Berikut adalah hasil penelitian Transforma Sarana Media (TSM) terhadap 100 orang sarjana baru lulus, khususnya berlatar belakang kristen (protestan) dan katolik di 8 kota besar tanah air, lulusan S1 dan D3 perguruan tinggi, dari berbagai perguruan tinggi dan sekolah tinggi. Survey memakai metoda focus sharing interview (FSI), pada periode Maret-Apr 2007.
Inilah kira2 rangkuman fakta pandangan kualitatif mereka terhadap delapan bidang/dunia lingkungan di sekitar mereka.
Fakta Bidang Pribadi (Personality)
Para sarjana baru lulus yang usianya berkisar 20-26 tahun, umumnya menyatakan semakin perlu bimbingan, arahan dan ‘contoh nyata’ yang konsisten dari pembimbing, senior (jangan seperti yang di IPDN lah..), pembina yang mumpuni, agar bisa eksis di tengah era perubahan seperti sekarang yang kadang2 datang mengalir ‘tak terduga’. Umumnya mereka mengakui masih belum memiliki kepribadian (personality, sikap, perilaku) yang mantap dan seimbang (balanced) secara utuh (holistik) meliputi aspek-aspek: mental, jati-diri, ekonomi, fisik, etika-moral, spiritual, intelektual, emosional dan sosial (a.l. kesadaran/tanggung-jawab dalam keluarga, bergaul, politik, hukum, HAM dan lingkungan sebagai warga negara/warga masyarakat). Mereka memerlukan media penyemaian, penumbuh-kembangan dan pola pembinaan yang terarah agar aspek-aspek di atas dapat bertumbuh dan berkembang secara seimbang (balanced) dan sehat.
Fakta Dunia Pelayanan Gereja & Ministry
Sarjana baru lulus yang rindu melayani Tuhan di gereja dan masyarakat baik di bidang diakonia, koinonia maupun marturia termasuk pelayanan misi dan penginjilan, merasa ada memiliki hambatan untuk masuk ke lingkungan yang baru serta terjun langsung ke masyarakat untuk bidang2 di atas termasuk pelayanan di tengah masyarakat, misi dan penginjilan. Ini dikarenakan mereka belum sepenuhnya dilengkapi wawasan, pengetahuan, keterampilan praktis dan bekal sebagai ‘tent maker’. Mereka sebagai pelayan Tuhan, pelaku misi dan penginjil memerlukan media sebagai “jembatan” untuk bisa berhubungan (kontak, berkomunikasi personal) dengan lingkungan baru, dengan masyarakat yang akan dilayani/diwartakan Kabar Baik.
Fakta Dunia Kerja (Karir/Profesi).
Dari berbagai survey yang dilakukan, menunjukan bahwa lamanya waktu sarjana baru yang menganggur di antara mereka, adalah lebih dari satu tahun. Bahkan tidak sedikit diantaranya yang mencapai tiga tahun. Selain kompetensi keahlian, kendala utama para sarjana baru dalam memasuki dunia kerja adalah masalah karakter yang terdeteksi dalam perilaku. Dunia kerja cendrung mencari pekerja yang sudah memiliki pengalaman kerja. Keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kepemilikan keahlian, karakter yang baik dan pengalaman. Faktor yang tidak bisa diabaikan adalah pemilikan orientasi hidup yang jelas ke depan. Umumnya para lulusan baru belum memiliki visi/misi yang jelas, pola pikir yang strategik dan ‘smart’.
Fakta Dunia Pendidikan (dan Training)
Umumnya diakui mereka bahwa dunia pendidikan/pendidikan tinggi di Indonesia belum mampu untuk menciptakan lulusan sarjana yang siap kerja (ready to work), apalagi yang siap sebagai entrepreneur/wirausaha (ready to be an entrepreneur). ‘Boro-boro’ menjadi entrepreneur, menjadi karyawan (employee) yang okay saja belum tentu bisa. Sebagai sarjana yang baru lulus mereka menyadari umumnya masih berada dalam tahapan ‘siap latih’ (ready to train). Sebagai tambahan saja, berdasarkan hasil survey yang dilakukan terhadap sejumlah professional dan wirausahawan dalam panel 8 kota, diperoleh fakta bahwa diperkirakan hanya 5-10% saja dari ilmu yang diperoleh selama bangku kuliah dapat diaplikasikan dalam realitas dunia kerja/dunia kewirausahaan mereka. Selebihnya, harus mereka dapatkan melalui training-training, studi lanjut/S2/ sekolah bisnis, praktek-praktek dan pengalaman ‘jatuh-bangun’ di dunia kerja/dunia wirausaha. Dengan demikian, training2/pendidikan lanjutan yang bersifat menambah wawasan, pengetahuan, ketrampilan2 praktis, attituted dan pengalaman masih sangat dibutuhkan guna memungkinkan mereka siap masuk dunia kerja atau siap menjadi seorang wirausaha handal. Maka, keterkaitan antara dunia pendidikan (tinggi), training dan pengalaman dunia kerja/dunia wirausaha sudah waktunya mesti semakin didekatkan/dipadukan, agar menjadi rangkaian mata2 rantai berkesinam-bungan.
Fakta Dunia Rumah Tangga Masa Kini
Fakta bahwa keutuhan keluarga/rumah tangga sebagai unit terkecil dalam masyarakat dan pilar gereja/bangsa, semakin mendapat ancaman tidak terbantahkan, menurut apa yang mereka liat dalam kehidupan sehari-hari dan lewat media-massa. Angka perceraian semakin meningkat. Salah satu faktor yang menye-babkan adalah ketidak-siapan pasangan khususnya para pasangan muda untuk menikah. Para sarjana baru lulus juga merasa tidak lepas dari problema seperti ini. Dilema persoalan berupa kewajiban untuk membantu orang tua/adik-adik, rencana berumah-tangga dan memilih karir menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk dilalui. Sebab itulah pelatihan, coaching, konseling serta pembinaan2 pemantapan bidang keluarga, jodoh, terkait pilihan karir dan pelayanan menjadi sangat penting mereka rasakan dan butuhkan.
Fakta Bidang Wawasan/Worldview
Tak dapat disangkal jika bidang pengembangan worldview sarjana baru lulus, apalagi terkait dengan cara pandang Kristen (Christian worldview), mereka rasakan masih sangat kurang mendapat perhatian dalam pembekalan/ pembinaan2 gerejawi dan pelayanan Kristen secara umum di tanah air. Padahal bidang ini mereka rasakan semakin diperlukan bagi pengembangan sarjana lulus agar dapat lebih memahami cara pandang yang benar terhadap dunia, memahami visi, arah dan tujuan hidup yang benar sesuai dengan kehendak Tuhan. Bidang2 kehidupan apa saja yang dapat dimasuki serta keterkaitan antara bidang kehidupan yang satu dengan yang lainnya. Bagaimana keterkaitan antara cara pandang global dan lokal, hubungan antara iman dan ilmu pengetahuan, antara agama dan negara/ masyarakat, dst. Hal ini akan membantu sarjana baru lulus untuk lebih berpikiran cerdas, bijaksana, ‘open-minded’ dan smart.
Fakta Dunia Politik, Pemerintahan dan Birokrasi.
Umumnya para sarjana baru lulus ini bersikap skeptis terhadap kondisi politik, pemerintahan, birokrasi dan tindak-tanduk orpol dewasa ini. Namun, bagi mereka yang waktu mahasiswa cukup sering demo terjun ke jalan, masih ada terbersit keinginan untuk terjun di dunia politik, baik lewat ormas maupun orpol yang ada. Mereka sangat mendambakan politicians yang berpikir jangka panjang, tidak hanya berwatak ‘dagang sapi’ dan mengeduk harta untuk kantong sendiri, keluarga sendiri atau kas partai sendiri’. Sedih meliat munculnya kasus PP 37 yang lalu. Mbah Marijan orang biasa saja koq bisa jadi contoh yang baik. Sangat prihatin terhadap perkembangan partai2 sekarang. Termasuk PDS yang pecah dua. Koq jaringan doa nasional yang ‘konon’ ada di 550 kota besar dan kecil di tanah air, mau dipolitisasi jadi basis politik massa oleh tokoh2 tertentu. Doa untuk bangsa dan niat politik praktis untuk golongan sendiri, dari dulu menjadi masalah pelik. Birokrasi juga sangat sulit direformasi. Dari dulu keadaannya begitu2 saja. Liat kasus Paribas uangnya Tommy terkait Menhukam Hamid Awaluddin dan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra.
Namun cukup banyak sarjana baru lulus menginginkan bisa bekerja di instansi Pemerintahan, BUMN dan birokrasi. Jalur aman, menurut mereka. Contoh2 dari alumni PT senior mereka, juga menunjukkan hidupnya ‘lebih mantap’ dan berada dalam ‘jalur aman’ jika bisa merintis karir di BUMN, instansi dan dinas2 pemerintah dan birokrasi. Dunia politik, pemerintahan dan birokrasi: diprihatinkan, skeptis, tapi dirindukan pula untuk berkarir di sana!
Fakta Bidang Lingkungan (Sosial, Alam)Kesadaran sosial dan kesadaran lingkungan dari masyarakat di tanah air mereka pandang juga masih sangat minim. Terbukti sebagai contoh: Banjir Jakarta beserta banjir2 bandang lainnya di berbagai daerah (Trenggalek, Manggarai Flores, Sinjai Sulsel dll). Kenyataan juga masih demikian lebarnya jurang pemisah antara yang ‘si kaya dan ‘si miskin’, serta banyaknya terjadi musibah bencana-bencana alam seperti banjir, longsor, kekeringan, lumpur panas, kasus2 yang menjurus kepada ‘Minamata case’, tidak menentunya cuaca, hancurnya eko-system, fenomena pemanasan global dlsb yang disebabkan kurang-sadarnya masyarakat akan arti penting pelestarian lingkungan. Sarjana baru lulus merasa merupakan bagian inheren masyarakat yang harus dibina kesadarannya akan arti penting kesadaran lingkungan sosial (rasa kemanusiaan, solidaritas sosial, modal sosial) dan lingkungan alam yang sehat dan lestari, guna menjadi kehidupan yang lebih baik bukan hanya untuk masa sekarang, tetapi juga untuk masa yang akan datang bagi generasi penerus umat manusia.
Bagaimana pendapat para sarjana baru lulus yang lain? Pertanyaan lebih jauh adalah: Jika kita adalah para Senior, kira2 apakah yang bisa kita buat 'what must we do' untuk mereka, adik-adik yang baru saja lulus dari perguruan tinggi (D3/S1)guna mengarahkan, membimbing mereka menjadi calon2 pemimpin berkualitas di masa 10-20 tahun mendatang?
Bagaimana pun mereka adalah calon-calon ‘kusuma bangsa’, calon2 pemimpin baru di masa mendatang. Leaders the next. Kalau lembaga kristen seperti Perkantas punya motto “Student Today, Leader Tomorrow’, maka mungkin khusus untuk para sarjana baru lulus ini, perlu ada bentuk pelayanan atau pendidikan khusus bagi mereka (lagi) dengan motto “Fresh Graduate Today, Leader Tomorrow’.
Salam hangat,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Tuesday, April 24, 2007
Model, Gaya2 Kerohanian (Spiritualitas) yang Dianut oleh Orang2 Indonesia Pada Umumnya, Terkait dengan Model, Gaya Kerohanian (Spritualitas) Kristen.
Banyaknya model, gaya2 kerohanian (spiritualitas) di Indonesia.
Di negeri kita ini, kalau boleh dibilang cukup banyak bisa ditemui ragam model/gaya2 kerohanian (spiritualitas) orang2 Indonesia, termasukdi antaranya yang relevan tentunya model/gaya kerohanian(spiritualitas) kristen.
Pengertian model, gaya kerohanian (spiritualitas).
Secara pengertian umum, yang dimaksud dengan model/gaya kerohanian(spiritualitas) adalah bentuk, format atau corak2 keadaanrelasi/hubungan personal-komunal yang 'cukup dalam' antaraindividu/tokoh/ suatu komunitas tertentu orang Indonesia yang dinilaitaat, relijius dengan Tuhannya (konsep Tuhan bisa monotheis, monotheismutlak/macam 'tauhid', polytheis, pantheistic) yang kemudian terejawan-tahkan di tingkat praxis keseharian yang bisa dilihat,dirasakan, dinilai oleh lingku-ngan sekelilingnya.
Pengertian model, gaya kerohanian (spiritualitas) Kristen.
Dalam konteks yang lebih khusus dalam dunia Kekristenan, yang disebut model/gaya kerohanian(spiritualitas) kristen adalah suatu bentuk, format atau corak2 keadaanrelasi/persekutuan/ fellowship/ hubungan personal-komunal yang‘mendalam’ antara individu/tokoh kristen/ komunitas kristen orangyang taat/beriman dengan TUHAN (Ibr: elohim, adonai, YHWH; Yun: theon,kurios, Bapa-Anak/Yesus Kristus-Roh Kudus) yang kemudian jugaterejawantahkan dalam peri-kehidupan mereka se-hari2 di aras praxis kehidupan - yang dapat dilihat, didengar, dipelajari, diamati dan dirasakan oleh pihak2 atau lingkungan masyarakat/publik disekelilingnya.
Faktor2 pembentuk keberagaman model, gaya kerohanian (spiritualitas).
Model/gaya2 kerohanian secara umum terutama bila kita soroti dikalangan internal kristen, ditengarai memiliki ragam model kerohanian,dan hal ini tergantung dari:
1. Pola konstruksi/ background theologi yang dibangun oleh yangbersangkutan.
2. Kiblat pembelajaran (‘school of thoughts’): tempat &tokoh referensi kepada siapa ybs melakukan proses pembelajaran.
3. Dasar/filosofi, frame of references hidup yang dipilih untukdianut.
4. Pembentukan kerohanian (spiritual formation) yang diterima.
5. Disiplin kerohanian (spiritual disciplines) yang dilakukan:doa, saat teduh, baca Alkitab, PA, bersekutu, sharing, berbakti kegereja, bersaksi, melayani, memberi, perpuluhan (teeth), mengatur waktudan keluarga.
6. Karakter dan preferensi pribadi bersangkutan.
7. Latar belakang etnis budaya, traditional background (suku,etnis/ras, timur/barat)
8. Waktu (era/jaman/generasi ). 8. ‘Habitat’ komunitas lingkungan, terutama lingkungan spiritual religius budaya tempat yang bersangkutan hidup, tumbuh,berkembang dan dibesarkan.
Model, gaya2 kerohanian itu tampaknya mirip sama, 'beda tipis'.
Secara sekilas menurut kacamata umum, mungkin model/gaya kerohaniankristen nampaknya tidak ada bedanya, mirip2 sama dengan model/gayaspiritualitas umum lainnya. Sudah semakin tidak jelas, siapa yang aselidan siapa yang sebenarnya ‘meniru’ (palsu), atau lebih sulit lagiyang ‘aseli tapi palsu’ (aspal). Mana yang betul2 spiritualitaskristen (Christian spirituality) yang bercorak theistic, dan manaspiritualitas umum yang bercorak pantheistic (disebut ‘pantheisticspirituality’ atau di era sekarang disebut ‘new spirituality’ ).
Perbedaan2 kedua golongan 'species' ini mungkin terlihat sangat tipis, jika diperhatikan/ diamati:
a. Gaya bicara, bertutur dan (mungkin) berkhotbah atau membawarenungan.
b. Gaya berpakaian, fashion, gesture tubuh dan cara komunikasilain dalam penampilan.
c. Gaya dan model tulisan baik gaya bahasa maupun content tulisan
d. Cara, gaya berdoa/sembahyang dan meditasi.
e. Pola2, prosedur2 prosesi dan alat2 ibadah/ritual.
f. Pola2 penyampaian pesan (message) rohani/spiritual.
g. Gaya musik, genre musik, lagu2 serta lirik2 nyanyian2 (berikut tari2an), oratorium, dlsb.
h. Sistem persembahan, korbanan/pengorbana n2, derma2,sumbangan2/donasi, kegiatan fund-raising (penggalangan dana), dll.
i. Gaya, corak dan jenis2 aktivitas pelayanan yang dikerjakan ditengah masyarakat/publik, umpama pantheistic spirituality/ newspirituality dilakukan, lewat:
- media konseling, konsultasi (nasib, keberuntungan, kesehatan,jodoh&keluarga.
- opsi2 penyembuhan dan pola hidup sehat (seni pernafasan, yoga,aroma th.
- opsi2 memperoleh perlindungan/ kedamaianhati/ keberaniankeselamatan diri/tolak bala, musibah/bencana (ilmu/seni bela diri,martial-arts: judo, karate, jujitsu, pawang hujan, ruwatan bumi, dll)
- media corak/genre musik dan nyanyian2, tari2an, dsb.
9 Perbedaan model, gaya kerohanian Kristen dengan Non-Kristen:
Namun, bila ditelusuri lebih dalam bisa jadi atau sejatinya terdapatperbedaan yang hakiki antara model/gaya kerohanian kristen denganspiritualitas umum non-kristen.
Mengutip C.S Lewis, theologspiritualist kristen berpengalaman dan mumpuni, secara brilianmengemukakan sedikitnya ada 9 (sembilan) aspek perbedaan antarakerohanian/spiritua litas kristen dan bentuk/model/ gaya2 kerohanian umum-non kristen lainnya, menyangkut:
1. Common ground: tak dipakai atau dipakai, terutama dalam‘arah’ atau ‘direction’ dalam memahami tema“kebersatuan/ kemanunggalan dengan Tuhan” (uniting with God).
2. Entry point: pertobatan sampai perubahan aspek moral ataukebutuhan psikologis semata.
3. Pengalaman spiritual: dengan perantaraan Kristus atau tanpaKristus.
4. Pengalaman spiritual: dengan Tuhan Pencipta/Sang Khalik ataudengan ciptaan/alam.
5. Interpretasi pengalaman spiritual: bisa diverifikasi atautidak, bersifat self authentic semata
6. Realitas yang dialami:secara theistic (God=Tuhan)ataupantheistic (God=alam, alam=gods).
7. Kuasa/powers: kuasa Roh Kudus atau kuasa roh2 yang lain(unholy spirits).
8. Revelasi khusus: bersifat proposisional atau tanpa adakonsep (non-konseptual) .
9. Iman: berdasar keyakinan pribadi (personal trust) atauadanya pemaksaan secara magis (magical compulsion).
Dari 9 (sembilan) hal di atas, dapat dibedakan (‘discerned’) lebih jauh di mana keunikan/ singularitas gaya kerohanian kristen itu ditengah kebinekaan/pluralit as gaya2 kerohanian (spiritualitas) umum yangdijumpai saban hari di sekeliling kita, di tengah masyarakat yangserba-berubah seperti sekarang.
I. Pelbagai Ragam Model Kerohanian (Spiritualitas) Pada UmumnyaOrang2 Indonesia di Tanah Air: Model Kerohanian/Spiritua litas bercorakPantheistic.
Menurut penelusuran penulis, selain model/gaya kerohanian kristen,dijumpai ada cukup banyak model/gaya spiritualitas umum non-kristen dinegeri ini (bercorak pantheistic) , dan sejak dulu banyak dianut dandipraktekkan oleh berbagai kalangan masyarakat, agama, pejabat negara,pebisnis, media dan hiburan, dsb; baik yang bersifat masih sangattradisional maupun lebih modern dan supra modern (perpaduantradisional- modern dan sinkretis, new spirituality/ new age), sebagaiberikut:
a. Model/gaya kerohanian (spiritualitas) kejawen.
Model ‘kepercayaan terhadap Tuhan YME (perspektif ‘Tuhan YME’ secara pantheistic) , yangpaling banyak penganutnya adalah orang2 Jawa, baik di kalangan kratonmaupun pesisir, contoh: gaya kerohanian kejawen pangestu, manunggal inggusti, subud, mbah marijan (juru kunici gunung merapi), dll.
b. Model/gaya kerohanian agama2 tradisi lokal suku2,penghormatan/ penyembahan kepada roh2/sakralitas budaya leluhur (nenekmoyang) dan kepada alam lingkungan.
Model ini sampai saat ini masih tetapbertahan (ada peneliti Korea yang mengatakan ‘corak ini masih tetapberjaya, tak lekang ditelan masa’): dijumpai di hampir seluruh pelosoktanah air, termasuk di tanah batak (tapanuli, contoh: tokoh muda profsitanggang) - tanah karo, bengkulu, tana toraja, banten, cirebon,pelabuhan ratu, madura, bali, sasak, bugis-makassar, mandar, dayak,minahasa, sangihe talaud, gorontalo, maluku, sumba/merapu, timor, sabu,kayser, dan papua (suku asmat, mappi, dani, sawi, paniai, dll).
c. Model/gaya kerohanian (spiritualitas) islami (pengaruharab/timur tengah/ yemen atau yaman/gujarat).
Model ini a.l terdapat pada gaya kerohaniankyai2 nu langitan (kyai Abdullah fakih dari langitan tuban, kyai daripurboyo, tambak beras, dll), penganut sufi, ilmu tasawuf jalaluddin rummi, gaya muhammadiyah, khalwatiyah, ahmadiah dll. Bukan saja spiritualisyang berasal dari mazhab sunni, tapi juga dari mazhab maliki, hambali,syiah, fatimid, islam matrimonial dan kelompok2 dari arab dan keturunanarab/timur tengah/maghribi/ afghan/pakistan seperti kelompok2 wahabbi,ichwanul muslimin, al-kharumain, taliban, pemuja jin (islami), peri/bidadari, sampai ke pada gaya spiritualis islam-liberal,modern-islam; dari gaya spiritualitas islam kraton yogya (mataram islam)sampai gaya spiritualitas kahlil gibran, penulis, sastrawan danfilsuf-budaya modern kelahiran beirut, libanon.
d. Model/gaya spiritualitas etnis tionghoa/cina perantauan.
Model ini banyak dipengaruhi oleh tradisi ritual leluhur nenek moyang mereka dicina daratan, ajaran confusius (kong hu cu), ajaran alam semesta(pantheistic) dari tao, laotze, ajaran feng shui/hong shui, ajaran yin &yang, tai-chi, chi kung, reiki, agama buddha, tibet, tibetan,penyembahan dewa-dewi (kwan im, naga emas/golden dragon, dst), contoha.l.: dr akino azzaro, prof hembing, suhu2 buddha, juru kunci kelenteng,toa pekong, peramal nasib petak sembilan, dll.
e. Model/gaya spiritualitas hindu, baik hinduisme india maupunhindu dharma di bali yang merupakan sinkretisme dari ajaran hinduisme india, buddha(tantrayana, mahayana) dan pemujaan terhadap roh/budaya leluhur dan alamlingkungan.
Model ini berciri a.l. ajaran dewa2 (brahmana, wisnu, rudra/syiwa danbelasan dewa/dewi lainnya , sang hyang widiasa, alam para rohaniawanhindu dharma bali, contoh a.l.: I made gunung, gde prama, dll.
f. Model/gaya spiritualitas ‘kristen/katolik’ pantheistic.
Sejatinya ini bukan kristen, tapi ‘kristen-kristenan’ karenabercorak pantheistic, bukan theistic. Atau ajaran pantheisme yangmengambil wajah/symbol kristen/katolik seperti: tanda salib, patung2Yesus, patung Maria ibu Yesus dan tokoh2 kristen/orang2 suci, doa Bapakami, peletakkan bible/Alkitab, kaki dian, dll. Konsep KetuhananKristen hanya dianggap bagian dari ketuhanan atau tuhan-tuhan (gods)dari seluruh agama dan kepercayaan sebagaimana ada pada model/gayaspiritualitas baru (new spirituality) . Lebih tepat disebut bidahkristen, spiritualisme kristen atau lebih tegas ‘bukan kristen’. Kehadirannya secara umum menawarkan jasa dan solusi ‘pelayananpublik’ untuk tujuan kebaikan, seperti: konseling/konsultas i+peramalan nasib, kesembuhan/kesehata n, keturunan, kekayaan, dll. Contoh,a.l.: scientology kristen (ilmu pengetahuan kristen), paranormal‘kristen’ di beberapa tempat di jakarta, bekasi,surabaya, medan, siantar, manado, kupang, alor, ambon, papua, dll.
g. Model/gaya spiritualitas baru (new spirituality).
Model ini coba mengawinkan/ menggabungkan/ menyatukan antara model2 kerohanian yang adadi seluruh agama (Islam, Kristen, Yahudi, Budha, Hindu) dan kepercayaandi dunia [terutama ajaran2 dunia Timur] termasuk model spiritualismekristen salah satu tentunya, dengan beliefs2 lokal (agama2 suku, tradisilokal, pemujaan/ penghormatan terhadap roh-budaya leluhur) dan disiplin2ilmu sosiologi dan ilmu2 kontemporer yang berkembang di barat. Namun model ini, tetap bercorak pantheistic, di mana model theistic dianggapmereka hanya sebagai bagian dari pantheistic. Model new spirituality ini hampir dikatakan mirip dengan model/gaya“new age movement” (model gerakan zaman baru). Model aliran new age ini lebih bersifat terbuka, tidak mempermasalahkan penganut berasal dari agama dan kepercayaan mana, semua boleh masuk sebagai anggotauntuk memenuhi kebutuhan psikologis (jiwa) mereka:‘kesehatan/kesembuha n/kecantikan’ , ‘kedamaian/ ketentramanhati’, ‘keharmonisan keluarga’, ‘kewibawaan’,‘karir/pekerjaan’ , ‘keturunan’, ‘kekayaan’, dst.
Model ini menawarkan jasa dan solusi ‘pelayanan publik’ untuk rupa2 tujuan‘kebaikan’ seperti hal-hal di atas: konseling/konsultas i +peramalan(nasib, kesehatan, jodoh, keluarga, keturunan, karir), opsi2 penyembuhan& hidup sehat, opsi2 perlindungan/ keselamatan diri/tolak bala, opsi2peningkatan ‘harkat dan martabat’ duniawi, musik+ nyanyian2 (newage music: kitaro, santana, dll) , dll melalui realitas2 yang dialamisecara pantheistic, bukan sejatinya theistic; di mana secara verbalseringdikatakan/diklaim/ dimanipulasi yang pantheistic sebagai theistic atau‘yang berasal dari atas’ atau ‘dari yang di atas’.
h. Model/gaya spiritualitas occultisme (kuasa2 kegelapan), baik "white magic" maupun "black magic".
Model ini meliputi baikyang menganut hanya ‘aliran putih’/’kebaikan’ (white magic) saja, atau menganut ‘aliran hitam’/’kejahatan’ (black magic)saja, atau percaya kepada kedua2nya sekaligus: white magic & blackmagic, seperti halnya pada model2 spiritualitas kuno (ancientspirituality, traditional spirituality) dari jaman Persia Kuno(Zoroasterisme) , Mesir Kuno dan Babilonia Kuno, Afrika kuno, Inggriskuno, Eropa kuno atau tergolong ke dalam model/gaya spiritualitas baru(new spirituality) di atas.
Jika ‘aliran putih’ (white magic) menawarkan jasa pelayanan untuk tujuan kebaikan seperti halnya dalamragam model/gaya spiritualitas pantheistic di atas lainnya, sepertiuntuk maksud: opsi2 pengobatan (pengobatan alternatif), kesehatan(senam yoga, hipnotisme, proyeksi astral, aroma therapy, crystaltherapy), jenis2 musik tertentu (trash metal, heavy metal), kependekaran ilmu bela diri (jijutsu, brazilllian jijutsu, judo,karate, silat shaolin, pencak silat: merpati putih, bangau putih,perisai diri, ilmu setrum di Pati Jateng) dan hiburan/entertainme nt(film Harry Porter, hipnotism show, spiritual magical illusions alaHoudini, David Coperfield dll). Maka, untuk ‘aliran hitamnya’(black magic) menawarkan jasa2 untuk maksud kejahatan kriminalitas,seperti: santet, guna-guna, pelet, sihir, dll seperti halnya melaluiilmu voodoo dari Afrika, Haiti, vampire, dracula, leak Bali, begu-ganjang di Tapanuli, gondoruwo, kolor-ijo, dll.
(Bersambung)
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Monday, April 23, 2007
Model, Gaya2 Kerohanian (Spiritualitas) yang Dianut oleh Orang2 Indonesia Pada Umumnya, Terkait dgn Model Gaya Kerohanian (Spiritualitas) Kristen (2)
Lanjutan (Habis).
II. Beberapa Ragam Model/Gaya2 Kerohanian (Spiritualitas) Orang2 Kristen di Tanah Air
Menurut penelusuran penulis, di internal kalangan orang2 kristen di Indonesia sendiri, ada beberapa ragam model/gaya kerohanian (spiritualitas) kristen, yang mengacu kepada referensi Alkitab, seperti tradisi kehidupan tokoh2 Alkitab di PL (a.l. tradisi kenabian) dan di PB (a.l. kehidupan para rasul dan tradisi gereja perdana).
Dalam konteks kerohanian/spiritualitas kristen di tanah air ini, faktanya bahwa di samping keberadaan kelompok model/gaya2 kerohanian kristen yang betul mengacu kepada Alkitab, nyatanya dijumpai adanya tiga (3) kelompok yang boleh dibilang tidak sepenuhnya memenuhi pengertian/pemahaman model kerohanian kristen, yaitu:
a. Kelompok kerohanian Kristen Pantheistic.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, ia merupakan orang2/kelompok2 model-gaya spiritualitas kristen pantheistic. Sejatinya banyak anggapan model ini bukan model spiritualitas kristen. Lebih pas mungkin disebut model spiritualitas kristen ‘aspal’ (fake Christian spirituality), spiritualisme ‘kristen-kristenan’, atau spiritualisme 'aspal' (asli tapi palsu), karena lebih condong bercorak pantheistic, bukan theistic, gaya ini dengan sadar atau tanpa sadar melakukan upaya sinkretis antara corak pantheistic dan corak theistic kristen. Itu yang ada pada bidah kristen: scientology ‘kristen’ (ilmu pengetahuan kristen), pada aktivitas2 kehidupan paranormal ‘kristen’ serta aktivis2 kerohanian kristen lainnya di kota2 besar (jabodetabek, medan, surabaya, makassar, manado) dan berbagai daerah pelosok tanah air.
b. Kelompok kerohanian 'Kristen' 'tidak jelas’.
Kenyataan ini cukup memprihatinkan sebetulnya. Orang2 kristen yang tidak memiliki kejelasan ‘bentuk’ atau model kerohanian (spiritualitas) kristennya seperti apa. Hal ini mungkin disebabkan tiadanya konsep pembinaan-penggembalaan yang jelas bagi mereka sejak awal/sejak kecil/sejak perjumpaan dengan Kristus. Tiadanya proses yang terarah dalam ‘spiritual formation’ (formasi kerohanian) dan proses pendisiplinan (discipleship/pemuridan) yang disebut ‘spiritual disciplines’ atau 'spiritual exercises' (latihan2 disiplin rohani) mereka. Akibatnya, kelompok ini boleh jadi disebut ‘a-spirituality’, ‘kristen tanpa spiritualitas kristen’, spiritualitas kristen semu (pseudo-christian spirituality). Disebut asli tidak, palsu pun tidak. ‘Aspal’ juga pun tidak. Ya ‘semu’. Pokoknya ‘ngga jelas’. Jumlahnya pun bukannya sedikit di tanah air. Keberadaan kelompok ini sebagai kristen adalah bisa karena keturunan semata (orang tua/nenek moyang kristen), namun tanpa tersentuh pembinaan. Pembinaan kerohanian terarah. Bahasa umum ya jadi kristen nominal. Kristen ktp. Kristen kapal selam. Kristen tidak jelas. Maka model kerohaniannya pun jadi serba tidak jelas. Ini fakta, ini kenyataan yang kita liat.
c. Kelompok kerohanian 'Kristen' model Yudas (kontra tidak frontal).
Kelompok kerohanian ini jelas ada dalam kehidupan umat Kristen secara umum. Spiritualitas yang tidak terbentuk dengan benar, sehingga menjadi "duri dalam daging", pengkhianat, musuh dalam selimut dalam kumpulan domba2 Kristus. Sepertinya menampakkan gaya kerohanian Kristen yang asli, sejati; padahal tanpa memiliki komitmen, kesetiaan, ketaatan yang sungguh2: total! Tidak ber-sungguh2 dan konsisten dalam melaksanakan tugas dan panggilan spiritualitasnya. Bukankah Yohanes dalam suratnya, pernah mengatakan bahwa para antikris dan nabi2 palsu adalah berasal dari kalangan umat Tuhan (Kristen) sendiri; namun mereka adalah orang2 yang dijumpai tidak bersungguh2 dalam Firman Tuhan dan dalam menjalankan amanat panggilan dan kehendak Tuhan.
Delapan (8) Model Gaya Kerohanian (Spiritualitas) Kristen di Tanah Air.
Dan, dengan merefer Alkitab serta referensi hasil2 penelitian seperti yang dilakukan Dr Joseph T Shao dari BSoP Manila sertga pandangan2 C.S Lewis maupun L. Pouyer, maka untuk konteks kerohanian kristen di tanah air, menurut penulis ada paling tidak 8 (delapan) ragam corak model/gaya2 kerohanian kristen yang dapat dijumpai di Indonesia , sebagai berikut:
1. Model/gaya kerohanian (spiritualitas) kristen: Komitmen, obedience.
Gaya kerohanian kristen dari tokoh/individu/komunitas kristen ini adalah komitmen, komitmen dan komitmen. Sangat anti "komat-kamit", omong doang alias NATO (No Action Talk Only). Menekankan kualitas, kualitas dan kualitas. 'Tidak sabar' terhadap mereka yang tidak taat, tidak komitmen, hanya berperilaku relijius namun tidak menjalankan apa yang diibadahkan, dikhotbahkan, diomongkan dalam perbuatan dan kesaksian sehari-hari. Penulis menengarai tokoh2/individu/kelompok komunitas ini sangat sedikit di negeri yang kita cintai ini.
Model kerohanian komitmen ini terlihat nampak jelas pada kehidupan dan pengajaran Samuel (dalam PL), dan rasul Paulus (dalam PB). Model kerohanian yang menekankan nilai2 ketaatan (obedience), taat tanpa reserve, bahkan ketaatan radikal kepada Tuhan/Kristus. Komitmen sejati, bukan komat-kamit. Mencerminkan kepemimpinan penuh keteladanan, kepemimpinan yang konsisten. Satu kata, hati dan perbuatan. Konsistensi dalam hidup dan kerohanian, dalam rentang waktu yang sangat lama. Bersemboyankan “no retreat, no regret, no reserve” (pantang mundur, pantang menyesal, ‘pantang punya cadangan’). Tokoh Maria, ibu Yesus dan Yohanes dalam PB, juga mencerminkan ketaatan, kepasrahan, kesetiaan (faithfulness) dan kebergantungan yang mutlak kepada kehendak dan rencana Tuhan.
Contoh model ini ada pada kehidupan sangat banyak tokoh sejarah gereja/kristen dari Barat. Ada pada kehidupan Dr I. L Nommensen (zending missionar Batak), Hudson Taylor (pendiri China Inland Mission), Dr John Sung (penginjil Api Asia) dan Dr John Stott (Anglican/InterVarsity UK). Di Indonesia, menurut penulis bisa dilihat pada kehidupan Dr Dorothy Marx, Keluarga Tong bersaudara (Dr Stephen Tong, Dr Kaleb Tong, dll), alm. Dr Justin Sihombing (Ephorus HKBP), alm penginjil Jeremia Rim, tokoh2 reformed injili, pendiri/pembina/pelayan perkantas, tokoh lpmi, tokoh2/pelayan abba-love, pastor2/biarawan/biarawati katolik dan pendeta2/evangelis2 yang bekerja di tanah air, tanpa lelah – tak dapat disebutkan namanya satu persatu, dll.
2. Model/gaya kerohanian kristen: Kasih dan Kekudusan.
Model ini nampak jelas pada kehidupan Yusuf, Daniel (dalam PL) dan rasul Yohanes, Petrus dan Paulus (dalam PB). Cukup banyak tokoh2 Barat yang menekankan perihal hal ini seperti J.I. Packer, A.W. Tozer, Billy Graham, dll. Tokoh2 injili/komunitas gereja Baptis dan gerakan Holiness (Keswick movement) di Indonesia dan beberapa aliran puritan, gereja2 karismatik dan beberapa lembaga2 pelayanan Kristen di negeri ini, sangat menekankan pentingnya kedua hal ini: kasih & kekudusan. Kelompok dengan gaya kerohanian kristen ini juga relatif sedikit dijumpai di negeri ini.
3. Model/gaya kerohanian kristen: Kasih dan Kesatuan/Keesaan, unity, unitarial’.
Model ini nampak jelas pada kehidupan Musa/Yosua (dalam PL) dan rasul Petrus dan Yohanes (dalam PB). Pentingnya bagi individu/tokoh2/komunitas ini peran kasih yang tercermin dalam kesatuan, keseimbangan, dialog dalam perdamaian, toleransi, dst. Gereja2 dalam naungan oikoumenical (gerakan oikoumenis) di Indonesia, terutama dalam wadah PGI (HKBP, GPIB, GKI, GBKP, dll) sangat menekankan hal ini: kasih dan keesaan. Tentunya juga gereja-gereja suku, gereja2 yang terbentuk dan dipertautkan melalui pergumulan/pengalaman historis, melalui juga kesamaan sosial (social similarities) tradisi suku atau etnis di mana mereka terlibat. Selain iman, 'kasih' yang merekatkan mereka adalah kesatuan-kesamaan etnis/suku/budaya/latar belakang zending sejak jaman kolonial.
4. Model kerohanian kristen: Mistik (mistis, mystical).
Pemahaman iman lebih ditekankan kepada segi mystical, mistis. Iman yang mistis. Sesuatu yang supranatural, adikodrati. Kurang melibatkan aspek akal budi (reasons), tapi lebih kepada aspek penglihatan, nubuatan dan sejenisnya.
Model ini banyak dinuansa oleh hidup dan tradisi kenabian nabi2 Yesaya dan Yehezkiel dalam PL. Orang2 Kristen di Indonesia (gereja2, ministry) yang diwarnai oleh pelayanan gerakan pentakosta dan karismatik dari Amerika (Pincster, Jane Seymore, Bethel Churches USA), dari Korea Selatan (David Yonggi Cho), dan dari kelompok pentakosta/karismatik tradisi Cina dan (mungkin) Jawa/lokal2 lainnya di Indonesia sebagaimana dijumpai pada pendiri Gereja Bethany Successful Families, GBI Bethany (dulu), Gereja Tiberias, Benny Hinn Ministries, dll. Banyak sekali umat Kristen yang 'mencari' opsi2 penyembuhan, kesehatan, rejeki (bekat, blessings), kebutuhan psikologis lainnya terlibat dalam pelayanan tokoh/individu/komunitas/gereja dengan gaya kerohanian seperti ini.
5. Model kerohanian kristen: Kasih, Komunitas dan Keadilan.
Banyak diwarnai oleh tradisi kenabian nabi2 Mikha dan Amos. Kedewasaan kerohaniannya tercermin dalam dedikasinya mlayani komunitas (miskin, kurang beruntung, korban ketidak-adilan): orang2 Kristen di Indonesia (gereja2, ministry) yang diwarnai oleh pelayanan tokoh2 Kristen Parpem DGI/PGI, tarekat Katolik besutan Fransiscus dari Asisi, Bunda Theresa, Canossan, dll, Romo Van Brouwer (ICCO Belanda), Romo Mangunwijaya di Kali Code Yogya, tokoh2 pendiri Tear Fund UK, Holland, NZ, Romo Sandyawan dan masih banyak lagi pionir2 dari kelompok2 pelayanan Kristen bagi orang susah dan menderita (BfdW, OI, MT, WPSS, BN, YAO, JK Bali, MCh, Japras, dll).
6. Model kerohanian kristen: Asketis.
Dinuansa oleh tradisi kenabian dari Yonadab bin Rekhab, leluhur Rekhabites: model kerohanian bernuansa asketis (model asketis). Orang2 Kristen di Indonesia (gereja2, ministry) yang diwarnai oleh pelayanan a.l: Watchman Nee, Sadhu Sundar Singh, pendiri2 pertama Gereja Bali buah pelayanan misi CMA/CAMA yang mengalami penganiayaan/pembuangan/ pengucilan dari masyarakat Hindu di Bali (era 1930-1960), dll.
7. Model kerohanian kristen: Skeptis, apatis (Sceptical).
Cendrung dinuansa oleh model gaya kerohanian Thomas, murid Yesus dalam PB. Lebih ingin percaya jika melihat, beriman jika mengetahui dan mengerti dahulu. Padahal iman kata Yesus, adalah percaya walau tidak melihat. Percaya meski belum mengerti sepenuhnya. Namun model gaya spiritualitas ini lebih cendrung mengandalkan rasio dan pertimbangan intelektualnya. Intelektual penting dan sangat perlu, namun rasio dan intelek perlu atau mesti ditundukkan kepada otoritas kehendak Tuhan sebagaimana tertulis pada Scripture (Alkitab). Thomas menerima banyak belas kasihan dan rakhmat Tuhan dalam pembentukan kerohaniannya.
8. Model kerohanian kristen: Kontemplatif
Banyak dinuansa oleh tradisi kenabian dari nabi Habakuk dalam PL. Yang mempertanyakan kebenaran, keadilan dalam meditasi perenungan yang bersifat kontemplatif.
Orang2 Kristen di Indonesia (gereja2, ministry) yang diwarnai oleh pelayanan tokoh2 misionaris Kristen/Gereja dari Korea yang dalam 10 tahun terakhir ini banyak membina/bekerjasama dengan gereja/pelayanan/STT di Indonesia .
Uraian diatas adalah contoh2 ragam model/gaya2 kerohanian kristen yang banyak ditemui di negeri kita, paling tidak dalam 10-20 tahun terakhir ini.
Model/gaya kerohanian manakah dari uraian ragam di atas, yang lebih tepat, baik dan benar? Itu terpulang dari pemahaman dan pengkajian anda sendiri.
Model, gaya kerohanian (spiritualitas) Kristus Yesus sebagai Model kerohanian (spiritualitas) Ideal.
Tentu yang kita harapkan dan rindukan sebagai orang Kristen di negeri ini sudah selayaknya adalah model, gaya kerohanian (spiritualitas) Kristus Yesus, sebagai model/gaya kerohanian kristen acuan yang ideal. Ideal sepatutnya karena telah mencakup seluruh model/gaya2 kerohanian di atas. Suatu gaya kerohani-an yang ideal, sempurna, komplit dan dewasa utuh (Yun: teleios, teleion).
Soli Deo Gloria !
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) *)
II. Beberapa Ragam Model/Gaya2 Kerohanian (Spiritualitas) Orang2 Kristen di Tanah Air
Menurut penelusuran penulis, di internal kalangan orang2 kristen di Indonesia sendiri, ada beberapa ragam model/gaya kerohanian (spiritualitas) kristen, yang mengacu kepada referensi Alkitab, seperti tradisi kehidupan tokoh2 Alkitab di PL (a.l. tradisi kenabian) dan di PB (a.l. kehidupan para rasul dan tradisi gereja perdana).
Dalam konteks kerohanian/spiritualitas kristen di tanah air ini, faktanya bahwa di samping keberadaan kelompok model/gaya2 kerohanian kristen yang betul mengacu kepada Alkitab, nyatanya dijumpai adanya tiga (3) kelompok yang boleh dibilang tidak sepenuhnya memenuhi pengertian/pemahaman model kerohanian kristen, yaitu:
a. Kelompok kerohanian Kristen Pantheistic.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, ia merupakan orang2/kelompok2 model-gaya spiritualitas kristen pantheistic. Sejatinya banyak anggapan model ini bukan model spiritualitas kristen. Lebih pas mungkin disebut model spiritualitas kristen ‘aspal’ (fake Christian spirituality), spiritualisme ‘kristen-kristenan’, atau spiritualisme 'aspal' (asli tapi palsu), karena lebih condong bercorak pantheistic, bukan theistic, gaya ini dengan sadar atau tanpa sadar melakukan upaya sinkretis antara corak pantheistic dan corak theistic kristen. Itu yang ada pada bidah kristen: scientology ‘kristen’ (ilmu pengetahuan kristen), pada aktivitas2 kehidupan paranormal ‘kristen’ serta aktivis2 kerohanian kristen lainnya di kota2 besar (jabodetabek, medan, surabaya, makassar, manado) dan berbagai daerah pelosok tanah air.
b. Kelompok kerohanian 'Kristen' 'tidak jelas’.
Kenyataan ini cukup memprihatinkan sebetulnya. Orang2 kristen yang tidak memiliki kejelasan ‘bentuk’ atau model kerohanian (spiritualitas) kristennya seperti apa. Hal ini mungkin disebabkan tiadanya konsep pembinaan-penggembalaan yang jelas bagi mereka sejak awal/sejak kecil/sejak perjumpaan dengan Kristus. Tiadanya proses yang terarah dalam ‘spiritual formation’ (formasi kerohanian) dan proses pendisiplinan (discipleship/pemuridan) yang disebut ‘spiritual disciplines’ atau 'spiritual exercises' (latihan2 disiplin rohani) mereka. Akibatnya, kelompok ini boleh jadi disebut ‘a-spirituality’, ‘kristen tanpa spiritualitas kristen’, spiritualitas kristen semu (pseudo-christian spirituality). Disebut asli tidak, palsu pun tidak. ‘Aspal’ juga pun tidak. Ya ‘semu’. Pokoknya ‘ngga jelas’. Jumlahnya pun bukannya sedikit di tanah air. Keberadaan kelompok ini sebagai kristen adalah bisa karena keturunan semata (orang tua/nenek moyang kristen), namun tanpa tersentuh pembinaan. Pembinaan kerohanian terarah. Bahasa umum ya jadi kristen nominal. Kristen ktp. Kristen kapal selam. Kristen tidak jelas. Maka model kerohaniannya pun jadi serba tidak jelas. Ini fakta, ini kenyataan yang kita liat.
c. Kelompok kerohanian 'Kristen' model Yudas (kontra tidak frontal).
Kelompok kerohanian ini jelas ada dalam kehidupan umat Kristen secara umum. Spiritualitas yang tidak terbentuk dengan benar, sehingga menjadi "duri dalam daging", pengkhianat, musuh dalam selimut dalam kumpulan domba2 Kristus. Sepertinya menampakkan gaya kerohanian Kristen yang asli, sejati; padahal tanpa memiliki komitmen, kesetiaan, ketaatan yang sungguh2: total! Tidak ber-sungguh2 dan konsisten dalam melaksanakan tugas dan panggilan spiritualitasnya. Bukankah Yohanes dalam suratnya, pernah mengatakan bahwa para antikris dan nabi2 palsu adalah berasal dari kalangan umat Tuhan (Kristen) sendiri; namun mereka adalah orang2 yang dijumpai tidak bersungguh2 dalam Firman Tuhan dan dalam menjalankan amanat panggilan dan kehendak Tuhan.
Delapan (8) Model Gaya Kerohanian (Spiritualitas) Kristen di Tanah Air.
Dan, dengan merefer Alkitab serta referensi hasil2 penelitian seperti yang dilakukan Dr Joseph T Shao dari BSoP Manila sertga pandangan2 C.S Lewis maupun L. Pouyer, maka untuk konteks kerohanian kristen di tanah air, menurut penulis ada paling tidak 8 (delapan) ragam corak model/gaya2 kerohanian kristen yang dapat dijumpai di Indonesia , sebagai berikut:
1. Model/gaya kerohanian (spiritualitas) kristen: Komitmen, obedience.
Gaya kerohanian kristen dari tokoh/individu/komunitas kristen ini adalah komitmen, komitmen dan komitmen. Sangat anti "komat-kamit", omong doang alias NATO (No Action Talk Only). Menekankan kualitas, kualitas dan kualitas. 'Tidak sabar' terhadap mereka yang tidak taat, tidak komitmen, hanya berperilaku relijius namun tidak menjalankan apa yang diibadahkan, dikhotbahkan, diomongkan dalam perbuatan dan kesaksian sehari-hari. Penulis menengarai tokoh2/individu/kelompok komunitas ini sangat sedikit di negeri yang kita cintai ini.
Model kerohanian komitmen ini terlihat nampak jelas pada kehidupan dan pengajaran Samuel (dalam PL), dan rasul Paulus (dalam PB). Model kerohanian yang menekankan nilai2 ketaatan (obedience), taat tanpa reserve, bahkan ketaatan radikal kepada Tuhan/Kristus. Komitmen sejati, bukan komat-kamit. Mencerminkan kepemimpinan penuh keteladanan, kepemimpinan yang konsisten. Satu kata, hati dan perbuatan. Konsistensi dalam hidup dan kerohanian, dalam rentang waktu yang sangat lama. Bersemboyankan “no retreat, no regret, no reserve” (pantang mundur, pantang menyesal, ‘pantang punya cadangan’). Tokoh Maria, ibu Yesus dan Yohanes dalam PB, juga mencerminkan ketaatan, kepasrahan, kesetiaan (faithfulness) dan kebergantungan yang mutlak kepada kehendak dan rencana Tuhan.
Contoh model ini ada pada kehidupan sangat banyak tokoh sejarah gereja/kristen dari Barat. Ada pada kehidupan Dr I. L Nommensen (zending missionar Batak), Hudson Taylor (pendiri China Inland Mission), Dr John Sung (penginjil Api Asia) dan Dr John Stott (Anglican/InterVarsity UK). Di Indonesia, menurut penulis bisa dilihat pada kehidupan Dr Dorothy Marx, Keluarga Tong bersaudara (Dr Stephen Tong, Dr Kaleb Tong, dll), alm. Dr Justin Sihombing (Ephorus HKBP), alm penginjil Jeremia Rim, tokoh2 reformed injili, pendiri/pembina/pelayan perkantas, tokoh lpmi, tokoh2/pelayan abba-love, pastor2/biarawan/biarawati katolik dan pendeta2/evangelis2 yang bekerja di tanah air, tanpa lelah – tak dapat disebutkan namanya satu persatu, dll.
2. Model/gaya kerohanian kristen: Kasih dan Kekudusan.
Model ini nampak jelas pada kehidupan Yusuf, Daniel (dalam PL) dan rasul Yohanes, Petrus dan Paulus (dalam PB). Cukup banyak tokoh2 Barat yang menekankan perihal hal ini seperti J.I. Packer, A.W. Tozer, Billy Graham, dll. Tokoh2 injili/komunitas gereja Baptis dan gerakan Holiness (Keswick movement) di Indonesia dan beberapa aliran puritan, gereja2 karismatik dan beberapa lembaga2 pelayanan Kristen di negeri ini, sangat menekankan pentingnya kedua hal ini: kasih & kekudusan. Kelompok dengan gaya kerohanian kristen ini juga relatif sedikit dijumpai di negeri ini.
3. Model/gaya kerohanian kristen: Kasih dan Kesatuan/Keesaan, unity, unitarial’.
Model ini nampak jelas pada kehidupan Musa/Yosua (dalam PL) dan rasul Petrus dan Yohanes (dalam PB). Pentingnya bagi individu/tokoh2/komunitas ini peran kasih yang tercermin dalam kesatuan, keseimbangan, dialog dalam perdamaian, toleransi, dst. Gereja2 dalam naungan oikoumenical (gerakan oikoumenis) di Indonesia, terutama dalam wadah PGI (HKBP, GPIB, GKI, GBKP, dll) sangat menekankan hal ini: kasih dan keesaan. Tentunya juga gereja-gereja suku, gereja2 yang terbentuk dan dipertautkan melalui pergumulan/pengalaman historis, melalui juga kesamaan sosial (social similarities) tradisi suku atau etnis di mana mereka terlibat. Selain iman, 'kasih' yang merekatkan mereka adalah kesatuan-kesamaan etnis/suku/budaya/latar belakang zending sejak jaman kolonial.
4. Model kerohanian kristen: Mistik (mistis, mystical).
Pemahaman iman lebih ditekankan kepada segi mystical, mistis. Iman yang mistis. Sesuatu yang supranatural, adikodrati. Kurang melibatkan aspek akal budi (reasons), tapi lebih kepada aspek penglihatan, nubuatan dan sejenisnya.
Model ini banyak dinuansa oleh hidup dan tradisi kenabian nabi2 Yesaya dan Yehezkiel dalam PL. Orang2 Kristen di Indonesia (gereja2, ministry) yang diwarnai oleh pelayanan gerakan pentakosta dan karismatik dari Amerika (Pincster, Jane Seymore, Bethel Churches USA), dari Korea Selatan (David Yonggi Cho), dan dari kelompok pentakosta/karismatik tradisi Cina dan (mungkin) Jawa/lokal2 lainnya di Indonesia sebagaimana dijumpai pada pendiri Gereja Bethany Successful Families, GBI Bethany (dulu), Gereja Tiberias, Benny Hinn Ministries, dll. Banyak sekali umat Kristen yang 'mencari' opsi2 penyembuhan, kesehatan, rejeki (bekat, blessings), kebutuhan psikologis lainnya terlibat dalam pelayanan tokoh/individu/komunitas/gereja dengan gaya kerohanian seperti ini.
5. Model kerohanian kristen: Kasih, Komunitas dan Keadilan.
Banyak diwarnai oleh tradisi kenabian nabi2 Mikha dan Amos. Kedewasaan kerohaniannya tercermin dalam dedikasinya mlayani komunitas (miskin, kurang beruntung, korban ketidak-adilan): orang2 Kristen di Indonesia (gereja2, ministry) yang diwarnai oleh pelayanan tokoh2 Kristen Parpem DGI/PGI, tarekat Katolik besutan Fransiscus dari Asisi, Bunda Theresa, Canossan, dll, Romo Van Brouwer (ICCO Belanda), Romo Mangunwijaya di Kali Code Yogya, tokoh2 pendiri Tear Fund UK, Holland, NZ, Romo Sandyawan dan masih banyak lagi pionir2 dari kelompok2 pelayanan Kristen bagi orang susah dan menderita (BfdW, OI, MT, WPSS, BN, YAO, JK Bali, MCh, Japras, dll).
6. Model kerohanian kristen: Asketis.
Dinuansa oleh tradisi kenabian dari Yonadab bin Rekhab, leluhur Rekhabites: model kerohanian bernuansa asketis (model asketis). Orang2 Kristen di Indonesia (gereja2, ministry) yang diwarnai oleh pelayanan a.l: Watchman Nee, Sadhu Sundar Singh, pendiri2 pertama Gereja Bali buah pelayanan misi CMA/CAMA yang mengalami penganiayaan/pembuangan/ pengucilan dari masyarakat Hindu di Bali (era 1930-1960), dll.
7. Model kerohanian kristen: Skeptis, apatis (Sceptical).
Cendrung dinuansa oleh model gaya kerohanian Thomas, murid Yesus dalam PB. Lebih ingin percaya jika melihat, beriman jika mengetahui dan mengerti dahulu. Padahal iman kata Yesus, adalah percaya walau tidak melihat. Percaya meski belum mengerti sepenuhnya. Namun model gaya spiritualitas ini lebih cendrung mengandalkan rasio dan pertimbangan intelektualnya. Intelektual penting dan sangat perlu, namun rasio dan intelek perlu atau mesti ditundukkan kepada otoritas kehendak Tuhan sebagaimana tertulis pada Scripture (Alkitab). Thomas menerima banyak belas kasihan dan rakhmat Tuhan dalam pembentukan kerohaniannya.
8. Model kerohanian kristen: Kontemplatif
Banyak dinuansa oleh tradisi kenabian dari nabi Habakuk dalam PL. Yang mempertanyakan kebenaran, keadilan dalam meditasi perenungan yang bersifat kontemplatif.
Orang2 Kristen di Indonesia (gereja2, ministry) yang diwarnai oleh pelayanan tokoh2 misionaris Kristen/Gereja dari Korea yang dalam 10 tahun terakhir ini banyak membina/bekerjasama dengan gereja/pelayanan/STT di Indonesia .
Uraian diatas adalah contoh2 ragam model/gaya2 kerohanian kristen yang banyak ditemui di negeri kita, paling tidak dalam 10-20 tahun terakhir ini.
Model/gaya kerohanian manakah dari uraian ragam di atas, yang lebih tepat, baik dan benar? Itu terpulang dari pemahaman dan pengkajian anda sendiri.
Model, gaya kerohanian (spiritualitas) Kristus Yesus sebagai Model kerohanian (spiritualitas) Ideal.
Tentu yang kita harapkan dan rindukan sebagai orang Kristen di negeri ini sudah selayaknya adalah model, gaya kerohanian (spiritualitas) Kristus Yesus, sebagai model/gaya kerohanian kristen acuan yang ideal. Ideal sepatutnya karena telah mencakup seluruh model/gaya2 kerohanian di atas. Suatu gaya kerohani-an yang ideal, sempurna, komplit dan dewasa utuh (Yun: teleios, teleion).
Soli Deo Gloria !
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) *)
Monday, April 16, 2007
Popularitas Kini Makin Menjadi Bak Dewa: Makin Dikejar Makin Disayang dan Diimpikan !
Apa benar jadi populer itu enak?
Banyak orang kini dari berbagai kalangan dan profesi, menjadikan popularitas bak dewa: dikejar, disayang dan diimpikan. Anggapan kalau sudah populer semasa hidup, rasa-rasanyanya bisa hidup lebih enak. Lebih aman, dan pastinya nyaman. Padahal nyatanya tidak demikian. Banyak orang yang sudah populer, setelah populer kehidupannya tidak lebih aman dan nyaman. Malah jadi banyak terganggu. Kehidupan privacy yang tidak mestinya diungkap, lalu jadi konsumsi publik. Kemana-mana tidak bisa leluasa. Selalu dikuntit, diamat-amati membuat diri jadi salah-tingkah. Serba terikat. Harus didampingi banyak pengawal dan banyak segala macam urusan protokoler yang menghimpit. Populer itu berat. Kalau ngga kuat, bisa jadi stress berat.
Populer: repot tapi tetap saja dikejar.
Namun toh banyak juga orang tidak peduli, tetap kejar popularitas. Tetap ingin jadi populer, ngetop. Maka, melalui berbagai usaha kalau perlu pakai sensasi jadilah dia populer, atau paling tidak merasa diri populer (grp istilahnya: gede rasa populer).
Tebar pesona dan menjaga citra populer.
Syahdan, orang yang telah populer atau mulai “naik daun”, setelah diberi pilihan suara serta amanah (baca: mandat) pun, ternyata tidak mampu menyejahterakan betul2 pemberi amanah, yakni konstituen pemilihnya. Karena apa? Karena ternyata orang populer itu kenyataannya jadi lebih sibuk menjaga kepopulerannya ketimbang kerja. Kerjanya itu ya jadi menjaga kepopulerannya. Menjaga citra populer, jaga image (jaim), "politik pencitraan" istilah sekarang. Itu lebih penting ketimbang kerja memikirkan, mengupayakan, melaksanakan program kesejahteraan konstituen secara lebih serius, apalagi mau mendampingi dan mau hidup bersama-sama di tengah-tengah rakyat yang telah memilihnya.
Untuk jaga citra kepopuleran itu ternyata memang butuh sekali waktu, butuh duit keluar, butuh penampilan yang selalu okey, butuh survai untuk lihat dinamika fluktuasi rating popularitas, butuh sensasi baru, butuh isu-isu baru yang bisa diangkat ke permukaan, agar popularitas jangan anjlok.
Post 'popularity' syndrome.
Bagi orang populer, popularitas turun sungguh menyakitkan. Apalagi bila sekarang tidak populer lagi, setelah sebelumnya sempat populer dan dielu-elukan umat atau masyarakat. Makanya perlu ekstra hati-hati menjaganya. Bisa-bisa jatuh setiap saat. Bisa terkena gejala yang dinamakan “post popularity syndrome”. Tanda-tandanya mulai sering melihat wajah dan penampilan di cermin. Tanya diri, apakah wajahku tidak menarik lagi. Penampilanku tidak okey lagi. Gaya bicaraku tidak berwibawa lagi. Gaya orasiku tidak menawan lagi. Apakah aku tidak mampu tebar pesona lagi. Aku tidak sekuat dan sebugar dulu lagi, dst. dst. Yang tanggap positip, bisa menerima keberadaan diri sekarang yang tidak lagi populer. Siap jadi ‘orang biasa’. Namun yang tanggap negatif dan tidak bisa menerima keadaan, mulai lakukan tanda-tanda reaksi cepat. Mulai rasa tidak nyaman lihat orang. Menyalahi keadaan. Gatal. Tidak senang dengan orang yang sedang di puncak popularitas. Sindrom kepiting, katanya. Apalagi kalau yang tidak disenangi rival terselubung atau rival terbuka, masih lebih yunior pula. Mulai cerita, mulai mencerca, dan tidak mau tegur sapa apalagi duduk berdampingan dengan orang yang sedang populer. Mutung! Bahkan yang lebih mengenaskan, ada orang mantan populer lari ke area-area berbahaya. Lari pakai obat tidur alias valium serta obat2an terlarang alias narkoba. Tidak bisa menerima kedirian. Pikirnya aku harus populer, tetap populer. Meskipun sekarang tidak lagi populer, harus populer. Aku nggak mau, mesti terus populer!
Popularitas = hidup nyaman ?
Populer sudah jadi sejenis dewa atau idol. Idol popularitas. Kalau sudah mengandalkan dewa atau idol ini pokoknya semua urusan diharap jadi lancar, semua berjalan okey, semua cespleng. Dana atau fund-raising bisa digalang, bisa diraup. Anggaran tercukupi. Kegiatan apa pun bisa dijalankan. Kemana-mana tidak susah. Bisa banyak jalan-jalan atau travel. Belanja dapat diskon. Ke bandara bisa melenggang masuk excecutive-lounge. Kemana-mana orang cium tangan. Gestur lambaian tangan pun sudah lain, langsung ditanggap orang. Selalu minta difoto bersama dan minta tanda-tangan. Kalau difoto berdiri atau duduk selalu paling tengah. Kemana-mana dikawal. Banyak asisten dan dayang-dayang. Pokoknya asyik ciamik deh. Terlalu banyak fasilitas kenyamanan didapatkan. Hidup rasanya jadi aman, tentram, nyaman,
Bagaimana dengan amanat?
Tapi.. gimana dengan amanat atau mandat yang dibebankan ke pundak oleh pemilih ya? Amanat untuk menyejahterakan masyarakat, mencerdaskan bangsa, mendewasakan umat? Yah itu tetap jalanlah.. Gampang diatur. Gimana deh pokoknya kegiatan diatur, agar popularitas jangan anjlok. Jadi program diatur agar popularitas tidak turun. Kesejahteraan? Pencerdasan? Pendewasaan? Program bidang itu tetaplah dijalankan, tetapi sebisanya program-program itu tidak boleh keluar dari ‘koridor’ yaitu tetap mempertahankan popularitas agar tidak anjlok.
Prioritas dalam Teori Rostow tambah satu: Popularitas!
Prioritas utama masa kini adalah popularitas. Teori Rostow menurut orang populer ini harusnya ada empat: satu, popularitas, dua stabilitas, tiga pertumbuhan dan empat, pemerataan. Stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan itu harus tetap merujuk kepada yang prioritas pertama, popularitas. Tiga terakhir proforma saja lah (bahasa Batak bilang “ondeng”, Red).
Bagaimana dengan stabilitas?. Gimana umat, masyarakat masih banyak konflik atau rusuh bagaimana? Yah tetap diuruslah demi stabilitas toh. Lihat Timtim kan beres, Aceh beres, Papua beres! (beres apanya ?!) Tapi ingat, yang diurus adalah yang jadi konflik atau kerusuhan2 populer saja. Konflik yang tidak populer jangan. Jangan liat kasus-kasus yang tidak populer, itu tidak perlu jadi fokus. Yang kelaparan? Yang bencana? Yang kecelakaan? Iya urus, kerjakan hanya kasus-kasus yang populer saja, yang sempat diangkat di media massa dan diketahui masyarakat. Termasuk flu burung. Supaya kelihatanlah kita kerja. Dengan demikian, orang akan liat kita tetap giat kerja. Masyarakat senang sama kita, sehingga tetap populer. Jadi, prinsip yang kita pakai: Kasus populer untuk tetap jadi populer!
Bagaimana dengan pertumbuhan (ekonomi)? Ya tetap toh diurus. Area, bidang atau satu-dua sektor yang mulai dan sedang tumbuh, terus saja dipromosikan tiap hari. Jangan sampai lupa itu. Usahakan orang tau pertumbuhan di sektor atau sub sektor itu. Sehingga orang tau, ada kerja kita dalam upaya pertumbuhan sektor itu. Sektor-sektor yang tidak tumbuh, macet, ya jangan dimunculkan. Tapi.. banyak sektor yang tidak tumbuh? Ya ngga apa-apa, tidak usah dilaporkan. Gitu aja koq repot. Bodoh kalau kau laporkan itu dan munculkan ke permukaan. Lagian ingat 'Teori Pertumbuhan' dong, kan sudah tidak lagi banyak diminati orang. Tidak populer. Jadi tidak perlu kita terlalu perhatikan soal pertumbuhan ini. Fokus kepada pertumbuhan tidak boleh lebih besar dari fokus kita ketimbang popularitas dan popularitas. Pokoknya begini, angkat sektor-sektor yang bisa tumbuh, meskipun hanya 1-2 saja, untuk proforma saja. Sektor-sektor yang tidak tumbuh, diamkan saja. Jangan bangunkan‘macan tidur’. Orang tidak mau lagi bicara pertumbuhan. Kalaupun mau juga, sektor pertumbuhan fokus saja yang kita angkat, sektor yang benar-benar bisa menjamin popularitas kita. Kebijakan-kebijakan yang kita angkat ke permukaan pun adalah kebijakan-kebijakan yang bisa menyenangkan masyarakat walau hanya sesaat. Seperti makan permen sajalah. Itu namanya kebijakan populer. Meskipun hanya ada satu dua, angkat saja. Kebijakan-kebijakan yang tidak populer meskipun banyak, jangan diangkat, jangan diberitakan kepada khalayak. Cukup kita-kita saja yang tau. TST lah. Bisa susah kita nanti. Intinya camkan prinsip ini: Kebijakan populer untuk popularitas. Lihat selalu prioritas satu, Popularitas!
Bagaimana dengan pemerataan? Kesejahteraan dan keadilan sosial? Nyatanya masih banyak yang miskin dan tidak berdaya. Di desa di kota. 60 jutaan menurut data tahun 2005. Bahkan ada informasi bertambah lagi hingga 80 jutaan setelah kebijakan kenaikan BBM yang sangat luar biasa itu di kuartal III 2005? Oh..itu, isu rumor, isu saja. Kita sudah beri tahu kan pengamatan penelitian kita di awal 2006, yang miskin kan tinggal 30 jutaan saja. Dibanding jumlah penduduk 220 juta, kan itu hanya kurang dari 15%. Kecil itu, peanut! Lagian mereka kan tinggal di tempat-tempat yang tidak populer, macam desa, pinggiran kota dan kawasan kumuh. Nama-nama kabupaten dan provinsi-provinsinya juga tidak populer, susah dijangkau pula. Sudah, sudah baguslah kinerja kita itu. Kita sudah ngga krisis koq. Siapa yang bilang kita masih tertimpa krisis. Tidak, itu pemberitaan miring. Berita seperti itu nggak akan mempengaruhi kebijakan dan tingkat kepopuleran kita.
Upaya pembenaran.
Tapi kan pengamatan itu dilakukan sebelum kebijakan BBM kuartal III 2005 dan dilakukan pada musim panen raya? Oh... itu, ya, kan mana tau rakyat. Ndak usah digembar-gemborkanlah hal itu. Yang mengkritik itu kan, orang2 yang nggak ada kerjaan saja. Lagi sudah nggak populer pula. Demo juga demo kesiangan. Mereka mau populer tapi kan nggak pernah bisa populer. Atau sudah pernah sempat populer, tapi dulu...sekarang kan ngga populer lagi. Sekarang begini deh... Kita tidak peduli lah, mau yang miskin 30 juta, 60 juta, 80 juta itu nggak penting. Yang penting, kita bikin masyarakat senang walau sesaat, tonjolkan saja informasi-informasi lain saja, yang lebih mengundang tawa, lebih menghibur walau sesaat. Informasinya misalnya tentang pertumbuhan, meski kita sudah usang tapi bisa kita pakai lagi. Pertumbuhan kan sudah beranjak naik 5%. Mengenai kemana yang 5% ini terdistribusikan, kita ngga usah pusing. Ndak usah pikirin sampai ke situ. Yang penting pertumbuhan tidak rendah atau tidak jadi negatip. Masyarakat pasti sudah senang itu. Persepsi yang penting, yang bisa ciptakan. Untuk kelompok yang miskin itu, bikin gampang saja bikin kegiatan “bagi-bagi duit”. Nggak usaha mereka jadi berdaya atau mandiri, itu terlalu idealis; yang penting bagi kita prinsipnya masyarakat jangan berontak. Itu saja. Itu kan sudah prinsip yang terbukti manjur sejak dulu. Urusan kegiatan pengamatan dilakukan saat panen raya atau bukan dalam penelitian kita, itu juga tidak penting. Bottom linenya bukan di situ. Memang petani selama ini tidak kerja? Kerja kan. Setelah panen raya kan petani kerja juga. Jadi buruh, jadi tukang galian, tukang kayu, penjaga warung, jadi tukang ojeg, ada juga yang jadi nelayan, pengrajin, PRT, calo terminal, pemulung, penjaja makanan lampu merah, jadi germo, PSK dll. Mereka tetap kerja toh. Tidak nganggur. Jadi harusnya kita anggap saja mereka ngga miskin. Salah tuh angka 60 juta apalagi 80 juta miskin. Itu tidak benar. Kita ngga usahlah publikasikan hal-hal yang begituan. Soal petani, kan memang sudah dari dulu mereka begitu. Mau diapa-apain juga tetap begitu. Yang kita bela yang penting 2 hal: komoditi beras dan pihak konsumen beras saja, bukan petani. Petani itu kan memang sudah banyak masalahnya dari dulu. Rendah tingkat pendidikannya, lahannya juga kecil-kecil, ngga tau juga masalah fluktuasi harga, penyimpanan dan pemasaran. Baiknya bagaimana juga ngga tau, itu salah mereka. Tak cukup waktu lah untuk cari cara manjur untuk petani. Balik lagi, yang penting 2 hal tadi: komoditi beras dan konsumen beras, konsumen nasi. Kalau sulit beras atau nasi, ya impor saja dari Vietnam, Kamboja, Thailand atau Cina. Gampang, kenapa sulit. Ingat, beras sekali lagi beras, bukan komoditi sembarangan tapi komoditi populer. Jadi prinsipnya, komoditi populer harus ditangani demi popularitas kita jangan anjlok.
Popularitas kini jadi panglima?
Nah, begitulah. Di tengah kasus-kasus populer yang diangkat, kebijakan populer oleh tokoh-tokoh populer dan kecendrungan masyarakat yang makin keranjingan dengan segala sesuatu yang juga serba populer: minta berfoto dan tanda-tangan dengan orang populer, nonton orang populer, merek populer (meskipun bajakan, ngga apa2), dan telah jatuhkan pilihan pada tokoh populer saat Pemilu, maka popularitas kini telah menjadi semacam dewa atau idol, namanya dewa Popularitas. Popularitas menjadi segala-galanya. Kini popularitas dianggap lebih tinggi nilainya ketimbang nilai kapabilitas/nilai kemampuan seseorang. Lebih penting dari nilai-nilai kekuatan, kepintaran, kebersamaan, rasa malu, moralitas, kesehatan, kekayaan, kesalehan sejati, kejujuran apalagi kasih dan kebenaran (truth). Kalau kurang dalam hal nilai-nilai selain popularitas, bisa deh dipoles. Dipoles-poles dikit. Yang penting sudah sedikit kelihatan kuat, pintar, ada kebersamaan, ada rasa malu dan seterusnya. Polesan itu wajib, prinsipnya polesan (pengelabuan, kamuflase) yang menjamin popularitas.
Prinsip pokoknya bagi banyak orang masa kini:
Buat apa punya kemampuan, kalau tidak populer
Buat apa kuat tapi tidak populer
Buat apa pintar tapi tidak populer
Buat apa faktor kebersamaan dan kesatuan kalau tidak populer
Buat apa punya rasa malu kalau tidak populer
Buat apa punya moral dan kejujuran kalau tidak populer
Buat apa kesehatan kalau toh itu tidak populer
Buat apa punya kekayaan kalau tidak dipamer atau tidak populer
Buat apa jadi saleh kalau tidak populer, dan tidak dipopulerkan
Buat apa punya kasih sayang dan kebenaran, kalau ujung2nya tidak populer
Anasir2 dan antek2 popularitas.
Jadilah sekarang, yang digandrungi diidolakan dikejar disayang dan diimpikan masyarakat adalah popularitas. Antek2nya popularitas ya para penggiat, anasir dan idol-idol popularitas. Ngga penting populer karena punya rasa malu atau tidak punya rasa malu. Tidak penting bodoh atau pintar. Tua atau muda. Kaya atau miskin. Bersikap kanak-kanak (childish) atau dewasa. Tidak penting itu laki-laki, perempuan atau waria. Semua antek tumplek dalam klub lingkaran dewa dan idol popularitas. Oh, bukan main banyaknya, bejibun!. Lihat bertebaran pelawak-pelawak, band-band, artis dangdut, idol-idol penyanyi, penari, aktris film, redaktur koran/tabloid, tukang sulap, tukang ramal, tukang sihir, tukang lenong, seniman, pemain bola, pemain bulutangkis, penggiat demo, politisi selebritis, pengacara selebritis, dokter /direktur/manajer professional/ pegawai selebritis sampai pendeta selebritis, kyai ulama ustadz-ustadz selebritis dan ada juga biksu selebritis. Dari pejabat/jenderal/ anggota2 legislatif/jaksa/hakim/ bupati/ gubernur selebritis, sampai menteri selebritis dan bahkan….Presiden/Wapres selebritis. Aneh dan lucunya, berbagai bencana, swalayan bencana, puluhan ratusan bahkan ribuan jenis bencana yang tidak populer terus terjadi silih berganti beriringan. Banjir, longsor, konflik suku dan daerah, KA terbalik, pesawat jatuh, pesawat hilang, kapal tenggelam, flu burung, narkoba, HIV/AidS, teror bom, yang belum lekang dari ingatan: Tsunami Aceh, gempa Yogya/Klaten/Bantul, gempa dan tsunami Pangandaran, lalu demam berdarah, kasus KKN, kasus pembalakan liar, kasus orang hilang, kasus sutet, kasus santet, money laundering, pembobolan bank, korban longsor sampah dan masih banyak lagi yang tak terhitung bila dilist, tidak populer sama sekali, terus terjadi hingga sekarang .... Tapi tetap aja banyak orang tidak mau itu, segera melupakan hal-hal yang tidak populer itu, secara konsisten kembali mengejar, sayang dan mengimpikan popularitas.
Kenyataan kontradiktif dibanding tokoh2 legend.
Jika menengok ke belakang dan contoh hati ini, anehnya ada selalu tokoh-tokoh sejati yang mewarnai dunia dari dulu hingga sekarang, yang jika ditelisik, semasa hidupnya tidak pernah memimpikan diri mereka akan populer. Nyaris tidak ada yang pernah punya ambisi setitikpun untuk jadi populer, jadi idola apalagi jadi selebritis. Ketika orang-orang ini ditembak mati, dihilangkan, terjepit, dalam pengasingan atau meninggal, barulah mereka jadi populer sampai hari dikenang dunia sepanjang masa. Itu lebih banyak karena buah kebaikan mereka, karena perjuangan tanpa henti, karya masterpiece yang diperbuat mereka. Popularitas sejatinya bukan menjadi tujuan mereka. Popularitas nyatanya ‘hanya’ implikasi dari karya-karya pengabdian mereka yang luar biasa; yang tidak kunjung padam selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya. Melalui banyak pembelajaran, percobaan dan pengorbanan. Sebut saja nama-nama Madame Teresa, Martin Luther King Jr, Wright Bersaudara, Thomas Alfa Edison, Galileo Galilei, Pablo Picasso, John Locke, David Hume, Emmanuel Kant, George Washington, Raffles, W. Shakepears, Mahatma Gandhi, J. Nehru, Mozart, Tolstoy, Rostow, Magsaysay, Nelson Mandela, Auy Sun Kyii, Lee Kuan Yew, Jimmy Carter sampai Muhammad Yunus Grameen Bank Model, Pemenang Nobel Perdamaian 2006. Di Indonesia ada Bung Karno, Bung Hatta, Jend. Sudirman, pelukis Affandi, J. Leimena, TB Simatupang, Yap Thian Hien, Pramudya Ananta Toer, Baharuddin Lopa sampai Munir. Tentu masih banyak tokoh2 low-profile yang bisa disebut dengan sejuta excellent works. Tokoh-tokoh itu bisa senior bisa lebih muda, sedang bermunculan di kancah atau bidang seperti: seni, budaya, penulis dan novelis, pendidikan dasar, demokrasi dan penegakkan hukum dan keadilan, aktivis sosial dan bidang kemasyarakatan lainnya. Mungkin mereka tidak populer sekarang, dan memang tidak berambisi untuk populer mungkin selama masa hidupnya, namun di kemudian hari dipastikan akan jadi tokoh yang turut mewarnai Indonesia dan mungkin dunia. Memang ada nama-nama populer lain juga, yang populer tetapi populer karena keburukan mereka atau skandal memalukan yang mereka lakukan. Tapi itu biasanya dipergunakan hanya untuk bahan-bahan sindiran atau olok-olokan Om Pasikom, pojok-pojok harian koran atau dalam today's dialoque, seperti nama Hitler, Maria Eva, Machievelli, Harmoko, Brutus, Delilah, Marcos, Aa Gym, dll. Untuk di republik ini mungkin tidak begitu sulit untuk menyebutkannya, jauh lebih mudah dari pada menghapal rumus fisika atau kimia, untuk menyebutkan contoh-contoh atau nama-nama orang populer namun buruk kinerja dan reputasinya. Ya dari kalangan pejabat, partai politik, anggota dpr, polisi, pebisnis, perguruan tinggi, tokoh agama, kalangan artis sampai orang biasa.
Kenapa cukup mudah untuk menyebutkannya? Ya nyaris karena itu tadi, fenomena di negeri ini orang lebih mengejar rating popularitas, tebar pesona dan rasa ingin buru-buru tampil dan pamer diri. Kenapa sih "demen banget" cari popularitas seperti begitu. Ya mungkin kebanyakan telah terkena semacam sindrom penyakit, bukan HIV/AidS atau flu burung, tapi penyakit “rasa bosan”. Bosan ‘jadi orang biasa’ yang tidak pernah ngetop, bosan jadi ‘orang rumahan’, bosan ‘hidup susah’, bosan ‘jadi kere’, bosan ‘jadi bawahan terus’, bosan ‘mendem jero’, bosan ‘selalu dimanfaatkan', 'selalu dieksploitasi' dan bosan 'didzolimi pihak lain’. Banyaklah jenis-jenis bosan lainnya yang mungkin sebagai pertanda inferiority, rasa lebih rendah dari pihak lain dari bangsa lain, minder menahun minder latent minder klasik yang tak teratasi. Nah, untuk mengatasi itu kejar popularitas dianggap jadi jalan keluar yang tepat. Demikianlah nyaris sekarang segalanya diberikan dikorbankan untuk dan demi popularitas. In the name of popularity. In the name of 'dewa Popularitas'. Dewa Popularitas: dikejar, disayang dan diimpikan !!
Bagaimana dengan anda? Apakah anda juga sedang mengejar dan mengimpikan popularitas dengan rasa sayang? Wallahu alam.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Sunday, April 15, 2007
Sejatinya Tugas Agama (Kristen, Gereja), Agama2, Masyarakat & Peradaban.
Tanpa niat menggurui, saya ingin sharingkan kepada kita semua sejatinya mengenai tugas agama (kristen, gereja), agama-agama, masyarakat dan peradaban.
Tugas agama, dalam hal ini kita kristen (gereja) baik untuk kalangan internal gereja (mis. HKBP, GBI, GKI,dll) maupun dalam eksistensinya di masyarakat lokal, nasional, Asia dst, mempunyai dua sisi yang selalu saling terkait namun menurut pengalaman bisa bernuansa paradok (paradoks artinya nampaknya saling bertentangan, kontradiktif, namun sebenarnya tidak saling mendukung dalam asas pre-requisite/berurutan).
Sisi pertama, tugas memelihara domba2, menjaganya, membina sampai setiap umat kita mencapai kedewasaan penuh dalam Kristus. Ini bukan hanya tugas pendeta jemaat di lapangan, tapi seluruh elemen: sintua, guru jemaat, evangelis, staff fungsional dan biro sinodal, klasis/distrik, huria, pemimpin wijk, pemimpin keluarga dan individu2 yang telah dewasa dan didewasakan melalui pembinaan2. Panggilan dan tanggung-jawab koinonia, diakonia, marturia (tentunya tugas evangelia, pastoralia, kerygma, evangelia, eduacatia dst) harus terus dijalankan, dioperasionalkan dalam penjemaatannya secara konsisten, tidak boleh sedikit pun ditinggalkan tanpa dalih atau alasan apapun dalam dinamika perkembagan sekarang ini.
Sisi kedua, tugas memelihara dan menjaga peaceful-coexistence, semua umat agar umat kita dapat hidup berdampingan dengan sesama umat beragama lainnya dan dengan umat yang tidak mendasarkan hidupnya pada agama apapun (secular, liberalisme, postmo, free thinkers) dalam semangat perdamaian, respek dan toleransi. Dengan demikian, diharapkan kondisi lokal kita, negeri kita, benua kita ( Asia ) dan dunia sedapatnya bisa bertambah baik, maju (civilized), ordered dan penuh kemuliaan sesuai peta dan teladan Tuhan (imago Dei), jauh dari tindak kekerasan, perseteruan dan kebiadaban.
Fenomena pindah agama kekinian harus dilihat dari kedua sisi ini. Bagi pemimpin gereja dan umat kristen, formal dan informal, sisi yang satu harus dilakukan, namun sisi kedua tidak boleh ditinggalkan. Yang satu tidak boleh dikorbankan, demikian juga dengan sisi kedua. Tidak gampang memang, tetapi wajib dilaksanakan sebagai tugas panggilan (calling). Dengan demikian kualitas, dignitas, tanggung-jawab dan equalitas kristen bersama-sama umat lainnya dapat diwujudkan di tengah masyarakat yang plural (tanpa menafikan singularitas kita) dalam membangun peradaban yang lebih baik dan maju.
Dalam peradaban lokal dan negeri yang sudah maju, keputusan individual untuk memilih re: agama, mazhab atau denominasi memang suatu obligasi (keharusan) dan merupakan keputusan privat atau keluarga, karena diputuskan berdasarkan alasan2 otonomi pribadi/keluarga, kedewasaan perenungan dan rasionalitas serta fairness. Namun masalahnya, di tingkat praxis yang saya ikuti di berbagai lokal daerah di negeri ini yang saya alami tidak demikian. Keputusan pilihan yang diambil masih sangat sarat dengan nuansa rekayasa, pembenaran diri dan mentalitas sempit, flickle (berubah-ubah) dan berjangka sesaat untuk kepentingan taktis. Nuansa alasan sekularitas juga sangat tampak, karena makin tipisnya kepedulian terhadap agama dan ketidak-sanggupan agama memberi contoh/teladan di tingkat aplikasi dan praxis keseharian. Sehingga otentisitas pilihan boleh jadi diragukan.
Ironinya, faktanya banyak kristen dan elemen gereja menekankan hanya sisi pertama namun lupa, tak mengerti sehingga mengesampingkan sisi kedua. Lebih malang lagi, kedua sisi tidak dilaksanakan sama sekali, malas, arogan namun takut dan bodoh. Secara analogis dan kemiripan, banyak agama di negeri kita dan bagian dunia lain, yang hanya memperjuangkan mirip-mirip seperti sisi pertama tugas panggilan kristiani, tapi kasat mata mengabaikan atau meniadakan sisi kedua. Bahkan yang dilakukan secara tidak fair dan sportif justru mengupayakan bagaimana agar sisi kedua jangan sampai dapat tercipta, baik melalui statement2, aturan2 yang dilontarkan maupun berbagai tindakan terorganisir yang sengaja menimbulkan perpecahan, kericuhan, konflik, perang dan situasi chaos di berbagai tempat – di aras elit maupun di tingkat basis, yang dikelola secara berkesinambungan guna melakukan intimidasi dan pemaksaan berdasarkan kepercayaan dan agamanya.
Kaum sekuler dan liberalisme, sudah lama tidak suka dan tidak menyukai sisi pertama untuk dilaksanakan. Tidak memperdulikan agama, khususnya yang bersumber dari Timur Tengah, dianggap hanya menjadi pemicu serta sumber kekerasan dan malapetaka di dunia. Mereka hanya memperjuangkan sisi kedua, untuk memperjuangkan kehidupan dunia yang lebih baik, lebih bisa serba bebas dan beradab. Kaum postmo pun demikian. Tidak menjadikan agama atau agama-agama khususnya yang bersumber dari Timur Tengah sebagai referensi. Melainkan bentuk kepercayaan mitos2 belief lokal yang disintesiskan dengan kepercayaan2 agama Timur non Timur Tengah serta sosiologis pemikiran2 global yang berkembang di Barat.
Maka menurut saya, sudah saatnya kita dalam lingkungan internal Kristen sekarang ini, tidak perlu/tidak usah lagi mendikotomikan mana pendeta (clergy) dan mana kaum awam (laity) di belakang kepala kita. Sudah waktunya sekarang, baik itu kaum praktisi, staf biro fungsional, pengamat maupun pemikir Kristen bahu-membahu agar sisi pertama dan sisi kedua dari tugas panggilan Kristen di tengah dunia ini terlaksana dengan baik secara seimbang-dinamis, penuh tanggung-jawab dan konsisten.
Segala kekurangan dan kealpaan tidak ada salahnya untuk diakui. Kekeliruan agama, masyarakat dan peradaban baik di tingkat paradigma, konsep maupun praxis tidak perlu ditiru. Selanjutnya mari kita bangun bersama semangat ketekunan, pendewasaan, keterbukaan, pemulihan, pembelajaran berkelanjutan, keberhasilan2 pertama dari lingkungan yang menjadi area kontrol dan concern kita, kedua peaceful coexistence di tengah masyarakat dan dunia.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Tugas agama, dalam hal ini kita kristen (gereja) baik untuk kalangan internal gereja (mis. HKBP, GBI, GKI,dll) maupun dalam eksistensinya di masyarakat lokal, nasional, Asia dst, mempunyai dua sisi yang selalu saling terkait namun menurut pengalaman bisa bernuansa paradok (paradoks artinya nampaknya saling bertentangan, kontradiktif, namun sebenarnya tidak saling mendukung dalam asas pre-requisite/berurutan).
Sisi pertama, tugas memelihara domba2, menjaganya, membina sampai setiap umat kita mencapai kedewasaan penuh dalam Kristus. Ini bukan hanya tugas pendeta jemaat di lapangan, tapi seluruh elemen: sintua, guru jemaat, evangelis, staff fungsional dan biro sinodal, klasis/distrik, huria, pemimpin wijk, pemimpin keluarga dan individu2 yang telah dewasa dan didewasakan melalui pembinaan2. Panggilan dan tanggung-jawab koinonia, diakonia, marturia (tentunya tugas evangelia, pastoralia, kerygma, evangelia, eduacatia dst) harus terus dijalankan, dioperasionalkan dalam penjemaatannya secara konsisten, tidak boleh sedikit pun ditinggalkan tanpa dalih atau alasan apapun dalam dinamika perkembagan sekarang ini.
Sisi kedua, tugas memelihara dan menjaga peaceful-coexistence, semua umat agar umat kita dapat hidup berdampingan dengan sesama umat beragama lainnya dan dengan umat yang tidak mendasarkan hidupnya pada agama apapun (secular, liberalisme, postmo, free thinkers) dalam semangat perdamaian, respek dan toleransi. Dengan demikian, diharapkan kondisi lokal kita, negeri kita, benua kita ( Asia ) dan dunia sedapatnya bisa bertambah baik, maju (civilized), ordered dan penuh kemuliaan sesuai peta dan teladan Tuhan (imago Dei), jauh dari tindak kekerasan, perseteruan dan kebiadaban.
Fenomena pindah agama kekinian harus dilihat dari kedua sisi ini. Bagi pemimpin gereja dan umat kristen, formal dan informal, sisi yang satu harus dilakukan, namun sisi kedua tidak boleh ditinggalkan. Yang satu tidak boleh dikorbankan, demikian juga dengan sisi kedua. Tidak gampang memang, tetapi wajib dilaksanakan sebagai tugas panggilan (calling). Dengan demikian kualitas, dignitas, tanggung-jawab dan equalitas kristen bersama-sama umat lainnya dapat diwujudkan di tengah masyarakat yang plural (tanpa menafikan singularitas kita) dalam membangun peradaban yang lebih baik dan maju.
Dalam peradaban lokal dan negeri yang sudah maju, keputusan individual untuk memilih re: agama, mazhab atau denominasi memang suatu obligasi (keharusan) dan merupakan keputusan privat atau keluarga, karena diputuskan berdasarkan alasan2 otonomi pribadi/keluarga, kedewasaan perenungan dan rasionalitas serta fairness. Namun masalahnya, di tingkat praxis yang saya ikuti di berbagai lokal daerah di negeri ini yang saya alami tidak demikian. Keputusan pilihan yang diambil masih sangat sarat dengan nuansa rekayasa, pembenaran diri dan mentalitas sempit, flickle (berubah-ubah) dan berjangka sesaat untuk kepentingan taktis. Nuansa alasan sekularitas juga sangat tampak, karena makin tipisnya kepedulian terhadap agama dan ketidak-sanggupan agama memberi contoh/teladan di tingkat aplikasi dan praxis keseharian. Sehingga otentisitas pilihan boleh jadi diragukan.
Ironinya, faktanya banyak kristen dan elemen gereja menekankan hanya sisi pertama namun lupa, tak mengerti sehingga mengesampingkan sisi kedua. Lebih malang lagi, kedua sisi tidak dilaksanakan sama sekali, malas, arogan namun takut dan bodoh. Secara analogis dan kemiripan, banyak agama di negeri kita dan bagian dunia lain, yang hanya memperjuangkan mirip-mirip seperti sisi pertama tugas panggilan kristiani, tapi kasat mata mengabaikan atau meniadakan sisi kedua. Bahkan yang dilakukan secara tidak fair dan sportif justru mengupayakan bagaimana agar sisi kedua jangan sampai dapat tercipta, baik melalui statement2, aturan2 yang dilontarkan maupun berbagai tindakan terorganisir yang sengaja menimbulkan perpecahan, kericuhan, konflik, perang dan situasi chaos di berbagai tempat – di aras elit maupun di tingkat basis, yang dikelola secara berkesinambungan guna melakukan intimidasi dan pemaksaan berdasarkan kepercayaan dan agamanya.
Kaum sekuler dan liberalisme, sudah lama tidak suka dan tidak menyukai sisi pertama untuk dilaksanakan. Tidak memperdulikan agama, khususnya yang bersumber dari Timur Tengah, dianggap hanya menjadi pemicu serta sumber kekerasan dan malapetaka di dunia. Mereka hanya memperjuangkan sisi kedua, untuk memperjuangkan kehidupan dunia yang lebih baik, lebih bisa serba bebas dan beradab. Kaum postmo pun demikian. Tidak menjadikan agama atau agama-agama khususnya yang bersumber dari Timur Tengah sebagai referensi. Melainkan bentuk kepercayaan mitos2 belief lokal yang disintesiskan dengan kepercayaan2 agama Timur non Timur Tengah serta sosiologis pemikiran2 global yang berkembang di Barat.
Maka menurut saya, sudah saatnya kita dalam lingkungan internal Kristen sekarang ini, tidak perlu/tidak usah lagi mendikotomikan mana pendeta (clergy) dan mana kaum awam (laity) di belakang kepala kita. Sudah waktunya sekarang, baik itu kaum praktisi, staf biro fungsional, pengamat maupun pemikir Kristen bahu-membahu agar sisi pertama dan sisi kedua dari tugas panggilan Kristen di tengah dunia ini terlaksana dengan baik secara seimbang-dinamis, penuh tanggung-jawab dan konsisten.
Segala kekurangan dan kealpaan tidak ada salahnya untuk diakui. Kekeliruan agama, masyarakat dan peradaban baik di tingkat paradigma, konsep maupun praxis tidak perlu ditiru. Selanjutnya mari kita bangun bersama semangat ketekunan, pendewasaan, keterbukaan, pemulihan, pembelajaran berkelanjutan, keberhasilan2 pertama dari lingkungan yang menjadi area kontrol dan concern kita, kedua peaceful coexistence di tengah masyarakat dan dunia.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Mengapa Hanya Fokus kepada Orang2 Tapanuli? Mengapa Harus Diadakan di Istora?
Saya tergelitik untuk turut berkomentar mengenai issue ini, berkaitan Komunitas Batak Diaspora (KBD) akan menyelenggarakan kembali Kebaktian Paskah Bonapasogit di Istora Senayan pada tanggal 22 April 2007. Konon, cukup banyak yang mempertanyakan kenapa pelayanan Kristen seperti KBD hanya memfokuskan pelayanan hanya untuk orang2 Tapanuli semata? Lagian kenapa harus diselenggarakan di gedung2 besar seperti Istora Senayan? Bukankah itu suatu pemborosan, apalagi kondisi masyarakat negeri ini sekarang sedang seperti sekarang.
Hemat saya issue atau topik seperti ini sebenarnya tidak perlu diperdebatkan lagi pada jaman ‘keterbukaan’ seperti sekarang. Sebenarnya tidak ada yang aneh, lumrah saja, tidak ada repotnya. Seperti kata Gus Dur: gitu aja koq repot. Era sekarang era komunitas, dan untuk pendekatan kepada komunitas bisa dilakukan melalui pendekatan apa saja: individual, multimedia, small group, massal, supra massal, teleconference, dsb. Kita mesti open-minded. Seperti gaya main bola Belanda total-football, demikian juga dalam pelayanan gereja da n ministry era sekarang perlu harus total pendekatan, total ministry.
Kenapa pelayanan (Kristen) kadang harus fokus hanya untuk orang2 Tapanuli?
Bagi banyak lembaga Kekristen, termasuk lembaga2 evangelical (Injili) seperti lembaga2 misi Operations World, St. Andrew Mission, OMF, Perkantas, Navigators, Campus Crusades (LPMI), Stephen Tong Evangelical Ministry dan masih banyak lagi yang lain, pendekatan indigenous (kesukuan, etnis) dan kontekstual merupakan hal yang lumrah. Kami sendiri di El-Trinitas Ministry dan Paguyuban Pelayanan BAKTI NUSA, sejak lama menggunakan pendekatan ini. Di tengah suku Bugis-Makassar, kita berkolaborasi dengan orang2 dari suku ini untuk mewartakan kabar baik di wilayah2 atau komunitas Bugis Makassar. Di suku Sumba, Bali , Banggai, bahkan Papua ya demikian juga. Tujuannya agar misi dan pemberitaan Kabar Baik dapat berjalan efektif.
Jika Pak Stephen Tong juga lebih banyak berbeban untuk jemaat2 dan komunitas dari etnis Tionghoa (Hokkien, dll), overseas chinesse di Asia dan berbagai tempat, bahkan untuk Cung Kuo (Tiongkok Daratan), selain juga untuk orang2 Indonesia pada umumnya, apanya yang salah? Tidak ada yang salah. Lae/Abang Mangapul juga demikian. Jika berbedan untuk2 orang2 Tapanuli, overseas Batak (Batak diaspora), selain tanah Batak bonapasogit, apanya yang salah. Tidak ada yang salah. Rasul2 dalam Alkitab, seperti Petrus dan juga Yohanes yang Jews, sangat terbeban untuk orang2 dari etnisnya sendiri Yahudi, baik yang ada di Jerusalem /Palestina maupun yang ada di luar Palestina. Saya kira itu sudah jelas. Jika ada hamba Tuhan di negeri ini ingin mengambil teladan Petrus atau Yohanes, ya sangat baik sekali.
Namun di pihak lain, ada juga hamba Tuhan yang mungkin ingin mengambil contoh atau teladan Rasul Paulus. Selain dirinya melayani orang2 Yahudi di perantauan/diaspora, dirinya juga berbeban dan mendapat panggilan untuk melayani etnis/bangsa2 Gentiles (non Yahudi). Itu pun juga baik sekali.
Itu bukan rasialis. Tapi itu menyangkut beban, panggilan dan strategi target segmen jemaat/komunitas yang ingin dilayani. Segmen pelayanan bisa didasarkan berdasarkan etnis/suku, profesi, kategori usia, tingkat pendidikan, lokasi georgrafis pelayanan, dll.
Ada penginjil Bali yang terbeban utamanya melayani orang Bali .
Ada penginjil Belanda yang terbeban utamanya melayani orang Ambon .
Ada penginjil Tionghoa yang terbeban utamanya melayani orang Cina.
Ada misionaris Inggris yang terbeban utamanya melayani orang Tiongkok.
Ada misionaris Jerman yang terbeban utamanya melayani orang Batak.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani orang Batak.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani suku Sunda.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani orang kantoran.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani usia dewasa muda.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani mahasiswa.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani suku Batak yang ada dan dibesarkan di Betawi/ Jakarta (di singkat komunitas Babet).
Sesuai dengan talenta, background kehidupan, bidang minat dan keterbebanan terhadap komunitas target sasaran. Itu mungkin kunci efektivitas pelayanan misi, penginjilan bahkan pekerjaan2 umum lainnya yang membutuhkan strategi target segmentasi pelayanan (services).
Kalau ada yang mempermasalahkan, mungkin karena faktor2 ini:
Mungkin kurang memahami fakta2 historis yang ada dalam Alkitab dan sejarah gereja.
Masih mempertentangkan dikotomi Gereja dan para Gereja (parachurch), Gereja dan ministry. Merasa terancam dengan kehadiran banyaknya ministry dan komunitas2 kristen di samping, di atas, di bawah, di dalam gereja. Lalu tugas kami nanti apa?
Mungkin lebih meninjau dari segi politis ketimbang theologis, manajerial dan sosial. Nuansa rebut-merebut pengaruh, political basis, yang bisa berpengaruh kepada nuansa faktor ekonomi, support funding. Kurang positive thinking dan kreatif, kurang terbiasa “tersaingi” dan kurang terbiasa pikiran terbuka untuk “berkolaborasi”, bekerja sama. Ini masih ciri2 orang kita/NKRI di mana-mana yang perlu ditransformasi.
Sekarang kenapa harus diselenggarakan di Istora?
Memang tidak boleh? Seperti kita tau, pendekatan untuk tranformasi komunitas/masyarakat dan society bisa di lakukan melalui banyak hal di era kini: Pendekatan individu, multi media, kelompok kecil, massal, supra massal, teleconference,dll. Semua pendekatan sama penting. Tinggal disesuaikan dengan kebutuhan dan tentunya kemampuan dalam arti luas dan .. pimpinan Tuhan.
Itu saja saya kira. Begitulah. Mau orang Tapanuli, mau di Istora. Tidak apa2 toh. Gitu aja koq repot. Let us look at this case by using a positive spectacle and holistic angles!
Saya himbau kepada kita semua, para pekerja Tuhan dan para hamba2 Tuhan, mari kita bekerja bersama2, ber sama2 bekerja dan kerjasama sesuai dengan talenta, bidang minat, background hidup dan beban panggilan masing2. Brighten the corner ! Brighten our field of life!
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Hemat saya issue atau topik seperti ini sebenarnya tidak perlu diperdebatkan lagi pada jaman ‘keterbukaan’ seperti sekarang. Sebenarnya tidak ada yang aneh, lumrah saja, tidak ada repotnya. Seperti kata Gus Dur: gitu aja koq repot. Era sekarang era komunitas, dan untuk pendekatan kepada komunitas bisa dilakukan melalui pendekatan apa saja: individual, multimedia, small group, massal, supra massal, teleconference, dsb. Kita mesti open-minded. Seperti gaya main bola Belanda total-football, demikian juga dalam pelayanan gereja da n ministry era sekarang perlu harus total pendekatan, total ministry.
Kenapa pelayanan (Kristen) kadang harus fokus hanya untuk orang2 Tapanuli?
Bagi banyak lembaga Kekristen, termasuk lembaga2 evangelical (Injili) seperti lembaga2 misi Operations World, St. Andrew Mission, OMF, Perkantas, Navigators, Campus Crusades (LPMI), Stephen Tong Evangelical Ministry dan masih banyak lagi yang lain, pendekatan indigenous (kesukuan, etnis) dan kontekstual merupakan hal yang lumrah. Kami sendiri di El-Trinitas Ministry dan Paguyuban Pelayanan BAKTI NUSA, sejak lama menggunakan pendekatan ini. Di tengah suku Bugis-Makassar, kita berkolaborasi dengan orang2 dari suku ini untuk mewartakan kabar baik di wilayah2 atau komunitas Bugis Makassar. Di suku Sumba, Bali , Banggai, bahkan Papua ya demikian juga. Tujuannya agar misi dan pemberitaan Kabar Baik dapat berjalan efektif.
Jika Pak Stephen Tong juga lebih banyak berbeban untuk jemaat2 dan komunitas dari etnis Tionghoa (Hokkien, dll), overseas chinesse di Asia dan berbagai tempat, bahkan untuk Cung Kuo (Tiongkok Daratan), selain juga untuk orang2 Indonesia pada umumnya, apanya yang salah? Tidak ada yang salah. Lae/Abang Mangapul juga demikian. Jika berbedan untuk2 orang2 Tapanuli, overseas Batak (Batak diaspora), selain tanah Batak bonapasogit, apanya yang salah. Tidak ada yang salah. Rasul2 dalam Alkitab, seperti Petrus dan juga Yohanes yang Jews, sangat terbeban untuk orang2 dari etnisnya sendiri Yahudi, baik yang ada di Jerusalem /Palestina maupun yang ada di luar Palestina. Saya kira itu sudah jelas. Jika ada hamba Tuhan di negeri ini ingin mengambil teladan Petrus atau Yohanes, ya sangat baik sekali.
Namun di pihak lain, ada juga hamba Tuhan yang mungkin ingin mengambil contoh atau teladan Rasul Paulus. Selain dirinya melayani orang2 Yahudi di perantauan/diaspora, dirinya juga berbeban dan mendapat panggilan untuk melayani etnis/bangsa2 Gentiles (non Yahudi). Itu pun juga baik sekali.
Itu bukan rasialis. Tapi itu menyangkut beban, panggilan dan strategi target segmen jemaat/komunitas yang ingin dilayani. Segmen pelayanan bisa didasarkan berdasarkan etnis/suku, profesi, kategori usia, tingkat pendidikan, lokasi georgrafis pelayanan, dll.
Ada penginjil Bali yang terbeban utamanya melayani orang Bali .
Ada penginjil Belanda yang terbeban utamanya melayani orang Ambon .
Ada penginjil Tionghoa yang terbeban utamanya melayani orang Cina.
Ada misionaris Inggris yang terbeban utamanya melayani orang Tiongkok.
Ada misionaris Jerman yang terbeban utamanya melayani orang Batak.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani orang Batak.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani suku Sunda.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani orang kantoran.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani usia dewasa muda.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani mahasiswa.
Ada penginjil Batak yang terbeban utamanya melayani suku Batak yang ada dan dibesarkan di Betawi/ Jakarta (di singkat komunitas Babet).
Sesuai dengan talenta, background kehidupan, bidang minat dan keterbebanan terhadap komunitas target sasaran. Itu mungkin kunci efektivitas pelayanan misi, penginjilan bahkan pekerjaan2 umum lainnya yang membutuhkan strategi target segmentasi pelayanan (services).
Kalau ada yang mempermasalahkan, mungkin karena faktor2 ini:
Mungkin kurang memahami fakta2 historis yang ada dalam Alkitab dan sejarah gereja.
Masih mempertentangkan dikotomi Gereja dan para Gereja (parachurch), Gereja dan ministry. Merasa terancam dengan kehadiran banyaknya ministry dan komunitas2 kristen di samping, di atas, di bawah, di dalam gereja. Lalu tugas kami nanti apa?
Mungkin lebih meninjau dari segi politis ketimbang theologis, manajerial dan sosial. Nuansa rebut-merebut pengaruh, political basis, yang bisa berpengaruh kepada nuansa faktor ekonomi, support funding. Kurang positive thinking dan kreatif, kurang terbiasa “tersaingi” dan kurang terbiasa pikiran terbuka untuk “berkolaborasi”, bekerja sama. Ini masih ciri2 orang kita/NKRI di mana-mana yang perlu ditransformasi.
Sekarang kenapa harus diselenggarakan di Istora?
Memang tidak boleh? Seperti kita tau, pendekatan untuk tranformasi komunitas/masyarakat dan society bisa di lakukan melalui banyak hal di era kini: Pendekatan individu, multi media, kelompok kecil, massal, supra massal, teleconference,dll. Semua pendekatan sama penting. Tinggal disesuaikan dengan kebutuhan dan tentunya kemampuan dalam arti luas dan .. pimpinan Tuhan.
Itu saja saya kira. Begitulah. Mau orang Tapanuli, mau di Istora. Tidak apa2 toh. Gitu aja koq repot. Let us look at this case by using a positive spectacle and holistic angles!
Saya himbau kepada kita semua, para pekerja Tuhan dan para hamba2 Tuhan, mari kita bekerja bersama2, ber sama2 bekerja dan kerjasama sesuai dengan talenta, bidang minat, background hidup dan beban panggilan masing2. Brighten the corner ! Brighten our field of life!
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Saturday, April 14, 2007
Pandangan saya terhadap Rencana Pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap).
Rencana Pembentukan Propinsi Tapanuli (Protap) sejak beberapa bulan ini sedang dibicarakan. Bagi saya, issue atau topik ini sah-sah saja untuk mengemuka. Namun, issue ini memang sarat muatan sosial, politik, pem erintahan dan kesempatan2 bagi berbagai pihak untuk memperoleh keuntungan2 ekonomi dan bisnis (baca: proyek). Issue2 mengenai akan di mana ibukota Protap: apakah akan diputuskan di Tarutung, Siborong-borong atau Balige, bagi saya bukan sesuatu yang terlalu penting.
Pertanyaan yang selalu mengemuka adalah: Apakah benar rencana pembentukan Protap ini ujung2nya akan menyejahterakan masyarakat basis Tapanuli. Apa tidak hanya untuk sekedar bagi2 kekuasaan, bagi2 kursi, bagi2 kue pembangunan, dana APBD dst. Bagaimana juga dari segi sosial-kultural dan religi? Dalam kondisi sekarang, hal2 ini mesti dipertimbangkan dalam rangka penyamaan (alignment) visi, misi dan strategi pemberdayaan masyarakat Tapanuli sendiri. Apakah wilayah2 dan masyarakat Mandailing Tapsel misalnya yang mayoritas Islam, bersedia bergabung dengan Tapanuli Utara. Begitu juga dengan Nias. Baik untuk kabupaten Nias, Nias Selatan dan yang sebentar lagi akan dimekarkan, Nias Barat. Juga Dairi Pakpak, Tapanuli Tengah (Sibolga). Perlu waktu untuk melakukan penyamaan serta harmonisasi visi misi dan strategi khususnya dipandang dari segi sosial kultural sejarah dan religi.
Pandangan saya, Protap akan paling relevan bila dikaitkan langsung dengan kepentingan masyarakat basis (grass roots) Tapanuli sendiri. Masyarakat basis Tapanuli kalau mau maju, mesti otonom intinya membangun dirinya sendiri. Tidak terlalu berharap dari inisiasi pihak2 dari "atas", entah dari tokoh2 politisi, legislatif, pebisnis atau agen2 kekuasaan. Inisiasi yang urgen dan penting di era kini adalah dari inisiatif masyarakat basis (grass root) Tapanuli sendiri, mau apa dan bagaimana.
Untuk itu penting sekali menurut saya, kita melihat contoh rahasia keberhasilan masyarakat basis lain di daerah atau belahan dunia lainnya, seperti misalnya Bangladesh, Cebu Island di Filipina dan Bali di NKRI sendiri.
Membangun masyarakat basis Tapanuli yang mayoritas masih kurang beruntung, semestinya dilandaskan pada kesadaran dari masyarakat basis sendiri untuk secara bersama membangun diri, mengevaluasi diri dan membangun nilai-nilai baru menuju kemandirian dan kesejahteraan. Terutama dalam segi-segi budaya, sosial, ekonomi dan spiritual. Perlu ada nilai-nilai baru, revitalisasi. Yang buruk dan berdampak negatif di dibuang; yang baik dipertahankan, di improve secara bertahap dalam kebersamaan. Kebersamaan atau unity bagi masyarakat basis Tapanuli sangat penting dan mendesak sifatnya. Unsur2 perekat yang positif mesti dicari, dieksplorasi, dikembangkan, agar kekuatan masyarakat Tapanuli benar-benar bisa berdaya, lebih sejahtera dalam ekonomi, sosial dan spiritual. Semua upaya ini bila dilakukan adalah demi masyarakat basis sendiri yang akan banyak diuntungkan, menerima lebih banyak manfaat dan peluang untuk secara bertahap meningkat menjadi makin maju.
Masyarakat basis di Tapanuli bisa belajar juga dari komunitas masyarakat lain sebagai suatu kebenaran2 umum (general truths), seperti masyarakat Bangladesh (yang kini terkenal karena pendekatan membangun "dari bawah" model Grameen Muh Yunus dapat Hadiah Nobel 2006), masyarakat Bali dan masyarakat Quezon dan Cebu di Filipina. Tanpa banyak campur tangan Pemerintah/Legislatif, partai2 politik, media dan pebisnis kondang, mereka bisa lebih berdikari dan sejahtera. Banyak contoh/kiat atau rahasia mengapa masyarakat basis di situ bisa berdiri, berjalan, berdaya dan lebih sejahtera. Bali, misalnya, kalau tidak ada Tragedi Bom Bali I dan II dan dampak serta bencana yang beraneka ("swalayan bencana") yang mengenaskan, sudah lama menjadi masyarakat basis yang terdepan di antara masyarakat2 basis lainnya di Republik ini.
Ada beberapa kesamaan (similarities) dari contoh2 masyarakat basis tersebut di atas:
Satu, punya budaya, nilai2 budaya dan kendaraan2 budaya yang mencintai lingkungan; ada kegentaran dan keengganan untuk membuat lingkungan rusak, kotor dan tidak terawat.
Dua, punya budaya dan itu tumbuh dari hati masyarakat sendiri, untuk menumbuh-kembangkan kreativitas sekaligus kedisiplinan. Kreativitas yang membuat sesuatu yang belum ada, tidak ada, menjadi ada. Kreativitas itu dihargai oleh diri sendiri dan oleh orang luar. Kedisiplinan timbul dari hati karena gentar terhadap sejenis paradigma hukum sebab-akibat (Kristen: hukum menabur dan menuai, Hindu: karmaphala, hukum karma).
Tiga, kebiasaan hidup berkooperasi. Kumpul tapi menghasilkan sesuatu yang produktif secara sosial-ekonomi. Bali misalnya, beberapa kali sejak tahun 90an selalu memperoleh hadiah/prize menjadi 'masyarakat basis koperasi' yang berhasil dalam kegiatan usaha kecil2an (usaha mikro), keuangan micro (microfinance), pemasaran hasil dan industri kecil. Di Cebu dan di Bali, material sumberdaya apapun bisa dikembangkan jadi produk atas jasa. Hampir semua berasal dari sumberdaya alam pertanian, peternakan dan pertanian (kelapa, pandan, bambu, ukir kayu, rumput laut, tanah, air, air laut, ikan, kerang2an, tali, lukisan, dsb). Tidak ada hasil kreativitas berasal dari pertambangan, pembalakan liar, dlsb. Tidak ada perusakan lingkungan. Sejak 90an tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat di atas 8% selalu bisa digapai, kecuali pasca Tragedi Bom Bali di tahun 2000an. Itu melebihi dari rata2 pertumbuhan nasional. Tanpa pemerintah/legislatif pun dan pebisnis besar kondang, mereka bisa survive, hidup, mandiri dan lebih sejahtera.
Empat, latar belakang sejarah ingin hidup mandiri dan mempertahankan ciri masyarakatnya yang khas. Lihat Bangladesh. Mereka dulu adalah bagian dari India, lalu memisahkan diri menjadi Pakistan Timur, dan kemudian sekarang bernama Bangladesh. Bali, dulu secara historis menjadi bagian dari Majapahit di Jawa, kemudian "memisahkan diri" demi mempertahankan ciri khas kemasyarakan mereka dan mandiri di pulau yang gambarnya mirip "ayam broiler" itu. Semangat survive dan kemandirian (mahardhika) sudah ada, dan itu secara kolektif ada dalam setiap benak keluarga2 yang dulu memisahkan dari India (utk Bangladesh) dan dari Jawa kuno (untuk Bali kuno atau Baliage) sampai kepada keturunan-keturunannya. Spirit ini ada bukan muncul "dari atas" (elit) tapi memang dari "sononya" alias spirit people's power tradisional yang telah dipunyai dalam sejarah bersama mereka.
Lima, ciri homogenitas agama, suku dan budaya dari masyarakat basis di Quezon & Cebu (Katolik, tagalog), Bangladesh (islam berlatar belakang hinduisme, etnis Benggali) dan Bali (Hindu Dharma, baliage), bukan malah menjadi semangat terpecah-pecah dalam sub2 kultur atau denominasi tertentu, tapi telah menjadi kekuatan luar biasa untuk bersama-sama membangun dirinya dari bawah, dari tingkat egaliter sampai ke tingkat elit daerah. Istilahnya "homogenitas membangun dari bawah ke atas".
Enam, kalaupun pariwisata/turisme kemudian menjadi maju di Cebu Island, maju pula di Bali, itu sesungguhnya bukan tujuan dari masyarakat basis di Cebu dan Bali untuk memajukannya. Tapi seperti diakui mereka, kemajuan pariwisata adalah implikasi dari segala sesuatu yang mereka telah lakukan dengan tekun dan tulus untuk membangun masyarakat basis mereka sendiri.
Tujuh, penataan empowerment sumberdaya alam (SDT) dan sosial (SDS) yang dikembangkan fleksibel didasarkan kepada situasi dan kondisi serta sumberdaya yang ada, di ketiga daerah tersebut. Misal Model Grameen, competible dengan sikon budaya Bangladesh; Model Subak, competible dengan sikon budaya, pengairan dan sumberdaya pertanian di Bali yang konturnya banyak.
Delapan, budaya dialog yang santun dan keterbukaan. Ini juga kunci kiat berhasil bagi ketiga masyarakat basis tersebut. Adanya desa-desa adat (di Cebu namanya Barangay, di Bali namanya Sekaa, Banjar) sudah ada dan terbina sejak lama. Semua masalah banyak diselesaikan di Barangay atau Sekaa. Dialog sangat baik dan santun, tidak ada istilah "patah arah". Sangsi sosial dan penghargaan juga berjalan baik. Kalau mau liat penegakkan hukum, supremasi hukum dan kepastian hukum (hukum adat, red), ya kita bisa saksikan buktinya di Barangay atau Sekaa di Bali - dikenal dengan istilah "gebuk banjar".
Nah, dari ke delapan kesamaan dan rahasia keberhasilanini, sangat mungkin lah masyarakat basis Tapanuli yaitu masyarakat mayoritas yang egaliter, mudah2an bisa memetik pelajaran berharga dan dapat insight2 inspiratif serta bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari2. Tidak semua kita harus mencontoh mereka. Tapi paling tidak mengambil intisarinya, agar bagaimana kita bersama bisa membangun diri kita sendiri secara bersama dan mulai di basis, istilahnya "mulai dari bawah". Tidak melulu mengandalkan Pemerintah, Legislatif, partai2 politik, media ataupun kaum pebisnis kondang. Tidak cepat memang, tapi pasti.. pasti maju.
Sekarang kan sudah era keterbukaan, desentralisasi dan otonomi. Otonomi tidak hanya berarti otonomi di aras elit2 daerah (kalau dulu elit di Pusat), tapi yang terlebih penting masyarakat (society) basis Tapanuli pun harus sekarang bisa berani otonom, tanpa harus melulu gantung nasib dan gantung kantong ekonomi kesejahteraan kepada pihak2 elit daerah seperti Pemda/legislatif, media "corong", orpol2 dan pebisnis kondang saja.
Bravo masyarakat basis Tapanuli.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Pertanyaan yang selalu mengemuka adalah: Apakah benar rencana pembentukan Protap ini ujung2nya akan menyejahterakan masyarakat basis Tapanuli. Apa tidak hanya untuk sekedar bagi2 kekuasaan, bagi2 kursi, bagi2 kue pembangunan, dana APBD dst. Bagaimana juga dari segi sosial-kultural dan religi? Dalam kondisi sekarang, hal2 ini mesti dipertimbangkan dalam rangka penyamaan (alignment) visi, misi dan strategi pemberdayaan masyarakat Tapanuli sendiri. Apakah wilayah2 dan masyarakat Mandailing Tapsel misalnya yang mayoritas Islam, bersedia bergabung dengan Tapanuli Utara. Begitu juga dengan Nias. Baik untuk kabupaten Nias, Nias Selatan dan yang sebentar lagi akan dimekarkan, Nias Barat. Juga Dairi Pakpak, Tapanuli Tengah (Sibolga). Perlu waktu untuk melakukan penyamaan serta harmonisasi visi misi dan strategi khususnya dipandang dari segi sosial kultural sejarah dan religi.
Pandangan saya, Protap akan paling relevan bila dikaitkan langsung dengan kepentingan masyarakat basis (grass roots) Tapanuli sendiri. Masyarakat basis Tapanuli kalau mau maju, mesti otonom intinya membangun dirinya sendiri. Tidak terlalu berharap dari inisiasi pihak2 dari "atas", entah dari tokoh2 politisi, legislatif, pebisnis atau agen2 kekuasaan. Inisiasi yang urgen dan penting di era kini adalah dari inisiatif masyarakat basis (grass root) Tapanuli sendiri, mau apa dan bagaimana.
Untuk itu penting sekali menurut saya, kita melihat contoh rahasia keberhasilan masyarakat basis lain di daerah atau belahan dunia lainnya, seperti misalnya Bangladesh, Cebu Island di Filipina dan Bali di NKRI sendiri.
Membangun masyarakat basis Tapanuli yang mayoritas masih kurang beruntung, semestinya dilandaskan pada kesadaran dari masyarakat basis sendiri untuk secara bersama membangun diri, mengevaluasi diri dan membangun nilai-nilai baru menuju kemandirian dan kesejahteraan. Terutama dalam segi-segi budaya, sosial, ekonomi dan spiritual. Perlu ada nilai-nilai baru, revitalisasi. Yang buruk dan berdampak negatif di dibuang; yang baik dipertahankan, di improve secara bertahap dalam kebersamaan. Kebersamaan atau unity bagi masyarakat basis Tapanuli sangat penting dan mendesak sifatnya. Unsur2 perekat yang positif mesti dicari, dieksplorasi, dikembangkan, agar kekuatan masyarakat Tapanuli benar-benar bisa berdaya, lebih sejahtera dalam ekonomi, sosial dan spiritual. Semua upaya ini bila dilakukan adalah demi masyarakat basis sendiri yang akan banyak diuntungkan, menerima lebih banyak manfaat dan peluang untuk secara bertahap meningkat menjadi makin maju.
Masyarakat basis di Tapanuli bisa belajar juga dari komunitas masyarakat lain sebagai suatu kebenaran2 umum (general truths), seperti masyarakat Bangladesh (yang kini terkenal karena pendekatan membangun "dari bawah" model Grameen Muh Yunus dapat Hadiah Nobel 2006), masyarakat Bali dan masyarakat Quezon dan Cebu di Filipina. Tanpa banyak campur tangan Pemerintah/Legislatif, partai2 politik, media dan pebisnis kondang, mereka bisa lebih berdikari dan sejahtera. Banyak contoh/kiat atau rahasia mengapa masyarakat basis di situ bisa berdiri, berjalan, berdaya dan lebih sejahtera. Bali, misalnya, kalau tidak ada Tragedi Bom Bali I dan II dan dampak serta bencana yang beraneka ("swalayan bencana") yang mengenaskan, sudah lama menjadi masyarakat basis yang terdepan di antara masyarakat2 basis lainnya di Republik ini.
Ada beberapa kesamaan (similarities) dari contoh2 masyarakat basis tersebut di atas:
Satu, punya budaya, nilai2 budaya dan kendaraan2 budaya yang mencintai lingkungan; ada kegentaran dan keengganan untuk membuat lingkungan rusak, kotor dan tidak terawat.
Dua, punya budaya dan itu tumbuh dari hati masyarakat sendiri, untuk menumbuh-kembangkan kreativitas sekaligus kedisiplinan. Kreativitas yang membuat sesuatu yang belum ada, tidak ada, menjadi ada. Kreativitas itu dihargai oleh diri sendiri dan oleh orang luar. Kedisiplinan timbul dari hati karena gentar terhadap sejenis paradigma hukum sebab-akibat (Kristen: hukum menabur dan menuai, Hindu: karmaphala, hukum karma).
Tiga, kebiasaan hidup berkooperasi. Kumpul tapi menghasilkan sesuatu yang produktif secara sosial-ekonomi. Bali misalnya, beberapa kali sejak tahun 90an selalu memperoleh hadiah/prize menjadi 'masyarakat basis koperasi' yang berhasil dalam kegiatan usaha kecil2an (usaha mikro), keuangan micro (microfinance), pemasaran hasil dan industri kecil. Di Cebu dan di Bali, material sumberdaya apapun bisa dikembangkan jadi produk atas jasa. Hampir semua berasal dari sumberdaya alam pertanian, peternakan dan pertanian (kelapa, pandan, bambu, ukir kayu, rumput laut, tanah, air, air laut, ikan, kerang2an, tali, lukisan, dsb). Tidak ada hasil kreativitas berasal dari pertambangan, pembalakan liar, dlsb. Tidak ada perusakan lingkungan. Sejak 90an tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat di atas 8% selalu bisa digapai, kecuali pasca Tragedi Bom Bali di tahun 2000an. Itu melebihi dari rata2 pertumbuhan nasional. Tanpa pemerintah/legislatif pun dan pebisnis besar kondang, mereka bisa survive, hidup, mandiri dan lebih sejahtera.
Empat, latar belakang sejarah ingin hidup mandiri dan mempertahankan ciri masyarakatnya yang khas. Lihat Bangladesh. Mereka dulu adalah bagian dari India, lalu memisahkan diri menjadi Pakistan Timur, dan kemudian sekarang bernama Bangladesh. Bali, dulu secara historis menjadi bagian dari Majapahit di Jawa, kemudian "memisahkan diri" demi mempertahankan ciri khas kemasyarakan mereka dan mandiri di pulau yang gambarnya mirip "ayam broiler" itu. Semangat survive dan kemandirian (mahardhika) sudah ada, dan itu secara kolektif ada dalam setiap benak keluarga2 yang dulu memisahkan dari India (utk Bangladesh) dan dari Jawa kuno (untuk Bali kuno atau Baliage) sampai kepada keturunan-keturunannya. Spirit ini ada bukan muncul "dari atas" (elit) tapi memang dari "sononya" alias spirit people's power tradisional yang telah dipunyai dalam sejarah bersama mereka.
Lima, ciri homogenitas agama, suku dan budaya dari masyarakat basis di Quezon & Cebu (Katolik, tagalog), Bangladesh (islam berlatar belakang hinduisme, etnis Benggali) dan Bali (Hindu Dharma, baliage), bukan malah menjadi semangat terpecah-pecah dalam sub2 kultur atau denominasi tertentu, tapi telah menjadi kekuatan luar biasa untuk bersama-sama membangun dirinya dari bawah, dari tingkat egaliter sampai ke tingkat elit daerah. Istilahnya "homogenitas membangun dari bawah ke atas".
Enam, kalaupun pariwisata/turisme kemudian menjadi maju di Cebu Island, maju pula di Bali, itu sesungguhnya bukan tujuan dari masyarakat basis di Cebu dan Bali untuk memajukannya. Tapi seperti diakui mereka, kemajuan pariwisata adalah implikasi dari segala sesuatu yang mereka telah lakukan dengan tekun dan tulus untuk membangun masyarakat basis mereka sendiri.
Tujuh, penataan empowerment sumberdaya alam (SDT) dan sosial (SDS) yang dikembangkan fleksibel didasarkan kepada situasi dan kondisi serta sumberdaya yang ada, di ketiga daerah tersebut. Misal Model Grameen, competible dengan sikon budaya Bangladesh; Model Subak, competible dengan sikon budaya, pengairan dan sumberdaya pertanian di Bali yang konturnya banyak.
Delapan, budaya dialog yang santun dan keterbukaan. Ini juga kunci kiat berhasil bagi ketiga masyarakat basis tersebut. Adanya desa-desa adat (di Cebu namanya Barangay, di Bali namanya Sekaa, Banjar) sudah ada dan terbina sejak lama. Semua masalah banyak diselesaikan di Barangay atau Sekaa. Dialog sangat baik dan santun, tidak ada istilah "patah arah". Sangsi sosial dan penghargaan juga berjalan baik. Kalau mau liat penegakkan hukum, supremasi hukum dan kepastian hukum (hukum adat, red), ya kita bisa saksikan buktinya di Barangay atau Sekaa di Bali - dikenal dengan istilah "gebuk banjar".
Nah, dari ke delapan kesamaan dan rahasia keberhasilanini, sangat mungkin lah masyarakat basis Tapanuli yaitu masyarakat mayoritas yang egaliter, mudah2an bisa memetik pelajaran berharga dan dapat insight2 inspiratif serta bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari2. Tidak semua kita harus mencontoh mereka. Tapi paling tidak mengambil intisarinya, agar bagaimana kita bersama bisa membangun diri kita sendiri secara bersama dan mulai di basis, istilahnya "mulai dari bawah". Tidak melulu mengandalkan Pemerintah, Legislatif, partai2 politik, media ataupun kaum pebisnis kondang. Tidak cepat memang, tapi pasti.. pasti maju.
Sekarang kan sudah era keterbukaan, desentralisasi dan otonomi. Otonomi tidak hanya berarti otonomi di aras elit2 daerah (kalau dulu elit di Pusat), tapi yang terlebih penting masyarakat (society) basis Tapanuli pun harus sekarang bisa berani otonom, tanpa harus melulu gantung nasib dan gantung kantong ekonomi kesejahteraan kepada pihak2 elit daerah seperti Pemda/legislatif, media "corong", orpol2 dan pebisnis kondang saja.
Bravo masyarakat basis Tapanuli.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Thursday, April 12, 2007
Fenomena masa sekarang memang betul2 banyak muncul terbalik (sungsang).
Fenomena sekarang memang betul2 banyak muncul terbalik (sungsang).
Dulu kita tau ‘pemimpin’ atau ‘yang mengaku sebagai pemimpin’ lebih banyak bicara. Namun sekarang, ‘yang seharusnya dipimpin’, rakyat atau orang biasa yang lebih banyak angkat bicara. Sungsang.
Dulu konglomerat yang lebih banyak berperan dalam perekonomian. Sekarang, justru barisan pengusaha usaha mikro UMKM kini lebih banyak berperan menyangga hidup perekonomian negara dan nyatanya paling banyak menyerap tenaga kerja. Sungsang.
Jaman NKK/BKK dulu, menteri P&K, rektor atau dekan banyak bicara. Namun kini, mahasiswa yang jauh lebih galak dan banyak bicara. Juga pelajar.
Dulu hanya Menteri Penerangan dan TV tunggal TVRI bicara dan jadi corong basa-basi. Sekarang, jubir petani, jubir koalisi korban bencana, jubir korban sutet dan berbagai ragam saluran TV mewarta dan mewarnai pemirsa, mengungkap tabir investigasi dan mimpi-mimpi. Sungsang.
Dulu, hanya orang Jakarta dan orang Jawa yang bicara. Tapi sekarang, hampir semua orang daerah luar Jakarta dan luar Jawa berani bicara. Dari orang Rote sampai Sangihe, orang Balige sampai orang Bone. Orang (pulau) We sampai orang Merauke. Sungsang.
Dulu hanya ustads, pedanda, bhiksu, pendeta, pastur atau kyai yang banyak bicara. Namun sekarang, ‘kaum awam’, berani bicara lantang, speak-out.
Dulu jamannya penguasa mapan (the established rulers) bicara. Sekarang korban-korban dan cermin/simbolisasi pihak korban2 berkarakteristik sengsara, susah, miskin dll yang balik bicara dan banyak memiliki fans-fans. Sungsang.
Dulu hanya seniman yang betul-betul berlevel master boleh eksibisi, unjuk pamer. Sekarang presenter, entertainer, selebritis, pelawak, penari dan pedangdut egaliter menguasai pentas (stage).
Dulu hanya kelompok pakar dan ahli yang menjadi juri. Tapi kini publik kebanyakan yang jadi juri lewat voting sms. Sungsang.
Dulu kebanyakan laki-laki atau pria tampil bicara memberi arahan, sekarang kaum perempuan lebih banyak ‘manggung’ untuk bicara dan berkreasi. Sungsang.
Dulu organisasi formal menjadi alat dan kendaraan budaya. Sekarang komunitas adhoc . tanpa struktur baku dan kaku yang berfungsi sebagai wadah asah-asih-asuh dan sebagai kendaraan budaya.
Dulu struktur sinodal, holding, kantor terpusat dan birokrasi panjang yang dipilih untuk mencapai tujuan organisasi. Sekarang orang lebih memilih struktur otonom, konggregasi, dengan wewenang terdistribusi, dengan pola organisasi datar (flat-organization). Sungsang.
Dulu pertanggung-jawaban lebih ditekankan ke atasan dan atasan sebagai stakeholder. Sekarang orang lebih cendrung melakukan pertanggung-jawaban ‘ke bawah’ dengan istilah pertanggung-jawaban kepada publik (public accountability).
Dulu hanya pihak mayoritas dan golongan mainstream saja yang berkesempatan membentuk opini publik. Kini kelompok minoritas dan outlier (“pencilan, terpencil”) sekali pun, semakin menunjukkan eksistensinya. Sungsang.
Dulu penyeragaman satu warna, satu suku, satu etnis, satu latar belakang menjadi keharusan. Sekarang, orang cendrung memilih cara pandang multi-kulturalisme.
Dulu hanya koalisi lembaga ornop (organisasi non-pemerintah) yang berani kasih pendapat. Namun kini, individu-individu ornop pun yang disebut 'non-government individuals (NGI) bertaburan dimana-mana menyatakan wacana dan argumentasinya.
Dulu adalah jaman kejayaan state (negara), sekarang justru jaman society (masyarakat bangsa) bangkit menemukan bentuknya. Masyarakat dunia global semakin dinilai menjadi ‘satu desa’ atau ‘satu komunitas kubangan besar’ tanpa batas dengan pelbagai budaya.
Inilah fenomena demokratisasi 'sungsang' yang kini sedang berlangsung begitu cepat di negeri ini, bahkan seluruh dunia. Bukan hanya di kota-kota besar megapolitan, tapi faktanya sedang berlangsung cepat di pojok-pojok kota kecil (urban), di desa-desa dinas dan desa-desa adat (rural), serta juga di pojok2 tempat-tempat terpencil pesisir pantai (coastal). Teknologi informasi dan perkembangan multi-media turut mendukung berperan penting terhadap pesatnya arus perubahan.
Suatu demokratisasi dengan konsekuensi logis bergulir cepatnya pula proses desentralisasi, transformasi social, pergeseran otonomi dari otonomi daerah (otda) sampai otonomi komunitas, otonomi tingkat keluarga bahkan otonomi individu. Individu mendapatkan tempatnya yang otonom dan strategis, terkait dengan meningkatnya kesadaran HAM, gender, pemberdayaan (empowerment) dan justice (keadilan). Teknik2 eksploitasi, dominansi, hegemoni, 'hitch-hiking' (bonceng-membonceng) dari pihak penguasa dan calo2 kekuasaan, sudah semakin menjadi teknik usang untuk dijalankan, berhubung kesadaran orang2 biasa 'ordinary people' sudah semakin melek bahkan lebih melek dari si penguasa sendiri.
Jika dulu orang percaya, 'big is beautiful', maka sekarang orang lebih percaya ‘small is beautiful’, bahkan 'micro is beuatiful'. Di dalam ‘kecil mengandung hal yang sangat besar’, sebaliknya justru pada yang dianggap ‘besar’ justru hanya mengandung hal kecil’. Rumah, house, home tempat individu tinggal menjadi lebih relevan berperan. Bukan rumah yang ‘besar’, tapi rumah yang kecil namun besar maknanya.
Bukankah sekarang banyak muncul contoh2 fenomena: home-schooling (cukup sekolah di rumah atau lewat rumah), home-churh (bergereja di rumah-rumah, revitalisasi model gereja purba), home-care (rumah sakit atau rumah pemulihan di rumah), home-productive units (berbisnis, berwirausaha di rumah, di ruko atau di rukan)?
Jika dulu orang percaya dalam satu dunia ada banyak hal dicapai, banyak massa , kelompok dan individu dijangkau; maka sekarang orang makin percaya justru dalam satu pribadi individu lah, akan ditemui ‘satu dunia yang utuh’. Dalam satu individu justru ditemui banyak symbol dan makna komunitas, dan dalam satu komunitas ada terdapat symbol dan makna satu dunia.
Mungkin sebab itulah, di era kini, suara satu individu nyatanya bisa sangat besar gaung atau echonya, termasuk melalui milist ini. Bisa terdengar sampai ke seluruh negeri bahkan tingkat benua dan dunia. Apalagi jika individu-individu tersebut membentuk koalisi menjadi koalisi individu yang ‘spooring’ (sejalan, satu visi, satu misi) dalam satu komunitas, tentu akan menjadi sangat sangat hebat pengaruhnya. Mayoritas menjadi sejarah dan tidak cukup berkutik, minoritas menjadi antara (intermediary), kemudian justru keluarga dan individu kini mendapat tempatnya yang legitimate dan sangat strategis.
Jika kita ingat suatu doa dari Yakobus, yaitu ‘doa orang benar bila dengan yakin didoakan, besar kuasanya’. maka analogisnya adalah jika satu individu yakin dalam bersuara, dan suara itu tepat waktu, baik dan mengandung kebenaran, maka gaung pengaruhnya akan begitu besar 'kuasanya' bahkan nyaris mampu mentransformasi seluruh dunia dalam hitungan detik.
Persoalannya adalah, apakah individu atau koalisi individu dalam komunitas itu betul2 mampu menunjukkan bobotnya. Jika betul berbobot, maka jadilah perubahan yang sedemikian luar biasa itu.
Demikianlah, fenomena masa sekarang memang betul2 telah muncul terbalik (sungsang).
Sekarang, apakah makna relevansi fenomena dari tanda2 jaman ini juga berlaku bagi anda dan saya.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Dulu kita tau ‘pemimpin’ atau ‘yang mengaku sebagai pemimpin’ lebih banyak bicara. Namun sekarang, ‘yang seharusnya dipimpin’, rakyat atau orang biasa yang lebih banyak angkat bicara. Sungsang.
Dulu konglomerat yang lebih banyak berperan dalam perekonomian. Sekarang, justru barisan pengusaha usaha mikro UMKM kini lebih banyak berperan menyangga hidup perekonomian negara dan nyatanya paling banyak menyerap tenaga kerja. Sungsang.
Jaman NKK/BKK dulu, menteri P&K, rektor atau dekan banyak bicara. Namun kini, mahasiswa yang jauh lebih galak dan banyak bicara. Juga pelajar.
Dulu hanya Menteri Penerangan dan TV tunggal TVRI bicara dan jadi corong basa-basi. Sekarang, jubir petani, jubir koalisi korban bencana, jubir korban sutet dan berbagai ragam saluran TV mewarta dan mewarnai pemirsa, mengungkap tabir investigasi dan mimpi-mimpi. Sungsang.
Dulu, hanya orang Jakarta dan orang Jawa yang bicara. Tapi sekarang, hampir semua orang daerah luar Jakarta dan luar Jawa berani bicara. Dari orang Rote sampai Sangihe, orang Balige sampai orang Bone. Orang (pulau) We sampai orang Merauke. Sungsang.
Dulu hanya ustads, pedanda, bhiksu, pendeta, pastur atau kyai yang banyak bicara. Namun sekarang, ‘kaum awam’, berani bicara lantang, speak-out.
Dulu jamannya penguasa mapan (the established rulers) bicara. Sekarang korban-korban dan cermin/simbolisasi pihak korban2 berkarakteristik sengsara, susah, miskin dll yang balik bicara dan banyak memiliki fans-fans. Sungsang.
Dulu hanya seniman yang betul-betul berlevel master boleh eksibisi, unjuk pamer. Sekarang presenter, entertainer, selebritis, pelawak, penari dan pedangdut egaliter menguasai pentas (stage).
Dulu hanya kelompok pakar dan ahli yang menjadi juri. Tapi kini publik kebanyakan yang jadi juri lewat voting sms. Sungsang.
Dulu kebanyakan laki-laki atau pria tampil bicara memberi arahan, sekarang kaum perempuan lebih banyak ‘manggung’ untuk bicara dan berkreasi. Sungsang.
Dulu organisasi formal menjadi alat dan kendaraan budaya. Sekarang komunitas adhoc . tanpa struktur baku dan kaku yang berfungsi sebagai wadah asah-asih-asuh dan sebagai kendaraan budaya.
Dulu struktur sinodal, holding, kantor terpusat dan birokrasi panjang yang dipilih untuk mencapai tujuan organisasi. Sekarang orang lebih memilih struktur otonom, konggregasi, dengan wewenang terdistribusi, dengan pola organisasi datar (flat-organization). Sungsang.
Dulu pertanggung-jawaban lebih ditekankan ke atasan dan atasan sebagai stakeholder. Sekarang orang lebih cendrung melakukan pertanggung-jawaban ‘ke bawah’ dengan istilah pertanggung-jawaban kepada publik (public accountability).
Dulu hanya pihak mayoritas dan golongan mainstream saja yang berkesempatan membentuk opini publik. Kini kelompok minoritas dan outlier (“pencilan, terpencil”) sekali pun, semakin menunjukkan eksistensinya. Sungsang.
Dulu penyeragaman satu warna, satu suku, satu etnis, satu latar belakang menjadi keharusan. Sekarang, orang cendrung memilih cara pandang multi-kulturalisme.
Dulu hanya koalisi lembaga ornop (organisasi non-pemerintah) yang berani kasih pendapat. Namun kini, individu-individu ornop pun yang disebut 'non-government individuals (NGI) bertaburan dimana-mana menyatakan wacana dan argumentasinya.
Dulu adalah jaman kejayaan state (negara), sekarang justru jaman society (masyarakat bangsa) bangkit menemukan bentuknya. Masyarakat dunia global semakin dinilai menjadi ‘satu desa’ atau ‘satu komunitas kubangan besar’ tanpa batas dengan pelbagai budaya.
Inilah fenomena demokratisasi 'sungsang' yang kini sedang berlangsung begitu cepat di negeri ini, bahkan seluruh dunia. Bukan hanya di kota-kota besar megapolitan, tapi faktanya sedang berlangsung cepat di pojok-pojok kota kecil (urban), di desa-desa dinas dan desa-desa adat (rural), serta juga di pojok2 tempat-tempat terpencil pesisir pantai (coastal). Teknologi informasi dan perkembangan multi-media turut mendukung berperan penting terhadap pesatnya arus perubahan.
Suatu demokratisasi dengan konsekuensi logis bergulir cepatnya pula proses desentralisasi, transformasi social, pergeseran otonomi dari otonomi daerah (otda) sampai otonomi komunitas, otonomi tingkat keluarga bahkan otonomi individu. Individu mendapatkan tempatnya yang otonom dan strategis, terkait dengan meningkatnya kesadaran HAM, gender, pemberdayaan (empowerment) dan justice (keadilan). Teknik2 eksploitasi, dominansi, hegemoni, 'hitch-hiking' (bonceng-membonceng) dari pihak penguasa dan calo2 kekuasaan, sudah semakin menjadi teknik usang untuk dijalankan, berhubung kesadaran orang2 biasa 'ordinary people' sudah semakin melek bahkan lebih melek dari si penguasa sendiri.
Jika dulu orang percaya, 'big is beautiful', maka sekarang orang lebih percaya ‘small is beautiful’, bahkan 'micro is beuatiful'. Di dalam ‘kecil mengandung hal yang sangat besar’, sebaliknya justru pada yang dianggap ‘besar’ justru hanya mengandung hal kecil’. Rumah, house, home tempat individu tinggal menjadi lebih relevan berperan. Bukan rumah yang ‘besar’, tapi rumah yang kecil namun besar maknanya.
Bukankah sekarang banyak muncul contoh2 fenomena: home-schooling (cukup sekolah di rumah atau lewat rumah), home-churh (bergereja di rumah-rumah, revitalisasi model gereja purba), home-care (rumah sakit atau rumah pemulihan di rumah), home-productive units (berbisnis, berwirausaha di rumah, di ruko atau di rukan)?
Jika dulu orang percaya dalam satu dunia ada banyak hal dicapai, banyak massa , kelompok dan individu dijangkau; maka sekarang orang makin percaya justru dalam satu pribadi individu lah, akan ditemui ‘satu dunia yang utuh’. Dalam satu individu justru ditemui banyak symbol dan makna komunitas, dan dalam satu komunitas ada terdapat symbol dan makna satu dunia.
Mungkin sebab itulah, di era kini, suara satu individu nyatanya bisa sangat besar gaung atau echonya, termasuk melalui milist ini. Bisa terdengar sampai ke seluruh negeri bahkan tingkat benua dan dunia. Apalagi jika individu-individu tersebut membentuk koalisi menjadi koalisi individu yang ‘spooring’ (sejalan, satu visi, satu misi) dalam satu komunitas, tentu akan menjadi sangat sangat hebat pengaruhnya. Mayoritas menjadi sejarah dan tidak cukup berkutik, minoritas menjadi antara (intermediary), kemudian justru keluarga dan individu kini mendapat tempatnya yang legitimate dan sangat strategis.
Jika kita ingat suatu doa dari Yakobus, yaitu ‘doa orang benar bila dengan yakin didoakan, besar kuasanya’. maka analogisnya adalah jika satu individu yakin dalam bersuara, dan suara itu tepat waktu, baik dan mengandung kebenaran, maka gaung pengaruhnya akan begitu besar 'kuasanya' bahkan nyaris mampu mentransformasi seluruh dunia dalam hitungan detik.
Persoalannya adalah, apakah individu atau koalisi individu dalam komunitas itu betul2 mampu menunjukkan bobotnya. Jika betul berbobot, maka jadilah perubahan yang sedemikian luar biasa itu.
Demikianlah, fenomena masa sekarang memang betul2 telah muncul terbalik (sungsang).
Sekarang, apakah makna relevansi fenomena dari tanda2 jaman ini juga berlaku bagi anda dan saya.
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Wednesday, April 11, 2007
CD Kaset Album Baru Rohani 2006/2007 The Messangers "Terima Kasih Atas AnugerahMU"
Puji Syukur kepada TUHAN.
Telah diluncurkan CD/Kaset Album Lagu Baru Rohani 2007 The Messangers, dengan judul album "Terima Kasih Atas AnugerahMu" gubahan Hans Midas Simanjuntak dan beberapa lagu ciptaan/gubahan terbaru HMS lainnya.
Berisikan 10 lagu2 rohani:
1. Terima Kasih Atas AnugerahMu.
2. Nyanyi Bagi Raja.
3. Sungai Hidup
4. El-Elohim.
5. Hidup yang Digerakkan Tuhan.
6. Secerah Mentari
7. Haleluya.
8. Oh Tuhanku.
9. Sukacitaku.
10. Kau Angkatku.
Album ini diproduseri DR Ir. Fu Xie (doktor sosiologi UI, alumni IPB Bogor, gembala GKPB Fajar Pengharapan) dan keluarga, dibawah lebel album MDC (Masa Depan Cerah).
Music Arranger: Tommy Harahap.
Lead Vocal: Retno Winarti & The Messangers (Rory, Febby, Ysnu, Nauly Sinaga & Mila)
Recording: Tracking Studio, Indonesia.
Dapat diperoleh di toko2 buku dan musik Kristen terdekat, atau hubungi contact person:
Masa Depan Cerah (MDC)
Jl Pajajaran 2 No. 8, Bogor Indonesia
Telp. +62 251 337 310
Fax. +62 251 320 835
Email: http://us.f356.mail.yahoo.com/ym/Compose?To=fruit@cbn.net.id
Email: http://us.f356.mail.yahoo.com/ym/Compose?To=transforma.saranamedia@gmail.com
Harga: Sesuai dengan harga toko buku Kristen, toko musik Kristen.
Tuhan memberkati. Segala kemuliaan hanya bagi TUHAN.
Salam hangat,
Transforma Sarana Media
PPS.
Telah diluncurkan CD/Kaset Album Lagu Baru Rohani 2007 The Messangers, dengan judul album "Terima Kasih Atas AnugerahMu" gubahan Hans Midas Simanjuntak dan beberapa lagu ciptaan/gubahan terbaru HMS lainnya.
Berisikan 10 lagu2 rohani:
1. Terima Kasih Atas AnugerahMu.
2. Nyanyi Bagi Raja.
3. Sungai Hidup
4. El-Elohim.
5. Hidup yang Digerakkan Tuhan.
6. Secerah Mentari
7. Haleluya.
8. Oh Tuhanku.
9. Sukacitaku.
10. Kau Angkatku.
Album ini diproduseri DR Ir. Fu Xie (doktor sosiologi UI, alumni IPB Bogor, gembala GKPB Fajar Pengharapan) dan keluarga, dibawah lebel album MDC (Masa Depan Cerah).
Music Arranger: Tommy Harahap.
Lead Vocal: Retno Winarti & The Messangers (Rory, Febby, Ysnu, Nauly Sinaga & Mila)
Recording: Tracking Studio, Indonesia.
Dapat diperoleh di toko2 buku dan musik Kristen terdekat, atau hubungi contact person:
Masa Depan Cerah (MDC)
Jl Pajajaran 2 No. 8, Bogor Indonesia
Telp. +62 251 337 310
Fax. +62 251 320 835
Email: http://us.f356.mail.yahoo.com/ym/Compose?To=fruit@cbn.net.id
Email: http://us.f356.mail.yahoo.com/ym/Compose?To=transforma.saranamedia@gmail.com
Harga: Sesuai dengan harga toko buku Kristen, toko musik Kristen.
Tuhan memberkati. Segala kemuliaan hanya bagi TUHAN.
Salam hangat,
Transforma Sarana Media
PPS.
Tuesday, April 10, 2007
Jelang Paskah: Tema Perubahan dan 28 Karya Agung Tuhan Dalam Kita !
Sebentar lagi kita merayakan Paskah (Paska). Kita ingin merayakan Paskah kali ini dalam refleksi dan semangat perubahan di tengah bangsa yang sedang terpuruk seperti sekarang.
Tema perubahan (change, transformasi) memang telah menjadi salah satu tema sentral dalam ranah Kekristenan kita dan ranah pembicaraan publik di tanah air. Tentunya, yang kita inginkan bukannya hanya 'asal berubah', 'pokoknya berubah' (for the sake of change), tapi berubah dengan suatu destinasi yang dimentori terus oleh Sang Sutradara Teragung; Destinasi yang jelas: Hidup dan Kehidupan! Ber-sama2 dengan Tuhan; bersama dengan Kristus, 'marsaor' dengan Tuhan dalam suatu 'Parsaoran Agung'.
Perubahan di mata Sang Sutradara Agung bukannya perubahan fluktuatif ke bawah, tapi perubahan fluktuatif ke atas. Meski kadang kita yang sadar akan adanya keterbatasan, berpersepsi kayaknya sedang ke bawah. Padahal tidak. "The way to up is down" kutipan dari tema sermon Lae/Abang Mangapul Sagala pada akhir 1979 di rumah Kel. Rudy Sihombing, teman KTB NHKBP yang saya ingat. Bukan rancangan "the way to down is up", karena itu akan ke kematian, kehancuran, kejatuhan.
Bukankah Sang Sutradara Agung, sejak kecil sebenarnya sudah merancang kita, yang berkenan dipilihNya, entah kita sadar atau tidak, untuk suatu destinasi agung yang mungkin kita tak pernah bisa membayangkannya; lewat setidaknya 28 karya2 agungNya di dalam kita:
1. Mempertemukan orang tua kita dalam suatu pernikahan.
2. Membentuk janin kita.
3. Menabur benih kebenaran (integrity) di dalam kita.
4. Memprakarsai rasa keingintahuan kita akan Dia.
5. Mulai mencari-cari Dia, dan siapa Dia.
6. Mengetahui dan sadar akan 'Keberadaan' Dia.
7. Menerima realitas Dia dalam diri kita.
8. Menerima kita.
9. Mengampuni dosa2 kita.
10. Menebus kita.
11. Menggantikan kita.
12. Membenarkan (menjustifikasi) kita.
13. Memperdamaikan kita, dengan Dia, dengan sesama, dengan alam.
14. Menyebuhkan kita.
15. Memulihkan (recovery) kita.
16. Membentuk kembali (mereform) kita.
17. Memperbaiki kembali (mereparasi) kita.
18. Memperlengkapi kita.
19. Menyediakan (memprovide) kita.
20. Mendelegasikan sebagian tugasnya kepada kita.
21. Memberikan sebagian otoritasNya kepada kita.
21. Memberi amanat dan pesan pada kita.
22. Mengutus kita.
23. Menyertai kita.
24. Menghibur kita.
25. Menegur kita.
26. Menasehati kita.
27. Menyempurnakan,membuat kita utuh kita seutuhnya.
28. Menghadiahkan kita: hidup 'marsaor' dengan Dia selama2nya.
Biarlah Paskah kali ini, bermakna perubahan. Perubahan yang transformasional. Transformasi menuju destinasi. Destinasi agung: marsaor dengan Dia selama2nya dalam kekekalan! Maka, para sahabat yang nama2nya disebut oleh Bro/Lae Ichwan di postingnya ini dan seluruh sahabat milist, Lihatlah, Dia Menjadikan Segala Sesuatu Baru! Ini berita Paskah transformasional yang pasti menghiburkan Anda dan saya.
Selamat Jelang dan Sambut Paska (Paskah) transformasional!
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Tema perubahan (change, transformasi) memang telah menjadi salah satu tema sentral dalam ranah Kekristenan kita dan ranah pembicaraan publik di tanah air. Tentunya, yang kita inginkan bukannya hanya 'asal berubah', 'pokoknya berubah' (for the sake of change), tapi berubah dengan suatu destinasi yang dimentori terus oleh Sang Sutradara Teragung; Destinasi yang jelas: Hidup dan Kehidupan! Ber-sama2 dengan Tuhan; bersama dengan Kristus, 'marsaor' dengan Tuhan dalam suatu 'Parsaoran Agung'.
Perubahan di mata Sang Sutradara Agung bukannya perubahan fluktuatif ke bawah, tapi perubahan fluktuatif ke atas. Meski kadang kita yang sadar akan adanya keterbatasan, berpersepsi kayaknya sedang ke bawah. Padahal tidak. "The way to up is down" kutipan dari tema sermon Lae/Abang Mangapul Sagala pada akhir 1979 di rumah Kel. Rudy Sihombing, teman KTB NHKBP yang saya ingat. Bukan rancangan "the way to down is up", karena itu akan ke kematian, kehancuran, kejatuhan.
Bukankah Sang Sutradara Agung, sejak kecil sebenarnya sudah merancang kita, yang berkenan dipilihNya, entah kita sadar atau tidak, untuk suatu destinasi agung yang mungkin kita tak pernah bisa membayangkannya; lewat setidaknya 28 karya2 agungNya di dalam kita:
1. Mempertemukan orang tua kita dalam suatu pernikahan.
2. Membentuk janin kita.
3. Menabur benih kebenaran (integrity) di dalam kita.
4. Memprakarsai rasa keingintahuan kita akan Dia.
5. Mulai mencari-cari Dia, dan siapa Dia.
6. Mengetahui dan sadar akan 'Keberadaan' Dia.
7. Menerima realitas Dia dalam diri kita.
8. Menerima kita.
9. Mengampuni dosa2 kita.
10. Menebus kita.
11. Menggantikan kita.
12. Membenarkan (menjustifikasi) kita.
13. Memperdamaikan kita, dengan Dia, dengan sesama, dengan alam.
14. Menyebuhkan kita.
15. Memulihkan (recovery) kita.
16. Membentuk kembali (mereform) kita.
17. Memperbaiki kembali (mereparasi) kita.
18. Memperlengkapi kita.
19. Menyediakan (memprovide) kita.
20. Mendelegasikan sebagian tugasnya kepada kita.
21. Memberikan sebagian otoritasNya kepada kita.
21. Memberi amanat dan pesan pada kita.
22. Mengutus kita.
23. Menyertai kita.
24. Menghibur kita.
25. Menegur kita.
26. Menasehati kita.
27. Menyempurnakan,membuat kita utuh kita seutuhnya.
28. Menghadiahkan kita: hidup 'marsaor' dengan Dia selama2nya.
Biarlah Paskah kali ini, bermakna perubahan. Perubahan yang transformasional. Transformasi menuju destinasi. Destinasi agung: marsaor dengan Dia selama2nya dalam kekekalan! Maka, para sahabat yang nama2nya disebut oleh Bro/Lae Ichwan di postingnya ini dan seluruh sahabat milist, Lihatlah, Dia Menjadikan Segala Sesuatu Baru! Ini berita Paskah transformasional yang pasti menghiburkan Anda dan saya.
Selamat Jelang dan Sambut Paska (Paskah) transformasional!
Salam,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Adat Batak dan Demokratisasi.
Adat Batak, sebagaimana adat2 dari etnis lainnya adalah wujud serta ‘produk’ dari kebudayaan peradaban (Batak). Inti budaya Batak sejatinya adalah ‘rasa’ dari manusia2 Batak yang bersifat artistik, teraplikasi dalam seni perilaku orang2 Batak (kebiasaan, tradisi, kelembagaan formal/informal dan prosedur2 ulaon adat Batak seperti peristiwa kelahiran, perkawinan, kematian, dll), tutur-kata (pantun, poda, umpasa), nyanyian2, musik (gondang Batak), tari2an (tortor), pahat/lukis, benda2 seni (ulos, tandok, dll), dan makanan khas tradisional Batak (saksang, dekke naniura, dll) yang ada. Makna (meaning) yang ingin dituju sebetulnya apa? Tak lain menurut saya adalah makna ‘Kenikmatan Rasa’ dan Kebahagiaan (disingkat KRK) melalui terciptanya nilai2 Keindahan (estetika), Keseimbangan, Keselarasan dan Kelestarian (disingkat K-4) sebagai karya postulat etnis orang Batak.
Makna KRK dan nilai2 ‘rasa’ K-4 yang dituju itu, kalau mau jujur tak dapat dipungkiri bersifat relative (bukan ‘harga mati’), tidak mutlak dan permanen (tak seeksak aksiomatis dalam epistomologi ilmu pasti alam), namun dia terus bergerak seturut dinamika perkembangan internal masyarakat Batak itu sendiri seturut jaman/waktu, domain/bidang hidup dan tempat domisilinya (di Bonapasogit atau diaspora/overseas), berikut interaksinya dengan lingkungan eksternal yang mempengaruhi apalagi dikaitkan dengan proses demokratisasi yang berlangsung semakin cepat di abad ini.
Karena bersifat relatif, tidak mutlak itu, maka sebenarnya tidak ada yang dapat mengklaim dari individu, komunitas atau komponen masyarakat Batak itu sendiri bahwa adatnya paling benar, paling baik, paling murni (pure, aseli) dst. Ini berlaku bagi seluruh manusia Batak, ya pemimpin adat, raja adat, juru hata atau warga biasa yang mengaku ‘tau adat’ atau ‘beradat’ atau ‘tau hanya separo-separo adat’ alias ‘nanggung’. Relativitas melahirkan cara pandang adat Batak eksis dalam berbagai varian, versi (ada teman yang menyebut dengan istilah ‘species-species’) terkait menurut angle dan penafsiran tujuan makna dan nilai yang berbeda.
Dalam menyikapi perbedaan2 ini, spiritnya mungkin perlu sama, yang dibutuhkan bukanlah pola2 pemaksaan kehendak, dominansi, hegemoni bahkan eksploitasi dalam opini, musyawarah dan pengambilan putusan2 masalah adat, namun mana yang lebih TBB (tepat/pas, baik dan benar) bisa dipikirkan dan dibicarakan dalam sikap dialog, kompromi, evaluasi kajian dan penafsiran ulang secara dialektis berkelanjutan dari semua pihak yang berkepentingan dengan keseimbangan, keselarasan, pelestarian adat Batak. Dengan demikian, adat Batak tidak perlu membawa pada ekses fanatisme ‘buta’ dari sebagian warganya dan pada sisi lain bisa pula membawa ekses ‘fobia’, anti, rasa out-group dari sebagaian lainnya yang mengakibatkan adat Batak ditinggalkan. Kalau sudah demikian, adat Batak tidak akan sampai dinilai ‘konstituennya’ tidak/kurang indah, tidak sreg, kurang cocok serta tidak bisa memenuhi harapan dan makna tujuan kenikmatan ‘rasa’ dan kebahagiaan (no happiness, no KRK). Ekstrimnya, adat Batak niscaya bisa mengalami keterpencilan, masuk dalam labyrint keterasingan peradaban global (istilah Lavinas) atau bahkan mengalami kepunahan (tinggal menjadi kenangan sejarah) seperti adat species atau suku Hobbit di Flores.
Aktualnya, faktor internal dan eksternal masyarakat Batak, baik yang ada di pojok2 huta, gunung, lembah & desa Bonapasogit (Silindung, Humbang, Tobasa) maupun pinggiran kota dan kota2 megapolitan nasional-global, tak dapat disangkal sedang mengalami perubahan terkait berubahnya tingkat pendidikan (intelektual), religi, ritual dan spiritualitas (eksistensi agama Kristen, Katolik, agama suku seperti Parmalim berikut kehadiran agama-agama/aliran2 kepercayaan lainnya), berubahnya pola mata pencaharian dan background profesi, tingkat social-ekonomi, kondisi politik/birokrasi, eksistensi LSM/NGI, media, peran teknologi multi-media dan berbagai rupa permasalahan lingkungan terkait multi-bencana dan multi-krisis yang sedang menimpa di hampir seluruh wilayah negeri termasuk Bonapasogit serta beberapa bagian dunia. Perubahan ini terkait erat dengan uraian tadi, terjadinya gelombang besar demokratisasi yang sedang melahirkan banyak fenomena2 yang muncul terbalik (“sungsang”) di dalam dan di sekitar komunitas dan manusia Batak.
Meminjam istilah John Locke, adat (tradition) adalah salah satu bentuk juga dari ‘kontrak sosial’. Maka, sepanjang ‘kontrak’ itu dapat tetap dipertahankan, ditinjau atau ditafsir ulang dan dikompromikan dalam proses dialog yang dinamis dan dialektis oleh mayoritas society Batak (desa-kota, tua-muda, pertanian-industri, lokal/nasional/global, original-‘proselit Batak dst) maka kita tidak/jangan pernah merasa takut akan kehilangan jati-diri kita sebagai orang Batak, kehilangan sense of belonging terhadap adat Batak kita, merasa kehilangan makna ‘KRK’ dan nilai2 K4 jika adat (Batak) ‘harus’ mengalami perubahan, pergeseran dan adjustment2. Toh, yang jadi persoalan esensial dalam membicarakan adat (Batak) bukan terletak pada ‘adat Batak ini benar atau tidak ‘ atau ‘murni (aseli) atau tidak’. Tapi apakah sanggup Adat Batak ini membawa makna tujuan ‘kenikmatan rasa’ dan kebahagiaan serta nilai2 keindahan, keseimbangan, keselarasan dan kelestarian bagi yang semua konstituen/warga yang terlibat mengerjakannya. Sehingga, tidak perlu terjadi konflik batin atau konflik-horizontal baik yang ‘terselubung’ maupun terbuka karena sempitnya pola pikir, sikap respek, rasa toleransi dan sikap demokratis.
Walau kita tau tugas untuk membahagiakan dan membawa ‘kenikmatan rasa’ bagi semua pihak (100%), sungguh bukan hal yang gampang, sangat sulit. Namun paling tidak, dalam pola pikir, pola tindak dan sikap kita sebagai ‘warga adat, raja adat, pengamat adat, dll’, kita sejatinya tidak ingin menjadi korban Adat, dan di pihak lain juga tidak ingin mengorbankan orang lain atau pihak lain demi Adat, selain juga.. tidak niat mengeksploitasi Adat demi keuntungan atau ‘credit-point’ diri kita sendiri.
Seperti kita tau, pergumulan2 masalah adat/tradisi seperti ini bukan saja manusia Batak dan adat Batak yang mengalami, tapi juga dialami oleh hampir semua suku di negeri ini (Bali, Jawa, Toraja, Sumba, suku2 di propinsi Sulteng dengan lk. 45 sukunya dan di Papua dengan 251 sukunya), juga dialami etnis Cina/Tionghoa yang baru merayakan Imlek, suku Filipino Tagalog, Arab, Kurdi, Maori, dll).
Yang penting, bukan benar atau murninya, tetapi apakah adat Batak itu pas atau tidak diterapkan.
Upaya reposisi, revitalisasi adat Batak (bukan ‘re-batakisasi) jelas memang harus dikerjakan sebagai ‘ulaon na balga’ bagi seluruh manusia Batak dimanapun dan kapanpun, agar kita bukan terpaku hanya kepada teks dan sejarah historia Batak semata, namun yang penting dan urgen sebenarnya bagaimana ‘kesesuaiannya’ dengan konteks jaman, domain spasial dan tempat. Bagaimana dapat mencari serta meng-adjust nilai2 K4 (keindahan, keseimbangan, keselarasan dan kelestarian) yang ‘pas’ - tidak over tapi juga tidak kurang -, sehingga adat Batak tetap punya daya greget, tidak ditinggalkan fans tapi justru makin bertambah dalam jumlah dan kualitas fansnya karena makin disayangi, diminati, dicintai dan dimiliki. Menjadi salah satu adat (tradisi) di dunia ini yang paling bertahan (survived) dan eksis.
Mudah2an ini mencerahkan dan dapat memberi semangat bagi pentuntasan sejumlah persoalan2 adat Batak lebih spesifik, namun dipandang dalam kacamata/wawasan yang lebih luas (holistik).
Horas jala gabe,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Makna KRK dan nilai2 ‘rasa’ K-4 yang dituju itu, kalau mau jujur tak dapat dipungkiri bersifat relative (bukan ‘harga mati’), tidak mutlak dan permanen (tak seeksak aksiomatis dalam epistomologi ilmu pasti alam), namun dia terus bergerak seturut dinamika perkembangan internal masyarakat Batak itu sendiri seturut jaman/waktu, domain/bidang hidup dan tempat domisilinya (di Bonapasogit atau diaspora/overseas), berikut interaksinya dengan lingkungan eksternal yang mempengaruhi apalagi dikaitkan dengan proses demokratisasi yang berlangsung semakin cepat di abad ini.
Karena bersifat relatif, tidak mutlak itu, maka sebenarnya tidak ada yang dapat mengklaim dari individu, komunitas atau komponen masyarakat Batak itu sendiri bahwa adatnya paling benar, paling baik, paling murni (pure, aseli) dst. Ini berlaku bagi seluruh manusia Batak, ya pemimpin adat, raja adat, juru hata atau warga biasa yang mengaku ‘tau adat’ atau ‘beradat’ atau ‘tau hanya separo-separo adat’ alias ‘nanggung’. Relativitas melahirkan cara pandang adat Batak eksis dalam berbagai varian, versi (ada teman yang menyebut dengan istilah ‘species-species’) terkait menurut angle dan penafsiran tujuan makna dan nilai yang berbeda.
Dalam menyikapi perbedaan2 ini, spiritnya mungkin perlu sama, yang dibutuhkan bukanlah pola2 pemaksaan kehendak, dominansi, hegemoni bahkan eksploitasi dalam opini, musyawarah dan pengambilan putusan2 masalah adat, namun mana yang lebih TBB (tepat/pas, baik dan benar) bisa dipikirkan dan dibicarakan dalam sikap dialog, kompromi, evaluasi kajian dan penafsiran ulang secara dialektis berkelanjutan dari semua pihak yang berkepentingan dengan keseimbangan, keselarasan, pelestarian adat Batak. Dengan demikian, adat Batak tidak perlu membawa pada ekses fanatisme ‘buta’ dari sebagian warganya dan pada sisi lain bisa pula membawa ekses ‘fobia’, anti, rasa out-group dari sebagaian lainnya yang mengakibatkan adat Batak ditinggalkan. Kalau sudah demikian, adat Batak tidak akan sampai dinilai ‘konstituennya’ tidak/kurang indah, tidak sreg, kurang cocok serta tidak bisa memenuhi harapan dan makna tujuan kenikmatan ‘rasa’ dan kebahagiaan (no happiness, no KRK). Ekstrimnya, adat Batak niscaya bisa mengalami keterpencilan, masuk dalam labyrint keterasingan peradaban global (istilah Lavinas) atau bahkan mengalami kepunahan (tinggal menjadi kenangan sejarah) seperti adat species atau suku Hobbit di Flores.
Aktualnya, faktor internal dan eksternal masyarakat Batak, baik yang ada di pojok2 huta, gunung, lembah & desa Bonapasogit (Silindung, Humbang, Tobasa) maupun pinggiran kota dan kota2 megapolitan nasional-global, tak dapat disangkal sedang mengalami perubahan terkait berubahnya tingkat pendidikan (intelektual), religi, ritual dan spiritualitas (eksistensi agama Kristen, Katolik, agama suku seperti Parmalim berikut kehadiran agama-agama/aliran2 kepercayaan lainnya), berubahnya pola mata pencaharian dan background profesi, tingkat social-ekonomi, kondisi politik/birokrasi, eksistensi LSM/NGI, media, peran teknologi multi-media dan berbagai rupa permasalahan lingkungan terkait multi-bencana dan multi-krisis yang sedang menimpa di hampir seluruh wilayah negeri termasuk Bonapasogit serta beberapa bagian dunia. Perubahan ini terkait erat dengan uraian tadi, terjadinya gelombang besar demokratisasi yang sedang melahirkan banyak fenomena2 yang muncul terbalik (“sungsang”) di dalam dan di sekitar komunitas dan manusia Batak.
Meminjam istilah John Locke, adat (tradition) adalah salah satu bentuk juga dari ‘kontrak sosial’. Maka, sepanjang ‘kontrak’ itu dapat tetap dipertahankan, ditinjau atau ditafsir ulang dan dikompromikan dalam proses dialog yang dinamis dan dialektis oleh mayoritas society Batak (desa-kota, tua-muda, pertanian-industri, lokal/nasional/global, original-‘proselit Batak dst) maka kita tidak/jangan pernah merasa takut akan kehilangan jati-diri kita sebagai orang Batak, kehilangan sense of belonging terhadap adat Batak kita, merasa kehilangan makna ‘KRK’ dan nilai2 K4 jika adat (Batak) ‘harus’ mengalami perubahan, pergeseran dan adjustment2. Toh, yang jadi persoalan esensial dalam membicarakan adat (Batak) bukan terletak pada ‘adat Batak ini benar atau tidak ‘ atau ‘murni (aseli) atau tidak’. Tapi apakah sanggup Adat Batak ini membawa makna tujuan ‘kenikmatan rasa’ dan kebahagiaan serta nilai2 keindahan, keseimbangan, keselarasan dan kelestarian bagi yang semua konstituen/warga yang terlibat mengerjakannya. Sehingga, tidak perlu terjadi konflik batin atau konflik-horizontal baik yang ‘terselubung’ maupun terbuka karena sempitnya pola pikir, sikap respek, rasa toleransi dan sikap demokratis.
Walau kita tau tugas untuk membahagiakan dan membawa ‘kenikmatan rasa’ bagi semua pihak (100%), sungguh bukan hal yang gampang, sangat sulit. Namun paling tidak, dalam pola pikir, pola tindak dan sikap kita sebagai ‘warga adat, raja adat, pengamat adat, dll’, kita sejatinya tidak ingin menjadi korban Adat, dan di pihak lain juga tidak ingin mengorbankan orang lain atau pihak lain demi Adat, selain juga.. tidak niat mengeksploitasi Adat demi keuntungan atau ‘credit-point’ diri kita sendiri.
Seperti kita tau, pergumulan2 masalah adat/tradisi seperti ini bukan saja manusia Batak dan adat Batak yang mengalami, tapi juga dialami oleh hampir semua suku di negeri ini (Bali, Jawa, Toraja, Sumba, suku2 di propinsi Sulteng dengan lk. 45 sukunya dan di Papua dengan 251 sukunya), juga dialami etnis Cina/Tionghoa yang baru merayakan Imlek, suku Filipino Tagalog, Arab, Kurdi, Maori, dll).
Yang penting, bukan benar atau murninya, tetapi apakah adat Batak itu pas atau tidak diterapkan.
Upaya reposisi, revitalisasi adat Batak (bukan ‘re-batakisasi) jelas memang harus dikerjakan sebagai ‘ulaon na balga’ bagi seluruh manusia Batak dimanapun dan kapanpun, agar kita bukan terpaku hanya kepada teks dan sejarah historia Batak semata, namun yang penting dan urgen sebenarnya bagaimana ‘kesesuaiannya’ dengan konteks jaman, domain spasial dan tempat. Bagaimana dapat mencari serta meng-adjust nilai2 K4 (keindahan, keseimbangan, keselarasan dan kelestarian) yang ‘pas’ - tidak over tapi juga tidak kurang -, sehingga adat Batak tetap punya daya greget, tidak ditinggalkan fans tapi justru makin bertambah dalam jumlah dan kualitas fansnya karena makin disayangi, diminati, dicintai dan dimiliki. Menjadi salah satu adat (tradisi) di dunia ini yang paling bertahan (survived) dan eksis.
Mudah2an ini mencerahkan dan dapat memberi semangat bagi pentuntasan sejumlah persoalan2 adat Batak lebih spesifik, namun dipandang dalam kacamata/wawasan yang lebih luas (holistik).
Horas jala gabe,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Friday, April 6, 2007
Manusia2 Kristen Indonesia Sudah Ada Seperti Muhammad Yunus
Grameen Bank Model mendadak sontak menjadi terkenal, sejak penganjurnya Muhammad Yunus meraih Nobel Perdamaian 2006, berkat karya pengabdiannya bermodalkan awal hanya US$ 27 pada tahun 1970an berhasil melipat-gandakannya sehingga mampu menolong ± 650 ribu rakyat jelata Bangladesh yang tak punya tempat tinggal layak, mendapatkan rumah yang layak-huni. Sekitar 7 juta rakyat miskin dengan beneficiaries (penerima manfaat dampak program/proyek) ± 15 juta orang miskin berhasil ditolong melalui program penyediaan akses kredit dan tabungan harian/mingguan kecil-kecilan berikut system pembinaan & pendampingan kelompok-kecil (terdiri dari 10-20 orang) berkesinambungan selama kurun waktu lebih dari 30 tahun.
Masalah perumahan bagi rakyat miskin dan kemiskinan dihubungan dengan pemberian Nobel Perdamaian, dikarenakan presuposisi Muhamad Yunus bahwa perdamaian di dunia akan terwujud bila masalah “rumah” bagi rakyat banyak dan kemiskinan menjadi sejarah. Sebab akar penyebab dari konflik, peperangan dan kekerasan salah satunya yang paling vital adalah karena ketiadaan “rumah” yang layak untuk memanusiakan manusia, dan kemiskinan: ketiadaan akses dalam banyak hal bagi rakyat banyak untuk menatalayani dan mengambil keputusan bagi mereka dan hidup mereka sendiri. Orang miskin menjadi miskin bukannya karena tidak bisa jujur, tidak bisa dipercaya atau tidak bisa disiplin, tetapi masalahnya adalah ketiadaan akses. Dan ketika orang miskin diberi kepercayaan, melalui kata kunci: kedisiplinan dan pendisiplinan, maka mereka berhasil keluar dari rantai kemiskinannya yang membelenggu melalui upaya-upaya yang dijalankan secara kolektif (system kelompok kecil), di mana upaya atau usahanya mungkin dinilai lembaga formal seperti bank misalnya tidak bankable, namun sesungguhnya viable.
Paradigma, konsep, metodologi dan tindakan kongkrit Yunus sebenarnya sangat sederhana, tapi dalam kesederhanaannya terasa sangat powerful dan berdampak di tengah kompleksitas permasalahan masyarakat dan negara Bangladesh yang terjadi dalam 3-4 dasawarsa terakhir. Tepatnya, dalam kompleksitas persoalan yang dihadapi Yunus berhasil mengambil inti sederhana bagi konsepnya. Meski dalam kesederhanaan konsepnya, terdapat juga kompleksitas detail2 pertimba-ngan dan action yang saling kait-mengkait secara dialektik. Kesederhanaannya itulah yang membuat Yunus diterima dan direcognisi oleh rakyat banyak Bangladesh sebagai ‘bapak bagi orang miskin dan orang papa Bangladesh ’. Penghargaan Nobel Perdamaian yang diterimanya itu hanyalah sebagai implikasi dari karya, karsa dan pengabdiannya yang tanpa mengenal lelah selama ± 4 dekade. Jika pun ia akhirnya masuk dan terjun di bidang politik sebagai jawara Partai Kekuatan Rakyat , Bangladesh sejatinya itu bukan karena ambisinya, melainkan karena aspirasi dari “anak, cucu dan cicitnya” yaitu para orang miskin dan masyarakat banyak di Bangladesh yang telah merasakan manfaat diri mereka tertolong. Sebenarnya kalau mau jujur, dengan konstituen jutaan sampai akhirnya 15 juta, dari dulu tidak susah bagi Yunus jika mau jadi anggota Parlemen (DPR/DPRD) atau petinggi birokrat Bangladesh. Tapi hal itu tidak pernah menarik hatinya. Gaya hidup Yunus yang low-profile hanya punya hati, pikiran dan hidup bagi kepentingan orang miskin dan rakyat banyak yang menderita. Kalaupun lantas ia jadi sangat terkenal bak super-selebriti seperti sekarang, itu karena anasir dan para media promo & public relations di Amerika Utara, Eropa Barat dan Eropa Utara, yang memang kelas wahid dalam bidang promo dan infotainment, yang menggaungkannya ke seluruh dunia.
Nah, itu mengenai Muhamad Yunus dan Grameen Bank Modelnya di Bangladesh. Sekarang bagaimana dengan di Indonesia , dengan manusia2 Indonesia terlebih khusus manusia2 Kristen Indonesia? Sebenarnya kalau mau terus terang, manusia2 kristen Indonesia seperti Yunus berikut model2 yang mirip2 Grameen Bank Model atau yang model serba beda sudah ada, relatif sudah lama ada. Namun, lagi2 seperti Yunus dan manusia2 berbudaya Timur lazimnya. Manusia2 ini belum atau tidak (mau) terkenal. Bekerja dan berkaryanya ‘jauh’ di tingkat basis, tingkat akar rumput (grass roots). Di pojok2 kota , tempat2 kumuh metropolitan/megapolitan dan sudut-sudut bibir dan pesisir pantai. Kemam-puan promo dan public-relations mereka terbatas atau lebih tepat mungkin sengaja membatasi diri. Tidak begitu suka teriak-teriak. Lebih banyak ‘bicara’ dalam perbuatan. Diam dalam aktivitas. Aktivitas seabreg. Sederhana dalam njlimet. Njlimet dalam kesederhanaan. Apalagi waktu jaman Pak Harto, 15-20 tahun paruh kedua masa pemerintahan sang otoriter. Berbeda dan sikap tidak mau cari muka, sangat sulit. Teriak nanti salah, konfrontatif berabe, jadi lebih baik diam. Diam dalam kreativitas dan produktivitas. Menjelang dan paska orde reformasi bergulir, kadang masih keterusan diam. Sebenarnya itu sudah tidak pas, tidak boleh. Saatnya harus speak-out. Berteriak lantang, promo, unjuk karya yang telah lama dihasilkan. Namun, nyatanya agak canggung ‘mereka’. Entahlah. Mungkin karena kebiasaan terlalu lama diam, jadi kikuk sekarang untuk berbicara. Diam jadi hobby, kegemaran. Jadi keranjingan, bukan keranjingan bicara tapi keranjingan diam.
Akhir dekade 1970an sampai 1980an, aktivis manusia2 kristen Indonesia mirip Yunus dengan model pendekatan kayak Grameen Bank Model itu sudah mulai eksis dan berkarya secara konsisten, tidak pernah stop. Ada yang alumni perguruan tinggi, ada yang tidak. Ada dari UGM, IPB, Unpad, UKSW, Udayana, Sanata Dharma Yogya & Semarang. Ada dari masih banyak lagi perguruan tinggi baik swasta maupun negeri, lulusan domestik dan luar negeri yang tak tersebutkan namanya. Juga dari lembaga2 pembinaan kader dan motivator, seperti Dharma Cipta, Pusat Latihan Kemotivatoran Cikembar, Bina Dharma, Pusat Latihan Alfa Omega, dll. Umumnya mereka merintis dan memulai karya sejak muda. Sejak lulus sarjana, sarjana baru lulus. Dari magang-magang dahulu. Sampai akhirnya jadi terampil dan excellent. Pada masa ini, mereka banyak berkarya seperti di Yogya, Bogor, Loa Majalaya, Salatiga, Semarang, Surabaya Jatim, Bali, Sulsel, Bengkulu, Sumbersari Sulteng, Kupang Timor dan daerah2 lainnya. Mereka berkarya dalam metodologi2 dan model2 alternatif di kawasan marjinal, miskin dan tertinggal, akibat tidak adanya perhatian Pemerintah kala itu akibat strategi kebijakan Pemerintah di bidang pembangunan, yang tidak memihak pada kepentingan rakyat banyak. Program atau proyek yang dilakukan adalah kegiatan relief, livehood, social-actions, pemberdayaan komunitas masyarakat marjinal, berupa perbaikan sarana umum, sosial, sanitasi lingkungan, dll disertai pelatihan-pelatihan (training), pendampingan, penyuluhan, konsultansi di bidang pertanian, peternakan, jasa-jasa usaha kecil dan sektor informal. Usaha-usaha itu dibarengi dengan bantuan untuk akses pinjaman modal usaha kecil dari lembaga-lembaga yang menyalurkan pinjaman tersebut (koperasi, LSM, bank desa dll). Sumber dana jarang berasal dari Pemerintah, umumnya kalau ngga keluar dari kantong sendiri, dapat bantuan sekadarnya dari donatur domestik dan funding luar negeri.
Tahun 1990an lambat laun, usaha-usaha dan karya mereka makin berkembang. Cukup banyak masyarakat kecil dan komunitas marjinal, kalau agregat dijumlah ratusan ribuan keluarga dan individu berhasil ditolong dan merasakan manfaat dari proyek/program mereka. Responsnya semakin banyak agency dan donatur menawarkan bantuan. Lalu untuk mengantisipasi perkembangan, agar memudahkan pengorganisian proyek/program mereka membentuk jaringan2 (network), jaringan kerja. Ada jaringan untuk Indonesia Bagian Barat, ada untuk Indonesia Bagian Timur (IBT/KTI). Ada jaringan untuk di Jawa, ada di luar Jawa. Program semakin berkembang, sampai di Pangkajene, Maros, Soppeng, Ujung Pandang, Barru dan pulau Selayar, Bali Barat, Bali Utara, Bali Timur, kawasan kumuh Jabotabek, Toraja, Ambon, Kendari, Timor, Timor Timur (sekarang Timor Leste), Bengkulu Utara Pagar Alam, Palu, Gorontalo, Minahasa, Halmahera, dll. Terkait dengan bencana (gempa, tsunami, banjir bandang, dll) mereka mengggarap program bencana & paska bencana di Aceh NAd, Nias, Yogya/Bantul & Klaten, Pangandaran, Alor NTT, Mamasa, Nabire dan beberapa daerah lainnya di Papua dan Irjabar. Peta programnya mencakup area luas sekali. Maklum, tipikal geografis negeri kita (luasan daratan, lautan dan panjangnya garis pantai) ini memang sangat berbeda dengan negerinya Yunus, Bangladesh misalnya yang 'hanya' berupa segumpal daratan bagian dari anak benua dengan garis pantai relatif pendek.
Tahun 2000an memasuki era Reformasi paska jatuhnya Orde Baru, terjadi relatif banyak perubahan dari mereka dan program mereka, seiring bangsa dan negeri ini mengalami berbagai perubahan transisional yang rumit dan cukup pelik. Krisis moneter sejak 1997 yang diiringi krisis leadership, krisis multidimensi dan multi bencana (swalayan bencana) harus dialami oleh bangsa, yang datang silih berganti. Tragedi bom (Bali, JW Marriot, Kedubes Australia Jakarta), kerusuhan2, aksi kekerasan, konflik horizontal, longsor, gempa bumi, Tsunami Aceh-Nias, kenaikan meroket BBM, penyakit ‘model baru’ dan banjir terjadi silih berganti dan berurutan, yang mengakibatkan banyak korban rakyat kecil menderita dan bangsa mengalami keterpurukan yang dirasakan di hampir seluruh pelosok dan pojok2 Nusantara. Keadaan, sikon ini, ada yang menyurutkan stamina daya tahan ‘mereka’ dan program ‘mereka’ bahkan ada yang telah mengakhiri pertandingan sampai finish dengan baik. Namun ada, malahan banyak, yang masih bertahan dan eksis sampai sekarang. ‘Mereka’ ini adalah orang2 yang telah teruji, proven, melewati badai dan gelombang, terik matahari dan hujan sampai banjir, melewati gunung dan lembah. Dalam segala kelebihan, kehebatan dan kekurangan ‘mereka’.
Sebagian mereka saya kenal. Kalau boleh dibilang kenal baik. Personal. Sebagian lagi kurang saya kenal, dalam artian tidak/kurang dekat. Tapi saya respek, appreciate terhadap karya dan karsa mereka yang excellent. Keberadaan ‘mereka’ membuat saya yakin, sangat sangat yakin bahwa di negeri ini masih ada, pernah ada dan sudah ada manusia2 kristen Indonesia seperti Muhammad Yunus. Ada dengan model varian2 yang mirip Grameen Bank Model dan varian2 yang sama sekali berbeda modelnya namun tujuannya sama, mengentaskan kemiskinan dan kebodohan guna menciptakan perdamaian melalui cara2 yang spesifik dan khas.
‘Mereka’ secara esensi sekualitas dengan Yunus. Sekualitas dengan Jaime Aristoteles di Quezon City Filipina. Sekualitas juga dengan leader2 inspirasional dari ASA India, dari Accion Bolivia , dari K-Rep Kenya . Yang membedakan hanya waktu untuk ‘tampil’. Secara khronos sudah. Punya jam terbang, skills, integritas dan worldview. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah “khairos”. Momentum untuk tampil dan unjuk kinerja. Kalau tidak sekarang, ya mungkin beberapa tahun ke depan ini. Menunggu waktu Tuhan, momentum publik dan momentum hati.
Masih ada harapan!
Salam perdamaian,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Masalah perumahan bagi rakyat miskin dan kemiskinan dihubungan dengan pemberian Nobel Perdamaian, dikarenakan presuposisi Muhamad Yunus bahwa perdamaian di dunia akan terwujud bila masalah “rumah” bagi rakyat banyak dan kemiskinan menjadi sejarah. Sebab akar penyebab dari konflik, peperangan dan kekerasan salah satunya yang paling vital adalah karena ketiadaan “rumah” yang layak untuk memanusiakan manusia, dan kemiskinan: ketiadaan akses dalam banyak hal bagi rakyat banyak untuk menatalayani dan mengambil keputusan bagi mereka dan hidup mereka sendiri. Orang miskin menjadi miskin bukannya karena tidak bisa jujur, tidak bisa dipercaya atau tidak bisa disiplin, tetapi masalahnya adalah ketiadaan akses. Dan ketika orang miskin diberi kepercayaan, melalui kata kunci: kedisiplinan dan pendisiplinan, maka mereka berhasil keluar dari rantai kemiskinannya yang membelenggu melalui upaya-upaya yang dijalankan secara kolektif (system kelompok kecil), di mana upaya atau usahanya mungkin dinilai lembaga formal seperti bank misalnya tidak bankable, namun sesungguhnya viable.
Paradigma, konsep, metodologi dan tindakan kongkrit Yunus sebenarnya sangat sederhana, tapi dalam kesederhanaannya terasa sangat powerful dan berdampak di tengah kompleksitas permasalahan masyarakat dan negara Bangladesh yang terjadi dalam 3-4 dasawarsa terakhir. Tepatnya, dalam kompleksitas persoalan yang dihadapi Yunus berhasil mengambil inti sederhana bagi konsepnya. Meski dalam kesederhanaan konsepnya, terdapat juga kompleksitas detail2 pertimba-ngan dan action yang saling kait-mengkait secara dialektik. Kesederhanaannya itulah yang membuat Yunus diterima dan direcognisi oleh rakyat banyak Bangladesh sebagai ‘bapak bagi orang miskin dan orang papa Bangladesh ’. Penghargaan Nobel Perdamaian yang diterimanya itu hanyalah sebagai implikasi dari karya, karsa dan pengabdiannya yang tanpa mengenal lelah selama ± 4 dekade. Jika pun ia akhirnya masuk dan terjun di bidang politik sebagai jawara Partai Kekuatan Rakyat , Bangladesh sejatinya itu bukan karena ambisinya, melainkan karena aspirasi dari “anak, cucu dan cicitnya” yaitu para orang miskin dan masyarakat banyak di Bangladesh yang telah merasakan manfaat diri mereka tertolong. Sebenarnya kalau mau jujur, dengan konstituen jutaan sampai akhirnya 15 juta, dari dulu tidak susah bagi Yunus jika mau jadi anggota Parlemen (DPR/DPRD) atau petinggi birokrat Bangladesh. Tapi hal itu tidak pernah menarik hatinya. Gaya hidup Yunus yang low-profile hanya punya hati, pikiran dan hidup bagi kepentingan orang miskin dan rakyat banyak yang menderita. Kalaupun lantas ia jadi sangat terkenal bak super-selebriti seperti sekarang, itu karena anasir dan para media promo & public relations di Amerika Utara, Eropa Barat dan Eropa Utara, yang memang kelas wahid dalam bidang promo dan infotainment, yang menggaungkannya ke seluruh dunia.
Nah, itu mengenai Muhamad Yunus dan Grameen Bank Modelnya di Bangladesh. Sekarang bagaimana dengan di Indonesia , dengan manusia2 Indonesia terlebih khusus manusia2 Kristen Indonesia? Sebenarnya kalau mau terus terang, manusia2 kristen Indonesia seperti Yunus berikut model2 yang mirip2 Grameen Bank Model atau yang model serba beda sudah ada, relatif sudah lama ada. Namun, lagi2 seperti Yunus dan manusia2 berbudaya Timur lazimnya. Manusia2 ini belum atau tidak (mau) terkenal. Bekerja dan berkaryanya ‘jauh’ di tingkat basis, tingkat akar rumput (grass roots). Di pojok2 kota , tempat2 kumuh metropolitan/megapolitan dan sudut-sudut bibir dan pesisir pantai. Kemam-puan promo dan public-relations mereka terbatas atau lebih tepat mungkin sengaja membatasi diri. Tidak begitu suka teriak-teriak. Lebih banyak ‘bicara’ dalam perbuatan. Diam dalam aktivitas. Aktivitas seabreg. Sederhana dalam njlimet. Njlimet dalam kesederhanaan. Apalagi waktu jaman Pak Harto, 15-20 tahun paruh kedua masa pemerintahan sang otoriter. Berbeda dan sikap tidak mau cari muka, sangat sulit. Teriak nanti salah, konfrontatif berabe, jadi lebih baik diam. Diam dalam kreativitas dan produktivitas. Menjelang dan paska orde reformasi bergulir, kadang masih keterusan diam. Sebenarnya itu sudah tidak pas, tidak boleh. Saatnya harus speak-out. Berteriak lantang, promo, unjuk karya yang telah lama dihasilkan. Namun, nyatanya agak canggung ‘mereka’. Entahlah. Mungkin karena kebiasaan terlalu lama diam, jadi kikuk sekarang untuk berbicara. Diam jadi hobby, kegemaran. Jadi keranjingan, bukan keranjingan bicara tapi keranjingan diam.
Akhir dekade 1970an sampai 1980an, aktivis manusia2 kristen Indonesia mirip Yunus dengan model pendekatan kayak Grameen Bank Model itu sudah mulai eksis dan berkarya secara konsisten, tidak pernah stop. Ada yang alumni perguruan tinggi, ada yang tidak. Ada dari UGM, IPB, Unpad, UKSW, Udayana, Sanata Dharma Yogya & Semarang. Ada dari masih banyak lagi perguruan tinggi baik swasta maupun negeri, lulusan domestik dan luar negeri yang tak tersebutkan namanya. Juga dari lembaga2 pembinaan kader dan motivator, seperti Dharma Cipta, Pusat Latihan Kemotivatoran Cikembar, Bina Dharma, Pusat Latihan Alfa Omega, dll. Umumnya mereka merintis dan memulai karya sejak muda. Sejak lulus sarjana, sarjana baru lulus. Dari magang-magang dahulu. Sampai akhirnya jadi terampil dan excellent. Pada masa ini, mereka banyak berkarya seperti di Yogya, Bogor, Loa Majalaya, Salatiga, Semarang, Surabaya Jatim, Bali, Sulsel, Bengkulu, Sumbersari Sulteng, Kupang Timor dan daerah2 lainnya. Mereka berkarya dalam metodologi2 dan model2 alternatif di kawasan marjinal, miskin dan tertinggal, akibat tidak adanya perhatian Pemerintah kala itu akibat strategi kebijakan Pemerintah di bidang pembangunan, yang tidak memihak pada kepentingan rakyat banyak. Program atau proyek yang dilakukan adalah kegiatan relief, livehood, social-actions, pemberdayaan komunitas masyarakat marjinal, berupa perbaikan sarana umum, sosial, sanitasi lingkungan, dll disertai pelatihan-pelatihan (training), pendampingan, penyuluhan, konsultansi di bidang pertanian, peternakan, jasa-jasa usaha kecil dan sektor informal. Usaha-usaha itu dibarengi dengan bantuan untuk akses pinjaman modal usaha kecil dari lembaga-lembaga yang menyalurkan pinjaman tersebut (koperasi, LSM, bank desa dll). Sumber dana jarang berasal dari Pemerintah, umumnya kalau ngga keluar dari kantong sendiri, dapat bantuan sekadarnya dari donatur domestik dan funding luar negeri.
Tahun 1990an lambat laun, usaha-usaha dan karya mereka makin berkembang. Cukup banyak masyarakat kecil dan komunitas marjinal, kalau agregat dijumlah ratusan ribuan keluarga dan individu berhasil ditolong dan merasakan manfaat dari proyek/program mereka. Responsnya semakin banyak agency dan donatur menawarkan bantuan. Lalu untuk mengantisipasi perkembangan, agar memudahkan pengorganisian proyek/program mereka membentuk jaringan2 (network), jaringan kerja. Ada jaringan untuk Indonesia Bagian Barat, ada untuk Indonesia Bagian Timur (IBT/KTI). Ada jaringan untuk di Jawa, ada di luar Jawa. Program semakin berkembang, sampai di Pangkajene, Maros, Soppeng, Ujung Pandang, Barru dan pulau Selayar, Bali Barat, Bali Utara, Bali Timur, kawasan kumuh Jabotabek, Toraja, Ambon, Kendari, Timor, Timor Timur (sekarang Timor Leste), Bengkulu Utara Pagar Alam, Palu, Gorontalo, Minahasa, Halmahera, dll. Terkait dengan bencana (gempa, tsunami, banjir bandang, dll) mereka mengggarap program bencana & paska bencana di Aceh NAd, Nias, Yogya/Bantul & Klaten, Pangandaran, Alor NTT, Mamasa, Nabire dan beberapa daerah lainnya di Papua dan Irjabar. Peta programnya mencakup area luas sekali. Maklum, tipikal geografis negeri kita (luasan daratan, lautan dan panjangnya garis pantai) ini memang sangat berbeda dengan negerinya Yunus, Bangladesh misalnya yang 'hanya' berupa segumpal daratan bagian dari anak benua dengan garis pantai relatif pendek.
Tahun 2000an memasuki era Reformasi paska jatuhnya Orde Baru, terjadi relatif banyak perubahan dari mereka dan program mereka, seiring bangsa dan negeri ini mengalami berbagai perubahan transisional yang rumit dan cukup pelik. Krisis moneter sejak 1997 yang diiringi krisis leadership, krisis multidimensi dan multi bencana (swalayan bencana) harus dialami oleh bangsa, yang datang silih berganti. Tragedi bom (Bali, JW Marriot, Kedubes Australia Jakarta), kerusuhan2, aksi kekerasan, konflik horizontal, longsor, gempa bumi, Tsunami Aceh-Nias, kenaikan meroket BBM, penyakit ‘model baru’ dan banjir terjadi silih berganti dan berurutan, yang mengakibatkan banyak korban rakyat kecil menderita dan bangsa mengalami keterpurukan yang dirasakan di hampir seluruh pelosok dan pojok2 Nusantara. Keadaan, sikon ini, ada yang menyurutkan stamina daya tahan ‘mereka’ dan program ‘mereka’ bahkan ada yang telah mengakhiri pertandingan sampai finish dengan baik. Namun ada, malahan banyak, yang masih bertahan dan eksis sampai sekarang. ‘Mereka’ ini adalah orang2 yang telah teruji, proven, melewati badai dan gelombang, terik matahari dan hujan sampai banjir, melewati gunung dan lembah. Dalam segala kelebihan, kehebatan dan kekurangan ‘mereka’.
Sebagian mereka saya kenal. Kalau boleh dibilang kenal baik. Personal. Sebagian lagi kurang saya kenal, dalam artian tidak/kurang dekat. Tapi saya respek, appreciate terhadap karya dan karsa mereka yang excellent. Keberadaan ‘mereka’ membuat saya yakin, sangat sangat yakin bahwa di negeri ini masih ada, pernah ada dan sudah ada manusia2 kristen Indonesia seperti Muhammad Yunus. Ada dengan model varian2 yang mirip Grameen Bank Model dan varian2 yang sama sekali berbeda modelnya namun tujuannya sama, mengentaskan kemiskinan dan kebodohan guna menciptakan perdamaian melalui cara2 yang spesifik dan khas.
‘Mereka’ secara esensi sekualitas dengan Yunus. Sekualitas dengan Jaime Aristoteles di Quezon City Filipina. Sekualitas juga dengan leader2 inspirasional dari ASA India, dari Accion Bolivia , dari K-Rep Kenya . Yang membedakan hanya waktu untuk ‘tampil’. Secara khronos sudah. Punya jam terbang, skills, integritas dan worldview. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah “khairos”. Momentum untuk tampil dan unjuk kinerja. Kalau tidak sekarang, ya mungkin beberapa tahun ke depan ini. Menunggu waktu Tuhan, momentum publik dan momentum hati.
Masih ada harapan!
Salam perdamaian,
Hans Midas Simanjuntak (HMS) :)
Subscribe to:
Posts (Atom)