sulit terjadi. Jika komitmen bersama belum terbentuk, bagaimana bisa terjadi transformasi atau revival yang sesungguhnya. Kita ingat kitab Amos, berkata jika ”dua orang belum bersetuju (bersepakat, be agreed), bagaimana bisa berjalan bersama (walk together)?”.
Hal kedua, yang juga penting adalah mengenai kapan momentum yang tepat untuk mengadakan pembaharuan, transformasi? Satu orang mengatakan, belum waktunya sekarang, sabar jangan gegabah? Yang lain mengatakan sudah waktunya sekarang, kapan lagi? Yang lain lagi mengatakan nanti, satu periode Pemilu lagi, baru bergerak. Ketidak-samaan antar pihak untuk melihat kapan ”moment of truth” (khairos, Greek) ini terjadi, mengakibatkan suatu komunitas atau suatu daerah tetap menjadi ”mediocre” bahkan terus tertinggal; bila dibanding dengan daerah-daerah lainnya. Sebab itulah, perlu ketersaling-tergantungan, sinergi, dialog, komunikasi, saling sharing agar cara pandang dan komitmen bisa terbentuk.
Sebagai anggota komunitas dan berasal dari bonapasogit yang sama, mungkin sudah sepatutnya diadakan pemetaan ulang dan meninjau ulang kembali definisi miskin dan ukuran kemiskinan yang selama ini masih debateable, agar upaya dan pola kebijakan bersama atas program pemberdayaan masyarakat miskin dan mengalami pemiskinan seperti Tanah Batak, baik secara spiritual maupun sosial; dapat membumi, terukur dan akurat dalam pelaksanaannya.
Delapan definisi kemiskinan dan ukuran kemiskinan yang bisa digunakan
Mengacu kepada narasumber, seperti Ade Cahyat (2003) dari CIFOR dan World Bank (2004) serta yang terpenting berdasar perspektif Alkitab, diketahui bahwa sekurangnya ada tujuh (7) definisi kemiskinan dan ukuran kemiskinan yang dipakai di Indonesia, termasuk oleh gereja-gereja yang berperan serta dalam pemberdayaan sosial-spiritual masyarakat. Masing-masing definisi dan model mempunyai ciri-ciri tersendiri, dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, yang tentu sangat dibutukan untuk transformasi Tanah Batak, yakni sebagai berikut :
1. Definisi dan ukuran kemiskinan Prof. Sayogyo (IPB Bogor, tahun 1971): berdasarkan model tingkat konsumsi beras. Pada tahun 1970-an, Prof. Sayogyo (1971) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak-mampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar, khususnya beras. Dia membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah pedesaan dan perkotaan. Untuk daerah pedesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang per tahun.
Ekuivalen konsumsi beras:
Kriteria Pedesaan (kg/per orang/tahun Perkotaan (kg/per orang/tahun)
Melarat 180 270
Sangat miskin 240 360
Miskin 320 480
2. Definisi dan ukuran kemiskinan Biro Pusat Statistik (BPS): berdasarkan model ting-kat konsumsi kebutuhan dasar. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak-mampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makanan maupun non-makanan. Inti dari model ini adalah membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan ”garis kemiskinan” (GK) yaitu jumlah rupiah untuk konsumsi per orang per bulan. Jadi, tujuan model ini sebenarnya adalah untuk mengetahui berapa jumlah penduduk dan rumah tangga miskin; serta untuk perencanaan yang lebih makro termasuk misalnya perimbangan dana pusat dan daerah.
Apa itu garis kemiskinan (GK) atau poverty line (PL). GK atau PL itu digunakan dan ditetapkan oleh BPS, gunanya adalah untuk menghitung jumlah penduduk dan rumah tangga miskin. GK didapatkan dari hasil survey modul konsumsi Susenas yang ditetapkan dalam rupiah per orang per bulan. Dengan demikian GK ditetapkan setiap tiga tahun sekali baik untuk tingkat nasional maupun tingkat provinsi. Sebagai contoh, jika GK misalnya di suatu provinsi pada tahun tertentu (misal 2004) untuk daerah perkotaan adalah Rp 99, 286 per orang per bulan, maka artinya penduduk yang nilai pengeluaran di bawah Rp 99, 286 per orang per bulan dika-tegorikan sebagai penduduk miskin.
Seperti pada model konsumsi beras Prof. Sayogyo, BPS menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar. Perbedaannya adalah bahwa BPS tidak menyetarakan kebutuhan-kebutuhan dasar dengan jumlah beras. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator yang direkomendasikan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1998 yaitu 2.100 kalori per orang per hari, sedangkan dari sisisi kebutuhan non-makanan tidak hanya terbatas pada sandang dan papan, melainkan termasuk pendidikan dan kesehatan.
Dalam kaitan ini, Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), telah melakukan survey konsumsi dan belanja tingkat rumah tangga yang sebelumnya dimaksudkan untuk mencakup seluruh provinsi di Indonesia agar dapat memberikan gambaran tingkat nasional. Sejak tahun 1993 informasi mengenai jumlah dan persentase penduduk miskin sudah dapat disajikan sampai tingkat provinsi secara keseluruhan. Karena Susenas hanya dapat memprediksi angka kemiski-nan sampai tingkat provinsi, maka jika yang diinginkan adalah data yang lebih rinci dan lebih tepat untuk kabupaten (Kabupaten Tobasa misalnya), maka kabupaten bisa membuat Survey Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) seperti yang telah dilakukan oleh Kabupaten Kutai Barat. Suseda tidak dibuat secara teratur, melainkan dibuat atas dasar permintaan pemerintah kebupaten atas biaya kabupaten sendiri yang dijalankan oleh BPS. Pada prinsipnya metodologi Suseda sama dengan Susenas hanya saja jumlah sampel jauh lebih banyak
3. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut BKKBN: berdasarkan sisi kesejahteraan keluarga. Berbeda dengan BPS, BKKBN lebih melihat dari sisi kesejahteraan. Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidak-mampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial-psikologis. Unit survey yang dipakai juga berbeda dengan BPS; bila BPS menggunakan unit rumah tangga maka BKKBN menggunakan keluarga. Model pengukuran ini dibuat sejalan dengan visi dari program KB yaitu Keluarga yang Berkualitas. Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut Pendataan Keluarga. Yang didata ada empat kelompok, yaitu data demografi, data keluarga berencana, data tahapan keluarga sejahtera (jumlah keluarga yang masuk dalam keluarga pra-sejahtera, sejahtera I, II dan III) dan data individu (nomor identitas keluarga, nama, alamat, dll). Data kemiskinan dilakukan lewat pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu: 1. Keluarga pra-sejahtera (sangat miskin), 2. Keluarga sejahtera I (miskin), 3. Keluarga sejahtera II, 4. Keluarga sejahtera III, dan 5. Keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra-sejahtera (sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi secara minimal, seperti kebutuhan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Sejahtera tahap I (miskin) diartikan sebagai keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Yang dimaksud dengan kebutuhan sosial-psikologis adalah kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal dan transportasi.
4. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut UNDP (PBB): berdasarkan aspek pem-bangunan manusia. Pendekatan pembangunan manusia dipromosikan oleh PBB untuk program pembangunan (UNDP). Kemiskinan menurut UNDP didefinisikan sebagai ketidak-mampuan untuk memperluas pilihan-pilihan dalam hidup. Laporan tentang pembangunan manusia atau sering disebut dengan human development report (HDR) ini telah dikembangkan di 120 negara. Pemerintah RI lewat BPS dan Bappenas telah mengembangkan model ini sebagai model yang disebut dengan ”Pembangunan Manusia Seutuhnya”. HDR berisikan empat index, yaitu Human Development Index (HDI), Gender Development Index (GDI), Gender Empowerment Measure (GEM) dan Human Poverty Index (HPI). HDR adalah satu konsep yang melihat pembangunan secara lebih komprehensif, dimana pembangunan harus menjadikan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir, bukan menjadikan manusia sebagai alat pembangunan. Tujuan pembangunan adalah untuk memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat. Dan indikator-indikator dalam HDR dapat dikelompokkan ke dalam enam dimensi dan HPI serta GDI menggunakan tiga dimensi yang sama yaitu: umur yang panjang, pengetahuan dan standar hidup yang layak. Sedangkan indikator pada GEM menggunakan tiga dimensi yang berbeda, yaitu partisipasi politik, partisipasi dalam ekonomi dan pengambilan keputusan, dan memiliki kekuatan dalam sumberdaya ekonomi. Model pengukuran ini lebih ditujukan untuk menaksir transisi ekonomi dan demokrasi Indonesia.
5. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut Bank Dunia: berdasarkan tingkat peng-hasilan keluarga dalam ukuran dollar (US$). Bank Dunia/World Bank memiliki definisi dan ukuran tersendiri mengenai kemiskinan. Menurut Bank Dunia, kriteria kemiskinan (poverty criteria) adalah jika masyarakat atau keluarga-keluarga memiliki pendapatan atau penghasilan kurang dari US$2 per harinya (less than USS$ 1 - US$ 2 per day). Bila diasumsikan ukuran atau size keluarga (KK) dewasa ini beranggotakan rata-rata 3-4 orang anggota, maka kalkulasi income per capitanya bagi individu anggota yang disebut miskin itu adalah sekitar atau kurang dari Rp 3,000 - 6,500 per hari (US$ 1 = Rp 9,900). Mungkin bisa dibayangkan: penghasilannya kurang lebih satu kali makan di warung padang. Itu bila asumsinya 3-4 orang anggota. Tidak bisa dibayangkan bagaimana bila keluarga mempunyai anak hingga 7 atau 10 orang?
6. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut pakar pertanian, seperti Clifford Geertz: berdasar luasan kepemilikan lahan yang dimiliki keluarga. Kemiskinan diartikan sebagai keluarga yang tidak mempunyai tanah (landless), atau menjadi buruh garapan di lahan milik sendiri, atau bilapun memiliki hanya memiliki luasan lahan sangat sempit. Semakin sempit luasan kepemilikan lahan yang dimiliki, maka keluarga itu disebut dengan keluarga miskin. Di pulau Jawa, keluarga yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, dikatakan miskin. Sedangkan di luar Jawa (termasuk Tanah Batak tentunya), kepemilikan tanah kurang dari 0,75 ha bahkan kurang 1 ha sudah tergolong miskin.
7. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut Deparpem PGI: berdasarkan pengertian ”miskin atau termiskin”, ”tersisih” dan ”tercecer”. Sekitar tahun 1989 Departemen Partisipasi untuk Pembangunan (Deparpem) PGI bekerjasama dengan LPU Universitas Kristen Satya Wacana, pernah mengetengahkan definisi kemiskinan dari suatu masyarakat beserta kandungan ukurannya yang bersifat kualitatif. Kemiskinan dijabarkan ke dalam 3 ukuran kualitatip yang yang mirip tapi tidak sama, dijabarkan dalam 3 istilah: ”miskin atau termiskin”, ”tersisih” dan ”tercecer”. Yang disebut ”masyarakat miskin atau termiskin” [poorest of the poor] bukanlah masyarakat yang secara ekonomis lemah bila dibandingkan dengan masyarakat di sekitarnya, tapi merupakan masyarakat yang dianggap belum siap menghadapi modernisasi dan kurang dapat menikmati fasilitas umum. Sedangkan ”masyarakat tersisih” adalah kelompok masyarakat yang berada pada lokasi dan posisi yang jauh dari pusat-pusat kegiatan pembangunan, seperti masyarakat-masyarakat luar Jawa yang terpencil [termasuk di tanah Batak dan pedalaman Sumatera tentunya]. Kemudian, ”masyarakat tercecer” lebih dimaksud sebagai masyarakat yang walaupun berada di dekat pusat-pusat kegiatan pembangunan, namun mereka ini tetap tidak tersentuh oleh program-program pembangunan.
8 Definisi dan ukuran kemiskinan menurut pengertian teologis: berdasarkan model transformasi dan pemaknaan holistik. Kemiskinan dan kesengsaraan merupakan akibat dari dosa dan kejahatan. Kemiskinan tidak hanya diartikan sebagai ketidak-mampuan mencukupi kebutuhan fisik berupa pangan, nutrisi akibat kegagalan panen pertanian seperti yang dialami Naomi sekeluarga dalam kitab Ruth atau gambaran Habakuk 3: 14-19, namun juga mencakup persoalan kemiskinan kualitatif hidup lainnya, seperti kemiskinan hati-jiwa seperti yang dialami oleh perempuan Samaria (Yohanes 4), kemiskinan intelektual atau kebodohan (Amsal 1: 6-8), kemiskinan sosial seperti yang dialami Zakeus ataupun kemiskinan karakter & kerohanian seperti gambaran jemaat Laodikia dalam Wahyu 3: 17-18. Jadi, miskin diartikan dalam pengertian seutuhnya, pengertian holistik transformasional sebagaimana dinyatakan oleh Injil dalam Lukas 4: 18-19.
9. Definisi dan ukuran kemiskinan menurut pola Participatory Wealth Ranking (PWR). Diintroduksi oleh Small Enterprises Foundation (SEF) dalam kaitan dengan Microcredit Summit Campaign. Kemiskinan didefinisikan dan diukur berdasarkan opini ataupun pandangan yang bersifat partisipatif dari masyarakat sendiri. Masyarakat yang memberi pendapat apa kemiskinan itu, apa ciri-ciri kelompok orang yang paling miskin, siapa orang miskin itu, bagaimana kita dapat mengenali seseorang itu miskin, apa yang membuat seseorang lebih baik keadaannya dari mereka yang paling miskin dan bagaimana gambaran orang yang mampu itu. Karena bersifat relatif, maka untuk daerah yang satu kemungkin akan berbeda ada menyangkut definisi dan ukuran miskin itu. Melalui penyortiran kartu, nantinya akan diperoleh penstrataan dari yang paling miskin, miskin, sedang sampai mampu.
Kajian Ulang: Mengapa Semakin Banyak Kampung-Kampung (Huta) yang mengalami Kemiskinan dan Pemiskinan Spiritual dan Sosial di Tanah Batak
Dari berbagai sudut pandang yang dipelajari dan dialami, baik dari segi sosial dalam kaitan dengan teori/pengalaman pengentasan kemiskinan, maupun dari segi teologis, politik dan ekonomi-bisnis-mentalitas, maka bisa dikaji berbagai kemungkinan-kemungkinan yang menjadi beberapa faktor yang menyebabkan banyaknya dijumpai kantong-kantong kemiskinan, boleh disebut ada ditemui di hampir seluruh kantong-kantong Kekristenan di Pintu Gerbang Timur Indonesia, sebagaimana tercermin pada ”bintik-bintik bulatan hitam” dan area warna merah dan kuning pada peta di atas adalah sebagai berikut :
(1) Faktor sosiologis: terjadinya ”brain-drain” dalam proses yang cukup lama terjadi. Adanya fenomena cara pandang orang Kristen yang tersentralisasi di Jawa/Jakarta dan kurangnya penekanan nasihat untuk bertanggung-jawab secara sosial terhadap kampung-halamannya. Brain drain yang sudah cukup berlangsung cukup lama, bisa dijadikan alasan mengapa banyak kantong kemiskinan tersebut. Seperti sudah banyak diketahui umum, bahwa Tanah Batak banyak ”keluar” orang pandai, berintelektual tinggi, dan sukses di perantauan (meskipun yang gagal juga banyak). Keberhasilan yang dimaksud di sini, adalah keberhasilan bukan saja dalam hal materi; namun juga dalam hal pertumbuhan iman menuju kedewasaan (Ef. 4: 13), cara pandang dan etika yang terus diperbaharui, di bidang kesehatan dan daya-emphaty dalam melayani bagi yang membutuhkan.
Historisnya, demi mencari peruntungan yang lebih baik, sejak sebelum Merdeka 1945 ingga puncaknya di era tahun 1960-80an banyak pemuda/pemudi dari bonapasogit, meninggalkan ”kampungnya”. Rata-rata migrasi orang Batak, bisa melalui tembak langsung (umumnya ke Jawa) sejak tahun 20-an. Biasanya lewat jalur sekolah, ada yang ke Jakarta (Stovia), ada yang ke Solo, Yogya, Bandung dan sebagainya. Migrasi langsung dari orang-orang Batak pertama, kemudian diikuti dengan komunitas-komunitas lainnya. Mereka yang berasal dari Padang Sidempuan (dari marga Siregar, Harahap, Nasution, Lubis, Hasibuan) dan sekitarnya, serta dari Tarutung (dari marga Tobing, Sitompul, Hutabarat, Hutagalung) dan seterusnya, merupakan orang-orang Batak yang tercatat pertama melakukan migrasi ke Pulau Jawa umumnya. Fakta ini bisa dibuat lebih rinci menurut kajian sejarah.
Migrasi lainnya pada sekitar tahun 30-40an, adalah melalui migrasi tidak langsung. Banyak orang Batak dari Tanah Batak pada jaman Pra Kemerdekaan, merantau ke Simalungun. Ke Pematang Siantar, Tanah Jawa, daerah Sumatera Timur; bekerja di perkebunan-perkebunan afdeling yang diadministrasi masih oleh Belanda atau Inggris. Dari sana berkembang sampai ke kota Medan, Rantau Prapat, Bagan Batu, Kota 50 sampai ke Riau, Jambi, Palembang dan seterusnya. Selain menjadi kerani, mereka juga banyak terjun di bidang keagenan, jasa, theologia, usaha-usaha mikro, dan lain sebagainya. Fakta sejarah ini pun bisa dirinci lebih jauh.
Kedua jenis migrasi membuat orang Batak, ada yang segera ”jadi orang”, ada juga yang tidak. Kalaupun sudah ”jadi orang”, namun nyatanya sedikit sekali yang mau kembali ke tanah asal untuk membantu membangun bonapasogit. Seolah sudah ”lupa” begitu. Cara pandang ini berbeda sekali misalnya dengan orang Jawa, Sunda atau Minang misalnya yang bergairah sekali untuk pulang kampung alias mudik terutama di hari raya sejak jaman dahulu kala, dengan membawa apa saja yang bisa mereka bawa untuk kampung halamannya. Berkenaan dengan hal ini, sekali lagi dikemukakan ada beberapa pandangan yang bermaksud menjelaskan secara filosofis. (a) Orang-orang dari wilayah ini cendrung memiliki cara pandang tersentralisasi di Jawa/Jakarta saja, tidak sama bila dibanding orang Jawa, Sunda atau Minang yang lebih berpandangan lokal atau lokalitan. Kalau cara berpikir orang-orang Batak tersebut itu ”outward looking” (melihat keluar), berfalsafah ”di mana tanah diinjak maka tanah itu dapat menjadi tanah airnya yang baru”, maka cara berpikir orang Jawa ”inward looking” disertai falsafah ”mangan ora mangan asal kumpul” yang membuat arus mudik begitu luar biasa tiap hari raya pulang untuk kumpul di kampung halamannya, dan (b) Orang-orang Batak di wilayah tersebut rata-rata cendrung pantang pulang kampung, apabila belum ”jadi orang” atau menjadi orang yang berhasil dalam pengertian secara adat istiadat mereka. Sikap ini berekses, kalaupun si anak akan pulang kampung bukan untuk motif membangun kampung halaman, melainkan hanya untuk ”menunjukkan kesuksesan” atau katakalah ”show of force” bahwa ia sudah berhasil tanpa disertai keharusan kewajiban moral atau tanggung-jawab sosial untuk membangun kampungnya. Mengapa ini terjadi? Karena pesan moral-sosial ini mungkin kurang dikumandangkan oleh para orang tua kepada anak-anaknya (ingat habit orang Yahudi dalam menitip pesan untuk anak-anaknya, dalam Jews Custom). Mungkin lebih banyak orang-tua yang menasihati anak-anaknya, ”jadilah berhasil kamu di perantauan” namun tanpa menekankan nasihat lain ”jadilah orang berguna bagi kampung halamanmu sendiri”, sehingga si anak berpikir pun tidak untuk membangun kampung. Dalam keluarga pun, banyak keluarga di perantauan sudah tidak mengajarkan lagi bahasa ibu (bahasa Batak) kepada anak-anaknya. Lebih suka bila si anak disuruh belajar bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Jepang, bahasa Mandarin), bahkan bahasa komputer (Cobol, Fortran, JavaScript, dan aplikasinya WS, Excell, Sympohony, MS Word, Power Point dst) ketimbang memakai bahasa sendiri (bahasa Batak). Pragmatisme disertai motif tujuan-tujuan ekonomi lebih besar ketimbang upaya untuk mempertahankan nilai-nilai sosiologis, budaya dan filosofis Orang Batak. Pernikahan-pernikahan antar suku, antar budaya yang terjadi perantauan, turut menyurutkan sistem nilai dan kecintaan generasi-generasi paska tahun 20-40 an pada sistem socio-budaya Batak. Kemiskinan dan pemiskinan akan budaya ethnis sendiri ini, menjadi salah satu faktor penting mengapa Tanah Batak tidak banyak berkembang.
(2) Faktor kesalahan kita (baca: dosa kita), masalah spiritualitas. Berdasarkan Kejadian pasal 3, kejatuhan manusia dalam dosa, menyebabkan keterpisahan dengan TUHAN yang ditandai dengan terkutuknya tanah serta makin susah-payahnya manusia mencari rezeki dari tanah seumur hidup (3:18-19). Besar kemungkinan kemiskinan yang melanda kantong-kantong Kekristenan, disebabkan dosa dan perbuatan dosa yang belum atau tidak diakui di hadapan TUHAN. Dosa berarti absennya atau hilangnya kemuliaan Allah, bergesernya tujuan hidup manusia dari tujuan dan kehendak Allah dalam menciptakan kita sebagai manusia orang percaya. Dosa adalah pelanggaran terhadap hukum-hukum TUHAN (1 Yoh 3:4). Semakin kita berdosa, semakin terkutuk tanah tempat kita hidup. Berdosa atau perbuatan dosa diartikan sebagai tahu bagaimana harus berbuat baik, namun tidak melakukannya (Yakobus 4: 17). Gambaran perbuatan dosa tercermin jelas dalam Gal. 5: 19-20 dalam istilah perbuatan daging, seperti: sihir, penyembahan berhala, perzinahan (perselingkuhan), percabulan, pertengkaran, dlsb yang mengakibatkan berbagai macam kesusahan.
(3) Faktor diijinkan terjadi oleh Tuhan. Kemiskinan, sengsara, sakit-penyakit, bencana alam seperti gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor bahkan tsunami seperti yang baru-baru terjadi; bisa dialami manusia mungkin dikarenakan adanya ijin Tuhan; misalnya lewat upaya musuh (iblis) atas hidup orang beriman. Seperti halnya Ayub mengalami semua itu, menghadapi cobaan iblis yang memiskinkan dia dan memeranakan hidupnya, dijadikan Tuhan sebagai batu ujian untuk menguji kemurnian iman dan kesetiaannya pada Allah. Begitu juga dengan kantong-kantong kemiskinan atau kantong-kantong Kekristenan yang mengalami hal ini, bisa dianggap sebagai cobaan musuh kita yang dipergunakan Allah untuk mengingatkan kita, menguji kita sampai di mana kesetiaan kita kepadaNya dan firmanNya. Kalau tidak ada masalah dengan kantong-kantong Kekristenan atau kantong kemiskinan di wilayah kita, mungkin kita segera lupa akan Dia!
(4) Faktor kemalasan dan kelemahan mentalitas. Ini bisa menjadi faktor penyebab kantong kemiskinan. Kurangnya kekuatan mental, niat, etika serta motivasi untuk pantang menyerah menggarap lahan menjadi faktor mengapa banyak lahan garapan di kantong-kantong huta Tanah Batak yang terbengkalai. Mentalitas yang sudah menjadi pemahaman umum, bahwa orang Batak sering punya perangai ”late, teal, elat” menjadi kendala tersendiri untuk memajukan Tanah Batak, komunitas Batak dalam kebersamaan. Mestinya perlu instrospeksi dan buka hati dan pikiran, tidak menyalahkan yang lain, bertanya mengapa lahan atau wilayah daerah lain bisa subur, sedang kita mengalami kegersangan dan rendah produktivitas. Ada stigma bahwa pria Batak atau laki-laki Batak umumnya malas. Tidak cepat, tepat dan produktif-sinergis dalam bertindak. Lebih senang untuk nongkrong di lapo, main gitar sampai jauh malam, judi, mabuk, dlsb. Lebih suka bicara (talkative) ketimbang kerja dalam pengertian fisik, aktif di acara-acara adat, dst. Sedang perempuan Batak, boru Batak umumnya lebih berdaya, tangguh dan terpercaya (jadi tidak perlu lagi ada program pemberdayaan perempuan), meski perannya tidak menonjol dalam komunitas yang berpola patrinial. Namun sebagai ”orang belakag” kuat bekerja di lahan tani, sambil menggendong anak, kalau perlu sambil ”marengge-rengge” dilakoni. Anak banyak bisa diasuh dengan baik, anak-anak pun banyak yang ”jadi orang” itu bukan karena peran bapaknya, tapi mamaknya, inang pangitubu. Sebab itulah, pujian kepada mamak (Inang), baik dalam lagu, dalam kata, dalam bayangan, sangat bergaung di hati dan pikiran anak-anak Batak terutama tatkala di perantauan. Jarang hal itu ditujukan kepada kaum-kaum Bapak orang Batak. Begitu stigma yang ada, untuk hal ini sudah banyak yang membahas.
Jika mengacu pada Alkitab, bukankah kitab Amsal misalnya menasihati pentingnya mentalitas produktif, taat, sabar, arif, berpikir-panjang serta rajin seperti semut, karena karena kemalasan dan kelemahan mentalitas akan membawa kepada kemiskinan dan pemiskinan, bukan hanya pada aspek sosial secara luas, tapi juga aspek spiritual.
(5) Faktor kebodohan. Kemiskinan kreativiatas, kemiskinan gagasan dan ide-ide cemerlang dari orang-orang Batak dewasa ini bisa membuat hidup dan lingkungan kehidupan kita dan daerah-daerah komunitas Batak/Tanah Batak menjadi tak bergerak, mediocre, bahkan semakin terpuruk dan tertinggal. Kejenuhan nasehat, rasa puas diri dan perasaan mapan membuat sering ada keengganan, tidak mau belajar lagi lalu mengalami kemiskinan sekaligus pemiskinan. Demikian pun akibat langkanya sarana/prasarana pendidikan yang berkualitas. Pola pendidikan nasional yang lebih berorientasi teori ketimbang praksis, teori dan kejuruan, turut membuat pengembangan masyarakat di basis menjadi tidak menentu. Pemahaman ilmu dari praktek ke teori sangat sedikit dipunyai. Kebanyakan hanya dari teori ke teori. Sehingga disitir, banyak memakai bahasa langit, tidak down to earth. Ini berbeda sekali dengan sistem pendidikan di komunitas masyarakat maju macam di Jepang, US atau Jerman. Di Jerman misalnya, pendidikan praktek di tingkat praksis seperti pendidikan Industrie Kaufmann misalnya, dihargai dan diinsentip sama besarnya; bahkan bisa lebih tinggi dibandingkan pendidikan akademik maupun pendidikan profesi (profesional). Mengenai hal ini bisa dibahas lebih mendalam, berikut contoh-contoh yang kongrit di lapangan. Amsal pasal 1-3 menyiratkan takut akan Tuhan adalah permulaan dari pengetahuian (1:7), kepandaian (bukan kepintaran, ada nuansa pengalaman di dalamnya), membawa kepada kekayaan dan kehormatan; kebodohan membawa kepada kemiskinan.
(6) Faktor sikap pasrah nasib yang salah. Ini bisa saja terjadi di kalangan kita sebagai orang Batak. Sikap melankolis, apatis, skeptis lalu pasrah menjadi sikap yang keliru, akibat kurangnya sikap pengharapan, optimis; juga cara pandang iman yang salah terhadap rencana TUHAN. Percaya keliru terhadap ”takdir nasib” yang harus diterima secara melankolis sebagai takdir nasib duniawi atau manusiawi, dan bukan takdir daripada Tuhan yang sesungguhnya menginginkan hidup kita menjadi berkat dan menjadi garam dan terang dunia (Mat 5: 13-16).
(7) Faktor politis: dimiskinkan atau dizalimi oleh si “kuat”. Faktor ini kerapkali terjadi, apalagi di negara-negara yang belum berkembang, termasuk yang bernuansa radikalisasi agama tertentu. Satu daerah menjadi miskin bukan karena mereka tidak mampu sehingga jadi miskin, tapi memang karena dimiskinkan. Dibuat policy untuk akhirnya jadi miskin alias dizalimi oleh si ”kuat” atau mayoritas. Si kuat, bisa berarti penguasa atau elite di bidang apa saja (pemerintahan, militer, kepolisian, departemen, BUMN, konglomerat, NGO gurita dan arogan – gurita lama maupun baru, yang berorientasi cari untung, dsb), pihak-pihak yang tidak menyukai etnis tertentu, termasuk orang Batak tentunya, jadi maju karena kalau jadi maju akan berpotensi membuat persoalan bagi ”si penguasa” tadi, dlsb. Karena orang Batak dikenal cukup pintar (asal jangan keminter, sok tahu), maka komunitas etnis Batak dipanadng jangan boleh diberi akses terlalu banyak apalagi menjadi top pimpinan, termasuk dalam hal segi akses suplai informasi, akses anggaran (funding), akses keagenan-brokerage, akses jabatan dan kedudukan (power), dll. Apalagi karena orang Batak itu ada salibnya (maksudnya: Salib Kristus). Ditengarai ada tiga kekuatan besar di Indonesia dewasa ini, yang selalu berlomba untuk mengadu kekuatan: Javanisasi, yang berkutat pada kenyataan sejarah hegemoni dari jaman Kalingga, Singosari, Majapahit sampai Mataram yang berpusat di Jawa Tengah/Yogya dan Solo; Globalisasi yang berorientasi pada kepentingan hegemoni global dengan merek-merek IMF, IFC, Bank Dunia, Iluminatie, Lobby Yahudi, dsb; Islamisasi yang berorientasi kini pada kepentingan menjadikan Negara Internasional Islam (NII) untuk menghadapi serangan gencar Globalisasi AS dan negara-negara Eropa. Kekuatan Sosialis-Marxis-Komunis ditengarai sejak robohnya Tembok Berlin ditengarai mengalami kegamangan dan sedang mencari bentuknya yang baru, untuk meneruskan perjuangan, baik versi Moskow, versi Eropa Timur maupun versi Beijing PRC, disertai kelompok-kelompok tanpa bentuk yang ada di semua lini masyarakat egalitarian. Singkatnya, adu kekuatan ini tentu berakibat rakyat kecil yang mejadi korban; Masyarakat miskin karena ketamakan akan kekuasaan, perilaku korup (KKN) dari para elite pemimpinnya, karena opressi, kerusuhan, perang saudara, teror dan violenisme.
(8) Faktor ekonomi-bisnis-komersial: akses yang terbatas (finansial, skills, jejaring, selling, etc). Berbagai penelitian menyatakan, faktor akses finansial, skills/pemberdayaan (empowerment), jejaring, dsb sangat menentukan satu daerah bisa ”naik kelas” dari tadinya pra-sejahtera (miskin) ditransformasi ke dalam masyarkat/keluarga sejahtera I atau II. Namun bila tidak ada akses-akses ini, secara ekonomi aktivitas daerah akan terhambat, macet tanpa pertumbuhan; bahkan yang ada adalah kemunduran. Tanah Batak mungkin saja mengalami pemunduran. Akses-akses tersebut lebih banyak hanya diterima di daerah perkotaan, di kota-kota besar saja terhadap pengusaha yang hanya itu-itu saja. Akses-akses berupa pelabuhan, airport, market-distruting center, sentra industri bila itu tidak ada di Tanah Batak, tidak akan menjadikan daerah ini maju dengan pesat.
(Berlanjut ke Bagian IV).
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Wednesday, May 17, 2006
Kemiskinan & Pemiskinan spiritual dan sosial di Tanah Batak: bagaimana mencermati penanggulangannya? (4)
Kekeliruan atau Moral-Hazard yang Sering Terjadi pada Pelaku Pembangunan termasuk di Tanah Batak
Seperti telah diuraikan pada Bagian sebelumnya, upaya pelayanan (ministry), pembangunan atau development baik di bidang spiritual maupun bidang-bidang sosial-ekonomi-politik bukannya tidak ada. Sudah banyak sekali! Dengan berbagai slogan (orang kita senang sekali punya slogan; ditulis besar-besar. Dibuat di atas spanduk. Diucapkan bersama setiap upacara. Namun, pada kenyataannya jarang sekali dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari). Bahasa filsafat-theologinya, punya semangat religiositas yang besar namun defisit dalam persoalan spiritualitas dan theologi). Dengan melibatkan cukup banyak pihak. Gubernur, bupati, elit-elit politik, mobilisator gerakan, peneliti, akademisi, pengusaha, kontraktor, leveransir, polisi, militer, tokoh koperasi dsb. Namun, toh tidak ada perubahan yang berarti di Tanah Batak.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal kan di antara pelaku pembangunan tidak kekurangan banyak orang pintar ada di sana. Punya orang yang spesialis, bahkan super-spesialisasi terlibat. Melibatkan juga orang yang punya kuasa, punya uang. Namun kenapa juga gagal. Tidak ada perubahan yang berarti. Tidak ada transformasi. Orang miskin bertambah banyak kian hari. Di Tanah Batak, yang terpuruk, menganggur dan termarjinalisasi makin menyeruak.
Ditengarai, beberapa kekeliruan mendasar, bentuk mal praktek atau moral hazard telah dilakukan berulang-ulang oleh pelaku pembangunan, pejabat eksekutif, perencana daerah, legislatif, yudikatif, BUMN, BUMD, swasta, koperasi termasuk pers dan kelompok-kelompok masyarakat yang dulu masih berstatus ”floating mass”.
Beberapa kesalahan atau kekeliruan mendasar dari pelaku yang membangun daerah termasuk Tanah Batak, antara lain, adalah :
• (1) Pendekatan pembangunan tidak pernah memakai perspektif pelayanan pembangunan yang holistik. Pendekatan yang dipakai selalu sebagian-sebagian (parsial). Meski jika ngomong, selalu mengatakan itu sudah komprehensif, sudah integratif – terpadu. Namun kenyataan di lapangan, jarang sekali pelaku pembangunan utama pernah melihat kebutuhan orang Batak di Tanah Batak itu secara utuh dalam merancang programnya. Menyangkut kebutuhan spiritual, seni, intelektual, politikal, etika-kreasi-moral, ekonomi-mental, fisik-biologikal, emosional dan emphaty-sosial. Pelaku pembangunan dalam sejarah hanya banyak bermotifkan atau berorientasi kepada motif ekonomi bermentalkan pragmatis dan ”ingin serba cepat dan instant” (mentalitas brokerage), untuk memuaskan kebutuhan ekonomi-mental. Tanggung-jawabnya bukan ditujukan kepada kepentingan publik atau rakyat sebagai customers, consumers, namun ditujukan kepada pada donor pemberi pinjaman, pemberi utang. IMF, Bank Dunia, ADB, IFC dlsb. Akuntabilitasnya ke atas, bukan ke bawah.
• (2) Inilah buah globalisasi dengan perkembangan iptek dan ilmu ekonomi-keuangan-industri yang begitu kuat sejak Rennaissance di abad 13, berlanjut di masa Enlightenment (Pencerahan) Eropa Barat abad 18 dan jaman modern sampai akhir abad ke-20 di AS dan Eropa. Cara pandang global ini, otomatis menelantarkan cara pandang lokal dengan segala kebutuhannya yang unik dan customized. Ekonomi-mental maju, intelektual maju (orang Batak cukup rasional), namun segi-segi lain seperti soal kerohanian, seni, politik yang beretika-bermoral (karakter), kondisi fisik-biologis, emosi dan rasa emphaty sosial dalam toleransi dengan sesama saudara & manusia kurang berkembang. Terasa ketinggalan! Motif ekonomi dan motif intelektual terlalu menonjol. Tidak heran bila yang dicari sejatinya hanya untuk dapat untung dan manfaat, serta kenikmatan dalam berdebat untuk saling ukur kemampuan intelektualitas !! Standardisasi, homogenitas produk, kontrol dan monev (monitoring & evaluation), good-governance menjadi tools ampuh untuk globalisasi. Hal-hal yang bernuansa kerohanian (spiritualitas, aura, taksu), arts atau seni, moral-etika-karakter kepribadian, emosi (perasaan, feel, emphaty) dan sense sosial yang menjadi ciri dari Christian Spirituality dan pola-pola agama-agama Timur macam Hindu, Budha, Kepercayaan pada Tuhan YME (Kejawen, Pangestu) yang menjadi platform kerajaan-kerajaan di Jawa (baca: Javanisasi) acap kali dianggap remeh, bukan merupakan elemen dan prioritas penting dalam hidup. Karena itulah, terjadi defisit kerohanian yang bukan main besarnya pada jaman sekarang – memasuki era abad ke-21 ini. Aura kerohanian atau spiritualias Kristen jarang lagi bisa dirasakan di masa kini. Masyarakat kini termasuk Tanah Batak sedang mengalami kelaparan rohani, kelaparan rohani yang makin tinggi. Meski dinilai belum mencapai puncak atau ”peak”nya; namun dipercaya akan datang waktunya ”tingkat kelaparan rohani” yang paling tinggi akan tiba. Jika ditelisik kitab PL, seperti jaman bani Israel di Gosen, Mesir di kitab Keluaran dan jaman Naomi dan Rut di kitab Rut misalnya, maka kelaparan jasmani (famine) seringkali mendahului terjadinya kelaparan rohani yang teramat sangat. Kelaparan ini akan sangat mempengaruhi seluruh tatanan kehidupan: alam (material lingkungan eko-system, tumbuhan, hewan, fisik jasmani manusia, mental-jiwa dan kerohanian manusia).
• (3) Kembali ke motif ekonomi - tidak lepas dari motif ini serta mentalitas ”broker” seperti diuraikan sebelumnya, pelaku pembangunan (eksekutif, birokrat, legislatif, hukum, LSM, mahasiswa, pers/media, peneliti, perencana, pengusaha, koperasi, banker dsb), selama ini selalu memaknai upaya membangun atau mentransformasi daerah sebagai ”suatu proyek”, lahan bisnis untuk ngobyek. Dari tingkat proyek besar hingga tingkat moco-moco. Dikenal lah mulai istilah ”calo proyek”, makelaar, broker, agent/consulting agent, mediator, konektor, sampai kepada istilah keren ”management services”. Namun semua itu umumnya demi tujuan2 jangka pendek – keuntungan pribadi ”aji mumpung”, jarang berpikir untuk tujuan jangka panjang 20-50 tahun ke depan. Filosofinya kurang lebih ”jika bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah...”. ”Tembak saja (maksudnya sogok saja), toh nanti dimasukkan dalam biaya proyek”. Karena filosofi dan perilaku yang seperti ini, jarang suatu proyek atau program akan membawa dampak kemajuan yang signifikan di suatu daerah. Proyek direkayasa hanya untuk wahana bagi-bagi kue. Tidak pernah dipikirkan sedikitpun, bagaimana orang-orang miskin di tingkat komunitas basis bisa ditingkatkan kemajuannya, mengalami perubahan yang transformatif sehingga memajukan komunitas dan masyarakat menuju tingkat kesejahteraan yang berarti.
• (4) Panggilan atau calling untuk mentransformasi Tanah Batak, dinilai suatu anugerah dari Tuhan, bukan sekadar efforts dari manusia. Jika itu bertolak dari kebutuhan hidup si pelaku pembangunan sendiri, maka pelaku terjebak pada persoalan tuntutan hidup, bukan panggilan hidup dari Tuhan. Persoalan tuntutan hidup ini termasuk bagi orang Batak Diaspora (di perantauan), tidak akan bisa memberi solusi pada transformasi Tanah Batak. ”Boro-boro” untuk memikirkan bona pasogit, hidup di rantau saja sudah sangat sulit. Syukur-syukur bisa hidup. Untuk mikirkan bona pasogit atau komunitas Batak, maaf dulu lah (”Emang gua pikirin”). Tingkatan kehidupan seperti ini, ditengarai tidak akan bisa mampu memprakarsai suatu langkah transformasi. Tidaklah mungkin untuk mengentaskan kemiskinan spiritual dan sosial di Tanah Batak, apabila pelaku-pelaku transformasi masih hidup dalam kondisi miskin rohani dan sosial pula. Bukan ”development for the poor” tetapi ”development from the poor”. Ini mustahil. Orang miskin mau mengentaskan kemiskinan dan pemiskinan yang dialami orang miskin. Yang hanya mungkin, adalah apabila orang yang telah mengalami transformasi kehidupan secara seutuhnya (di bidang iman-kerohanian – pola hidup bersyukur dan memuliakan Tuhan, bidang paradigma dan cara pandang, bidang keuangan, kesehatan dan emphaty pelayanan diakoni-sosial) mulai mengubahkan orang miskin baik spiritual maupun sosial di sekelilingnya sehingga yang tadinya berada pada tahap ”harus ditolong” kini bisa ”berdiri sendiri” dan kemudian ”mulai menolong orang lain pula”. Tentulah transformasi memiliki tahapan-tahapan yang jelas, sistemik dan sistematik, serta ada indikator-indikator atau ukuran-ukurannya yang bisa dilihat dan dirasakan untuk setiap fase transformasi yang terjadi.
• (5) Para pelaku umumnya tidak punya komitmen bersama yang disetujui bersama saat merencanakan pembangunan daerah atau komunitas (Tanah Batak). Tidak atau belum ”alignment” atau ”spooring”, belum sepaham, namun sudah mau keburu jalan sendiri-sendiri; walhasil upaya terlalu cepat dipublikasikan dan dijalankan; jadinya patah di tengah jalan; tidak mendapat dukungan yang optimal dari berbagai pihak. Pelaku pembangunan sejatinya jarang yang memiliki semangat komunal (berdinamika kelompok kecil) yang baik. Kurang memiliki akuntabilitas yang baik di ranah publik, sekaligus bisa diterima dengan jujur dan berintegritas pada suara hati nuraninya sendiri dalam ranah individu. Pelaku pembangunan lebih sering hanya mengikuti kata hati nya sendiri secara individual. Kata hati yang lebih cendrung kepada ”nafsu” untuk main libas, main terjang; bermotifkan ketamakan, sifat rakus dan kemaruk. Kemaruk jabatan, uang, kekuasaan termasuk seks. Akibatnya tidak mengindahkan lawan bicara dalam kaukus, kelompok kecil, rescue group dan lingkar dalam teman sendiri. Cendrung kurang menghargai orang lain, meski pun orang-orang yang menasehati sebenarnya tidak punya vested-interest apa-apa. Tetapi kecurigaan intelektualitas disertai dengan kemaruk ekonomi, membuat rasa penghargaan pada orang lain terasa sangat kurang alias defisit. Rata-rata orang yang mau terlibat membangun daerah (Tanah Batak), dinilai motivasi dasarnya untuk cari nama (agar bisa dikenang, dan disanjung dari sekarang hingga anak-cucu), cari kedudukan dan cari uang; jarang yang benar-benar punya mental agen transformasi/agen perubahan yang berasaskan motivasi melayani secara sungguh-sungguh dan serius, sehingga soal nama, kedudukan dan uang berada di prioritas paling belakang.
• (6) Faktor sejarah tidak bisa disangkal. Ia membuktikan, bahwa jarang sekali pelaku yang merupakan putera daerah sendiri sanggup membangun daerahnya sendiri. Analogi di luar Batak bisa disebut. Mana ada orang Betawi yang bisa membangun Jakarta dari tempo doeloe sampai sekarang? Yang bangun Singapura itu siapa? Kan bukan orang asli Singapura (orang Melayu)? Tapi orang Inggris, Sir Stanford Raffles. Jepang dibangun karena apa? Karena ada Restorasi Meiji, lalu hengkang besar-besaran generasi awal abad 20 ke AS untuk belajar dan meniru, kemudian ada Marshall Plan yang diprakarsai oleh AS. Jadilah Jepang sekarang. Dari thesis ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa akan punya kemungkinan kecil sekali bahkan mungkin mustahil, bila putera daerah Batak sendiri akan mampu membangun daerahnya sendiri. Sedikit menyimpang sebagai analog; Yesus sendiri berkata: ”Kamulah garam dan terang dunia” (Mat. 5: 13-15). Garam berasal dari mana? Kan dari laut. Terang berasal dari mana? Kan bukan berasal dari dunia (bumi) sendiri, tapi dari terang Matahari yang berasal dari luar bumi. Untuk menggarami dan menerangi bumi (daratan), perlu unsur-unsur meski tidak banyak yang berasal dari luar daratan (garam laut) dan luar bumi (terang Matahari).
Kalau dipikir, ekonomi bisnis dan perdagangan Indonesia selama beberapa dekade ini yang bangun siapa sich? Apa bisa dan nyata diperani oleh para pengusaha pribumi atau bumi putera. Kan tidak. Orang-orang pendatang non-pribumi seperti orang Cina, orang India dan orang Arab yang sangat berperan dalam dunia perdagangan di Indonesia. Pengusaha pribumi, sedikit sekali. Paling hanya berasal dari BBM (Bugis, Buton, Makassar), Minang atau Padang, Melayu, Madura, Jawa, Bali dan sedikit orang Batak. Jadi untuk mentransformasi suatu daerah, penting sekali peranan orang luar (outsiders) sebagai penggerak atau agent of change. Tanpa orang luar, sulit sekali suatu daerah akan mampu dibangun dan dikembangkan, spiritual dan sosial.
• (7) Tanah Batak atau Tapanuli sendiri mulai bangkit dari keterbelakangannya, secara historis adalah sejak para missionaris datang ke Tanah Batak (ditetapkan mulai 7 Oktober 1861, melalui misi RMG Jerman). Beberapa kali tim misi/ missionaris itu gagal dalam misi, terbunuh di tanah Batak. Sampai kemudian Ludwig Nommensen, yang dikenal dengan Rasul Batak berhasil dalam misinya di Tanah Batak. Sejak tiga orang Batak dibaptis pertama kali, maka Tanah Batak berhasil dijangkau oleh Injil. Dan sejak Injil masuk ke Tanah Batak, berbagai aspek kehidupan dan peradaban orang Batak mengalami kemajuan yang menonjol: kerohanian atau soal KeTuhanan, pendidikan, kesehatan serta usaha pertanian/perkebunan (agriculture, horticulture). Ia memperkenalkan groups of subjects dalam kurikulum pendidikan modern yang sangat penting kepada orang Batak, yaitu groups of Sciences, Humanity & Social Behaviour. Filosofi Nommensen cukup sederhana. Untuk membawa Tapanuli kepada kehidupan rohani yang dewasa, mestilah didirikan Gereja. Agar putera Batak memiliki jiwa yang pandai, sekolah perlu didirikan. Agar memiliki mata-percaharian yang layak, putera Batak harus bekerja/berusaha disesuaikan dengan potensi alam Tanah Batak; dibuatlah pusat pertanian. Dan untuk bekerja haruslah memiliki badan yang sehat, tidak sakit-sakitan. Maka perlu didirikan rumah sakit. Empat kombinasi program ini menjadi prioritas program Nommensen dalam menjalankan misinya: Gereja, Sekolah, Pusat Pertanian dan Rumah Sakit. Dalam waktu yang tidak lama, 3-4 dekade, sudah sangat terasa perubahan yang sangat positip, suatu terobosan yang dialami oleh Tanah Batak/Masyarakat Batak sejak kedatangan misi Nommensen. Oleh karena itu, pantaslah disebut Tanah Batak dengan kedatangan Nommenssen, mengalami apa yang disebut ”The First Batak Revival”(”Kebangkitan Tanah Batak/Komunitas Batak Pertama”) pada Tahun 1861.
• (8) Hal-hal yang bermuatan dan bernuansa rohani seperti berdoa (doa syafaat dan gerakan doa bersama), devosi-refleksi atau saat teduh, PA (bible-study), nyanyian puja dan penyembahan (praise & worship), ibadah keluarga, spirit dan komitmen memberi serta melayani (servanthood mentality) pada beberapa dekade terakhir, sangat jarang menjadi muatan penting dalam pembangunan daerah – Tanah Batak. Yang terjadi kerap kali, di dikotomikan antara aktivitas program kerohanian dengan aktivitas pembangunan (fisik, politik, pendidikan, dst). Seakan dualisme Plato masih terus dilestarikan. Masalah rohani tidak boleh terlalu dekat dikaitkan dengan masalah duniawi, masalah jasmaniah. Akibatnya, ketimpangan-ketimpangan terjadi dalam pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan. Ketika berjalan dengan implementasi fisik, masalah kerohanian tidak diperhatikan. Segan dibilang ”terlalu rohani atau sakral”. Di saat lain, ketika berjalan dengan program spiritual (KKR, doa, pembinaan iman, dll), program pembangunan yang bersifat fisik, infrastruktur, sosial seolah berada jauh di luar sana, menjadi sekadar pelengkap tambahan saja – karena dinilai ”kurang rohani”. Padahal, jarang diingat bahwa Bapak Reformator Protestant khususnya Luther pernah berkata ”Doa adalah setengah dari keberhasilan suatu pekerjaan”. Prinsip ”Ora Et Labora” menjadi penting. Namun, pentingnya kadangkala hanya dalam khotbah dan slogan saja; tidak diimplementasikan secara serius. Doa kadangkala menjadi persoalan pribadi atau individu saja. Padahal dalam Alkitab seperti dalam konteks PL misalnya, doa seringkali dikaitkan dengan kebersamaan, unity, corporate, dilakukan secara bersama-sama dengan sehati dan sikap yang merendahkan diri secara bersama di hadapan Tuhan, tidak melulu sendiri-sendiri. Contoh 2 Tawarikh 7: 14 ”Dan umatKu ... berdoa dan merendahkan diri.... Aku akan memulihkan negeri mereka”. Doa yang dilakukan secara bersama, dalam gelombang dan kegerakan yang sama, sangat penting dilakukan untuk recovery, pemulihan suatu negeri, suatu daerah. Jika menginginkan Tanah Batak dibangun, hal pertama yang sangat penting mesti dilakukan adalah kebutuhan akan dorongan doa yang bergerak secara bersama – gerakan doa khusus untuk Tanah Batak, Komunitas Batak! Gerakan doa menjadi prasyarat mutlak akan terjadinya ”The Second Batak Revival” sesuai dengan perkenanan, waktu dan anugerah Tuhan semata. Pertanyaannya: adakah orang-orang Batak, mereka yang berasal dari etnis Batak secara bersama, dalam gelombang yang sama, sudah mulai menaikkan doa secara bersama bagi pemulihan, pengembangan dan kemajuan Tanah Batak.
Nah, Kini Tiba Saatnya – Bagaimana Kita Secara Bersama Bisa Mencermati Penanggulangan Kemiskinan & Pemiskinan Spiritual dan Sosial yang Terjadi di Tanah Batak
Dari sekian banyak uraian panjang-lebar mengenai sejumlah fenomena kemiskinan dan pemiskinan spiritual dan sosial di Tanah Batak ini, kini tentunya kita mulai bisa mendapat perspektif tentang bagaimana mencermati penanggulangannya: kini dan ke depan.
Tentunya yang kita harapkan, adalah perspektif baru yang mampu mengedepankan pendekatan-pendekatan yang transformatif, bersifat menerobos kebuntuan (”breakthrough”) dan bersifat mencerahkan. Yang bukan sekadar mampu untuk membangun, namun mampu pula mempertemukan ”hati Allah” yang merupakan titik-awal dari misi, dengan ”ragam kebutuhan yang dirasakan” dari umumnya orang Batak di Tanah Batak/komunitas Batak. Sehingga diharapkan bisa terjadi ”The Second Batak Revival” atau ”Revival Batak yang Kedua” yang mungkin bagi sebagian pihak sudah menjadi menjadi impian, doa, suatu obsesi dari wujud beban, visi, doa dan kasih-sayang bagi etnik Batak, orang Batak, Tanah Batak.. Komunitas Batak.
(Berlanjut ke Bagian V).
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Seperti telah diuraikan pada Bagian sebelumnya, upaya pelayanan (ministry), pembangunan atau development baik di bidang spiritual maupun bidang-bidang sosial-ekonomi-politik bukannya tidak ada. Sudah banyak sekali! Dengan berbagai slogan (orang kita senang sekali punya slogan; ditulis besar-besar. Dibuat di atas spanduk. Diucapkan bersama setiap upacara. Namun, pada kenyataannya jarang sekali dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari). Bahasa filsafat-theologinya, punya semangat religiositas yang besar namun defisit dalam persoalan spiritualitas dan theologi). Dengan melibatkan cukup banyak pihak. Gubernur, bupati, elit-elit politik, mobilisator gerakan, peneliti, akademisi, pengusaha, kontraktor, leveransir, polisi, militer, tokoh koperasi dsb. Namun, toh tidak ada perubahan yang berarti di Tanah Batak.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Padahal kan di antara pelaku pembangunan tidak kekurangan banyak orang pintar ada di sana. Punya orang yang spesialis, bahkan super-spesialisasi terlibat. Melibatkan juga orang yang punya kuasa, punya uang. Namun kenapa juga gagal. Tidak ada perubahan yang berarti. Tidak ada transformasi. Orang miskin bertambah banyak kian hari. Di Tanah Batak, yang terpuruk, menganggur dan termarjinalisasi makin menyeruak.
Ditengarai, beberapa kekeliruan mendasar, bentuk mal praktek atau moral hazard telah dilakukan berulang-ulang oleh pelaku pembangunan, pejabat eksekutif, perencana daerah, legislatif, yudikatif, BUMN, BUMD, swasta, koperasi termasuk pers dan kelompok-kelompok masyarakat yang dulu masih berstatus ”floating mass”.
Beberapa kesalahan atau kekeliruan mendasar dari pelaku yang membangun daerah termasuk Tanah Batak, antara lain, adalah :
• (1) Pendekatan pembangunan tidak pernah memakai perspektif pelayanan pembangunan yang holistik. Pendekatan yang dipakai selalu sebagian-sebagian (parsial). Meski jika ngomong, selalu mengatakan itu sudah komprehensif, sudah integratif – terpadu. Namun kenyataan di lapangan, jarang sekali pelaku pembangunan utama pernah melihat kebutuhan orang Batak di Tanah Batak itu secara utuh dalam merancang programnya. Menyangkut kebutuhan spiritual, seni, intelektual, politikal, etika-kreasi-moral, ekonomi-mental, fisik-biologikal, emosional dan emphaty-sosial. Pelaku pembangunan dalam sejarah hanya banyak bermotifkan atau berorientasi kepada motif ekonomi bermentalkan pragmatis dan ”ingin serba cepat dan instant” (mentalitas brokerage), untuk memuaskan kebutuhan ekonomi-mental. Tanggung-jawabnya bukan ditujukan kepada kepentingan publik atau rakyat sebagai customers, consumers, namun ditujukan kepada pada donor pemberi pinjaman, pemberi utang. IMF, Bank Dunia, ADB, IFC dlsb. Akuntabilitasnya ke atas, bukan ke bawah.
• (2) Inilah buah globalisasi dengan perkembangan iptek dan ilmu ekonomi-keuangan-industri yang begitu kuat sejak Rennaissance di abad 13, berlanjut di masa Enlightenment (Pencerahan) Eropa Barat abad 18 dan jaman modern sampai akhir abad ke-20 di AS dan Eropa. Cara pandang global ini, otomatis menelantarkan cara pandang lokal dengan segala kebutuhannya yang unik dan customized. Ekonomi-mental maju, intelektual maju (orang Batak cukup rasional), namun segi-segi lain seperti soal kerohanian, seni, politik yang beretika-bermoral (karakter), kondisi fisik-biologis, emosi dan rasa emphaty sosial dalam toleransi dengan sesama saudara & manusia kurang berkembang. Terasa ketinggalan! Motif ekonomi dan motif intelektual terlalu menonjol. Tidak heran bila yang dicari sejatinya hanya untuk dapat untung dan manfaat, serta kenikmatan dalam berdebat untuk saling ukur kemampuan intelektualitas !! Standardisasi, homogenitas produk, kontrol dan monev (monitoring & evaluation), good-governance menjadi tools ampuh untuk globalisasi. Hal-hal yang bernuansa kerohanian (spiritualitas, aura, taksu), arts atau seni, moral-etika-karakter kepribadian, emosi (perasaan, feel, emphaty) dan sense sosial yang menjadi ciri dari Christian Spirituality dan pola-pola agama-agama Timur macam Hindu, Budha, Kepercayaan pada Tuhan YME (Kejawen, Pangestu) yang menjadi platform kerajaan-kerajaan di Jawa (baca: Javanisasi) acap kali dianggap remeh, bukan merupakan elemen dan prioritas penting dalam hidup. Karena itulah, terjadi defisit kerohanian yang bukan main besarnya pada jaman sekarang – memasuki era abad ke-21 ini. Aura kerohanian atau spiritualias Kristen jarang lagi bisa dirasakan di masa kini. Masyarakat kini termasuk Tanah Batak sedang mengalami kelaparan rohani, kelaparan rohani yang makin tinggi. Meski dinilai belum mencapai puncak atau ”peak”nya; namun dipercaya akan datang waktunya ”tingkat kelaparan rohani” yang paling tinggi akan tiba. Jika ditelisik kitab PL, seperti jaman bani Israel di Gosen, Mesir di kitab Keluaran dan jaman Naomi dan Rut di kitab Rut misalnya, maka kelaparan jasmani (famine) seringkali mendahului terjadinya kelaparan rohani yang teramat sangat. Kelaparan ini akan sangat mempengaruhi seluruh tatanan kehidupan: alam (material lingkungan eko-system, tumbuhan, hewan, fisik jasmani manusia, mental-jiwa dan kerohanian manusia).
• (3) Kembali ke motif ekonomi - tidak lepas dari motif ini serta mentalitas ”broker” seperti diuraikan sebelumnya, pelaku pembangunan (eksekutif, birokrat, legislatif, hukum, LSM, mahasiswa, pers/media, peneliti, perencana, pengusaha, koperasi, banker dsb), selama ini selalu memaknai upaya membangun atau mentransformasi daerah sebagai ”suatu proyek”, lahan bisnis untuk ngobyek. Dari tingkat proyek besar hingga tingkat moco-moco. Dikenal lah mulai istilah ”calo proyek”, makelaar, broker, agent/consulting agent, mediator, konektor, sampai kepada istilah keren ”management services”. Namun semua itu umumnya demi tujuan2 jangka pendek – keuntungan pribadi ”aji mumpung”, jarang berpikir untuk tujuan jangka panjang 20-50 tahun ke depan. Filosofinya kurang lebih ”jika bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah...”. ”Tembak saja (maksudnya sogok saja), toh nanti dimasukkan dalam biaya proyek”. Karena filosofi dan perilaku yang seperti ini, jarang suatu proyek atau program akan membawa dampak kemajuan yang signifikan di suatu daerah. Proyek direkayasa hanya untuk wahana bagi-bagi kue. Tidak pernah dipikirkan sedikitpun, bagaimana orang-orang miskin di tingkat komunitas basis bisa ditingkatkan kemajuannya, mengalami perubahan yang transformatif sehingga memajukan komunitas dan masyarakat menuju tingkat kesejahteraan yang berarti.
• (4) Panggilan atau calling untuk mentransformasi Tanah Batak, dinilai suatu anugerah dari Tuhan, bukan sekadar efforts dari manusia. Jika itu bertolak dari kebutuhan hidup si pelaku pembangunan sendiri, maka pelaku terjebak pada persoalan tuntutan hidup, bukan panggilan hidup dari Tuhan. Persoalan tuntutan hidup ini termasuk bagi orang Batak Diaspora (di perantauan), tidak akan bisa memberi solusi pada transformasi Tanah Batak. ”Boro-boro” untuk memikirkan bona pasogit, hidup di rantau saja sudah sangat sulit. Syukur-syukur bisa hidup. Untuk mikirkan bona pasogit atau komunitas Batak, maaf dulu lah (”Emang gua pikirin”). Tingkatan kehidupan seperti ini, ditengarai tidak akan bisa mampu memprakarsai suatu langkah transformasi. Tidaklah mungkin untuk mengentaskan kemiskinan spiritual dan sosial di Tanah Batak, apabila pelaku-pelaku transformasi masih hidup dalam kondisi miskin rohani dan sosial pula. Bukan ”development for the poor” tetapi ”development from the poor”. Ini mustahil. Orang miskin mau mengentaskan kemiskinan dan pemiskinan yang dialami orang miskin. Yang hanya mungkin, adalah apabila orang yang telah mengalami transformasi kehidupan secara seutuhnya (di bidang iman-kerohanian – pola hidup bersyukur dan memuliakan Tuhan, bidang paradigma dan cara pandang, bidang keuangan, kesehatan dan emphaty pelayanan diakoni-sosial) mulai mengubahkan orang miskin baik spiritual maupun sosial di sekelilingnya sehingga yang tadinya berada pada tahap ”harus ditolong” kini bisa ”berdiri sendiri” dan kemudian ”mulai menolong orang lain pula”. Tentulah transformasi memiliki tahapan-tahapan yang jelas, sistemik dan sistematik, serta ada indikator-indikator atau ukuran-ukurannya yang bisa dilihat dan dirasakan untuk setiap fase transformasi yang terjadi.
• (5) Para pelaku umumnya tidak punya komitmen bersama yang disetujui bersama saat merencanakan pembangunan daerah atau komunitas (Tanah Batak). Tidak atau belum ”alignment” atau ”spooring”, belum sepaham, namun sudah mau keburu jalan sendiri-sendiri; walhasil upaya terlalu cepat dipublikasikan dan dijalankan; jadinya patah di tengah jalan; tidak mendapat dukungan yang optimal dari berbagai pihak. Pelaku pembangunan sejatinya jarang yang memiliki semangat komunal (berdinamika kelompok kecil) yang baik. Kurang memiliki akuntabilitas yang baik di ranah publik, sekaligus bisa diterima dengan jujur dan berintegritas pada suara hati nuraninya sendiri dalam ranah individu. Pelaku pembangunan lebih sering hanya mengikuti kata hati nya sendiri secara individual. Kata hati yang lebih cendrung kepada ”nafsu” untuk main libas, main terjang; bermotifkan ketamakan, sifat rakus dan kemaruk. Kemaruk jabatan, uang, kekuasaan termasuk seks. Akibatnya tidak mengindahkan lawan bicara dalam kaukus, kelompok kecil, rescue group dan lingkar dalam teman sendiri. Cendrung kurang menghargai orang lain, meski pun orang-orang yang menasehati sebenarnya tidak punya vested-interest apa-apa. Tetapi kecurigaan intelektualitas disertai dengan kemaruk ekonomi, membuat rasa penghargaan pada orang lain terasa sangat kurang alias defisit. Rata-rata orang yang mau terlibat membangun daerah (Tanah Batak), dinilai motivasi dasarnya untuk cari nama (agar bisa dikenang, dan disanjung dari sekarang hingga anak-cucu), cari kedudukan dan cari uang; jarang yang benar-benar punya mental agen transformasi/agen perubahan yang berasaskan motivasi melayani secara sungguh-sungguh dan serius, sehingga soal nama, kedudukan dan uang berada di prioritas paling belakang.
• (6) Faktor sejarah tidak bisa disangkal. Ia membuktikan, bahwa jarang sekali pelaku yang merupakan putera daerah sendiri sanggup membangun daerahnya sendiri. Analogi di luar Batak bisa disebut. Mana ada orang Betawi yang bisa membangun Jakarta dari tempo doeloe sampai sekarang? Yang bangun Singapura itu siapa? Kan bukan orang asli Singapura (orang Melayu)? Tapi orang Inggris, Sir Stanford Raffles. Jepang dibangun karena apa? Karena ada Restorasi Meiji, lalu hengkang besar-besaran generasi awal abad 20 ke AS untuk belajar dan meniru, kemudian ada Marshall Plan yang diprakarsai oleh AS. Jadilah Jepang sekarang. Dari thesis ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa akan punya kemungkinan kecil sekali bahkan mungkin mustahil, bila putera daerah Batak sendiri akan mampu membangun daerahnya sendiri. Sedikit menyimpang sebagai analog; Yesus sendiri berkata: ”Kamulah garam dan terang dunia” (Mat. 5: 13-15). Garam berasal dari mana? Kan dari laut. Terang berasal dari mana? Kan bukan berasal dari dunia (bumi) sendiri, tapi dari terang Matahari yang berasal dari luar bumi. Untuk menggarami dan menerangi bumi (daratan), perlu unsur-unsur meski tidak banyak yang berasal dari luar daratan (garam laut) dan luar bumi (terang Matahari).
Kalau dipikir, ekonomi bisnis dan perdagangan Indonesia selama beberapa dekade ini yang bangun siapa sich? Apa bisa dan nyata diperani oleh para pengusaha pribumi atau bumi putera. Kan tidak. Orang-orang pendatang non-pribumi seperti orang Cina, orang India dan orang Arab yang sangat berperan dalam dunia perdagangan di Indonesia. Pengusaha pribumi, sedikit sekali. Paling hanya berasal dari BBM (Bugis, Buton, Makassar), Minang atau Padang, Melayu, Madura, Jawa, Bali dan sedikit orang Batak. Jadi untuk mentransformasi suatu daerah, penting sekali peranan orang luar (outsiders) sebagai penggerak atau agent of change. Tanpa orang luar, sulit sekali suatu daerah akan mampu dibangun dan dikembangkan, spiritual dan sosial.
• (7) Tanah Batak atau Tapanuli sendiri mulai bangkit dari keterbelakangannya, secara historis adalah sejak para missionaris datang ke Tanah Batak (ditetapkan mulai 7 Oktober 1861, melalui misi RMG Jerman). Beberapa kali tim misi/ missionaris itu gagal dalam misi, terbunuh di tanah Batak. Sampai kemudian Ludwig Nommensen, yang dikenal dengan Rasul Batak berhasil dalam misinya di Tanah Batak. Sejak tiga orang Batak dibaptis pertama kali, maka Tanah Batak berhasil dijangkau oleh Injil. Dan sejak Injil masuk ke Tanah Batak, berbagai aspek kehidupan dan peradaban orang Batak mengalami kemajuan yang menonjol: kerohanian atau soal KeTuhanan, pendidikan, kesehatan serta usaha pertanian/perkebunan (agriculture, horticulture). Ia memperkenalkan groups of subjects dalam kurikulum pendidikan modern yang sangat penting kepada orang Batak, yaitu groups of Sciences, Humanity & Social Behaviour. Filosofi Nommensen cukup sederhana. Untuk membawa Tapanuli kepada kehidupan rohani yang dewasa, mestilah didirikan Gereja. Agar putera Batak memiliki jiwa yang pandai, sekolah perlu didirikan. Agar memiliki mata-percaharian yang layak, putera Batak harus bekerja/berusaha disesuaikan dengan potensi alam Tanah Batak; dibuatlah pusat pertanian. Dan untuk bekerja haruslah memiliki badan yang sehat, tidak sakit-sakitan. Maka perlu didirikan rumah sakit. Empat kombinasi program ini menjadi prioritas program Nommensen dalam menjalankan misinya: Gereja, Sekolah, Pusat Pertanian dan Rumah Sakit. Dalam waktu yang tidak lama, 3-4 dekade, sudah sangat terasa perubahan yang sangat positip, suatu terobosan yang dialami oleh Tanah Batak/Masyarakat Batak sejak kedatangan misi Nommensen. Oleh karena itu, pantaslah disebut Tanah Batak dengan kedatangan Nommenssen, mengalami apa yang disebut ”The First Batak Revival”(”Kebangkitan Tanah Batak/Komunitas Batak Pertama”) pada Tahun 1861.
• (8) Hal-hal yang bermuatan dan bernuansa rohani seperti berdoa (doa syafaat dan gerakan doa bersama), devosi-refleksi atau saat teduh, PA (bible-study), nyanyian puja dan penyembahan (praise & worship), ibadah keluarga, spirit dan komitmen memberi serta melayani (servanthood mentality) pada beberapa dekade terakhir, sangat jarang menjadi muatan penting dalam pembangunan daerah – Tanah Batak. Yang terjadi kerap kali, di dikotomikan antara aktivitas program kerohanian dengan aktivitas pembangunan (fisik, politik, pendidikan, dst). Seakan dualisme Plato masih terus dilestarikan. Masalah rohani tidak boleh terlalu dekat dikaitkan dengan masalah duniawi, masalah jasmaniah. Akibatnya, ketimpangan-ketimpangan terjadi dalam pelayanan, pembangunan dan pemberdayaan. Ketika berjalan dengan implementasi fisik, masalah kerohanian tidak diperhatikan. Segan dibilang ”terlalu rohani atau sakral”. Di saat lain, ketika berjalan dengan program spiritual (KKR, doa, pembinaan iman, dll), program pembangunan yang bersifat fisik, infrastruktur, sosial seolah berada jauh di luar sana, menjadi sekadar pelengkap tambahan saja – karena dinilai ”kurang rohani”. Padahal, jarang diingat bahwa Bapak Reformator Protestant khususnya Luther pernah berkata ”Doa adalah setengah dari keberhasilan suatu pekerjaan”. Prinsip ”Ora Et Labora” menjadi penting. Namun, pentingnya kadangkala hanya dalam khotbah dan slogan saja; tidak diimplementasikan secara serius. Doa kadangkala menjadi persoalan pribadi atau individu saja. Padahal dalam Alkitab seperti dalam konteks PL misalnya, doa seringkali dikaitkan dengan kebersamaan, unity, corporate, dilakukan secara bersama-sama dengan sehati dan sikap yang merendahkan diri secara bersama di hadapan Tuhan, tidak melulu sendiri-sendiri. Contoh 2 Tawarikh 7: 14 ”Dan umatKu ... berdoa dan merendahkan diri.... Aku akan memulihkan negeri mereka”. Doa yang dilakukan secara bersama, dalam gelombang dan kegerakan yang sama, sangat penting dilakukan untuk recovery, pemulihan suatu negeri, suatu daerah. Jika menginginkan Tanah Batak dibangun, hal pertama yang sangat penting mesti dilakukan adalah kebutuhan akan dorongan doa yang bergerak secara bersama – gerakan doa khusus untuk Tanah Batak, Komunitas Batak! Gerakan doa menjadi prasyarat mutlak akan terjadinya ”The Second Batak Revival” sesuai dengan perkenanan, waktu dan anugerah Tuhan semata. Pertanyaannya: adakah orang-orang Batak, mereka yang berasal dari etnis Batak secara bersama, dalam gelombang yang sama, sudah mulai menaikkan doa secara bersama bagi pemulihan, pengembangan dan kemajuan Tanah Batak.
Nah, Kini Tiba Saatnya – Bagaimana Kita Secara Bersama Bisa Mencermati Penanggulangan Kemiskinan & Pemiskinan Spiritual dan Sosial yang Terjadi di Tanah Batak
Dari sekian banyak uraian panjang-lebar mengenai sejumlah fenomena kemiskinan dan pemiskinan spiritual dan sosial di Tanah Batak ini, kini tentunya kita mulai bisa mendapat perspektif tentang bagaimana mencermati penanggulangannya: kini dan ke depan.
Tentunya yang kita harapkan, adalah perspektif baru yang mampu mengedepankan pendekatan-pendekatan yang transformatif, bersifat menerobos kebuntuan (”breakthrough”) dan bersifat mencerahkan. Yang bukan sekadar mampu untuk membangun, namun mampu pula mempertemukan ”hati Allah” yang merupakan titik-awal dari misi, dengan ”ragam kebutuhan yang dirasakan” dari umumnya orang Batak di Tanah Batak/komunitas Batak. Sehingga diharapkan bisa terjadi ”The Second Batak Revival” atau ”Revival Batak yang Kedua” yang mungkin bagi sebagian pihak sudah menjadi menjadi impian, doa, suatu obsesi dari wujud beban, visi, doa dan kasih-sayang bagi etnik Batak, orang Batak, Tanah Batak.. Komunitas Batak.
(Berlanjut ke Bagian V).
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Subscribe to:
Posts (Atom)